Anda di halaman 1dari 7

PRO PEMBATASAN 2 KALI MASA JABATAN ANGGOTA

DPR

PEMBICARA 1 :
Kutipan pembuka : "Bahkan yang lemah menjadi kuat
ketika mereka bersatu." - Friedrich von Schiller
ASSALAMUALAIKUM WR WB
SELAMAT PAGI DAN SALAM SEJAHTERA
KAMI DARI TIM PRO DENGAN SAYA LHIEONTIN
SEBAGAI PEMBICARA 1, DISAMPING SAYA NUR AINI
PEMBICARA KEDUA DAN ANGGA SEBAGAI
PEMBICARA KETIGA.
DEWAN JURI YANG TERHORMAT DAN JUGA LAWAN
BERPIKIR KAMI
DISINI KAMI DARI TIM PRO MENYATAKAN BAHWA
KAMI SETUJU DENGAN PEMILUKADA SECARA TIDAK
LANGSUNG. BERTINDAK SEBAGAI TIM PRO
SEBELUM KAMI MENYAMPAIKAN ARGUMENTASI,
TERLEBIH DAHULU SAYA SEBAGAI PEMBICARA 1
AKAN MEMBERIKAN DEFINISI TERKAIT PEMILIHAN
KEPALA DAERAH.

ADAPUN YANG DIMAKSUD DENGAN PEMILIHAN


KEPALA DAERAH MENURUT JOKO J PRIHANTORO
ADALAH PENYELEKSIAN YANG DILAKUKAN RAKYAT
KEPADA ORANG-ORANG YANG MENCALONKAN DIRI
SEBAGAI GUBERNUR/WAKIL GUBERNUR –
BUPATI/WAKIL BUPATI – WALIKOTA/WAKIL
WALIKOTA.
DISINI KAMI SEBAGAI TIM PRO AKAN MEMPARKAN
BEBERAPA ARGUMENTASI PENDUKUNG YANG DAPAT
MEMPERLIHATKAN BAHWA PEMILUKADA BISA
DILAKUKAN SECARA TIDAK LANGSUNG, ADAPUN
BANGUNAN ARGUMENTASI KAMI ANTARA LAIN :
1. Pemilihan kepala daerah (pilkada) tidak langsung
diartikan sebagai pemilihan pemimpin daerah dengan
cara keterwakilan. Rakyat dianggap memberikan hak
pilihnya untuk memilih pemimpin daerah kepada DPRD
yang telah dipilih rakyat.

2. Dasar dari penyelenggaran Pemilihan Kepala Daerah


secara tidak langsung disebutkan dalam UUD 1945, Pasal
18 ayat (4) mengatakan "Gubernur, Bupati, dan Walikota
masing-masing sebagai Kepala Pemerintah Daerah
Provinsi, Kabupaten, dan Kota dipilih secara demokratis.
Demokrasi mengacu kepada demokrasi Pancasila.
Demokrasi pancasila merupakan demokrasi yang
mengutamakan musyawarah mufakat tanpa oposisi.

3. Secara historis, Setelah Indonesia merdeka, undang-undang


berkaitan dengan kedudukan kepala daerah adalah undang-
undang nomor 1 tahun 1945, dimana kepala daerah yang
diangkat adalah kepala daerah pada masa sebelumnya. Setelah
itu, terbitlah Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959. Dalam
undang-undang ini, kepala daerah diangkat dan diberhentikan
oleh presiden atau menteri dalam negeri melalui calon-calon yang
diajukan oleh DPRD.

4. Ditinjau dari segi efisiensi, Dalam Pilkada secara


langsung oleh rakyat membutuhkan biaya yang sangat
banyak untuk pembiayaan logistik pilkada, maupun biaya
penyelenggara pilkada. soal biaya pemilihan Gubernur
secara langsung yang dinilai terlalu mahal sementara
kewenangan Gubernur terbatas. Menurut KPU, antara
tahun 2010 hingga 2014, Pilkada bisa menelan biaya
hingga Rp 15 triliun. Angka yang sangat fantastis
sekaligus kontradiktif ditengah kondisi ekonomi Negara
yang masih seret.

5. Ditinjau dari segi efektifitas, Pilkada secara tidak


langsung sangat efektif karena hanya DPRD yang
melakukan Pilkada dan rakyat tidak disibukkan dengan
pemilihan-pemilihan baik sehingga rakyat bosan
mendatangi Tempat Pemungutan Suara. Dengan berkali-
kali rakyat mendatangi Tempat Pemungutan Suara maka
tidak akan efektif pelaksanaan Pilkada sehingga banyak
rakyat akhirnya memutuskan untuk tidak memilih
wakilnya seperti yang pernah terjadi di Provinsi Banten
sebanyak 60,83 % dan Provinsi DKI Jakarta: 65, 41 %
pada tahun 2005 yang berpartisipasi dalam memilih
kepala daerahnya. Hal tersebut menunjukan banyaknya
rakyat yang tidak memberikan hak suaranya.
Pembicara 2 :
Terima kasih moderator.
Dewan juri yang terhormat serta lawan berfikir kami
yang kami banggakan. Disini kami tegaskan sekali
lagi bahwa kami setuju PEMILUKADA Dilakukan
Secara Tidak Langsung, dikarenakan bisa digunakan
untuk menampung kepentingan atau tuntutan dari
sekelompok orang yang tidak mendapatkan
perhatian dikarenakan berasal dari ras, etnis, suku
atau agama minoritas. Berikut izinkan lah saya
sebagai pembicara kedua untuk menyampaikan
argumentasi kami :
1. Aryojati Ardipandanto dalam jurnal Pusat Penelitian,
Badan Keahlian DPR RI yang telah diterbitkan
menyatakan bahwa setelah pelaksanaan Pilpres 2019 pun,
beberapa kalangan menilai politik SARA sangat berperan
dalam kampanye Pilpres.

Bahkan, dikatakan bahwa data dan fakta yang ditampilkan


di TV dinilai tidak banyak meningkatkan suara calon
presiden. Politik SARA ternyata lebih efektif dalam Pilpres
2019. Strategi tersebut tampak lebih efektif secara sisi
pemilihan jika dibandingkan dengan data dan fakta.

2. Berdasarkan jurnal penelitian yang dilakukan oleh Bismar


Arianto dari Univ Raja Ali Haji, menyatakan bahwa alasan
rakyat golput saat pemilu salah satunya ialah rakyat
merasa tak punya pilihan yang dapat menampung
kepentingan mereka, apalagi yang berasal dari kaum
minoritas. Sehingga salah satu jalan untuk mengurangi
angka golput adalah adanya politik SARA yang digunakan
oleh salah satu pasangan untuk meng-akomodir tuntutan
dan kebutuhan dari kaum minoritas ini.
3. Salah satu contoh studi kasus dari penggunaan politik
SARA di momen pemilu adalah negara AMERIKA . Politik
SARA mendapatkan perhatian yang besar pertama kalinya
di Amerika Serikat berkaitan dengan diskriminasi yang
sangat kental antara warga kulit putih dengan warga kulit
hitam. Perlakuan kasar, pemerasan hingga intimidasi yang
dialami oleh warga kulit hitam di Amerika menimbulkan
pentingnya politik SARA digunakan oleh calon presiden
untuk memperjuangkan hak-hak warga kulit hitam dalam
dominasi negara dan pemerintah.

4. Disini kami juga menekankan dimana kalau ada pemikiran


bahwa “Politik SARA selalu memecah belah atau
merugikan bangsa” itu sejatinya adalah orang-orang yang
selalu emrasa superior berasal dari kaum mayoritas
sehingga selalu pesimis dengan persatuan Indonesia
tanpa melihat bahwa POLITIK SARA juga bisa digunakan
untuk kepentingan rakyat.

5. Oleh karena itu dengan ini kami sekali lagi menyatakan


bahwa kami setuju dengan adanya POLITIK SARA dalam
pemilu karena tidak selamanya POLITIK SARA berarti
negatif dan orang-orang yang memiliki pikiran bahwa
Politik SARA merugikan bangsa sebenernya mereka adalah
orang-orang yang pesimis akan persatuan Indonesia di
bawah Bhineka Tunggal Ika.
Pembicara 3:
Terima kasih moderator.
Dewan Juri yang terhomat dan lawan berfikir
kami. Izinkanlah saya sebagai pembicara
menyampaikan argumen penutup kami. Adapun
bertindak sebagai tim pro, kami meyakini bahwa
politik SARA Dalam Pemilu adalah hal yang bisa
diterima. Kami setuju akan hal itu, adapun beberapa
alasan yang bisa saya ulas, yakni :

1. Politik SARA berarti cara seseorang/kelompok untuk


mendapatkan perhatian dan suara dari masyarakat
dengan mengangkut kepentingan-kepentingan dari suku,
ras, agama dan etnis tertentu.

2. Secara historis, politik SARA sudah ada sejak dahulu di


saat Indonesia mulai beragam dari suku, agama, budaya,
bahasa dan etnisnya. Bahkan secara tidak langsung kita
bisa liat beberapa golongan mengatasnamakan daerah-
daerahnya berusaha menarik simpati agar kepentingan
daerahnya bisa didengar dan dipenuhi dalam sidang
Sumpah Pemuda. Beberapa golongan itu antara lain JONG
JAVA, JONG CELEBES, JONG SUMATERA.

3. Sisi positif lainnya, politik SARA dalam pemilu bisa


dijadikan sebagai alat perjuangan bagi kaum-kaum
minoritas untuk memperjuangan hak-hak dan
kesetaraannya di hadapan hukum. Hingga saat ini bisa
dilihat bahwa tingkat golput masyarakat masih ada. Satu
dari beberapa kalangan yakni yang berasal dari kaum
minoritas yang enggan memilih karena merasa
kepentingan mereka tidak diwakili. Jadi politik SARA dapat
menggunakan monetum ini sebagai alat perjuangan bagi
kaum-kaum minoritas untuk memperjuangan hak-haknya
dan kesetaraannya di hadapan hukum.
4. Selain itu dengan adanya calon-calon yang menggunakan
POLITIK SARA maka akan bisa membuat terangkatnya
kaum-kaum minoritas atau yang terpinggirkan.

5. Dalam jurnal penelitian yang dilakukan oleh Bismar


Arianto dari Univ Raja Ali Haji, menyatakan bahwa alasan
rakyat golput saat pemilu salah satunya ialah rakyat
merasa tak punya pilihan yang dapat menampung
kepentingan mereka, apalagi yang berasal dari kaum
minoritas. Sehingga salah satu jalan untuk mengurangi
angka golput adalah adanya politik SARA yang digunakan
oleh salah satu pasangan untuk meng-akomodir tuntutan
dan kebutuhan dari kaum minoritas ini.

6. Narasi bahwa “Politik SARA DALAM PEMILU HARUS


DITIADAKAN KARENA MENYEBABKAN PERPECAHAN”
adalah narasi yang sangat tidak menghargai bahwa
Indonesia ini beragam baik suku, etnis, agama, budaya
serta itu adalah narasi yang digaungkan oleh orang-orang
yang tidak suka Indonesia bersatu di atas perbedaan-
perbedaan tersebut.

7. Dengan ini sekali lagi kami menyatakan bahwa POLITIK


SARA DALAM PEMILU adalah hal yang tidak selamanya
memiliki makna buruk, karena segala harus dimaknai dari
dua sisi yang berbeda agar kita bisa memahami dengan
bijaksana. Sekian terima kasih.

Anda mungkin juga menyukai