Anda di halaman 1dari 3

Pilkada Tanpa Politisasi SARA

Oleh: Edy Ariansyah

Sentimen suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) dalam kontestasi Pilkada menyumbang
kerusakan demokrasi. Medio 2018 ini, sebanyak 171 daerah yang menyelenggarakan Pemilihan
Kepala Daerah (Pilkada). Dari sejumlah daerah yang menyelengarakan Pilkada, sebanyak 17
Provinsi menyelenggarakan pemilihan gubernur dan wakil gubernur. Lima daerah di antaranya
merupakan pemilih terbanyak secara nasional, yaitu Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah,
Sulawesi Selatan, dan Sumatera Utara. Gabungan jumlah pemilih di lima daerah tersebut setara
dengan 60% pemilih secara nasional. Jika politisasi SARA menjalar di setiap locus daerah yang
menyelenggarakan Pilkada tersebut maka sangat siginifikan menyumbang luka demokrasi di
Indonesia. Tentu merupakan ancaman yang laten bagi keutuhan dan keragaman hidup
berbangsa di Indonesia dan apabila itu terjadi akan sangat sulit disembuhkan. Lihat saja
bagaimana kerusakan di Suriah, Irak dan negara timur tengah lainnya yang diakibatkan oleh
politisasi SARA.

Pencegahannya tidak lain dengan melakukan penguatan demokrasi. Nilai dan dimensi
demokrasi suatu keharusan diaktualkan untuk menjaga keragaman entitas politik. Dua dimensi
penting demokrasi yang diperkenalkan Robert Dahl (1982), dimensi kontestasi dan partisipasi.
Dimensi demokrasi tersebut dalam mewujudkan pilkada tanpa SARA dapat ditinjau pada subyek
primer Pemilu. Subyek Pemilu diantaranya, yang utama: peserta, pemilih, dan penyelenggara.

Pertama, sentimen SARA dalam Pilkada dapat dicegah pada subyek kelompok kepentingan dan
peserta. Beberapa kategori kelompok kepentingan diperkenalkan oleh Gabriel Almond dalam
The Politics of the Developing Areas, yaitu institutional interest groups (kelompok kepentingan
kelembagaan), seperti lembaga legislatif, eksekutif, yudikatif, partai politik, militer, dan
kepolisian; nonassociational interest groups (kelompok kepentingan nonasosiasional), seperti
kelompok keluarga, kelas sosial, berbasis wilayah, dan etnis; anomic interest group (kelompok
kepentingan anomik) biasanya dibentuk secara spontan tanpa memiliki pengaturan norma dan
berpartisipatif nonkonvensional seperti demontransi; dan associational interest groups
(kelompok kepentingan asosiasional), seperti asosiasi etnis, organisasi keagamaan, persatuan
profesi, dan sebagainya. Dari kelompok-kelompok kepentingan tersebut memiliki aktor sebagai
peserta dalam pilkada. Tentu dengan keragaman etnis, suku, dan golongan warga negara
Indonesia dapat dipastikan entitas kelompok kepentingan berpotensi menjadi alat pemenangan
dalam kontestasi pilkada. Oleh karenanya, setiap kelompok kepentingan dan peserta pilkada
pada aktivitas politik penting memiliki standar kontestasi yang demokratis. Melakukan
kompetisi yang adil dan setara dalam mendapatkan akseptabilitas pemilih. Setiap peserta
Pilkada penting berkomitmen merawat keragaman, menularkan nilai-nilai demokrasi kepada
struktur, perangkat pemenangan hingga basis politik akar rumputnya.
Kedua, memberikan ruang dan jaminan atas hak politik bagi setiap pemilih untuk memilih dan
berpartisipasi dalam mempengaruhi proses Pilkada. Partisipasi dapat digolongkan dalam dua
bentuk, yaitu partisipasi damai dan partisipasi kekerasan. Partisipasi pemilih yang diharpakan
dengan cara partisipasi damai. Banyak ragam dan wujud partisipasi yang dapat dilakukan
pemilih secara damai untuk mempengaruhi proses penyelenggaraan pilkada. Berpartisipasi
damai secara terorganisir maupun individu tanpa menciderai keragaman hidup berbangsa.
Berpartisipasi aktif memberikan hak pilih karena hak memilih merupakan hak politik yang
dijamin konstitusi di samping hak berkumpul - berserikat, dan berbicara - berpendapat.
Menjunjung tinggi nilai demokrasi dalam menyampaikan pendapat; ikut mengawasi,
memantau, dan mengontrol penyelenggaraan pilkada.

Ketiga, selain subyek peserta dan pemilih juga terdapat subyek penyelenggara pemilihan. Dua
subyek institusi penyelenggara pemilihan. Institusi yang pertama menjalankan fungsi dan
kewenangan pada aspek pelaksanaan, yaitu Komisi Pemilihan Umum. Institusi kedua
melaksanakan fungsi pengawasan, menindak dugaan pelanggaran, dan menyelesaikan sengketa
pemilihan yaitu Badan Pengawas Pemilu. Kedua institusi tersebut bukan sebatas
menyelenggarakan mekanisme prosedural melainkan juga mengaktualkan substantif demokrasi
secara profesional dan berintegritas. Pelaksanaan fungsi dan kewenangan kedua institusi itu
ditinjau pada electoral decision sebagai bagian dari indikator kualitas demokrasi. Kedua institusi
tersebut harus mampu menyediakan ruang kompetisi dan kontestasi yang bebas dan setara,
informasi yang mudah diakses publik, dan menjamin kesetaraan politik warga negara. Oleh
karena itu, melalui fungsi dan kewenangannya kedua institusi penyelenggara pemilihan harus
mampu menghadirkan pilkada damai tanpa SARA.

Akhir-akhir ini, langkah dan upaya untuk membendung politisasi SARA tersebut mulai nampak
dan terorganisir. Inisiasi gerakan menolak politisasi SARA dilakukan Badan Pengawas Pemilu
bersama Komisi Pemilihan Umum, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu, Komisi Penyiaran
Indonesia, Kementerian Komunikasi dan Informatika, Dewan Pers, Partai Politik, Polri, Media
Massa, Pegiat Pemilu, dan lembaga kemasyarakatan serta lembaga negara lainnya sebagai
upaya mewujudkan pilkada damai. Upaya penolakan politisasi SARA tersebut juga serentak
dilakukan oleh jajaran pengawas pemilu tingkat provinsi bersama para kontestan pilkada.
Penyelenggara pemilu perlu merumuskan peta jalan lebih lanjut hingga dapat mencabut
potensi politisasi SARA hingga ke akarnya.

Upaya pencegahan politisasi SARA juga tidak hanya menjadi jargon atau milik penyelenggara
pemilu, juga patut digelorakan oleh semua elemen bangsa. Semua elemen dapat melakukan
upaya pencegahan politisasi SARA dalam bentuk dan jenis sesuai norma yang berlaku. Bisa
dilakukan melalui seni budaya, aktivitas keagamaan, pendidikan, dan sebagainya. Urgensinya
untuk menumbuhkembangkan kesadaran demokrasi secara masif, tidak sekedar kesadaran naif
dan seremonial.

Masing-masing berperan menunjang, saling bertautan mewujudkan pilkada dan pemilu damai
dan demokratis karena proses politik pilkada mempengaruhi substansi hasilnya. Bukan hanya
sebatas menyoal menang dan kalah melainkan pemimpin politik yang terpilih kelak dapat
menjalankan fungsi pemerintahan sesuai konstitusi dan berlandaskan nilai-nilai Pancasila untuk
mewujudkan kesejahteraan umum. Kesejahteraan umum tidak hanya diukur pada aspek
material saja, juga pada aspek non material, seperti keadilan, rasa aman, kebebasan, dan
sebagainya. Bagaimana mungkin pemimpin politik yang terpilih dengan cara politisasi SARA
kelak menjalankan fungsi pemerintahan dapat mewujudkan rasa aman, kebebasan, dan
keadilan?

Anda mungkin juga menyukai