Anda di halaman 1dari 23

PENDAHULUAN Salah satu pertimbangan peralihan mekanisme pilkada oleh DPRD menjadi pilkada langsung adalah untuk memangkas

politik uang (money politics), logikanya calon tidak punya kemampuan untuk membeli suara rakyat yang jumlahnya banyak. Namun fakta menunjukkan bahwa dalam pilkada langsung pun politik uang berlangsung meski dengan ongkos yang makin mahal karena melibatkan pemilih dalam satu daerah pemilihan. Sewaktu pemilihan kepala daerah oleh DPRD

politik uang juga mengemuka namun dalam pilkada secara langsung semakin meluas, misalnya, 147 warga

Kampung Bantarpanjang, Kecamatan Warudoyong, Kota Sukabumi, mendapat amplop berisi uang Rp 10.000 dengan pesan agar memilih salah satu peserta pilkada (Kompas, 10 April 2008). Uang ini digunakan mulai dari menentukan parpol pengusung, kampanye besar-besaran untuk mendongkrak popularitas calon, sampai upaya memengaruhi pilihan masyarakat. Syamsuddin Haris mengatakan bahwa partai politik dalam mengusung calon di pilkada lebih pada pertimbangan kemampuan finansial calon yang bersangkutan. Dalam rekrutmen, lebih terkesan para sang calon yang membutuhkan perahu partai politik (www.komunitasdemokrasi.or.id/article/pilkada.pdf, diunduh tgl. 27 Maret 2011). Disebutkan harga yang dipatok oleh partai politik antara Rp 1 miliar hingga 2 miliar bagi satu calon bupati yang didaftarkan ke KPUD (Kompas, 19 April 2005). Di Pemilihan Gubernur Riau seorang kandidat harus menyediakan uang pinangan sedikitnya Rp 400 juta per kursi demi mendapatkan perahu. Dalam hal ini semakin strategis posisi parpol, jumlah uang lamaran semakin besar (Kompas, 6 Juli 2011).

Ketika kemampuan dana calon menjadi pertimbangan, maka terbuka ruang bagi masuknya sumber-sumber dana dari pihak luar, termasuk kemungkinan masuknya dana ilegal. Seperti studi Syarif Hidayat (Bisnis dan Politik di Tingkat

Lokal: Pengusaha, Penguasa dan Penyelenggara Pemerintahan Pasca Pilkada) (2006: 276) yang menemukan bahwa modal ekonomi yang dimiliki oleh masing-masing kandidat kepala daerah/wakil kepala daerah cenderung merupakan kombinasi antara modal pribadi dan bantuan donator politik (Pengusaha), serta sumber-sumber lain. Dalam artikelnya, Leo Agustinino dan Muhammad Agus Yusoff (Pilkada dan Pemekaran Daerah dalam Demokrasi Lokal di Indonesia: Local Strongmen dan Roving Bandits) (2010) mengatakan bahwa: untuk membiayai itu semua (mendanai pelbagai biaya aktiviti kempen, biaya menyewa pakar political marketing, biaya untuk membangun sarana fisik di kantungkantung undi, biaya image building dan image bubbling (pensuksesan diri calon) dan banyak lagi), banyak calon yang tidak memiliki cukup dana. Maka dari itu, calon kepala daerah acap kali mencari para pengusaha untuk bergabung sebagai investor politik. Sebagai imbalan investasi atas keikutsertaan mereka (sebagai pelabur/investor politik) dalam menjayakan calon dalam pilkada, maka para pengusaha dijanjikan akan mendapat banyak hak istimewa (perlindungan ekonomi dan politik).

Logikanya mereka yang berhutang untuk biaya pilkada, akan membalas jasa melalui berbagai konsensi kepada pihak yang mengongkosinya pascapilkada, dan pada akhirnya meminggirkan aspirasi masyarakat luas. Situasi ini pula yang belakangan melahirkan perilaku korup para kepala daerah guna mengembalikan hutang-hutang semasa pilkada, karena seperti pendapat Eko Prasojo, bahwa biaya yang dikeluarkan ini (menentukan parpol pengusung, kampanye besar-besaran

untuk mendongkrak popularitas calon, sampai upaya mempengaruhi pilihan masyarakat) harus diganti oleh uang rakyat dalam APBD melalui arisan proyek bagi investor politik yang ikut membiayai pilkada (ditpolkom.bappenas.go.id/.../007. pdf, diunduh tgl. 11 Desember 2011). Selain secara finansial merugikan masyarakat daerah dengan korupsi APBD, praktik politik uang juga mencendarai terwujudnya pemilu yang demokratis. Suatu pemilu yang demokratis, jujur dan adil (free and fair elections) adalah pemilu yang bebas dari kekerasan, penyuapan, dan berbagai praktik curang lainnya yang akan mempengaruhi hasil pemilu. Suburnya politik uang itu juga tidak lepas dari cara pandang masyarakat pemilih yang permisif terhadap politik uang itu. Pada proses demokrasi di Indonesia, termasuk demokrasi di level akar rumput (pilkades) praktek money politics tumbuh subur, karena dianggap suatu kewajaran masyarakat tidak peka terhadap bahayanya. Mereka membiarkannya karena tidak merasa bahwa money politics secara normatif adalah perilaku yang harus dijauhi (2003: 228). Studi Nico L. Kana di Kecamatan Suruh, misalnya menemukan bahwa pemberian uang (money politics) sudah biasa berlangsung di tiap pilkades pada masa sebelumnya, oleh masyarakat setempat hal ini dipandang sebagai simbol tali asih (2001:9). Perihal politik uang dari sudut pemilih di pilkada, Sutoro Eko (2004) juga punya penjelasan. Menurutnya politik uang terjadi karena kuatnya persepsi bahwa pilkada sebagai perayaan, kultur pragmatisme jangka pendek, lemahnya dialektika untuk mencari nilai-nilai ideal dan membangun visi bersama, lemahnya aturan main, dan seterusnya. Hal-hal yang

disebut oleh Sutoro Eko itu setidaknya dapat dilihat dari penelitian Ahmad Yani (dkk) (2008), yang menemukan pemilih lebih menyukai bentuk kampanye terbuka dan

sebagian besar dari mereka menyarankan bagi yang ikut kampanye layak dikasih uang saku sekitar Rp 50.000-Rp 100.000 perkali kampanye.

Soal politik uang dalam pilkada ini menarik untuk diangkat sebagai tulisan seiring dengan kegelisahan banyak pihak atas mahalnya biaya pilkada, terutama bagi kandidat dengan segala implikasinya pada pascapilkada. Tulisan ini bermaksud menyajikan ulasan teoritis tentang apa dan bagaimana politik uang dalam pilkada. PEMBAHASAN Dengan lahirnya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang menjadi landasan normatif bagi penerapan pilkada secara langsung telah membuat sistem pemerintahan di daerah seharusnya semakin demokratis karena rakyat dapat menentukan siapa calon yang paling disukainya. Atas dasar undang-undang itu mulai tahun 2005, tepatnya pada bulan Juni 2005, pergantian kepala daerah di

seluruh Indonesia telah dilakukan secara langsung. Pilkada secara langsung juga diharapkan dapat meminimalkan praktik politik uang karena calon pemimpin politik tidak mungkin membayar suara seluruh rakyat, maupun kecurangan-kecurangan lain yang selama ini menjadi kekurangan dalam pilkada-pilkada sebelumnya. Sebagai gambaran, sebagian besar pemilihan kepala daerah yang berlangsung selama UU No. 22 Tahun 1999 selalu menimbulkan gejolak di daerah, seperti di Jakarta, Lampung, Jawa Barat, Madura, dan sejumlah daerah lainnya. Dalam kasus-kasus ini, timbulnya gejolak selalu disebabkan oleh penyimpangan-penyimpangan yang sama, yakni distorsi aspirasi publik, indikasi politik uang, dan oligarkhi partai yang tampak dari intervensi DPP partai dalam menentukan calon kepala daerah yang didukung fraksi (Dede Mariana, 2007: 47). Namun pelaksanaan pilkada secara langsung tidak menyelesaikan persoalan tersebut, melainkan hanya sebatas hingar-bingar peristiwa pemungutan suara pada hari pemilu dan bahkan kini menimbulkan paradoks. Mendagri Gamawan Fauzi menyatakan, pilkada langsung berdampak pada biaya politik yang tinggi. Dikaitkan

dengan upaya menciptakan pemerintahan yang bersih, Mendagri menambahkan, biaya besar tersebut seperti menjadi paradoks karena untuk menjadi kepala daerah dibutuhkan uang miliaran rupiah dan setelah menjadi kepala daerah dituntut untuk menciptakan pemerintahan yang bersih (Kompas, 21 Juli 2010). Dibandingkan model memilih kepala daerah oleh anggota DPRD, model memilih kepala daerah secara langsung memerlukan biaya lebih besar yang harus di sediakan oleh Pemerintah Daerah yang bersangkutan maupun oleh para kandidat yang berkompetisi. Belanja kandidat antara lain: (1) belanja kampanye, (2) belanja saksi, (3) belanja kandidasi di partai politik/pendukung di jalur perseorangan. Bank Indonesia

memperkirakan pilkada yang berlangsung di 244 daerah tahun 2010 menelan biaya sekitar Rp 4,2 triliun dari anggaran yang dikeluarkan pemerintah daerah untuk penyelenggaraan dan dana kampanye, yang ditanggung para kandidat kepala daerah (www.antaranews.com/.../bi-perkirakan-biaya-pilkada-2010-capai-rp4..., diunduh tgl. 26 Desember 2011). Memang dalam pemilu tidak semua uang yang

dikeluarkan kadidat dan digunakan dalam kegiatan pemilu termasuk dalam kategori politik uang, yang dikonotasikan sebagai uang haram. Untuk membedakannya, simak definisi uang politik dan politik uang. Yang dimaksud dengan uang politik adalah, uang yang diperlukan secara wajar untuk mendukung operasionalisasi aktivitas-aktivitas yang akan dilakukan oleh peserta pilkada. Besarannya ditetapkan dengan UU dan PP. Contohnya biaya administrasi pendaftaran pasangan kandidat, biaya operasional kampanye pasangan kandidat, pembelian spanduk dan stiker, dan lain sebagainya. Sumbernya bisa berasal dari simpatisan dengan tidak memiliki kepentingan khusus dan besarannya ditentukan dalam UU dan PP. Adapun yang dimaksud dengan politik uang adalah, uang yang ditujukan dengan maksud-maksud tertentu seperti

contohnya untuk melindungi kepentingan bisnis dan kepentingan politik tertentu. Politik uang bisa juga terjadi ketika seorang kandidat membeli dukungan parpol tertentu atau membeli suara dari pemilih untuk memilihnya dengan iming-iming imbalan yang bersifat finansial. Politik uang bisa juga terjadi ketika pihak

penyandang dana berkepentingan bisnis maupun politik tertentu. Bentuknya bisa berupa uang, namun bisa pula berupa bantuan-bantuan sarana fisik pendukung kampanye pasangan kandidat tertentu (Teddy Lesmana, 2011). Sumbangan politik uang terhadap kebutuhan dana dalam jumlah besar, terutama untuk komponen tidak resmi yang harus dikeluarkan kandidat, signifikan. Ini setidaknya dapat dilihat dari pendapat Hanta Yuda AR. Menurutnya, biaya besar yang karena pilkada kerap disertai dengan praktek politik uang dan pemakelaran pencalonan kepala daerah. Politik uang dan pemakelaran inilah yang menyebabkan biaya pilkada semakin menggelembung dan ongkos demokrasi semakin tinggi (Koran Tempo, 23 November 2010). Menurut Wahyudi Kumorotomo (2009) ada beragam cara untuk melakukan politik uang dalam pilkada langsung, yakni: (1) Politik uang secara langsung bisa berbentuk pembayaran tunai dari "tim sukses" calon tertentu kepada konstituen yang potensial, (2) sumbangan dari para bakal calon kepada parpol yang telah mendukungnya, atau (3) "sumbangan wajib" yang disyaratkan oleh suatu parpol kepada para kader partai atau bakal calon yang ingin mencalonkan diri sebagai bupati atau walikota. Adapun politik uang secara tidak langsung bisa berbentuk pembagian hadiah atau doorprize, pembagian sembako kepada konstituen, pembagian semen di daerah pemilihan tertentu, dan sebagainya. Para calon bahkan tidak bisa menghitung secara persis berapa yang mereka telah habiskan untuk sumbangan, hadiah, spanduk, dan sebagainya, disamping biaya resmi untuk

pendaftaran keanggotaan, membayar saksi, dan kebutuhan administratif lainnya. Ramlan Surbakti (Kompas, 2 April 2005), mencatat bahwa peluang munculnya politik uang dalam pilkada dapat diidentifikasi sejak awal, yakni Pertama, untuk dapat menjadi calon diperlukan "sewa perahu", baik yang dibayar sebelum atau setelah penetapan calon, sebagian atau seluruhnya. Jumlah sewa yang harus dibayar diperkirakan cukup besar jauh melampaui batas sumbangan dana kampanye yang ditetapkan dalam undang-undang, tetapi tidak diketahui dengan pasti karena berlangsung di balik layar. Kedua, calon yang diperkirakan mendapat dukungan kuat, biasanya incumbent, akan menerima dana yang sangat besar dari kalangan pengusaha yang memiliki kepentingan ekonomi di daerah tersebut. Jumlah uang ini juga jauh melebihi batas sumbangan yang ditetapkan undang-undang. Karena berlangsung di balik layar, maka sukar mengetahui siapa yang memberi kepada siapa dan berapa besarnya dana yang diterima. Ketiga, untuk kabupaten/kota yang jumlah pemilihnya sekitar 10.000 sampai dengan 100.000 pemilih, tetapi wilayahnya memiliki potensi ekonomi yang tinggi, pengusaha yang memiliki kepentingan ekonomi di daerah tersebut bahkan dapat menentukan siapa yang akan terpilih menjadi kepala daerah. Dengan jumlah dana yang tidak terlalu besar, sang pengusaha dapat memengaruhi para pemilih memilih pasangan calon yang dikehendakinya melalui "perantara politik" yang ditunjuknya di setiap desa. Keempat, untuk daerah dengan tiga atau lebih pasangan calon bersaing, perolehan suara sebanyak lebih dari 25 persen dapat mengantarkan satu pasangan calon menjadi kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih. Dalam situasi seperti ini, penggunaan uang memengaruhi pemilih melalui "perantara politik" di setiap desa/kelurahan mungkin menjadi pilihan "rasional" bagi pasangan calon. Jika Ramlan Surbakti masih melihat potensi politik uang dalam Pilkada, Didik

Supriyanto mengangkatnya dari fakta empiris. Menurutnya, berdasarkan aktor dan wilayah operasinya, politik uang dalam pilkada bisa dibedakan menjadi empat lingkaran sebagai berikut: (1) Lingkaran satu, adalah transaksi antara elit ekonomi (pemilik uang) dengan pasangan calon kepala daerah yang akan menjadi pengambil kebijakan/keputusan politik pascapilkada; (2) Lingkaran dua, adalah transaksi antara pasangan calon kepala daerah dengan partai politik yang mempunyai hak untuk mencalonkan; (3) Lingkaran tiga, adalah transaksi antara pasangan calon dan tim kampanye dengan petugas-petugas pilkada yang mempunyai wewenang untuk menghitung perolehan suara; dan (4) Lingkaran empat, adalah transaksi antara calon dan tim kampanye dengan massa pemilih (pembelian suara) (Transkrip Diskusi Publik Terbatas, ijrsh.files.wordpress.com/2008/06/politik-uang-dalam-pilkada.pdf, diunduh tgl. 24 Desember 2011). Menurut Didik Supriyanto,

politik uang lingkaran empat ini biasa disebut dengan political buying, atau pembelian suara langsung kepada pemilih. Lebih lanjut dikatakannya, ada banyak macam bentuk political buying, yakni pemberian ongkos transportasi kampanye, janji membagi uang/barang, pembagian sembako atau semen untuk membangun tempat ibadah, serangan fajar, dan lain-lain. Modus politik uang tersebut berlangsung dari pemilu ke pemilu, tidak terkecuali dalam pilkada dan praktik-praktik jual beli suara ini bukan semata-mata didasari oleh kebutuhan ekonomi sebagian besar pemilih, tetapi juga karena hal tersebut sudah lama berlangsung setiap kali ada pemilihan (misalnya pilkades) sehingga masyarakat menganggapnya sebagai sesuatu yang lumrah, meski mereka tahu bahwa hal itu melanggar ketentuan. Namun berbagai kejadian politik uang dalam pilkada langsung seringkali tidak tersentuh oleh penegakan hukum karena sulitnya

pembuktian akibat tidak adanya batasan yang jelas mengenai politik uang, disamping sebagian masyarakat menganggap sebagai sesuatu yang lumrah. Bahkan, yang lebih memprihatinkan adalah masyarakat kian permisif dengan praktek politik uang dalam pemilu. Hasil polling Litbang Harian Kompas, menemukan bahwa sebagian besar publik tidak menolak kegiatan bagi-bagi uang yang dilakukan caleg/parpol (Kompas, 16 Maret 2009). Terkait politik uang yang makin menguat, Lingkaran Survei Indonesia (LSI) pernah membuat survei khusus untuk mengukur tingkat skala politik uang dalam pilkada. Survei tersebut dilakukan dengan populasi nasional pada bulan Oktober 2005 dan Oktober 2010. Survei menggunakan metode penarikan sampel Multistage Random Sampling (MRS). Jumlah sampel sebanyak 1.000 orang responden dengan tingkat kesalahan sampel (sampling error) sebesar plus minus 4%. Hasil survey menunjukkan publik yang menyatakan akan menerima uang yang diberikan oleh kandidat mengalami kenaikan. Pada tahun 2005, sebanyak 27,5% publik menyatakan akan menerima uang yang diberikan calon dan memilih calon yang memberi uang. Angka ini naik menjadi 37,5% di tahun 2010. Demikian pula Publik yang mempersepsi bahwa politik uang akan mempengaruhi pilihan atas kandidat, juga mengalami kenaikan dari 53,9% di tahun 2005 menjadi 63% di tahun 2010 (suarapublik.co.id/index/index.php?...politik-uang.. diunduh tgl. 24 Desember 2011). Situasi ini tidak lepas dari adanya perubahan radikal terhadap karakter dan perilaku pemilih pascareformasi, khususnya setelah Pemilu 1999. Kacung Marijan (Kompas, 7 Agustus 2008) menyebut keikutsertaan pemilih dalam pemilu 1999 sebagai pemilih bercorak sukarela (voluntary). Di mana terjadi keterlibatan yang intens dari pemilih selama proses pemilu. Hal ini tidak lepas dari euforia reformasi yang masih dirasakan masyarakat serta harapan yang besar terhadap perubahan. Pemilu 2004

menunjukkan perilaku pemilih yang berbeda. Antusiasme pemilih mulai menurun dan perilakunya sudah mulai bercorak rasional. Bahkan menurut Kacung Marijan sudah tergolong rasional pragmatis dengan melakukan praktik-praktik transaksional (jual beli suara) di mana pemilih mulai menghitung imbalan dari suara yang diberikan. Perilaku ini tidak lepas dari penilaian bahwa wakil-wakil rakyat hasil pemilu 1999 yang mereka harapkan ternyata tak mampu berbuat banyak dan tidak memberikan perubahan berarti (Marijan dalam Taufiqurrahman, 2010). Survei LSI juga menemukan kecenderungan yang sama, bahwa ada rasionalitas pragmatis pemilih, meski selain rasionalitas pragmatis, muncul juga semangat kedaerahan, etnisitas, agama dan kelompok dalam preferensi pemilih (www.lsi.or.id ) Kebutuhan dana yang semakin besar mendorong politisi menggali dana dari berbagai sumber. Fenomena ini tidaklah khas Indonesia. Sebagai gambaran, sebagaimana yang ditulis Denny JA (2006) tentang Uang dan Politik, di negara Amerika Serikat yang kaya sekalipun seorang calon tidak dapat membiayai pengeluaran pemilu sendirian. Pemilu, mulai dari anggota Kongres, gubernur, dan presiden, yang sangat kompetitif, sudah sedemikian mahalnya. Pada 1996, di Amerika Serikat, biayanya sudah mencapai US$ 64 milyar atau sekitar Rp 150 trilyun berdasarkan nilai tukar saat itu (1996). Bagusnya Amerika Serikat memiliki

mekanisme untuk meminimalisasi pengaruh uang swasta di dunia politik. Federal Election Campaign Act of 1974 hanya membolehkan sumbangan pihak swasta ke politisi dalam jumlah yang sangat kecil. Sumbangan perorangan hanya dibolehkan menyumbang uang ke seorang politikus paling banyak US$ 1.000 (Rp 2,3 juta berdasarkan nilai tukar 1996). Jika menyumbang ke banyak politikus, total sumbangannya tidak boleh lebih dari US$ 25.000 (Rp 57,5 juta) dalam satu masa pemilihan. Sedangkan sumbangan perusahaan ke seorang kandidat dibatasi US$

5.000 (Rp 11,5 juta). Di dalam UU No. 32 Tahun 2004 besaran sumbangan juga dibatasi, namun pengaturannya tidak jelas dan karenanya mudah disalahgunakan. Lemahnya regulasi ini ikut menyumbang potensi masuknya dana ilegal kepada calon dan terjadinya politik uang dalam pilkada. Identifikasi Badoh (2010) atas lemahnya regulasi pemilukada, baik soal pengaturan dana kampanye maupun pengaturan politik uang, yang nyata-nyata gagal membentengi praktik politik uang dapat dilihat dari tabel berikut: Ibrahim Zuhdhy Fahmi Badoh (2010:4) mengatakan bahwa dampak dari pengaturan dana kampanye yang buruk akan juga turut dirasakan oleh publik di daerah dalam bentuk kebijakan yang buruk, (pascapilkada akan lahir kebijakan ) yang tidak berpihak kepada rakyat. Hal ini bisa terjadi jika penyumbang yang memberikan dukungan sebagai investasi politik dalam bentuk sumbangan dana kampanye pada waktu pemilu mendapat konsensi dan previlege tertentu oleh pemerintahan yang berkuasa. Sedangkan Schaffer dalam Winardi (2009)

mengingatkan kita bahaya politik uang dalam mobilisasi pemilu, yaitu : (1) Hasil Pemilu Tidak Legitim; (2) Politisi yang terpilih bisa jadi tidak memiliki kualitas untuk menjalankan pemerintahan, bahkan mendaur ulang politisi korup; (3) Melanggengkan pelayanan yang bersifat clientelistic ke konstituen (wrong incentive); (4) Kualitas perwakilan merefleksikan dari mereka yang dibayar, tidak berdaya dan miskin; serta (5) Menghalalkan masuknya sumber-sumber dana kotor. Bertautan dengan Schaffer, dalam Money in Politics Handbook (www.usaid.gov/our_work/.../pnacr223.pdf, diunduh tgl.11 Desember 2011) disebutkan setidaknya ada 4 (empat) resiko yang berkaitan dengan uang dalam politik, yakni :

1. Uneven playing field- the risk that large sums of money in politics give undue advantage over others and constrains competition 2. Unequel acces to office- the risk that certain sectors of a population lacking money are prevented from running for office or getting meaningful representation 3. Co-opted politicians- the risk that those who donate funds will control the politicians they finance 4. Tainted politics- the risk that dirty or illicit money will corrupt the system and undermine the rule of law

Kesemua resiko dari politik uang sebagaimana uraian di atas punya implikasi melemahnya pemerintahan yang terbentuk terhadap kuasa uang, yang pada gilirannya melahirkan perilaku korup elit lokal. Intinya, pembiaran politik uang akan berujung pada tercederainya tujuan dari demokrasi itu sendiri, karena esensi

demokrasi untuk kepentingan rakyat banyak, bukan pada segelintir orang pemilik dana (pemodal) atau yang punya akses kepemodal.

C. PENUTUP Dari uraian di atas sebagai rangkuman dapat dijelaskan bahwa fenomena politik uang dalam pemilu bukan hal baru, fenomena ini sudah ada di pilkades. Politik uang tumbuh subur didukung oleh kecenderunganan masyarakat yang makin permisif. Pembiaran atas politik uang tidak hanya berimpilkasi melahirkan politisi korup namun juga berakibat tercederainya suatu pemilu yang demokratis. Secara sadar sebenarnya ada keinginan untuk menghapus politik uang dalam pilkada, setidaknya ini menjadi salah satu alasan mengapa mengubah model pilkada, semula oleh anggota DPRD menjadi secara langsung oleh pemilih. Namun regulasi yang mengatur pilkada nyata-nyata belum mampu membentengi agar politik uang dalam pilkada menjadi minimal. Karena itu, bersamaan dengan sedang disusunnya undang-undang pilkada diharapkan para pembuat regulasi pilkada mampu menyempurnakannya menjadi lebih mendekati kaidah pemilu yang demokratis, yakni memberi ruang yang sama bagi semua pihak (prinsip persaingan politik yang setara/political equality) untuk berkompetisi secara fair, bukan memberi wadah istimewa bagi kandidat yang paling punya akses dana.

DAFTAR RUJUKAN Ali, Danny Januar, Politik Yang Mencari Bentuk: Kolom di Majalah Gatra,Yogyakarta: LKiS, 2006 Agustino, Leo dan Muhammad Agus Yusoff, Pilkada dan Pemekaran Daerah dalam Demokrasi Lokal di Indonesia: Local Strongmen dan Roving Bandits, Malaysian Journal of History, Politics, & Strategic Studies, Vol. 37 Tahun 2010, Hlm. 86 - 104 Ali. Mahfud, Money politics dalam Pilkada, Jurnal Hukum, Volume XII, No. 2, Oktober 2003, Hlm. 227-234 Badoh, Ibrahim Zuhdhy Fahmi, Kajian Potensi-Potensi Korupsi Pilkada, Jakarta: ICW, Januari 2010 Eko, Sutoro, Pilkada Secara Langsung: Konteks, Proses dan Implikasi, Bahan Diskusi dalam Expert Meeting Mendorong Partisipasi Publik Dalam Proses Penyempurnaan UU No. 22/1999 di DPR RI, yang diselenggarakan oleh Yayasan Harkat Bangsa, Jakarta, 12 Januari 2004, (www.ireyogya.org/sutoro/pilkada_secara_langsung.pdf, diunduh tgl. 1 Desember 2011) Haris,Syamsuddin, Kecenderungan Pencalonan dan Koalisi Pilkada (www.komunitasdemokrasi.or.id/article/pilkada.pdf, diunduh tgl. 27 Maret 2011) Hidayat Syarif (Ed.), Bisnis dan Politik di Tingkat Lokal: Pengusaha, Penguasa dan Penyelenggara Pemerintahan Pacsa Pilkada, Jakarta: P2E-LIPI, 2006 Kana, Nico L., Strategi Pengelolaan Persaingan Politik Elit Desa di Wilayah Kecamatan Suruh: Kasus Pemilihan Kepala Desa, Jurnal Renai Tahun 1, No.2, April-Mei 2001 Kumorotomo, Wahyudi, Intervensi Parpol, Politik Uang Dan Korupsi: Tantangan Kebijakan Publik Setelah Pilkada Langsung, Makalah, disajikan dalam Konferensi Administrasi Negara,

Surabaya, 15 Mei 2009 Lesmana,Teddy, Politik Uang Dalam Pilkada (elib.pdii.lipi.go.id/katalog/index.php/searchkatalog/.../9009.pdf , diunduh tgl. 2 Desember 2011) Lingkaran Survey Indonesia dalam artikelnya di Kajian Bulanan Edisi 09-Januari 2008 dan Edisi 10 -Februari 2008 ( dapat diunduh di www.lsi.or.id) Lingkaran Survey Indonesia, Skala dan Pengaruh Politik Uang dalam Pemilukada, 27 Oktober 2011 (suarapublik.co.id/index/index.php?...politik-uang.., diunduh tgl. 24 Desember 2011) Mariana, Dede, Dinamika Demokrasi dan Perpolitikan Lokal di Indonesia, Bandung: AIPI Bandung-Puslit KP2W Lembaga Penelitian Unpad, 2007 Prasojo Eko, Menghapus Pilkada Langsung (ditpolkom.bappenas.go.id/.../007. pdf, tgl.11 Desember 2011) Rifai, Amzulian, Pola Politik uangan Dalam pemilihan Kepala Daerah, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2003 Taufiqurrahman, Rasionale Pilihan Pemilih Pada Pemilu Kepala Daerah Kabupaten Sijunjung Tahun 2010 (pasca.unand.ac.id/id/wp-content/uploads/2011/09/Artikel-tesis.pdf, diunduh tgl. 1 Desember 2011) diunduh

Motifasi penulisan artikel ini berawal dari adanya fenomena perpolitikan yang janggal yang terjadi di negara kita, juga di Sumatera Utara. Fenomena perpolitikan yang tidak sehat yang saya paparkan dalam tulisan ini meski tidak memaparkan data faktual, tapi kita semua dapat merasakan apa yang saya sebut kejanggalan proses demokrasi; yaitu fenomena elite politik yang kemaruk jabatan, fenomena politik uang serta bosisme politik. Berbicara persoalan pemilihan kepala daerah (Pilkada), selain faktor figur calon, kita tidak bisa menegasikan faktor-faktor yang terlibat di dalam suksesi Pilkada; seperti faktor partai politik, elit politik, uang dan bosisme politik atau biasa disebut investasi politik. Apa hubungan Pilkada dengan ruling elite, uang dan bosisme politik? Mari sama-sama kita lihat dan telaah hubungan dan konkordansi antar-faktor tersebut di atas. Ruling elite Kata elite telah digunakan pada abad ke-17 untuk menggambarkan kualitas yang sempurna. Penggunaan kata itu kemudian diperluas untuk menunjuk kelompok sosial yang unggul, misalnya unit militer kelas satu atau tingkatan bangsawan yang tinggi. Itu menurut T.B Bottomore dalam kamus Oxford English Dictionary. Jika demikian, istilah elite politik dapat bermakna orang-orang--tidak hanya tokoh partai--yang berada di puncak piramida perpolitikan. Apakah yang saya maksud dengan ruling elite dalam tulisan ini adalah elite partai politik? Tidak hanya elite partai politik, tapi semua kelompok yang berpengaruh. Ruling elite, yang saya kutip dari tulisan Anies Baswedan dalam artikelnya yang dikutip juga oleh M. Alfan Alfian dalam bukunya Menjadi Pemimpin Politik, mengatakan bahwa ruling elite adalah sekelompok elitedi antara kaum elite-elite lainyang berkuasa menentukan arah kehidupan bangsa dan negara. Yang saya maksud dengan ruling elite, dalam hal ini terkait Pilkada, adalah sekelompok orang yang sangat berpengaruh secara politiktidak hanya tokoh partai politikyang ikut menentukan proses pemilihan kepala daerah. Apakah itu tokoh-tokoh partai politik, pengusaha, pemerintah/birokrat/incumbent, tokoh ormas, tokoh agama, tokoh adat, maupun tokoh-tokoh kelompok masyarakat lainnya. Terkait Pilkada di beberapa kabupaten/kota di Sumatera Utara yang sebentar lagi diselenggarakan, seberapa besar pengaruh ruling elite dalam suksesi Pilkada nanti? Tentu sangat besar. Karena ruling elite mempunyai pengaruh politik yang cukup signifikan, menguasai basis massa berupa pengikut, mempunyai dana dan akses modal yang cukup besar, dan menguasai kontur maupun kultur masyarakat sekelilingnya. Dengan kekuasaannya tersebut ruling elite akan sangat mempengaruhi calon pemilih untuk memilih pasangan calon walikota/wakil dan bupati/wakil.

Ruling elite tentunya punya kepentingan politik terhadap Pilkada. Dengan terpilihnya pasangan calon yang didukungnya, kepentingan politik dan ekonominya akan dapat terakomodasi. Itu keniscayaan atau ekses politik yang gampang ditebak bukan? Dukungan ruling elite terhadap pasangan calon tertentu selalu berprinsip take and give seperti prinsip ekonomi. Itu kecenderungan negatifnya. Apakah ruling elite punya pengaruh positif terhadap pemilihan kepala daerah? Tentu, sama besar pengaruh negatif dan positifnya. Ruling elite dapat menggunakan pengaruh politiknya untuk mengajak pengikutnya, kelompoknya, serta kekuasaan politik maupun dananya untuk mewujudkan Pilkada yang lebih baik. Mereka dapat melakukan pencerahan kepada calon pemilih, mempengaruhi pilihannya untuk memilih pasangan calon kepala daerah yang baik track record-nya. Mereka juga dapat menyumbangkan dananya untuk keperluan kampanye pasangan calon kepala daerah tanpa deal mengharap proyek atau kemudahan birokrasi untuk kepentingan politik dan bisnisnya. Uang Benarkah politik itu mahal? Menurut M. Alfan Alfian, mahal atau tidak itu tergantung dari mana kita memandangnya. Namun, jika diukur dari jumlah uang yang harus dikeluarkan, kita harus akui bahwa ongkos praktik politik di Indonsia memang tinggi, lebih-lebih untuk komponen tak resminya. Meskipun tak ada yang mau menyebut besarannya, ongkos pendekatan dan ijab-kabul seorang calon kepala daerah dengan partai politik pasti tinggi. Partai-partai kita masih cenderung memposisikan diri sebagai kendaraan untuk calon bermodal besar. Sebaliknya, yang bermodal cekak, silakan minggir. Biaya itu belum termasuk ongkos sosialisasi politik dan kampanye, apalagi kalau sa ng kandidat rela melakukan money politics atau politik uang. Istilah alat yang lazim ditempuh untuk memenangkan suara dalam perkembangannya mengalami penafsiran yang berbeda-beda dan menimbulkan perdebatan yang tajam. Namun, orang kemudian membedakan antara yang legal dan tidak legal. Yang legal atau yang termasuk dalam kategori financial politics adalah biaya atau ongkos yang tercatat dan dapat diaudit. Sedangkan yang haram alias tidak legal adalah yang tersembunyi dari audit atau melanggar ketentuan, dan ini termasuk dalam kategori money politics. Bosisme Politik Kapital atau modal tampak saling berkaitan. Dalam Pilkada, pemenang sebenarnya adalah pemilik modal? Pertanyaan ini selalu mencuat di kalangan masyarakat. Memang demokrasi kita kerap memunculkan anekdot getir.

Misalnya, dikatakan bahwa pemenang Pilkada kabupaten atau kota A sebenarnya bukanlah pasangan X-Y, melainkan bandarnya. Atau, istilah halusnya pemodal atau investor. Sebagian lagi menyebut pemodal atau investor tersebut dengan istilah kerennyadon, mungkin singkatan dari donator. Pada kenyataannya, bandar sangat lihai bermain di segala lini dengan memodali semua kandidat yang berpeluang menang. Itulah sebabnya mengapa hampir seluruh kandidat pilkada di kabupaten atau kota A tidak mempersoalkan kasus kontroversial yang merugikan rakyat. Dan itulah sebabnya mengapa para kandidat bisa berlomba membagi fasilitas ke simpul-simpul strategis bak sinterklas. Fenomena ini mengingatkan kita pada wacana tentang bosisme politik (political bossism). Bosisme politik menurut Fred J. Cook dalam bukunya American Political Bosses and Machines, diartikan sebagai sebuah sistem politik yang menempatkan sosok tunggal yang dengan kekuatan penuh mengontrol jalannya politik. Si bos membawahi organisasi yang kompleks serta memadukan kepentingan ekonomi dan politik sekaligus. Di Amerika, bosisme menjadi isu politik penting pada sekitar abad ke-19 dan awal abad ke-20. Dan di Sumatera Utara, fenomena bosisme politik sepertinya sudah mulai terasa dan bahkan mencuat. Siapa pelakunya? Kita tidak tahu persis. Seperti lagu satu kuis di acara televisi kita dulu; oo siapa dia?. Tebakan kita boleh jadi cenderung seragam mengarah kepada satu atau mungkin beberapa kelompok yang punya kepentingan di beberapa pilkada di kabupaten/kota di Sumut. Di ranah ekonomi, si bos banyak memiliki usaha, serta lincah mengembangkan modal dan menyiasati sistim, baik secara legal-etis maupun secara nakal. Sang kapitalis selalu eksis di tengah cuaca politik apapun karena punya saham di kekuasaan. Dengan kekuatan modal dan jejaring yang kuat di segala lini serta dengan teknik canggih tertentu, si bos bisa mendiktekan kemauan politiknya kepada kandidat, bahkan mengatur perilaku pemilih. Memodali politik itu kan boleh-boleh saja? Memang tidak salah, tapi mestinya etis, taat aturan, dan sewajarnya saja. Yang dimodali wajib menegakkan prinsip akuntabilitas dan transparansi. Persaingan politik harus wajar dan etis pula. Soal etis dan taat aturan memang normatif. Padahal, kultur kita masih sering salah kaprah: kalau aturan masih bisa dilanggar, mengapa harus ditaati. Nah, lho? Yang harus kita lakukan adalah memperbaiki sistem, meningkatkan kualitas kesadaran masyarakat dan tanggung jawab nyata para aktor serta partai politik. Euforia politik masih terasa sekali, di mana kemaruk kekuasaan lebih mengemuka ketimba ng berpolitik untuk mengabdi. Penutup

Pemilihan kepala daerah di beberapa kabupaten/kota di Sumatera Utara yang sebentar lagi digelar tentu tidak hanya merupakan rutinitas demokrasi. Di sana dipertaruhkan harapan rakyat yang merindukan perubahan dan perbaikan. Di sana dipertaruhkan arah pembangunan daerah selama lima tahun ke depan. Meski sudah banyak rakyat yang apatis dengan pergantian dan pemilihan kepala daerah, namun tidak sedikit yang optimis dan berharap akan lahir pemimpin yang jujur dan adil. Untuk menjawab harapan rakyat, ruling elite harus melepaskan kepentingan politik maupun kepentingan bisnisnya. Mari sama-sama mengedepankan norma-norma politik. Mari sama-sama mengusung perubahan dan perbaikan. Kehausan akan jabatan sama seperti meneguk air laut, semakin diteguk semakin haus pula. Jabatan kepala daerah memang jabatan prestisius, tapi jangan diraih dengan menghalalkan segala cara. Segala sesuatunya memang perlu uang, tapi uang bukan segala-galanya. Para pemilih dalam Pilkada nanti juga jangan sampai menggadaikan suaranya dengan uang atau fasilitas yang dijanjikan. Mari sama-sama mengawasi dan sama-sama membangun kesadaran untuk menjadi pemilih cerdas. Pemilih yang sadar akan pentingnya menggunakan hak suara. Tentunya dengan memilih calon kepala daerah yang jujur adil dan telah terbukti track record dan prestasinya. Para bos atau investor politik silakan saja menyumbangkan dana perjuangan untuk pasangan calon. Tapi jangan mengharap laba-investasi politik. Jangan membajak demokrasi dengan mengikat deal proyek dengan pasangan calon kepala daerah. Jadilah bos politik yang baik. Terakhir, penulis mengajak kita semua untuk mengawasi proses perjalanan pilkada dan dapat selektif dalam menentukan pilihan dengan mengenal lebih dekat profil kandidat. ***** ( Syamsir Pohan : Penulis adalah Ketua Umum Badko HMI Sumut )

Fenomena Pilkada (Beli Karung Tanpa Kucingnya)


(Tulisan ini tidak disertai validitas data yang akurat, tetapi hanya didasarkan atas obrolan, bisikan, dan keluhan serta informasi dari media cetak dan elektronik dan kesimpulan yang bersifat sumir dari beberapa kasus yang terjadi di negeri ini tentang proses demokratisasi kepemimpinan melalui pemilu, pilpres, pilgub, pilkada). KARUNG TANPA KUCINGNYA Sebuah baliho dengan warna mencolok berukuran 12 x 10 m2 terpampang di persimpangan jalan protokol dengan tampilan foto calon kepala daerah ukuran besar tetapi hurup kecil, namun masih bisa terbaca dengan tulisan MARI KITA JAGA PERSATUAN DAN KEUTUHAN NKRI. Memaksakan ciri sebagai negara demokrasi di Indonesia adalah memang harus ada pemilihan umum (general election), sebelum pemilu ditandai dengan pengenalan para calon pimpinan, sosialisasi calon melalui brosur, sticker, spanduk, baliho dengan foto close-up yang dishoot dari berbagai posisi, dipasang di jalan-jalan protokol, ditempel di tembok-tembok rumah orang, di tiang listrik, di pohon-pohon, di bis, angkutan kota juga di angkutan pedesaan, maka semaraklah kota, desa dengan spanduk penuh warnawarni, maka sibuk pulalah para publisher/percetakan meraup rejeqi, juga sosialisasi sang calon melalui media cetak, elektronik, dan yang tak kalah menariknya adalah sang calon turun ke bawah, menemui rakyat konstituennya, ikut suling (subuh keliling), ikut tarling (tarawih keliling), ikut jumling (jumat keliling) jadi ikut eling, ikut berpartisipasi keliling langsung dengan aktifitas rakyat sehari-hari, sambil tak lupa menebar senyum, menebar pesona, menebar dana dan juga menebar janji. Tak segan-segan sang calon turun ke pasar yang becek tanya harga ini itu, tanya harga laja yang dipegang jahe, simpatik sekali. Betapa lembut penampilannya, betapa murah senyumnya, betapa ramah tutur katanya, betapa murah tangannya dengan membagi-bagi duit, bagi-bagi proyek bodong, betapa dan sejuta betapa bodong lainnya. Rakyat terkesiap, jadi kaget, jadi manut, jadi mumpung, jadi pintar melihat dan memanfaatkan situasi. Betapa sejuta betapa jadi lainnya dimanfaatkan, lumayan rejeki limatahunan. Tim sukses menyusun strategi dan taktik, menguras otak, menguras tenaga, menguras karakter dan profil sang calon yang diusungnya sambil tak lupa budaya ABS mulai dikembangkan, Insya Allah sukses pak, Insya Allah jadi pak, Insya Allah mendukung pak, betapa penjilatan dan betapa sejuta Insya Allah lainnya ditebarkan. Sang kandidat manut-manut senyum, bangga, senang, adrenalin percaya dirinya naik, sambil tak lupa berbisik, tolong yang ini, yang itu amankan, awasi dan gosok terus. Sebatas itulah fenomena demokrasi yang dikembangkan oleh kita, demokrasi jalan pintas, demokrasi yang akan melahirkan kebodohan, demokrasi yang terkesan asalasalan, demokrasi yang akan melahirkan kemunafikan dan demokrasi yang akan melanggengkan sikap dan perilaku korup, dan demokrasi yang tak jelas juntrungannya, Sungguh menyedihkan. Tak sedikit jumlah dana yang dikucurkan pemerintah (uang rakyat, juga) dimanfaatkan untuk menyukseskan pesta demokrasi ini, untuk memilih, menyaring, menyeleksi kandidat masa depan yang ternyata, maaf malah bikin runyam dan suram.

KPU, KPUD, ikut sibuk mengajukan proposal jumlah kebutuhan biaya hajatan rakyat ini, tim sukses sang calon pun tak mau ketinggalan mengajukan pula jumlah kebutuhan biaya kampanye, biaya konsolidasi, biaya pengkaderan. Sang calon pun ikut-ikutan sibuk menawarkan kepada para usahawan, jutawan, miliunerwan barjaining proyek apa yang harus digoalkan, diamankan apabila dia terpilih jadi nomor satu di wilayahnya, biar support dana kampanye turun. Dan ini yang menyedihkan; sang calon telah lebih awal menjual diri dan kepercayaan dirinya bahwa dia akan terpilih. Dan apabila tidak terpilih, maka ngamuklah ia bersama-sama dengan pendukungnya, sejuta alasan dicari, direkayasalah, kecurangan terjadilah, banyak pencoblos bayaranlah, betapa sejuta banyak alasan kekalahan diperkarakan. Karena dia harus membayar kembali dana yang dikucurkan sang konglomerat. Dan apabila dia menang?, maka bersiap-siaplah ia untuk menarik dana kembali dengan sejuta aturan, dengan sejuta sogokan dan sejuta kedipan mata dan sejuta pesan singkat, dan mulai pulalah dunia sogok dinyanyikan dan justru inilah awal korupnya sistem pemilihan pemimpin kita. SLOGAN vs PROGRAM Suram? Ya! karena yang dijual para calon pemimpin lewat sticker, spanduk, baliho hanya foto dan kata kata simpatik yang sudah lumrah, sloga-slogan klise misalnya : "SELAMAT MENUNAIKAN IBADAH PUASA", "SELAMAT IDUL FITHRI", "SELAMAT, SEMOGA MENJADI HAJI MABRUR, SELAMAT NATAL DAN TAHUN BARU", "MARI SELAMATKAN GENERASI KITA DARI BAHAYA NARKOBA, "MARI SUKSESKAN GERAKAN WAJAR SEMBILAN TAHUN", "MARI BEBASKAN PENDIDIKAN 9 TAHUN DARI SPP, MARI SELAMATKAN RAKYAT DARI KEMISKINAN" dan betapa mari sejuta mari lainnya dikumandangkan. Ini tidak mendidik, ini tidak sehat, ini tidak demokratis, ini hanya akal-akalan, ini tidak menyentuh substansinya. SELAMATKAN DEMOKRASI KITA Dunia ICT (Information Communication Technology) sekarang ini sebenarnya banyak memberi peluang dan kesempatan yang terbuka luas untuk mensosialisasikan program dan agenda jangka panjang limatahunan, sepuluhtahunan sang calon pemimpin. Kenapa media cetak (koran, majalah) tidak dimanfaatkan untuk mencerdaskan rakyat dalam berdemokrasi. Bila perlu dan harus, booking 2 - 4 halaman penuh koran baik lokal maupun nasional selama dua minggu berturut-turut, ajukan program-program realistis sang calon lengkap dengan analisa-analisa ilmiah tentang potensi daerahnya, tentang SDM (berapa usia produktif, berapa usia sekolah, berapa jumlah penduduk yang miskin) yang ada di wilayahnya, kemukakan solusi-solusi logis, dari nilai-nilai kelemahan dan kekuatan dari potensi-potensi alam dan manusianya. Buka program ini di koran-koran dan beri kesempatan rakyat mengkritisi rencana program-program sang kandidat, tentunya dengan bahasa yang mudah dicerna oleh seluruh lapisan masyarakat. Ajak masyarakat terlibat langsung dalam berfikir, bertindak dan bertanggungjawab atas kondisi wilayahnya, tentunya ajakan ini harus melalui pendekatan tertentu; melalui questioner, melalui surat terbuka di koran, bila perlu buka nomor ponsel sang calon atau tim suksesnya. Jelaskan kepada rakyat bahwa wilayah kita lima sepuluh dan duapuluh tahun mendatang diprediksikan seperti apa (walaupun dia tidak terpilih, tokh dia sudah membuktikan kepeduliannya untuk membangun daerahnya; dan ini salah satu satu karakter pemimpin.) Dia kemukakan angka-angka

hitungan logis; ekonomi kita akan bangkit ataukah akan terpuruk, model sistem pendidikan bagaimana yang hendak dikembangkan, apa saja pondasi-pondasi kekuatan yang harus dipancangkan. Dari pada menjual tampang di sticker, spanduk, baliho, alangkah lebih fair dan bagusnya sang calon menampilkan kecerdasan, kecermatan tentang kondisi wilayah yang akan dipimpinnya, potensi keunggulan, potensi kelemahan dan solusi-solusi alternatif problem wilayahnya dan Insya Allah rakyat akan ikut berpartisipasi secara sehat, cerdas dalam demokrasi ini. PEMIMPIN vs PEMIMPI Jargon-jargon lama, slogan-slogan klise, kosong, bodong terus digelontorkan, untung rakyat tidak muntah juga. Kalimatun haq uriidu bihii baathilun kalimat -kalimat indah disusun, seruan-seruan kebaikan terus dikumandangkan tetapi dibalik semua itu punya niat dan motivasi buruk, bathil. Kaburo maqtan indallaahi an taquulu ma laa taf`aluun; Sungguh sangat besar kebencian Allah kepada orang yang mengajak kebaikan tetapi dia sendiri tidak berbuat. Kriteria seorang calon pemimpin yang memiliki leadership mumpuni akan bisa dilihat pada 4 karakter yang merupakan rumusan pasti dari pribadi Rasulullah Muhammad Saw, yakni: Karakter Amanat; menjaga betul apa yang menjadi tanggungjawabnya tidak menghianati apa yang diamanatkan dalam jabatannya baik sebagai pemimpin negara, menteri-menteri negara, pemimpin propinsi, kabupaten, walikota juga pemimpin perusahaan-perusahaan BUMN, BUMD dan BUMS. Nurani sucinya tidak akan sanggup untuk menghianati apa yang telah menjadi tanggung jawabnya. Peraturan-peraturan yang akan dibuat pun tidak akan merugikan rakyatnya, pemimpin yang amanat akan berhati-hati ketika tandatangannya digoreskan pada sebuah peraturan, dengan bismillah dan selalu memohon perlindungan Allah SWT dia akan berfikir sejuta kali; apakah dengan tandatangan saya ini rakyatku jadi kelaparan; apakah akan memiskinkan dan menyengsarakan rakyat. Betapa dan betapa sejuta apakah dia perhitungkan secara cermat dan ekstra hati-hati. Karakter Fathonah; cerdas, smart, cermat, cerdik, dan pintar; cakap dalam membaca potensi dari keunggulan dan kelemahan rakyatnya, pemetaan wilayah kekuasaannya dibuat berdasarkan potensi daya dukung alamnya serta mampu membuat solusi-solusi alternatif, dan yang lebih penting adalah mampu mencerdaskan rakyatnya, karena kecerdasan rakyat merupakan modal utama dan pertama dalam membangun daerahnya. Sementara di lapangan banyak para pemimpin menganut dan menerapkan teori Lord Shang a stronge state is a weakening people, a weakening people is a stronge state; kalau negara mau kuat lemahkan rakyatnya, kalau rakyat lemah maka negara akan kuat. Seorang Salman Al Farishi dari Persia yang baru dua minggu masuk Islam, karena kecerdasannya diberi kehormatan, kesempatan dan kepercayaan oleh Rasulullah untuk menterapkan sistem pertahanan khandaq (parit) dari serbuan tentara kafir quraisy dan ternyata tepat dan akurat. Karakter Shiddiq; jujur, credible dapat dipercaya, bukan pendusta (kidzib) apalagi berbohong untuk urusan-urusan publik (rakyat). Para kandidat pendusta karakternya lebih mendekati pada watak plin-plan, tidak tegas, angin-anginan, pagi ngomong A

sorenya ngomong B, mudah dipengaruhi dan dimanfaatkan segelintir orang. Dan ini yang lebih mencirikan seorang pendusta politik; senang mengedepankan tampilan fisik untuk menyembunyikan ketidakjujurannya. Karakter tabligh; menjelaskan tidak menyembunyikan kebenaran, baik untuk dirinya sendiri apalagi untuk rakyatnya. Dia open di media elektronik dan cetak, dia jelaskan kepada rakyat tentang pentingnya kebijakan ini diambil, diputuskan. Dia buka latarbelakang sebuah keputusan dan tujuannya bagi rakyat kebanyakan. Secara gamblang dia jelaskan kepada rakyat manfaat dari kebijakan yang harus didukung ini. Dalam kehidupan pribadinya juga dia berani membuka kebenaran walaupun bisa menyakitkan diri dan keluarganya, dia jelaskan jumlah kekayaan pribadinya, dia jelaskan pula asal sumber keuangannya. Keempat karakter di atas akan lebih bernilai apabila didukung dengan sikap keteladanan/akhlaq sang kandidat. Inilah calon pemimpin yang bukan pemimpi. Kalau sang kandidat ternyata bodong, bloon, bodoh, suka berkhianat, suka ngibul, suka menyembunyikan kebenaran suka bagi-bagi duit dan rakyat masih saja mau menerima dana sepuluh ribuan, duapuluh ribuan, limapuluh ribuan (walaupun bukan duit pribadinya) dan seterusnya untuk memilih anda, maka hakikatnya kita telah menjerumuskan diri sendiri, merusak nilai-nilai demokrasi dan sekaligus menghancurkan negeri ini. Karena kita melihat sang kandidat lebih mengedepankan tampilan fisik, sogokan materi ketimbang otak dan kemampuannya, dan karena tidak semua rakyat suka jadi pemilih bayaran, tidak senang memenjarakan nurani luhurnya dijeruji nilai nominal (fulus) dan terus terang saja rakyat kita sekarang malas beli karung tanpa ada kucingnya

Anda mungkin juga menyukai