Anda di halaman 1dari 7

ISSN (e) : 2527±564X / ISSN (p) 2621-0746

Website Journal : http://www.ejournal-academia.org/index.php/renaissance

PILKADA, POLITIK IDENTITAS DAN KEKERASAN BUDAYA

Idham*), Suaib Amin Pranowo


Balai Litbang Agama Kementerian Agama Makasar, Sulawesi Selatan
*)
email: idbodi@yahoo.com

Paper Accepted: 21 Juni 2020 ABSTRAK


Paper Reviewed: 22-29 Juni 2020
Paper Edited: 01-17 Juli 2020
Paper Approved: 28 Juli 2020 Tampaknya wacana tentang dampak positif politik identitas ini belum
menjadi perhatian serius oleh berbagai kalangan. Olehnya itu, penelitian ini
hadir untuk mengulas sisi lain dari politik identitas yang kerap hadir
mewarnai pergolakan politik di tingkat lokal (pilkada) serta kaitannya
dengan kekerasan budaya. Dalam mengumpulkan data, peneliti
menggunakan kualitatif, guna menguraikan sisi yang berkaitan antara politik
identitas dan kekerasan budaya. Dengan teknik pengumpulan data
menggunakan studi literatur dari sejumlah dokumen baik berupa buku,
jurnal, sumber informasi lainnya yang mengulas mengenai politik identitas
dan kekerasan budaya. Studi literatur dimaksudkan selain mengulas sisi
negatif dari politik identitas, peneliti juga ikut mengulas sisi positifnya.
Bahwasanya politik identitas itu tidaklah selamanya berbahaya. Bahkan di
satu sisi bisa berdampak positif bagi perkembangan demokrasi di Indonesia.
Hal ini didasarkan pada fakta situasi sosial masyarakat di Indonesia yang
plural, multikultur yang menyebabkan politik identitas mustahil hilang,
khususnya dalam perhelatan politik baik di tingkat local maupun nasional.
Meski pada dasarnya politik identitas adalah gerakan yang sifatnya positif
dan bahkan bisa memperkuat gerakan demokrasi karena lahir sebagai bentuk
perlawanan terhadap ketidakadilan, namun dalam perkembangannya
mengalami pergeseran, bahkan menuai masalah saat hadir dalam konteks
politik lokal, khususnya di negara-negara plural dan multikultur. Pola
gerakannya lebih mengarah pada gerakan politisasi identitas yang didasari
kebencian dan bertujuan untuk mempromosikan nilai yang mengutamakan
kelompok sendiri, menekankan cara pandang antagonistis terhadap
kelompok identitas lain serta melegitimasi kekerasan.

Kata Kunci: politik identitas, pilkada, kekerasan budaya

PENDAHULUAN
menemu ruang di saat Undang-Undang No. 32
Pergolakan politik di bangsa ini tampaknya Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan
tak pernah sunyi dari persoalan identitas dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara
kekerasan. Keduanya seolah menyatu dalam langsung diberlakukan. Meski sebelumnya,
satu tarikan nafas, bahkan hampir bisa DPR sempat membatalkan undang-undang ini
dipastikan, di mana ada kontestasi politik, karena dinilai berpotensi melahirkan konflik
persoalan identitas senantiasa hadir komunal dan korupsi yang ditandai lahirnya
menyertainya. Sementara kekerasan biasanya keputusan bahwa Kepala Daerah harus kembali
muncul belakangan, saat pemilik identitas dipilih oleh DPRD.
merasa dilecehkan. Kecaman, intimidasi, Namun demikian, kebijakan ini menuai
bahkan ancaman acapkali diperdengarkan serta kecaman, bahkan protes keras dari kalangan
dipertontonkan di ruang publik, dan itu masyarakat sipil. Susilo Bambang Yudhoyono
dianggap sebagai bentuk pembelaan terhadap yang saat itu menjabat sebagai Presiden
identitas mereka yang tersakiti. Republik Indonesia, akhirnya mengeluarkan
Fenomena politik identitas ini punya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
sejarah panjang di bangsa ini, dan semakin Undang (Perppu) No. 1 Tahun 2014 tentang

Jurnal Renaissance | Volume 5 No. 02 | Agustus 2020, hlm: 650-656


Pembatalan UU yang baru disahkan oleh DPR yang berkaitan antara politik identitas dan
itu, dan kembali menetapkan Undang-undang kekerasan budaya. Dengan teknik pengumpulan
Pilkada secara langsung. data menggunakan studi literatur dari sejumlah
Apa yang menjadi kekhawatiran DPR dokumen baik berupa buku, jurnal, sumber
tersebut, di satu sisi memang beralasan, sebab informasi lainnya yang mengulas mengenai
Pilkada langsung berpotensi menguatkan politik identitas dan kekerasan budaya.
praktik politik identitas, apalagi pascaotonomi Menurut Ridwan (2004) pengumpulan data
daerah, di mana identitas lokal kerapkali adalah prosedur yang dirancang secara
ditonjolkan dan tak jarang menjadi pembeda sistematik guna mendapatkan data yang
antara pendatang dan putra daerah atau pribumi diperlukan. Data-data yang diperoleh dari
dan non pribumi. Isu identitas ini semakin berbagai literatur ini kemudian oleh peneliti di
menguat dan masif seiring dengan analisis untuk disajikan dan kemudian peneliti
perkembangan media informasi dan cukup menarik kesimpulan. Muhajir (1996)
terasa saat Pilkada DKI Jakarta tahun 2017 lalu menyebutkan analisis data merupakan
dan Pilpres 2019 yang baru saja digelar. pengolahan dan penafsiran data.
Tema politik bernuansa agama dan etnis di Studi literatur dimaksudkan selain
dua perhelatan politik tersebut tak terhindarkan, mengulas sisi negatif dari politik identitas,
bahkan berefek secara pisikologis ke tatanan peneliti juga ikut mengulas sisi positifnya.
masyarakat bangsa ini. Akibatnya, kecurigaan, Bahwasanya politik identitas itu tidaklah
ujaran kebencian serta aksi persekusi yang selamanya berbahaya. Bahkan di satu sisi bisa
mengatasnamakan agama dan etnis turut berdampak positif bagi perkembangan
mewarnai perhelatan politik. demokrasi di Indonesia. Hal ini didasarkan pada
Pilkada telah menjadi arena tumbuhnya fakta situasi sosial masyarakat di Indonesia
kontestasi antarkekuatan sosial-politik yang yang plural, multikultur yang menyebabkan
tidak jarang didasarkan pada sentimen suku dan politik identitas mustahil hilang, khususnya
agama. Meski lDSRUDQ ³7DKXQDQ .HKLGXSDQ dalam perhelatan politik baik di tingkat local
%HUDJDPD´ GL ,QGRQHVLD \DQJ GLWHUELWNDQ ROHK maupun nasional.
CRCS pada 2015 lalu menyebutkan, bahwa
jumlah kekerasan dalam pilkada yang terkait
dengan konflik komunal relatif rendah. Namun HASIL DAN PEMBAHASAN
perlu diwaspadai karena politik identitas di
pilkada tidak berdampak langsung pada terjadi Lahirnya Politik Identitas
kekerasan komunal, tetapi berpotensi Wacana tentang politik identitas oleh
menciptakan antagonisme dan polarisasi di kalangan ilmuwan sosial mulai menjadi fokus
masyarakat berdasarkan sentimen komunal. kajian pada tahun 1970-an di Amerika Serikat.
Apalagi pada masyarakat heterogen yang Perhatian soal politik identitas ini bermula saat
tersegregasi berdasarkan etnik, agama dan kelompok minoritas, gender, feminisme, ras,
budaya. etnisitas dan kelompok-kelompok sosial lainnya
Demikian pula, meski sebagian kalangan merasa terpinggirkan dan teraniaya. Meski
berpandangan bahwasannya politik identitas nama pencetus istilah politik identitas hingga
berdampak buruk terhadap laju perkembangan saat ini masih kabur, namun subtansi yang
demokrasi, namun di sisi lain, kita juga tidak mendasari kajian dan gerakan politik identitas
bisa menafikan pandangan yang melihat sisi ini adalah keadilan.
positif politik identitas yang diyakini bisa Isu keadilan tentu saja menjadi sesuatu
mendorong penguatan sistem demokrasi. yang sangat relevan untuk membangun
Tampaknya wacana tentang dampak positif kesadaran kelompok-kelompok yang merasa
politik identitas ini belum menjadi perhatian tertindas itu. Di Amerika Serikat, dominasi
serius oleh berbagai kalangan. Olehnya itu, ketidakadilan ini terkait dengan persoalan ras, di
penelitian ini hadir untuk mengulas sisi lain dari mana kalangan kulit hitam, masyarakat Spayol
politik identitas yang kerap hadir mewarnai dan etnis-etnis lainnya merasa terpinggirkan
pergolakan politik di tingkat lokal (pilkada) oleh roda kapitalisme yang umumnya dikuasai
serta kaitannya dengan kekerasan budaya. oleh golongan kulit putih.
Fenomena perjuangan ras ini, tampak
menjadi wacana populer di Amerika Serikat.
METODE PENELITIAN Muhammad Ali, salah seorang petinju kelas
berat dunia yang pernah tenar pada tahun 1970-
Dalam mengumpulkan data, peneliti an, juga tercatat pernah terlibat dalam
menggunakan kualitatif, guna menguraikan sisi perjuangan ini. Bahkan dia pernah mendapat

651 | Idham, et.al. Pilkada, Politik Identitas dan Kekerasan Budaya


hukuman karena berani melawan kebijakan dilatari soal pengangkatan pejabat untuk posisi
pemerintah Amerika Serikat yang saat strategis.
memberlakukan wajib militer bagi warganya. Fenomena yang sama juga terjadi di
Muhammad Ali melawan kebijakan itu dengan beberapa daerah, di mana kekuatan-kekuatan
menolak bergabung ke militer untuk berperang politik didominasi oleh elite-elite lokal, bahkan
PHODZDQ 9LHWQDP ³Aku tak sudi terbang ribuan jaringan mereka (orang kuat lokal) di beberapa
kilometer hanya untuk membunuh orang-orang daerah seperti Banten, Jawa Timur, dan
lemah demi meneruskan perbudakan oleh orang Sulawesi Selatan bukan hanya berada di bawah
NXOLW SXWLK ´ demikian katanya saat ditanya kekuasan bos ekonomi, tetapi juga di bawah
alasan menolak bergabung dengan militer. kepemimpinan bangsawan lokal, pemuka agama
Di masa Ali, orang-orang kulit hitam tidak dan tokoh adat. Kelompok ini, tak hanya dengan
punya hak di ruang publik. Mereka tidak boleh mudah menggerakkan masyarakat awam sesuai
makan bersama orang kulit putih di restoran, dengan perintahnya, tapi juga sangat mungkin
mereka pun dilarang duduk di depan saat berada memanipulasi sentimen etnik, agama dan adat
di bus dan warga kulit hitam harus duduk di guna menggelorakan emosi masyarakat umum
belakang. Tempat duduk bagian depan hanya di daerah. Apalagi yang mengobarkan adalah
untuk kalangan kulit putih. Belum lagi stigma bangsawan lokal, pemuka agama, berikut tokoh
miring yang kerap dituduhkan kepada mereka, adat yang selama rezim Orde Baru berkuasa
masa itu adalah masa yang suram untuk mereka dimarjinalkan.
masyarakat kulit hitam. Fenomena ini bisa dilihat ketika terjadi
Meski pada dasarnya politik identitas lahir perseteruan Kristen dan Muslim di Ambon dan
dari proses perlawanan terhadap ketidakadilan, tempat-tempat lain di Maluku. Kompetisi
namun dalam perkembangannya, cakupannya kekuasaan di Kesultanan Ternate dan Tidore
menjadi luas, dan merambah ke persoalan juga dilaporkan telah memunculkan friksi
agama, kepercayaan serta ikatan-ikatan kultural politik yang tajam di aras lokal Maluku Utara,
yang beragam. Sementara di Indonesia, politik sekaligus juga menyulut kekerasan antaragama.
identitas lebih terkait dengan masalah etnisitas, Persaingan etnis di Kalimantan Tengah yang
agama, ideologi dan kepentingan-kepentingan perlahan-lahan berkembang menjadi
lokal yang diwakili pada umumnya oleh para pertentangan dalam arena pemilihan umum dan
elite dengan artikulasinya masing-masing. pemilihan kepala daerah, hingga perseteruan
Undang-undang Otonomi Daerah antarelite dalam rangka pembentukan daerah
sebagaimana yang disebutkan di atas menjadi otonom baru melalui kebijakan redistricting.
keran bagi terbukanya gerakan politik identitas. Sementara kehadiran globalisasi juga
Wacana keadilan dan pemerataan pembangunan menjadi salah satu penyebab menguatnya
menjadi ciri utama gerakan ini. Semakin identitas di tingkat lokal adalah efek dari
menguat di saat pragmatisme politik dan globalisasi. Globalisasi bergerak tidak lagi
marjinalisasi kelompok masyarakat lokal melalui Negara, tapi juga sudah merambah ke
menyatu dan menjadi pendorong kuat lahirnya daerah-daerah. Globalisasi dan modernisasi juga
politik dan perjuangan identitas di tingkat lokal. telah menjadi media transformasi sosial dan
Tak hanya itu, politik identitas juga kian budaya, mengubah perilaku keagamaan
menemukan ruang disaat kepentingan masyarakat, khususnya masyarakat perkotaan
kekuasaan, pengaruh globalisasi dan secara dramatis hingga terguncangnya identitas
superpower identitas merambah ke tingkat keagamaan mereka. Pada konteks ini, identitas
lokal. keagamaan tak jarang dijadikan sebagai term
Hal ini semakin memperjelas bahwasanya politik, yang oleh sebagian kalangan dianggap
masa transisi dari orde baru ke reformasi berbahaya karena berpotensi merusak tatanan
ternyata tidak selamanya berdampak positif kohesi sosial bangsa.
terhadap dinamika perpolitikan bangsa ini.
Bahkan politik lokal yang menujukkan warna
etnis boleh dibilang marak setelah Orde Baru Pilkada dan Politisasi Identitas
(Soeharto) tumbang. Salah satunya adalah corak Sejak diberlakukannya pemilihan kepala
politik lokal di Kalimantan Barat menunjukkan daerah secara langsung, isu etnisitas pun turut
warna etnis yang sangat mencolok sejak mewarnai pergulatan politik di daerah. Etnis tak
berakhirnya pemerintahan Orde Baru. Bahkan hanya menjadi penanda pembeda identitas
tak jarang diwarnai pergerakan massa yang biologis dan kebudayaan semata, tapi juga
berujung pada lahirnya konflik dan kekerasan menjadi penanda identitas politik, di mana
antarasuku (Dayak dan Melayu) seperti yang kesamaan ras dan identitas budaya dikuatkan.
terjadi tahun 1997 dan 1999. Konflik tersebut Hal ini tak bisa juga dilepaskan dari kondisi

Jurnal Renaissance | Volume 5 No. 02 | Agustus 2020 | 652


sosial masyarakat lokal yang sangat kuat menerima keberadaan etnis lain di luar etnis
dipengaruhi oleh sistem primordial etnis, mereka.
sehingga ia pun menjadi daya tawar dalam arena Fenomena sentimen komunal ini semakin
politik dan birokrasi pemerintahan. tebal karena adanya identifikasi satu etnis
Fakta dari fenomena ini dapat disaksikan dengan agama tertetu dan tertentu saja hal ini
pada saat pilkadadi Sulawesi Selatan tahun 2013 mengkhawatirkan, karena perilaku seperti ini
lalu. Black Campaign, ³SHUDQJ´ EDOLKR berpotensi menjadi pemicu terjadi perang sipil,
antarcalon dengan menggunakan idiom khas seperti yang terjadi di Sambas dan Ambon. Dari
etnik tertentu dengan percaya diri memajang fenomena ini kita dapat melihat dengan jelas
baliho dengan memajang terminologi khas bahwasanya etnis dan agama telah menjadi
Makassar. Begitupun di beberapa daerah atau bagian dari identitas politik. Ia menjadi sumber
kabupaten ada yang menggunakan idiom Bugis. kekuatan sosial, budaya, politik dari berbagai
Bahkan sejarah kelam masa lalu (baca; masa kelompok yang berkepentingan dalam pilkada.
kerajaan) di mana perang antarkerajaan yang Pembentukan aliansi politik berdasarkan
kebetulan berbeda etnis tak jarang dihadirkan kesamaan identitas, nilai, atau latar belakang
kembali untuk menguatkan ikatan solidaritas adalah konsekuensi tidak bisa dihindarkan
politik. dalam sistem demokrasi yang menjamin
Selain dua hal tersebut, terdapat juga kebebasan setiap warga.
kandidat yang melepaskan diri dari simbol Makanya itu, politik identitas tidak bisa
etnik, dan lebih memilih memasang simbol sepenuhnya dihilangkan dalam sistem
agama. Isu seperti ini yang menjadi jualan demokrasi. Meski John Stuart Mill berpendapat
cukup laris dan turut mewarnai perhelatan bahwa demokrasi tidak cocok, bahkan tidak
pilkada di beberapa daerah. Sehingga tidak akan berhasil di negara yang rakyatnya
mengherankan jika perhelatan politik di tingkat multietnik dan terbelah berdasarkan sentimen
lokal, beberapa tahun terakhir tak hanya kental identitas. Namun Amy Gutmann menyarankan
dengan isu-isu primordial dan sektarianisme, agar politik identitas tidak buru-buru dihakimi
tapi juga isu agama. sebagai ancaman. Sebab menurut Gutmann,
Penggunaan kata kafir dan munafiq, meski politik identitas bisa mempengaruhi
sudah berabad-abad diwacanakan dalam kajian keberhasilan demokrasi. Gutmann mengatakan,
keagamaan, tampak tetap aktual, tak terkecuali ada tiga model klasifikasi politik identitas yang
dalam dunia politik. Stigma kafir dan munafiq bisa digunakan untuk mengukur pengaruh
ini kerap dialamatkan kepada mereka yang politik identitas terhadap keberhasilan
berbeda pilihan. Bahkan yang paling demokrasi. Ketiga model tersebut adalah, good
menyedihkan dan boleh dibilang sejarah baru (tidak berbahaya), bad (kurang berbahaya) dan
dari dampak perpolitikan di Indonesia, yaitu ugly (sangat berbahaya).
munculnya sekolompok orang yang tidak Gutmann mengatakan, politik identitas bisa
bersedia menyolati jenazah orang-orang yang dianggap baik ketika berperan positif dalam
berbeda pilihan politik dengan mereka. demokrasi, sebab ia bisa menghadirkan nilai-
Akibatnya, pilkada pun rentan akan diskriminasi nilai solidaritas, membangun kesadaran publik
dan konflik. tentang pentingnya kewargaan, melawan
Dampak lain perpolitikan di bangsa ini ketidakadilan terhadap kelompok tertentu,
adalah menguatnya sentimen rasisme yang selama perjuangannya tidak dengan tujuan
belakangan menjadi gerakan populis, bahkan untuk mempromosikan supremasi kelompok
semakin menguat saat isu komunisme dan sendiri dan kebencian terhadap kelompok lain.
penistaan agama menjadi pemersatu warga. Tentu hal ini berbeda dengan politik identitas
Tentu saja ini menjadi keprihatinan yang luar yang berbahaya (Ugly) karena ia didasari oleh
biasa, apalagi terjadi di tegah memudarnya kebencian dan bertujuan untuk mempromosikan
nilai-nilai kearifan lokal, tergantikan oleh nilai- nilai yang mengutamakan kelompok sendiri,
nilai baru yang lebih cenderung sektarian dan menekankan cara pandang antagonistis terhadap
ekslusif. Sementara, tokoh agama, masyarakat kelompok identitas lain dan melegitimasi
dan aktivis lembaga swadaya masyarakat sudah kekerasan.
mulai kehilangan kepercayaan di masyarakat. Sementara istilah bad, dalam pandangan
Selain itu, saat pilkada, umumnya warga sibuk Gutmann digunakan bukan dalam pengertian
membicarakan politik hingga tak ada ruang- bahwa politik identitas ini buruk. Politik
ruang sedikit pun membicarakan pentingnya identitas dalam kategori ini meskipun tidak
membangun kerukunan bangsa. Belum lagi secara aktif mempromosikan kesadaran publik
adanya sebagian warga yang belum bisa yang positif, tetapi minimal tidak mengancam
demokrasi dengan mempromosikan permusuhan

653 | Idham, et.al. Pilkada, Politik Identitas dan Kekerasan Budaya


dan melegitimasi kekerasan antarkelompok tidak dampak dari politisasi identitas bisa
identitas. dijabarkan sebagai berikut:
Hal yang sama dikemukakan oleh Reilly,
dia mengatakan bahwa sistem demokrasi bagi 1. Retaknya kohesi sosial.
masyarakat plural bukanlah untuk menghilang Secara kasat mata gerakan politisasi
politik identitas, tapi menciptakan sistem identitas tidak hanya berhasil membela
kelembagaan yang bisa mencegah dampak masyarakat, tapi juga melemahkan kohesi
negatif dari praktik politik identitas itu. Reilly sosial mereka. Menguatnya pragmatisme
meyakini bahwa demokrasi tetap bisa berhasil politik, ikatan-ikatan primordial berbasis
di negara plural asal tersedia desain politik yang agama, daerah dan asal-usul menjadi salah
dapat mencegah mobilisasi elektoral dengan satu penyebab. Fenomena ini tak hanya
menunggangi sentimen konflik sektarian. berpotensi menyuburkan prasangka,
Demikian juga, dibutuhkan desain politik yang sentimen agama dan etinis, tapi juga
bisa mendorong pembentukan koalisi aliansi lahirnya konflik sektarian.
kekuatan atau aktor politik dari kelompok Direktur Eksekutif Reform Institute,
identitas yang beragam. Yudi Latif mengatakan, ada beberapa
Pandang Reilly ini, diduga berangkat dari faktor yang menjadi penyebab retaknya
cara pandang yang mengatakan bahwa sistem kohesi sosial, salah satunya adalah
demokrasi membolehkan seseorang ketidakadilan. Menurutnya, pasca
mengekspresikan segala keinginannya selama reformasi bergulir, Indonesia mengalami
hal itu tidak mengganggu kepentingan orang surplus kebebasan, tapi defisit keadilan,
lain. Olehnya itu, sebagai negara demokrasi sehingga kesenjangan sosial pun makin
yang plural dan multikultur, kontestasi yang menganga.
mengharuskan hadirnya identitas di ruang Fenomena ini semakin tampak di saat
publik menjadi sesuatu yang tak terhindarkan. simbol-simbol agama dihadirkan di ranah
Justru yang harus diantisipasi adalah publik guna mengalang kekuatan politik.
menguatnya politisasi identitas, sebab cara Padahal isu ini, menurut Nasaruddin Umar
berpolitik seperti ini tidak hanya mengaburkan sangat sensitif, ia tak hanya bisa
nilai-nilai demokrasi, tapi juga berpotensi mengalahkan isu primordialisme,
melahirkan konflik komunal. kesukuan dan kedaerahan, tapi juga
dampaknya sangat sulit untuk dibendung.
Agama bisa diibaratkan pisau bermata dua,
Dampak Politisasi Identitas bisa menjadi pemersatu bangsa, sebagai
Pada dasarnya politik identitas adalah yang terjadi saat perjuangan kemerdekaan
sesuatu yang positif karena awalnya memang Republik Indonesia, namun di sisi lain juga
dipergunakan untuk memperjuangkan bisa menjadi pemicu lahirnya disintegrasi
kepentingan kelompok yang mengalami bangsa.
ketertindasan dan diskriminasi. Meski demikian,
kecenderungan yang terjadi di Indonesia adalah 2. Pergeseran identitas.
kelompok mayoritas menggunakan identitas Pandangan di atas tampak samar-
tertentu seperti agama, suku, dan ras untuk samar mulai terlihat di bangsa ini. Salah
memobilisasi massa. Ironisnya, hal itu tak satunya bisa dicermati lewat media sosial.
jarang dilakukan oleh elite-elite politik, bahkan Hujatan, makian, ancaman kekerasan serta
mereka kerap membajak demokrasi untuk sumpah serapah kerapkali muncul, hanya
kepentingan kekuasaan dengan menggunakan karena persoalan perbedaan ideologi dan
isu identitas. Akibatnya, hembusan isu SARA pilihan politik. Hal ini sekaligus menandai
(suku, ras dan agama) di setiap perhelatan terjadinya pergeseran cara pandang di
politik tak terhindarkan. masyarakat, di mana ikatan kesukuan tak
Dampak dari fenomena politisasi identitas lagi penting, karena terpenting saat ini
ini cukup terasa, apalagi politik di Indonesia adalah siapa yang se-ideologi dengan kita.
boleh dibilang masih labil dan banyak Jika dulunya ikatan etnis dibentuk
dipengaruhi oleh emosi dan kepentingan berdasarkan zona geografis, namun seiring
kelompok. Masyarakat memilih bukan karena dengan perkembangan zaman, etnisitas
pertimbangan rasional, tapi karena kepentingan perlahan mengalami pergeseran. Saat ini,
identitas. Tentu saja ini berbahaya karena identitas kesukuan tak lagi dibingkai dalam
berpotensi melahirkan kekerasan budaya dengan zona geografis, tapi berdasarkan pada
cara menggunakan simbol agama untuk kesamaan ideologi.
meminggirkan kelompok yang berbeda. Paling

Jurnal Renaissance | Volume 5 No. 02 | Agustus 2020 | 654


Pergeseran identitas lama seperti Pandangan tersebut berangkat asumsi yang
primordialisme dan sektarianisme ke mengatakan bahwasanya kekerasan selalu
identitas baru bernama ideologi, tak hanya bermula dari kebencian, sementara
ditemukan dalam bentuk gaya hidup, tapi kebencian biasa dikonstruksi dengan
juga pada perilaku dan cara pandang menggunakan produk-produk budaya
keagamaan. Jika dulunya masyarakat di seperti ideologi, bahasa, agama, seni dan
bangsa ini lebih cenderung memahami pengetahuan.
agama secara damai, toleran dan terbuka,
namun seiring dengan masifnya gerakan Ketiga dampak politisasi identitas di atas
ideologi transnasional, perlahan corak belakangan menjadi citra buruk bagi bangsa ini.
keberagamaan tersebut mengalami Negara yang dulunya dikenal sangat ramah dan
pergeseran dan cenderung sensitif. terbuka terhadap berbagai perbedaan, tiba-tiba
Menurut Alissa Wahid, model saja berubah wajah menjadi garang dan muda
keberagamaan sensitif ini dapat dilihat tersulut emosi. Bahkan tak jarang sikap seperti
dalam bentuk penampakan diri sebagai ini berdampak ke kelompok minoritas etnis,
orang yang rapuh dalam melihat kelompok agama dan budaya tertentu. Mereka merasa
lain. Hal itu terjadi karena mentalitas terpinggirkan di negeri sendiri dengan hadirnya
keminderan lebih dominan dalam berbagai stigma yang memojokkan dan
memahami agamanya sendiri. Begitu pun memperbesar kebencian terhadap mereka.
fenomena kekerasan yang Kebencian antar kelompok yang berbeda telah
mengatasnamakan identitas agama, kerap menjadi persoalan krusial di bangsa ini
dilakukan oleh mereka yang mengaku beberapa tahun terakhir, parahnya lagi,
paling beragama, tapi tidak mampu kebencian itu tak jarang diiringi dengan
menciptakan sikap beradab dan inspiratif. tindakan kekerasan.
Bahkan kelompok seperti ini cenderung Biasanya fenomena kekerasan bermula dari
sinis melihat peradaban bangsa lain, kebencian terhadap kelompok lain kemudian
karena dianggap tidak sesuai dengan berlanjut ke tindakan kekerasan, hingga
keinginannya. pemusnahan. Wacana kebencian itu terus
Sementara itu, produksi kebencian diproduksi dan disebarluaskan secara massif,
dan penyebarannya pun makin massif di tujuannya untuk mempengaruhi opini publik
media sosial. Dampak sosial yang dan ikut serta mendukung kampanye kebencian
timbulkan dari penyebaran kebencian itu, terhadap kelompok tertentu. Tak hanya itu,
selain merusak kohesi sosial, juga akan untuk merawat kebencian agar terus berlanjut,
berdampak pada masa depan generasi narasinya pun kerap diwariskan dan
muda. Dikhawatirkan mereka terbiasa diwacanakan secara provokatif. Tentunya saja
dengan kebencian, karena tak terbiasa hal ini sangat berbahaya, sebab selain kebencian
dengan perbedaan. dan kekerasan tidak mengenal usia dan jenis
kelamin, juga sekaligus berdampak buruk
3. Kekerasan budaya. terhadap mental generasi bangsa kita di masa
Politisasi identitas bisa berdampak yang akan datang.
pada lahirnya eksklusifitas dan mengeklusi Pada konteks inilah, negara harus hadir
kelompok yang berbeda. Hal ini bisa memperkuat dan menjaga ruang-ruang-ruang
mengeskalasi konflik jika diringi narasi publik dengan memperkuat hukum agar tidak
kampanye yang mengarah pada stigma didominasi oleh kelompok-kelompok tertentu.
sosial. Menurut Johan Galtung, produk- Konstitusi tak hanya menjadi pilar kehidupan
produk budaya seperti ideologi, bahasa, serta menjadi penopang kehidupan sosial
agama, seni dan pengetahuan dapat masyarakat yang plural dan multikultur, tapi
digunakan untuk melegitimasi praktik juga menjadi syarat utama demokrasi yang
kekerasan baik secara langsung (fisik) mengharuskan partisipasi warga untuk
maupun secara struktural (sistem sosial). mendiskusikan hal-hal yang menjadi
Olehnya itu, praktik kekerasan tidak keprihatinan bersama dan menyelesaikannya
selamanya dilakukan secara fisik, tapi juga dengan cara-cara yang adil. Sebab bagaimana
bisa dalam bentuk non fisik. pun juga kekerasan tidak bisa ditolerir.
Stigma sosial adalah salah satu Kekerasan hanya menjadi wilayah penegak
contoh bentuk kekerasan non fisik. Meski hukum, itu pun dibatasi secara ketat oleh
hal ini belum tentu bisa meledak menjadi undang-undang, termasuk HAM.
kekerasan nyata, namun berpotensi
mendorong lahirnya eskalasi konflik.

655 | Idham, et.al. Pilkada, Politik Identitas dan Kekerasan Budaya


KESIMPULAN dan Struktur Kesempatan Politik dalam
Konflik Keagamaan di Sampang, Bekasi,
Meski pada dasarnya politik identitas dan Kupang. Serial Laporan Kehidupan
adalah gerakan yang sifatnya positif dan bahkan Beragama di Indonesia (Yogyakarta CRCS
bisa memperkuat gerakan demokrasi karena UGM).
lahir sebagai bentuk perlawanan terhadap Bagir, Abidin Zainal dan Dwipayana, GN AA,
ketidakadilan, namun dalam perkembangannya 2010. Keragaman, Kesetaraan dan
mengalami pergeseran, bahkan menuai masalah Keadilan: Pluralisme Kewargaan dalam
saat hadir dalam konteks politik lokal, Masyarakat Demokratis dalam
khususnya di negara-negara plural dan ³3OXUDOLVPH .Hwargaan, Arah Baru
multikultur. Pola gerakannya lebih mengarah 3ROLWLN .HUDJDPDQ GL ,QGRQHVLD´
pada gerakan politisasi identitas yang didasari (Yogyakarta: CRCS UGM).
kebencian dan bertujuan untuk mempromosikan Herlambang, Wijaya, 2019, Kekerasan Budaya
nilai yang mengutamakan kelompok sendiri, Pasca 1965, Bagaimana Orde Baru
menekankan cara pandang antagonistis terhadap Melegitimasi Anti Komunisme Melalui
kelompok identitas lain serta melegitimasi Sastra dan Film, (Tanggerang Selatan,
kekerasan. CV. Marjin Kiri).
Politisasi identitas di tingkat lokal makin Maarif, Syafii Ahmad, 2012, Politik Identitas
menguat seiring dengan hadirnya kelompok dan Masa Depan Pluralisme Indonesia,
elite yang turut serta mewacanakan superioritas dalam Ihsan Ali-Fauzi dan Samsu Rizal
indentitas, semangat komunalisme, feodalisme Panggabean, Politik Identitas Dan Masa
dan isu kedaerahan dalam perhelatan politik. Depan Pluralisme Kita (Jakarta:
Fenomena ini semakin memburuk disaat Democrasi project, Yayasan Abad
pendidikan politik tidak berjalan dengan baik Demokrasi, edisi digital).
serta tidak berfungsinya pranata kearifan lokal Muhajir, Noeng. 1996. Metodologi Penelitian
masyarakat, baik dalam bentuk tradisi maupun Kualitatif. Yogyakarta: Rake Sarasin
norma-norma sosial yang secara fungsional bisa Prawono, Amin Suaib, 2015, Sipakatau:
memperkuat ikatan kekeluargaan, kohesi sosial, Multikulturalisme Berbasis Kearifan Lokal
dan menjadi pencegah terjadinya konflik sosial, GL 6XODZHVL 6HODWDQ´ dalam Mohammad
baik mengatasnamakan agama, suku dan Iqbal Ahnaf, dkk, Praktik Pengelolaan
budaya. Sehingga tidak mengherankan jika Keragaman di Indonesia Kontestasi dan
setiap perhelatan politik di tingkat lokal Koeksistensi (Yogyakarta: CRCS UGM).
senantiasa rentan akan diskriminasi dan Prawono Suaib, Louisville, Mohamed Ali dan
kekerasan dengan cara mempolitisasi simbol- Segregasi Rasisme.
simbol identitas untuk meminggirkan https://islami.co/louisville-mohamed-ali-
kelompok-kelompok tertentu. dan-segregasi-rasisme. Diakses 18 Mei
Pada konteks inilah, peran pemerintah dan 2019, pukul 00:56.
penyelenggara pemilu sangat diharapkan untuk Ridwan. (2004). Statiska untuk Lembaga dan
tanggap dan konsisten menjaga ruang-ruang Instansi Pemerintahan-Swasta. Bandung:
publik agar tidak di dominasi oleh kelompok- Alfabeta.
kelompok tertentu yang bisa berakibat pada Sulistyono Joko, 2010, Representasi Etnis
lahirnya diskriminasi dan kekerasan terhadap dalam Birokrasi: Pergulatan Demokrasi di
kelompok lain dengan mengatasnamakan $UDV /RNDO´ ³Draf Laporan Akhir
identitas tentu. Apapun bentuknya kekerasan penelitian, Badan Penelitian dan
yang mengatasnamakan identitas kebudayaan Pengembangan Kementerian dalam Negeri
tidak hanya menyisakan krisis kewargaan, tapi Republik Indonesia (Jakarta).
juga berpotensi mengancam disintegrasi bangsa. Tanasaldy Taufiq, 2009, Politik Identitas Etnis
di Kalimantan Barat dalam Henk Schulte
dan Gerry Van Klinklen Politik Lokal di
DAFTAR PUSTAKA Indonesia (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia dan KITLV).
Agustino Leo dan Agus, Yusoff Mohammad, Wildan Muhammad, 2016, Aksi Damai 411-
2010, Politik lokal di Indonesia: Dari 212, Kesalehan Populer dan Identitas
2WRNUDWLN .H 5HIRUPDVL 3ROLWLN´ (Jurnal Muslim Perkotaan Indonesia (Maarif
Ilmu Politik, Edisi 21). Vol.11, No.2-Desember).
Ahnaf, Iqbal Mohammad, dkk, 2015. Politik Harian Fajar 13 Maret 2013
Lokal dan Konflik Keagamaan, Pilkada Harian Kompas, 17 Oktober 2016.

Jurnal Renaissance | Volume 5 No. 02 | Agustus 2020 | 656

Anda mungkin juga menyukai