Anda di halaman 1dari 4

Nama : Hafizh Yudhistira Inderawaspada

NIM : 1802025031
Prodi : S1-Ilmu Pemerintahan

Perbandingan Politik Identitas di Papua dengan Tanggapan 3 Tokoh


pada Buku “Politik Identitas dan Masa Depan Pluralisme Kita”

Politik Identitas di Papua


Politik identitas di Papua digunakan untuk politik Gerakan-gerakan disintegrasi.
Penggolongan identitas diantaranya adalah pada politik disintegrasi di papua yang memiliki latar
belakang ras yang berbeda. Ras yang berbeda ini adalah ras Milenesia. Dalam sejarahnya diketahui
bahwa papua memiliki integrasi yang berbeda ketika hendak bergabung dengan NKRI. selanjutnya
identitas yang digunakan dalam rangka memperjuangkan hak-hak masyarakat asli papua, Politik
identitas di papua juga digunakan untuk memperjuangkan hak-hak masyarakat papua seperti
banyaknya kejadian di Papua seperti HAM, kemiskinan, diskriminasi sulitnya mobilitas antar
wilayah dan sulitnya menuju akses pelayanan public. Hal tersebut merupakan sebuah realitas dan
banyak didukung oleh masyarakat Papua. Kejadian politik identitas di Papua terjadi di aras local
yang mana politik identitas di Papua terjadi ketika adanya Pemilu atau kontestasi pemilihan kepala
daerah seperti Gubernur, Walikota, Bupati. Disparitas Politik identitas juga terjadi di Papua, yaitu
antara wilayah pantai dan gunung di papua. Perpecahan terjadi akibat identitas dan latar belakang
kepentingan yang berbeda yang tak dapat dihindarkan.

Papua memiliki Majelis Rakyat Papua yang merupakan Lembaga Kultural yang sudah diatur
oleh Otonomi Khusus Papua. Dalam pemilihan gubernur papua ada salah satu persyaratan yang
menjadi pusat perhatian yaitu harus orang asli papua. Untuk calon Gubernur dari wilayah pantai
sangat susah untuk maju karena persaingan identitas yang ketat. Mobilisasi massa disana masih
sangat ketat. Untuk massa papua di wilayah pegunungan itu tidak mau memilih apabila calonnya
bukan berasal dari pegunungan dan ini menjadi kendala untuk massa wilayah pantai papua. Untuk
pemilihan bupati dan walikota belum diatur dalam Otsus namun realitanya masih kesulitan dalam
mengikuti konsentasi attau pemilihan. Politik identitas yang berkaitan dengan kebijakan afirmasi
dilakukan melalui upaya yang menuntut yang bersifat afirmasi. Sebagai contoh pada jabatan-
jabatan di birokrasi harus diisi dan diduduki oleh putra asli papua, juga perlakuan jalur khusus bagi
anak papua yang ingin melanjutkan Pendidikan tinggu di papua diberi ruang sebesar 80 persen
untuk orang papua.

Melangkaui Politik Identitas, Menghidupi Dinamika Identitas


Martin Lukito Sinaga

Pada tanggapan Martin Lukito Sinaga memunculkan masalah baru, bukankah masalah
identitas lebih dari sekedar kesedihan? Bisakah masalah identitas membuat kita jatuh ke lubang
hitam politik identitas? Secara umum, politik identitas dapat dilihat sebagai muara dari stagnasi
identitas jangka panjang. Perkembangan dunia yang semakin modern telah membuat orang resah,
identitas menjadi semakin kaku, dan telah merampas kebenaran agama, tetapi politik juga
merupakan pelindung agama dalam upaya perlindungan. Apakah mungkin untuk melampaui
identitas ini, motivasi politik atau non-politik dapat muncul, dan memberi makna sosial pada
munculnya harapan sosial tertentu di tempat-tempat umum di negara kita. Munculnya dinamika
identitas merupakan persoalan lama yang menemukan langgam yang lain pada masa kini maka
bisakah soal identitas tak surut jadi sebuah pengerasan politik tapi pada ujungnya pada proses
negoisasi, bukan pada proses yang kacau dan resah tetapi berujung pada lincah berkontestasi dan
indah untuk dimaknai, namun pada realitanya memang hal itu menjadi sesuatu yang tak mudah.
Di Indonesia, identitas selalu menjadi suatu permasalahan, identitas adalah hasil dari penyebaran
budaya penjajah saat itu, kapitalisme menjauhkan orang dari dunia tradisional, dan kepentingan
diri sendiri menjauhkan diri dari hubungan dengan orang lain. Agama harus menjadi motivasi
internal untuk membentuk identitas agar tidak terjerumus ke dalam lubang hitam politik identitas.
Kemudian dinamika perubahan identitas dalam dunia publik merupakan proses pencarian identitas
yang dapat menguntungkan dan mempengaruhi ruang publik. Dalam proses ini, tradisi kehidupan
dunia dan ingatan serta bentuk-bentuk realitas identitas lokal yang diwariskan dapat digabungkan.
Usulan perjuangan dan identitas akan memberikan harapan bagi masyarakat selama mereka dapat
tumbuh secara kreatif. kita memang berhadapan dengan proses dan pilihan historis, namun kalau
pilihan nono politis diambil alaih agama tampaknya akan bebas dari lubang hitam politik identitas
itu.
Ancaman Terhadap Masa Depan Pluralism di Indonesia oleh Siti Musdalifah Mulia.

Keberagaman dan kebersamaan menjadi salah satu unsur penting di Indonesia. Indonesia
yang majemuk ditekankan oleh Nurcholish Madjid bahwa Keanekaraman budaya yang dimiliki
Indoneisa bukanlah salah satu hal yang patut kita banggakan, hal tersebut bukanlah hal yang unik
dan semua negara juga memiilki keberagamannya masing-masing, karena tidak ada satu
masyarakat pun yang benar-benar tunggal dan tanpa ada unsur perbedaan didalamnya. Faktanya
tidak ada masyarakat tanpa pluralitas khusus dalam hal agama kecuali seperti kota Makkah,
Madina dan Vatican, bahkan dinegeri yang dulunya merupakan pusat agama yahudi, dan kristiani
masih memiliki kelompok minoritas. Di Indonesia sendiri fakta ini cukup mengecewakan dan
menggelitik munculnya gerakan eklusifisme umat islam , ada yang memasang rambu-rambu di
kantor pelayanan desa “ maaf tidak melayani tamu wanita yang tidak berjilbab” padahal tak semua
warga desa yang wanita beragama islam. Dalam hal penguatan politik identitas di Indonesia,
observasi politik identitas dilakukan oleh kelompok mainstream atau sebagian besar kelompok
agama yang berusaha menyingkirkan dan menyimpang darinya, seperti kasus Ahmadiyah tahun
2006. Politik identitas Islam dijaga oleh kelompok fundamentalis yang melahirkan tiga bentuk
kekerasan. yang pertama adalah kekerasan fisik, pemujaan dan menyebabkan benda menjadi
trauma dan dibunuh. Kedua bentuk kekerasan simbolik tersebut memecah belah dan menghina
dalam bentuk ucapan atau tulisan. ketiga adalah kekerasan struktural. Itu ditegakkan oleh negara
melalui cara dan cara hukumnya sendiri. Padahal prinsip-prinsip dasar tidak hanya ada dalam
Islam, tetapi juga dalam agama lain, hal ini sebenarnya dipicu oleh modernitas Barat.

Tantangan dan solusi untuk kedepan dengan menerapkan pluralism berdampingan dengan
politik identitas disebuah negara yang masih dalam proses menuju kematangan modernitas dan
demokrasi yang terengah-engah seperti negeri kita Indonesia, ada beberapa Langkah yang bisa
dijalankan, Langkah pertama meluruskan pemahaman terhadap istilah pluralism pada semua
kelompok tanpa terkecuali dan tertinggal , terutama pada mereka yang dianggap pemuka agama
atau tokoh masyarakat, pluralism bukan berarti seseorang harus meninggalakan identitas
keagamaan dan lain-lain. Kedua dengan cara rekonsilisi dan rehabilitasi terhadap korban
kekerasan atas nama agama, agar terjadi kerukunan dan kedamaian setelahnya.
Pluralisme dan Politik Identitas dan Krisis Identitas oleh Eric Hiariej

Menurut Eric Hiariej, gerakan berbasis politik identitas membahayakan masa depan
Indonesia karena kerap menjadikan tindakan anti pluralisme, anti demokrasi, dan anti nasionalis,
mengutip Buya Syafii. Politik identitas negara ini dapat mencakup ras, agama, dan ideologi politik,
tetapi yang paling berbahaya adalah mereka yang mengenakan pakaian Islami yang secara
fundamental mendistorsi kebutuhan mereka yang sebenarnya. Politik identitas bukan hanya
perjuangan melawan ketidakadilan, tetapi juga memiliki andil penting dalam pluralisme dan
demokrasi. Penolakan penulis terhadap kelompok anti pluralisme menjadi ironis, seperti
postmodernisme, seperti halnya menikmati kopi tanpa kafein, bir non alkohol, seks tanpa kontak
fisik, atau menerima fundamentalis tanpa fundamentalisme.

Anda mungkin juga menyukai