Anda di halaman 1dari 16

Permasalahan Politik

Identitas Di Negara
Demokrasi
Kelompok 3
Kurnia Aznar Putra Titania Ayu Marsya
2110832016 231083011

Muhammad Hafiz Aulia


21108330009
01

PERMASALAHAN POLITIK IDENTITAS DI INDONESIA


Sebuah Negara yang menerapkan sistem demokrasi dalam pemerintahannya tentu tidak terlepas dengan
adanya politik identitas. Sebagai negara yang multikultural, Dimana keberagaman mengenai agama, suku,
etnis, dan politik belakangan menjadi salah satu faktor penyebab konflik yang disebabkan oleh politik
identitas. Politik identitas ini secara singkat dijabarkan sebagai fenomena politik yang mengarah pada
perbedaan identitas. Perbedaan yang awalnya menjadi keberagaman berubah menjadi sebuah ancaman.
Adanya nya kecenderungan untuk membatasi daripada membebaskan sejatinya yang menjadi ancaman.
Hal tersebut dikarenakan adanya ambiguitas klaim terhadap representasi serta legitimasi yang dilakukan
oleh elit politik. Fenomena tersebut sering terjadi di Idonesia di mana politik identitas dibalut dengan
kepentingan agama. Agama digunakan sebagai alat untuk menyuarakan aspirasinya. Penggunaan agama
sebagai alat politik ini memang tidak bisa dihindarkan karena sikap religiusitas negara Indonesia.
Perjalanan demokrasi di Negara multikultural bukanlah hal yang mudah. Hal tersebut
dikarenakan banyaknya perbedaan-perbedaan yang terlampau banyak yang terjadi di masyarakat.
Beberapa permasalahan yang muncul diantaranya adalah terkait pesta demokrasi.
Berlangsungnya pesta demokrasi juga diikuti maraknya politik identitas. Politik identitas yang
dimaksud adalah politik yang mengedepankan suku, agama, budaya serta identitas kedaerahan
untuk meraih suara terbanyak dan menarik simpati masyarakat. Bahkan mereka lupa terhadap hal
yang paling penting dari pesta demokrasi yakni terkait adu gagasan tentang program kerja yang
bertujuan untuk kesejahteraan masyarakat. Akibatnya, ketika mereka sudah mendapatkan suara
yang diinginkanya mereka tidak peduli lagi bagaimana mengembalikan agar masyarakat rukun.
Faktor Munculnya Politik Identitas Di Indonesia,
Menurut Mubarok :
1 2 3
● Politik identitas sama halnya ● Politik identitas cenderung
dengan memperbesar potensi memecah belah
● Politik identitas menutupi
mengecilkan peran atau masyarakat daripada
program kerja yang berkualitas.
menghilangkan peran identitas lain menyatukan masyarakat.
Bagaimana tidak, demokrasi
yang hidup di masyarakat. Biasanya Hal itu dikarenakan para
yang seharusnya menjadi area
untuk kepentingan politiknya, pendukung merasa
untuk adu gagasan dan
politikus tidak jarang menggunakan identitas mereka adalah
memperebutkan simpati
satu identitas tertentu yang dirasa kelompok istimewa
masyarakat melalui program-
memiliki keistimewaan untuk sehingga mampu
program kerja yang berkualitas.
mengajak warga lain agar menyelesaikan masalah
memilihnya dalam pemilihan umum yang aa di daerahnya
02

STUDI KASUS POLITIK IDENTITAS DI NEGARA DEMOKRASI


INDONESIA
Pilkada 2017
●Dalam kampanyenya di Pilkada DKI 2017, Anies berulang kali melakukan praktik politik
identitas di media sosialnya. Akun media sosial Anies melakukan praktik politik identitas secara
serentak dan menggiring opini public mengenai kesamaan identitas, contohnya isu “seagama”. Hal
ini dibuktikan dengan meningkatnya suara Anies-Sandi pada putaran kedua Pilkada DKI 2017
setelah diterapkan identitas “seagama”. Alasan “seagama” membuat publik memilih Anies-Sandi di
putaran kedua mencapai 27,1% (Median dalam Triantoro, 2019). Publik yang memilih Anies-Sandi
mungkin memiliki kesamaan agama dengan Anies sehingga memiliki perasaan kesamaan.
Pilpres 2019-2024 Di Sumatera Barat
● Pada Pemilihan Umum 2019, politik identitas anti-establishment dinilai kembali menguat ketika beredarnya
narasi-narasi yang membawa konsep populisme. Uniknya, identitas anti- establishment ini dikait-kaitkan
oleh identitas agama yang selalu dipakai politisi populis untuk menarasikan bahwa pemerintah
memarginalkan kelompok muslim. Misalnya Gerakan “2019 Ganti Presiden”, “partai setan vs partai Allah”,
people power, tidak percaya kepada lembaga-lembaga mapan (KPU dan MK) maupun lembaga independen
(quick count, dll). Terutama bagi Masyarakat Sumatera Barat Jokowi dianggap “tidak ramah” dengan umat
Islam, yang mana hal itu berdampak juga ke PDI-P sebagai partai pengusung utama Paslon Nomor 1.
Sebaliknya, masyarakat Sumbar memberikan apresiasi kepada capres nomor urut 02, Prabowo Subianto
beserta partai pengusungnya, Gerindra, Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Keadilan Sejahtera (PKS),
dan Partai Demokrat yang dianggap memperjuangkan aspirasi umat Islam.
Masyarakat Sumbar memiliki preferensi agama yang berbeda dengan preferensi agama yang mendukung
Jokowi. Tetapi pada 2024 dapat dilihat bahwa pola fanatisme Masyarakat Sumatera Barat bukanlah
berdasarakan Individu melainkan Ideologis. Terbukti bahwa Prabowo yang mendapatkan 86,95% suara pada
2019 di Sumatera barat hanya mampu memperoleh 39% pada 2024 padahal mayoritas Partai Pendukung
Prabowo pada 2019 dan 2014 masih berada di dalam barisan Koalisi. Seperti PAN dan Demokrat, dapat
dilihat Masyarakat sumbar tidak pendukung yang berdasarkan rasionalitas dalam memilih tetapi
mengedepankan aspek sosiologis. Yaitu siapa yang menurut mereka paling dekat dengan Kalangan agamis
03

STUDI KASUS POLITIK IDENTITAS DI NEGARA DEMOKRASI PRANCIS


Imigran di Prancis
●Menurut data statistik hingga tahun 2020, dari sekitar 67 juta orang yang hidup
di Prancis, 6,8 juta orang atau lebih dari 10% merupakan imigran dimana 2,5 juta
diantaranya telah mendapatkan kewarganegaraan Prancis. Angka itu merupakan
angka yang besar jika dilihat berdasarkan sejarahnya, pada tahun 1975 persentase
imigran di Prancis hanya 7,5 bahkan pada 1946 hanya berada pada 4,6%. Trend
semakin meningkatnya jumlah imigran yang hidup di Prancis tersebut memunculkan
kekhawatiran bagi orang Prancis “asli” dengan alasan yang beragam. Argumentasi
budaya, keamanan dan ekonomi menjadi alasan-alasan yang diajukan untuk
menunjukkan resiko yang dihadapi negara Prancis dengan keberadaan para imigran.
Islamophobia di Prancis
● Berdasarkan perkiraan data populasi, jumlah umat Islam di Prancis 2022 adalah sekitar 5.7 juta
penduduk, sekitar 8,80 % dari total populasi keseluruhan Prancis. ketakutan akan pendatang (terutama
kaum imigran) atau yang dikenal dengan xenophobia ada di Prancis didasari oleh : orientalisme barat
dan tragedi 9/11 WTC di Amerika Serikat. Pertama, pemahaman orientalisme barat yang muncul
pada abad ke-18 dan ke-19 yang mengarah pada perspektif subordinasi non-barat. Lalu, adanya tragedi
11 September 2001 di WTC yang memicu ketakutan berlebih pada terorisme yang dikaitkan dengan
stereotip muslim. Superioritas Eropa menyebabkan mental masyarakat yang sulit menerima adanya
perbedaan, sehingga masyarakat cenderung rasis dan menolak adanya integrasi dengan 'yang bukan
barat'. Hal ini jugalah yang menjelaskan terjadinya xenofobia pada sebagian besar masyarakat Eropa.
Ketakutan akan orang luar disinyalir akibat eksklusivitas 'barat', sehingga timbullah antipati tinggi pada
non-barat.
Apalagi untuk kaum Perempuan Muslim Maghribi, Diskriminasi dipaparkan fokus pada tiga aspek
identitas karena posisi kaum itulah yang berada paling minor dari tingkatan sosial masyarakat
Prancis. Dari sudut pandang Prancis, imigran maghribi merupakan inferior. Begitu pula dalam gender,
posisi perempuan adalah inferior dibandingkan dengan laki-laki. Tidak hanya itu, muslim juga
merupakan inferior terlebih dengan islamofobia yang meningkat di Prancis. Hal ini menyebabkan
diskriminasi berlapis-lapis terjadi imigran perempuan muslim maghribi. Diskriminasi dipersempit pada
bagian pencarian pekerjaan, mengingat bahwa faktor pekerjaan adalah pendukung pendting dalam
kesejahteraan hidup individu. Hasil penelitan sebelumnya menyatakan bahwa diskriminasi nyata
terjadi pada imigran perempuan muslim maghribi.
KESIMPULAN
Sebuah Negara yang menerapkan sistem demokrasi dalam pemerintahannya tentu tidak terlepas dengan
adanya politik identitas. Keberagaman tersebut tidak hanya menjadikan konflik satu identitas akan tetapi
juga merambah ke antar identitas. Konflik tersebut tentu akan mengikis kekuatan bangsa terkait persatuan
dan kesatuan dan dampak terburuknya akan memecah kesatuan bangsa. Adanya nya kecenderungan untuk
membatasi daripada membebaskan sejatinya yang menjadi ancaman. Hal tersebut dikarenakan adanya
ambiguitas klaim terhadap representasi serta legitimasi yang dilakukan oleh elit politik. sikap fanatisme di
Indonesia terhadap suatu agama dan etnis tertentu juga masih sangat kental. Sehingga hal tersebut
menjadikan para politisi untuk mengambil celah dalam hal menyuarakan atau menyerap aspirasi dengan
melibatkan unsur
TERIMAKASIH

Anda mungkin juga menyukai