Anda di halaman 1dari 13

TUGAS FILSAFAT HUKUM

KELOMPOK 11
CHRISTINA DIAH WIJAYANTI, S.STP / NIM A.312.1823.071
ADHI APRIANTO, SH / NIM A.312.1823.070

PASCASARJANA MAGISTER HUKUM


UNIVERSITAS SEMARANG
2023
BAB I
LATAR BELAKANG

Politik Uang (Money Politic) dapat diartikan sebagai upaya mempengaruhi


perilaku orang lain dengan menggunakan imbalan tertentu. Ada yang
mengartikan politik uang sebagai tindakan jual beli suara pada proses politik dan
kekuasaan.

Menurut PP 151/2000, yang dimaksud dengan politik uang adalah


pemberian uang atau bentuk lain, yang dilakukan oleh calon Kepala Daerah atau
wakil kepala daerah atau yang berkaitan dengan pasangan calon, kepada
anggota DPRD dengan maksud terang-terangan dan atau terselubung untuk
memperoleh dukungan guna memenangkan pemilihan Kepala Daerah.

Tindakan Politik Uang (Money Politic) bisa terjadi dalam jangkauan


(range) yang lebar, dari pemilihan kepala desa sampai pemilihan umum suatu
negara. Money Politic atau yang sering disebut dengan Politik Uang menjadi
studi yang menarik untuk ditelaah lebih dalam lagi keberadaannya dalam proses
demokrasi di Indonesia khsusnya pada pemilihan umum yang hampir seluruhnya
menempatkan uang sebagai instrument penting dalam memperoleh suatu
kekuasaan. Terjemahan money politic dalam bahasa Indonesia adalah politik
uang. Dalam bahasa Indonesia, politik uang disebut suap. Istilah lain dari suap
adalah uang sogok. Uang sogok berarti sejumlah uang yang diberikan kepada
petugas tertentu untuk menyogok agar sebuah urusan dapat berjalan dengan
lancar.

Sebagai ajang persaingan politik dalam memperoleh kekuasaan,


pemilihan umum tidak lagi dilihat sebagai sarana persaingan politik baik melalui
program, visi-misi dan gagasan seorang calon yang nantinya akan ditawarkan
kepada masyarakat. Akan tetapi pemilihan umum dijadikan sebagai arena
persaingan ekonomi dari setiap calon legislatif maupun eksekutif dengan cara
mengeluarkan uang yang selanjutnya dibagikan dalam berbagai bentuk dan cara
sebagai upaya promosi dan menjaring suara pemilih sebanyak-banyaknya.
Money politic adalah pemberian uang atau barang, atau fasilitas tertentu, dan
janji kepada orang-orang tertentu agar si pemberi tersebut mendapat dukungan
politik atau dipilih dalam sebuah pemilihan umum atau pemilihan kepala desa,
atau pemilihan presiden. Money politic juga diartikan sebagai tindakan jual beli
suara pada saat proses politik dan kekuasaan. Iming-iming pemberian tersebut
adalah untuk mendapatkan keuntungan politis (voters). Artinya tindakan
pemberian uang tersebut dilakukan secara sadar oleh pelakunya. Money politic
dapat disamakan dengan pemberian suap untuk membeli suara, akan tetapi
tidak semua kalangan berani secara tegas menyatakan hal tersebut salah dan
melanggar hukum.

Proses liberalisasi politik yang ditandai dengan runtuhnya orde baru tahun
1998 menjadi gerbang awal semakin terbuka lebarnya praktek money politic di
Indonesia. Adanya ruang partisipasi bagi setiap warga negara untuk ikut dalam
memilih dan dipilih di legislatif maupun eksekutif melalui pemilihan umum, secara
langsung telah mendorong tingginya persaingan untuk memperoleh kekuasaan.
Adanya sistem proposional terbuka dengan prinsip suara terbanyak yakni calon
legislatif maupun eksekutif yang mampu memperoleh suara terbanyak berhak
menduduki jabatan yang ia pertarungkan. Meningkatnya persaingan antar
kandidat maupun partai politik untuk menduduki jabatan dipemerintahan dengan
cara memperoleh suara sebanyak-banyaknya tentunya melalui berbagai cara
terutama dengan money politic. Keadaan seperti ini lah yang kemudian
mengubah pola pikir calon kandidat maupun partai politik dari representasi
menjadi kompetisi electoral.

Kompetisi dengan orientasi mendapatkan suara terbanyak untuk


memperoleh kekuasaan inilah yang kemudian mengakibatkan adanya
marketisasi proses elektoral. Tingginya angka persaingan untuk mencari suara
sebanyak-banyaknya dalam proses pemilihan menjadikan uang sebagai
instrument alat tukar dengan suara masyarakat. Terjadinya praktek perdagangan
suara mempertemukan antara penjual dan pembeli yang menjadikan pemilihan
umum sebagai arena ekonomi. Seorang pemilih memposisikan dirinya sebagai
penjual yang akan menawarkan hak pilihnya kepada calon yang mampu
membelinya dengan harga tertinggi. Sedangkan kandidat tersebut memposisikan
dirinya sebagai pembeli suara dengan memberikan penawaran tertinggi kepada
pemilih yang akan memberikan hak pilihnya kepada kandidat tersebut pada saat
proses pemilihan umum. Dengan begitu uang menjadi alat tukar yang di konversi
menjadi perolehan suara untuk menentukan kandidat tersebut.
BAB II
PERMASALAHAN

Permasalahan yang akan dibahas dengan keadaan yang terjadi seperti di


Indonesia ini, muncullah pertanyaan besar yang kemudian ialah mengapa uang
selalu menjadi pilihan para calon legislatif maupun eksekutif untuk memperoleh
suara terbanyak? Apakah uang yang telah diberikan tersebut memberikan
dampak adanya ikatan transaksi komersial dimana pemilih berkewajiban
memberikan hak suaranya kepada calon kandidat yang telah membeli suaranya
tersebut, padahal suara merupakan barang yang bukan dipertukarkan dan
diperjual belikan dalam teori ekonomi. Di sisi lain, money politic secara yuridis
formal jelas melanggar aturan hukum yang ada, aturan manakah yang
dilanggar?
BAB III
PEMBAHASAN MASALAH

Money politic termasuk kepada tindak pidana, ada 5 pasal KUHP tentang
tindak pidana “Kejahatan Terhadap Pelaksanaan Kewajiban dan Hak
Kenegaraan” yang jelas terdapat hubunganya dengan pemilihan umum. Undang
– Undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 Pasal 523 tentang Pemilihan Umum ayat
1 sampai 3 menjelaskan larangan adanya politik uang, yang isinya sebagai
berikut :
1) Setiap pelaksanaan, peserta, dan/atau tim kampanye pemilu yang dengan
sengaja menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai
imbalan kepada peserta kampanye pemilu secara langsung ataupun tidak
langsung sebagai dimaksud dalam pasal 280 ayat (1) huruf j dipidana
dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak
Rp 24.000.000.00 (dua puluh empat juta rupiah)
2) Setiap pelaksanaan, peserta, dan/atau tim kampanye pemilu yang dengan
sengaja pada masa tenang menjanjikan atau memberikan imbalan uang atau
materi lainnya kepada pemilih secara langsung ataupun tidak langsung
sebagaimana dimaksud dalam pasal 278 ayat (2) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 4 (empat) tahun dan denda paling banyak Rp
48.000.000.00 (empat puluh delapan juta)
3) Setiap orang yang dengan sengaja pada hari pemungutan suara menjanjikan
atau memberikan uang atau materi lainnya kepada pemilih untuk tidak
menggunakan hak pilihnya atau memilih peserta pemilu tertentu dipidana
dengan pidana penjara paling lam 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak
Rp 36.000.000.00 (tiga puluh enam juta rupiah.

Secara jelas sudah disebutkan oleh Undang-Undang diatas bahwa money


politic termasuk kedalam tindakan pidana dan secara jelas pula sanksi-sanksi
bagi pelakunya sesuai kesalahan yang dibuat baik dari calon eksekutif, legislatif,
pemilihan kepala desa, maupun tim pemenangan. Tidak cukup hanya dengan
Undang-Undang tersebut, tetapi perlu adanya dukungan dari masyarakat dalam
pencegahan money politic, karena masyarakatlah yang secara langsung bisa
mengontrol para calon kandidat saat dilapangan. Pentingnya partisipasi
masyarakat dalam pemiliham umum sudah di atur dalam Undang-Undang Nomor
7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum pasal 448 ayat 1 sampai 3 yang
berbunyi :
1) Pemilu diselenggarakan dengan partisipasi masyarakat.
2) Partisipasi masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilakukan dalam bentuk :
a. Sosialisasi pemilu;
b. Pendidikan politik bagi pemilih;
c. Survei atau jejak pendapat tentang pemilu; dan
d. Penghitungan cepat hasil pemilu.
3) Bentuk pastisipasi masyarakat sebagaimana yang dimaksud pada ayat (2)
dengan ketentuan :
a. Tidak melakukan keberpihakan yang menguntungkan atau
merugikan peserta pemilu;
b. Tidak mengganggu proses penyelenggaraan tahapan pemilu;
c. Bertujuan meningkatkan partisipasi politik masyarakat secara luas;
dan;
d. Mendorong terwujudnya suasana yang kondusif bagi peyelenggara
pemilu yang aman, damai, tertib, dan lancar.

Masyarakat yang menyadari adanya kecurangan atau money politic saat


pemilihan umum, dapat memberikan laporan kepada beberapa Lembaga seperti
Badan Pengawas Pemilu, Panwaslu Provinsi atau Panwaslu Kabupate/Kota. Hal
ini sudah diatur Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017
tentang Pemilihan Umum pasal 454 ayat 1, 3 dan 4 yang berbunyi :
1) Pelanggaran pemilu berasal dari temuan pelanggaran pemilu dan laporan
pelanggaran pemilu.
2) Laporan pelanggaran pemilu merupakan laporan langsung warga negara
Indonesia yang mempunyai hak pilih, peserta pemilu, dan pemantau pemilu
kepada Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten/Kota, Panwaslu LN,
dan/atau pengawas TPS pada setiap tahapan penyelenggaraan pemilu.
3) Laporan pelanggaran pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (3)
disampaikan secara tertulis dan paling sedikit memuat :
a. Nama dan alamat pelapor
b. Pihak pelapor
c. Waktu dan tempat kejadian perkara, dan
d. Uraian kejadian.

Pasal 454 angka 1, 3 dan 4 menerangkan bahwa masyarakat memiliki


peran serta dalam pemilihan umum dengan cara memberikan laporan kepada
Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten/Kota, Panwaslu LN, dan/atau pengawas
TPS. Adapun masyarakat yang berhak memberikan laporan pelanggaran money
politic adalah warga Negara yang memiliki hak pilih sehingga didalam
laporannya terdapat nama dan alamat pelapor, waktu terjadinya politik uang, dan
uraian bahan bukti yang otentik dalam laporan tersebut. Sangat penting adanya
partisipasi masyarakat dalam mencegah money politic saat pemilihan umum, hal
tersebut menjadi penting terlebih partisipasi masyarakat yang ada di daerah
desa, karena desa merupakan satuan pemerintahan terkecil yang sering menjadi
sasaran oleh peserta pemilu untuk melakukan money politic melihat di desa
masih banyak terdapat masyarakat menengah kebawah. Sebenarnya
masyarakat dapat memberikan laporan kepada pihak yang berwenang tentang
terjadinya money politic. Akan tetapi, pada kenyataannya masih sedikit
masyarakat yang menyadari akan pentingnya peran mereka dalam pemilihan
umum. Akibatnya, sulit untuk penegak hukum membuktikan praktik-praktik
money politic yang ada, hal itulah kemudian yang membuat calon kandidat
dengan leluasa menjalankan praktik money politic dengan tujuan memperoleh
suara dalam pelaksanaan pemilihan umum.
Desa adalah satuan pemerintah terkecil dalam melaksanakan fungsi
pelayanan masyarakat. Desa juga menjadi wadah partisipasi rakyat dalam
melaksanakan aktifitas politik dan pemerintahan. Desa seharusnya menjadi
media interaksi politik yang simple, dengan demikian sangat potensial jika
dijadikan gambaran dalam kehidupan berdemokrasi untuk negara. Dinamika
politik yang ada di desa tentunya memiliki ciri khas tersendiri, ciri khas tersebut
dapat dilihat saat terjadinya pemilihan kepala desa. Pemilihan kepala desa
seharusnya bisa menjadi cerminan pemilihan yang bebas dari politik uang,
Tetapi pada kenyataannya justru pada pemilihan kepala desa lah yang mulai
memainkan politik uang untuk mencari suara. Maraknya money politic dengan
rata-rata sasarannya adalah masyarakat menengah kebawah menjadikan
peserta pemilu berlomba-lomba untuk mencari wilayah yang nantinya akan
banyak mendapatkan suara saat pemilihan umum berlangsung. Mereka berfikir
bahwa masyarakat menengah kebawah adalah masyarakat yang mudah untuk
dipengaruhi terlebih dengan menggunakan uang. Adanya pola pikir masyarakat
yang menganggap bahwa memberi uang adalah hal yang wajar sebagai tanda
ucapan terimakasih. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Komisi Pemilihan Umum
(KPU) yakni Batasan nominal hadiah dari pasangan calon kepada masyarakat
dalam setiap kampanye pilkada yang menggelar kegiatan kampanye hanya
boleh memberikan hadiah maksimal Rp 1 juta dan itu harus dalam bentuk
barang. Sebagaimana diatur dalam UU PKPU No.1 Tahun 2013 Pasal 49 ayat 2
yang berbunyi: “Menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai
imbalan kepada peserta kampanye secara langsung atau tidak langsung
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), inisiatifnya berasal dari pelaksana
kampanye untuk mempengaruhi pemilih. Maka pemberian tersebut harus
dimaknai sebagai politik uang. Misalnya, kandidat membagi sembako dari rumah
ke rumah disertai tanda gambar kandidat atau parpol ditambah pesan kepada
yang menerima sembako untuk memilih seperti gambar dimaksud, maka
tindakan membagi sembako tersebut jelas-jelas politik uang. Dalam perspektif
hukum, praktek ini jelas dinyatakan ilegal namun dalam kenyataannya modus
money politic tetaplah menjamur, hal ini dikarenakan seseorang atau
sekelompok masyarakat yang sudah menerima uang atau barang tidak mungkin
melaporkan adanya sebuah upaya atau kegiatan money politic. Sebab secara
moral ia telah berhutang budi pada si pemberi dan secara hukum ia pasti kena
jeratan hukum juga.
Melihat kasus politik uang diatas dan melihat kasus money politic
beberapa dasawarsa ini hanya terpaku pada praktek pembelian suara dengan
memberikan uang dalam bentuk fresh money saja. Pada kenyataannya, praktek
money politic banyak menjelma dalam berbagai bentuk dan berbagai cara,
seperti pemberian bantuan pembangunan fisik dan lain sebagainya dengan
sasaran yang dibagi dalam tingkatan Dusun, Desa, Kecamatan maupun
Kabupaten.
Penyebab terlaksananya praktek money politic yaitu peserta pemilu (calon
anggota legislatif) dan masyarakat sebagai pemilih. Salah satu alasan mengapa
para caleg melakukan politik uang adalah mereka takut kalah bersaing dengan
caleg lain. Caleg yang baru bersaing masih mencari bentuk serangan fajar.
Mereka berpotensi melakukan politik uang. Para caleg yang pernah
mencalonkan diri pada pemilu sebelumnya tentu lebih ahli dalam politik uang dan
dipastikan akan mengulangi hal yang sama. Setidaknya ada 8 penyebab
masyarakat terlibat dalam money politic, yaitu: sudah tradisi; haus kejayaan;
lingkungan yang mendukung; hukum yang bisa dibeli; lemah iman; masyarakat
miskin; rendahnya pengetahuan masyarakat tentang politik; dan kebudayaan.
Sudah tradisi pada kegiatan money politic pada dasarnya adalah kegiatan
yang buruk dan dilarang. Money politic bukanlah nilai-nilai yang diajarkan nenek
moyang kita, tetapi money politic seakan sudah mendarah daging dan jadi tradisi
terutama bagi kelompok orang-orang yang banyak uang. Jika menengok dari
dalam catatan sejarah, budaya tersebut dapat dilihat dari zaman kolonialisme.
Para kolonialisme memberikan suap pejabat pribumi untuk mendapatkan apa
yang mereka mau. Kebiasaan buruk itu ternyata ditiru dan masih berkelanjutan
hingga saat ini. Dilihat dari penyebab akan haus kejayaan bahwa sudah menjadi
kodrat manusia jika manusia selalu menginginkan kekayaan, kekuasaan dan
jabatan. Dan untuk mendapatkannya manusia rela melakukan dan menempuh
jalan “belakang” jika perlu, yaitu dengan memberikan sesuatu bisa berupa uang
atau benda-benda lain agar niatnya dapat dilaksanakan. Hal paling sederhana
adalah praktik suap yang dilakukan oleh para pelanggar lalu lintas pada polisi
yang menangkapnya agar kasusnya tak jatuh ke meja pengadilan. Penyebab
lingkungan yang mendukung ini bukan sebuah rahasia lagi dan praktik money
politic ini dipraktikkan mulai dari institusi kecil sampai kekalangan pejabat tinggi
negara adalah sebuah jaringan yang terorganisir. Lingkungan yang paling rentan
terhadap ini adalah pengadilan, tentu saja yang menjadi targetnya adalah para
hakim. Terkadang jika terdakwa tidak ada inisiatif untuk memberi suap, justru
oknum-oknum hakim yang tidak “bersih” memberikan penawaran kepada
terdakwa. Penyebab hukum yang bisa dibeli ini bukanlah rahasia umum, hal ini
sudah dikenal masyarakat bahwa hukum di Indonesia adalah hukum yang bisa
dibeli dengan uang. Bukan berarti hukumnya yang salah, tapi oknum
penegaknya yang membuat hukum jadi tidak mempan bagi orang-orang yang
banyak uang. Dengan memberikan suap para hakim atau bahkan para penjaga
tentara dengan sejumlah uang, para terdakwa bisa menikmati hidup mewah
dipenjara. Iman yang lemah otomatis akan membuat seseorang akan jauh dari
Tuhan Yang Maha Esa. Hal itu merupakan faktor utama yang menyebabkan
seseorang dengan mudah melakukan dan menerima suap. Mengesampingkan
fakta bahwa apa yang mereka lakukan itu adalah perbuatan dosa. Tidak ada
rasa takut sama sekali akan perbuatan itu, sehingga perbuatan money politic
dianggap perbuatan yang wajar dan sudah biasa dilakukan. Penyebab yang
paling mendukung saat ini adalah keadaan ekonomi masyarakat yang rendah.
Masyarakat miskin di Indonesia cukup tinggi. Kemiskinan adalah keadaan
dimana terjadi ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti
makanan, pakaian, tempat berlindung, pendidikan, dan kesehatan. Kemiskinan
dapat disebabkan oleh kelangkaan alat pemenuh kebutuhan dasar, ataupun
sulitnya akses terhadap pendidikan dan pekerjan. Kondisi miskin tersebut seperti
memaksa dan menekan sebagian masyarakat untuk segera mendapat uang.
Money politic pun menjadi ajang para rakyat untuk berebut uang. Mereka yang
menerima uang terkadang tidak memikirkan konsekuensi yang akan diterima,
yaitu tindakan suap dan jual beli suara yang jelas melanggar hukum. Karena
bagi masyarakat miskin yang terpenting adalah mendapat uang dan dapat
memenuhi kebutuhan hidupnya.
Banyak sekali dampak yang dihadirkan akibat dari politik uang. Dampak
yang ditimbulakan oleh adanya praktek politik uang di antaranya adalah Dampak
Money Politic Terhadap Pribadi yaitu penyakit kronis yang dapat meruntuhkan
jati diri seseorang, karena tindakan money politic, baik memberi atau menerima
dapat menciderai pondasi akhlak yang paling tinggi. Dampak Money Politic
Terhadap Ekonomi. Dalam konteks ekonomi, perilaku memberikan dan
menerima suap yang merupakan bagian dari tindakan korupsi ini dapat
menghambat pertumbuhan ekonomi suatu negara. Dampak Money Politic
Terhadap Masyarakat dengan tindakan money politic yang dilakukan oleh
banyak pihak yang akan menyebabkan kekacauan dalam tatanan hidup
bermasyarakat dan bernegara. Sementara dari sisi etika politik lainnya adalah
pemberian uang kepada rakyat dengan harapan agar terpilihnya partai politik
tertentu berimbas pada pendidikan politik, yaitu mobilisasi yang pada gilirannya
menyumbat partisipasi politik. Rakyat dalam proses seperti ini tetap menjadi
objek eksploitasi politik pihak yang memiliki kekuasaan. Money Politic bukan
secara moral saja yang salah, dalam dimensi agama juga tidak dibenarkan,
sebab memiliki dampak yang sangat berbahaya untuk kepentingan bangsa ini.
Jika yang dihasilkan adalah kekecewaan rakyat, maka sesungguhnya yang akan
mengadili adalah rakyat itu sendiri. Mengenai dampak dari money politic tentu
saja ada dampaknya bagi masyarakat sendiri. Money politic bisa dijadikan ajang
mencari penghasilan, masyarakat awam tidak mempedulikan nilai nilai dari
demokrsi yang terpenting baginya ialah mereka telah mendapatkan uang atau
bentuk penyuapan lainnya. Imbas kontrak politik uang yang palig kentara dapat
dilihat dari prilaku kepala daerah terpilih yang tidak memiliki rasa solidaritas
terhadap kesulitan-kesulitan yang yang menimpa rakyatnya. Juga program-
program pembangunan yang semestinya berlangsung dengan professional,
transparan, dan dengan hasil kerja (proyek) berkualitas tinggi ternyta tidak
berlangsung seperti yang diharapkan. Artinya komisi dan persenan yang mesti
dibayarkan di muka sebelum pekerjaan didapatkan telah menurunkan nilai dan
kualitas proyek-proyek pembangunan yang termaktub di APBD daerah
bersangkutan.
BAB IV
PENUTUP

A. KESIMPULAN
1) Money politic termasuk kepada tindak pidana, ada 5 pasal KUHP
tentang tindak pidana “Kejahatan Terhadap Pelaksanaan
Kewajiban dan Hak Kenegaraan” yang jelas terdapat
hubunganya dengan pemilihan umum. Undang – Undang Pemilu
Nomor 7 Tahun 2017 Pasal 523 tentang Pemilihan Umum.
2) Ada 8 penyebab masyarakat terlibat dalam money politic, yaitu:
sudah tradisi; haus kejayaan; lingkungan yang mendukung;
hukum yang bisa dibeli; lemah iman; masyarakat miskin;
rendahnya pengetahuan masyarakat tentang politik; dan
kebudayaan.
DAFTAR PUSTAKA

Amrullah Ahmad, dkk, Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional,
(Jakarta: Gema Insan Press, 2005), hal 146.

Amzulian Rifai, Politik Uang dalam Pemilihan Kepala Daerah, (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 2003), hal 57.

Bungaran Antonius simanjuntak, dampak otonomi daerah di Indonesia, (Jakarta:


yayasan pustaka obor Indonesia, 2013), hal 123.

Indra Ismawan, Money Politics Pengaruh Uang Dalam Pemilu,


(Yogyakarta :Penerbit Media Presindo, 1999), hal 80.

Ismawan. Pengaruh Uang Dalam Pemilu, (Yogyakarta: Media Pressindo, 1999),


hal. 5.

Legowo, Sebastian Salang, Panduan Menjadi Anggota DPR/DP/DPRD


Menghadapi Pemilu, (Jakarta: Forum Sahabat, 2008), hal 33.

Leo Agustino, Pilkada dan Dinamika Politik Lokal, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2009), hal 43.

Mashudi Umar, “Money Politic Dalam Pemilu Perspektif Hukum Islam”, dalam
Atturas, no. 1/ Januari-Juni 2015, hal 107-116.

UU PKPU No.1 Tahun 2013 tentang Pedoman Pelaksanaan Kampanye


Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD.

Anda mungkin juga menyukai