Anda di halaman 1dari 19

POLITIK IDENTITAS ETNIS DI LAMPUNG BARAT

Abstract

Ethnic politics in West Lampung, especially regional elections and legislative elections in
West Lampung where elites who run for candidates are more likely to choose their partners
based on ethnic representation to promote ethnic solidarity in their area and forms of
mobilization in influencing voters by figures the Sai Batin custom in winning the regional
head in West Lampung.
In this case, it uses descriptive analysis regarding the problem of the sons and daughters of
the region becoming the main commodity in ethnic politics, which indirectly excludes non-
ethnic or often called import people. From observations it was mentioned that Muklis Basri
had established friendships and commitments to the traditional and adat leaders of Sai Batin
in West Lampung. The form of attention is a lot of traditional activities, and Sai Batin's
traditional ceremonies are made a permanent regional and tourism agenda in West Lampung
Regency. Likewise, the closeness to the community's persuasive approach, Mukhlis can
attract the sympathy of the community by paying great attention to local customs and the
public interest. The existence of adat balancer has the authority to make decisions about the
results of deliberations in this case mobilization to influence voters.

Abstrak
Politik etnis di Lampung Barat, terutama pemilihan kepala daerah dan pemilihan umum
legislatif di Lampung Barat di mana elit yang mencalonkan diri sebagai kandidat lebih
cenderung memilih pasangannya berdasarkan perwakilan etnis untuk mempromosikan
solidaritas etnis di daerah mereka dan bentuk-bentuk mobilisasi dalam mempengaruhi
pemilih yang dilakukan tokoh adat Sai Batin dalam pemenangan kepala daerah di Lampung
Barat.
Dalam hal ini menggunakan deskripstif analisis yang berkenaan masalah putra-putra daerah
menjadi komoditas utama dalam politik etnik, yang secara tidak langsung menyingkirkan
non-etnis atau sering disebut orang-orang impor. Dari pengamatan disebutkan bahwa Muklis
Basri telah menjalin persahabatan dan komitmen kepada para pemimpin tradisional dan adat
Sai Batin di Lampung Barat. Bentuk perhatiannya adalah banyak kegiatan tradisional, dan
upacara tradisional Sai Batin yang dijadikan agenda tetap regional dan pariwisata di
Kabupaten Lampung Barat. Demikian juga kedekatan dengan pendekatan persuasif
masyarakat, Mukhlis dapat menarik simpati masyarakat dengan memberi perhatian besar
pada adat istiadat setempat dan kepentingan umum. Keberadaan penyeimbang adat memiliki
wewenang untuk membuat keputusan tentang hasil musyawarah dalam hal ini mobilisasi
untuk mempengaruhi pemilih.

Keywords
Ethnic Politics, Saibatin, Mobilization
Pendahuluan

Identitas etnis1 seringkali menjadi paradoks dari pelaksanaan sistem demokrasi di

berbagai negara. Paradoks muncul k a r e n a s e b a g a i r u l e o f t h e g a m e , s i s t e m

demokrasi dimaksudkan untuk mengakomodasi relasi kekuasaan yang

mampu mengakomodasi dan memberikan jaminan tercapainya tujuan bersama, termasuk di

dalamnya dalam pengelolaan masalah etnisitas dalam sistem politik dan demokrasi.2

Studi komprehensif terbaru tentang identitias etnik dilakukan Pusat Arkeologi,

Universitas Amsterdam.3 Studi yang melibatkan berbagai ilmuwan dari beragam latar

belakang disiplin ilmu ini menyimpulkan bahwa konstruksi identitas etnik sering

berhubungan dengan pertanyaan kekuasaan, agama, hukum dan gender. Oleh karena itu,

konstruksi identitias etnik selalu dibangun dalam hubungannya dengan system politik,

dengan politik yang mendefinisikan etnik, bukan sebaliknya.

Selanjutnya afiliasi etnis dapat dinyatakan pada skala yang berbeda dengan organisasi

sosial. Ditingkat tertinggi terdapat formasi makro-etnik, seperti Galia dan Jerman.

Sementara itu pada tingkat local atau regional, terdapat kelompok sosial yang kecil

dalam kaitannya dengan politik lokal di masyarakat.4

Fenomena khas pasca Orde Baru adalah dalam dinamika politik di Lampung adalah

sangat menarik untuk dicermati dimana upaya demokratisasi di provinsi Lampung

1
Identitas etnis adalah produk sosial yang berisi konsep relasional yang terkait dengan identifikassi diri
(subyektifitas) dan asal usul sosial (obyektifitas). Dengan demikian, identitas etnik dipahami sebagai proses peciptaan batas-
batas formasi dan dtegakkan dalam kondisi sosio-historis yang spesifik. Schultz dan Lavenda (2001) memberikan artikulasi
bahwa identitas etnik diciptakan oleh proses sejarah yang menggabungkan kelompok-kelompok sosial yang berbeda ke
dalam struktur politik yang tnggal dibawah kondisi-kondisi sosial tertentu. Dalam hal ini, Bourdieu (1977) sepakat bahwa
identittas etnik merupakan hassil dan modus konstruksi sosial yang dibangun antar subyek dan obyek yang disebut opus
operantum dan modus operandi. Dengan demikian, kekuatan identitas etnik adalah kuasa (power) yang melekat pada etnik
dan dijadikan sebagai sarana aktor yang melakukan pengorganisasian atau mobilisassi massa dalam arena kehidupan seperti
sosial, ekonomi dan politik.
2
The Politics of ethnicity and Identities, http://www.academia. edu/3150565, diakses pada tanggal 4/11/2019.
3
Hasil studi yang dilakukan Pusat Arkeologi, Universitas Amsterdam didanai oleh Netherlands Organisation for
scintific research (NWO). Hasil studi tersebut selanjutnya dijadikan buku berjudul Ethnic Contructs in Antiquity ditulis
Derks, T. And Roymans, N. (eds) dan diterbitkan di Amsterdam University Press 2009. Studi yang dilakukan beberapa
ilmuwan dari berbagai latar belakang beragam, seperti sosiolog, antropologi, dan arkeologi
4
Derks, T. And Roymans, N (eds).. The Role Power and tradition. Ethnic Contructs in Antiquity. Amsterdam;
Amsterdam University Press. 2009. Hlm 1-2.
dalam tubuh partai politik dan DPRD terutama pada pemilihan kepala daerah tahun 2012

khususnya Kabupaten Lampung Barat, melalui penerapan Pilkada langsung yang

berdampak pada lahirnya varian politik kepentingan, termasuk etnisitas.

Asmu’ie meneliti integrasi politik etnis, dan penelitian ini meneliti politik identitas etnis. 5

Asmu’ie menggunakan teori sentimen primmordial dari Clifford Greetz 6, yang

mengatakan bahwa perbedaan etnis maupun kultur akan menjadi pusat konflik,

sementara dalam penelitian ini menggunakan teori Manuel Castells yang mengatakan,

bahwa politik identitas merupakan partisipasi individu dan lebih ditentukan oleh budaya

dan psikologis seseorang.

Dalam beberapa studi kasus mengenai identitas etnik dalam politik terjadi pada

pemilihan umum kepala daerah Lampung Barat pada tahun 2012 diikuti oleh 295.326

warga daerah yang memiliki hak pilih. Jumlah tersebut terdiri dari pemilih laki-laki dan

perempuan. Pemilih laki-laki berjumlah 157.321 orang dan pemilih perempuan

berjumlah 138.475 orang. Dibandingkan dengan pilkada tahun 2007, jumlah tersebut

meningkat sekitar 10% yakni 200.456 jiwa.7 Pasca berakhirnya masa jabatannya sebagai

Bupati Lampung Barat Mukhlis Basri mengikuti kontestasi pemilihan umum legislative

2019 juga menunjukan hal yang serupa Dengan perolehan 52.40 % suara DPR RI, PDIP

Lambar juga menempatkan kader terbaiknya, mantan Bupati Lampung Barat dua

periode, Mukhlis Basri, ke Senayan dan menjadi penyumbang suara terbesar dalam

raihan tiga kursi di daerah pemilihan (Dapil) Lampung 1.8

5
Disertasi Asmu’ie 2006 menulis sebuah disertasi tentang integrasi politik di Kabupaten Ketapang dengan
menggunakan landasan teori integrasi politik dan melalui sumber informasi dengan observasi langsung.
6
Cliford Geertz, The Intepretation of Cultures New York Basic Books .1973 . hlm 273 -277
7
M. Tohamaksun, Pemilukada Lampung Barat 295.326 Pemilih, http: //lampung.antaranews.com/
berita/263984/pemilukada-lampung-barat-295326-pemilih diakses pada tanggal 4/11/2019.
8
Satriawan, PDIP Lambar Dominasi Kursi Legislatif, Mukhlis Basri Lolos ke Senayan,
https://www.saibumi.com /artikel-93349-pdip-lambar-dominasi-kursi-legislatif-mukhlis-basri-lolos-ke-senayan.html
Ada kesan untuk lebih memprioritaskan etnis Lampung dalam rekruitmen politik.

Berkembang istilah “orang kita” (untuk menunjuk etnis Lampung) dan istilah “bukan

orang kita” (untuk menunjuk etnis non Lampung). Selain itu berkembangnya istilah

“orang impor” bagi etnis non Lampung.

Dalam banyak kasus, tidak terkecuali yang terjadi di Lampung Barat, dominasi etnis

mayoritas menjadi bagian tak terpisahkan dari tradisi politik yang ada. Sehingga politik

hanya bisa dikonsumsi dan dinikmati oleh kalangan etnis mayoritas saja. Sebuah pilihan

sikap politik yang jauh dari semangat demokratisasi, yang sesungguhnya menjadi

pondasi implementasi politik saat ini.

Isu etnis sebagai komoditas politik masih sering terjadi. Pemilihan isu yang diusung pun

semakin canggih. Semula diharapkan pembauran beragam etnis dengan sendirinya akan

mengaburkan isu tersebut.

Kajian Teori

Politik Identitas : Dari Persfektif hingga Pelaku

Politik identitas mendapat tempat yang teristimewa dalam beberapa tahun terakhir.

Dalam studi pasca kolonial mengenai politik identitas sudah lama digeluti. Pemikir

seperti Ania Loomba, Homi K. Bhabha dan Gayatri C Stivak adalah nama-nama yang

biasa dirujuk. Mereka di rujuk karena sumbangsihnya dalam meletakkan politik identitas

sebagai ciptaan wacana sejarah dan budaya. Sementara dalam literatur ilmu politik,

politik identitas dibedakan secara tajam antara identitas politik ( Political Identity)

dengan politik identitas (political of identity).9

9
Political identity merupakan kontruksi yang menentukan posisi kepentingan subjek didalam ikatan suatu
komunitas, politik sedangkan political identity mengacu pada mekanisme politik pengorganisasian identitas ( basik
identitas politik maupun identitas sosial) sebagai sumber dan sarana politik.
Pemaknaan bahwa politik identitas sebagai sumber dan sarana politik dalam pertarungan

perebutan kekuasaan politik sangat dimungkinkan dan kian memuka dalam praktek

politik sehari-hari. Karena itu para ilmuwan yang bergelut dalam wacana politik identitas

berusaha sekuat mngkin untuk mencoba menafsirkan kembali dalam logika yang sangat

sederhana dan lebih opersaional. Misalnya saja Castells 10 politik identitas merupakan

partisipasi indvidual pada kehidupan sosial yang lebih ditentukan oleh budaya dan

psikologis seseorang. Identitas merupakan proses kontruksi dasar dari budaya dan

psikotural dari seorang individu yang memberi arti dan tujuan hidup dari individu

tersebut, karena terbentuknya identitas adalah dari proses dialog internal dan interaksi

sosial.

Dalam diskursus teoritis politik identitas, terdapat perdebatan dua kubu besar ketika

mendefinisikan identitas, yakni kubu yang berpaham komunitarianisme dengan

liberalism (Habermas dan Hardiman 2009).11

Bagi peganut liberalism, individu adalah makhluk bebas yang tidak terkaitkonteks

kultural konkretnya (unencumbered self). Atas dasar tersebut, penganut liberalise

berpandangan bila kita mengabstraksi individu itu dengan menyingkirkan ciri-ciri

konkretnya yang berasal dari komunitasya, kita akan mendapatkan sebuah gambaran

abstrak universal tentang “manusia pada umumnya” yang bersih dari ciri-ciri dan nilai-

nilai yang berasal dari komunitas, tradisi, dan identitas kolektifnya.

Individu atau subyek yang tidak bersituasi ini hanya memiliki ciri universal yang sama,

yaitu kemampuannya memilih tujuan-tujuan menurut preferensi-preferensi

individualnya.12 Selanjutnya, dengan memakai konsep subyek etis dan subyek hukum,

10
Manuel Castells, Network Society From Knowledge to Policy..Washington, DC: Johns Hopkins Center
forTransatlantic Relations, 2010:6-7
11
Michael Sandel adalah tokoh atau ilmuwan yang mewakili kubu komunitarianisme. Berbeda dengan neo marxis,
kubu ini lebih memilih mengolah isi kritik pada ranah teori politik, dalam pijaknnya teoritisnya, para peneliti komunitarian
lebih menghubungkan diri pada Aristoteles, Hegel, Rousessau, A. Tocquevilee di =bandingkan KarlMarx. Sementara itu,
tokoh yang mewakili penganut, tokoh inspirasi kaum liberalism adalah I. Kant. T. Hobbes. J. S. Mill dan Montesque.
12
F. Budi Hardiman, Demokrasi Deliberatif, (Yogyakarta: Kanisius, 2009), Hlm. 182.
penganut liberalisme beranggapan bahwa subyek etis mengacu pada suatu identitas yang

ditentukan orientasi kultural dan arah-arah keyakinan religious. Jadi, subyek tidak

bersangkutan dengan identitas private seseorang yang dapat berubah melalui perubahan

orientasi hidup, melainkan bersangkutan dengan identitas publik.

Politik identitas mencerminkan sebuah proses dialektika dalam memahami identitas itu

sendiri, dalam membaca realitas sosial, politik identitas adalah suatu realitas sosial.

Maka, pemahaman politik identitas perlu ditempatkan dalam bingkai pemahaman

dialektika internalitasasi-ekternalitas (eksterior) dan eksternalitasasi-internalitas

(interior).

Politik identitas dalam pemahaman eksterior merupakan suatu kniscayaan dari struktur

obyektif yang terdapat di masyarakat. Realitas masyarakat multikulturalisme yang terdiri

dari latar belakang identitas yang berbeda, baik itu etnik, agama, ras maupun gender

merupakan bangunan struktur sosial yang tak dapat dikesampingkan keberadaannya.

Adanya perbedaan alami ini medorong setiap individu untuk membangun reasi sosial di

antara idividu masing-masing dalam arena kehidupan (baik sosial, ekonomi, maupun

politik). Adapun relasi yang dibangun tersebut bisa saja melekat (embedded) dengan

identitas alami yang dimiliki (agama, etnik, gender), tapi dapat juga terlepas dari konteks

identitas yang ada sebelumnya. Bahkan, dari relasi yang dibangun tersebut, tida menutup

kemungkinan lahirnya “identitas baru” dengan ciri dan karateristik yang sama sekali

berbeda dengan identitas-identitas yang ada sebelumnya.

Sementara itu, pemahaman interior, yang menekankan politik identitas, merupakan

bagian dari diri pelaku sosial. Tindakan sosial atau politik yang dilakukan aktor

senantiasa mewakili atau dipengaruhi kepentingan-kepentingan identitas asal aktor

tersebut. Berangkat dari uraian dan pemahaman eksterior dan interior tersebut, maka
pembentukan identitas (etik, agama, dan sebagainya) senantiasa bertitik tolak pada

habitus yang memiliki aktor.

TEMUAN DAN BAHASAN

KEBANGKITAN SENTIMEN KEETNISAN

Dalam konteks negara bangsa yang baru muncul Geertz berkeyakinan bahwa untuk
menguatnya sentimen keetnisan tetap besar sering dengan tetap besarnya peluang
menguatnya sentimen primordial. Hal ini terkait dengan persoalan turut sertanya segenap
elemen masyarakat ke dalam sebuah negara baru Namun dalam perkembangannya
beberapa faktor turut berperan dalam memunculkan sentimen etnis Hal ini terutama
terkait jika kemudian pemerintahan yang menggantikan penguasa kolonial sengaja
menciptakan kebijakan yang bersifat tidak proporsional.13
Terkait dengan kebangkitan sentimen etnis menurut Joseph Rothscild terdapat dua alasan
mengapa sebuah kelompok etnis yang semula berkehendak membentuk bangsa
kemudian dalam perjalanannya menjadi kehilangan orientasi nasionalismenya Pertama
hal itu disebabkan adanya kompetisi dalam bidang politik ekonomi sosial dan budaya
yang tidak imbang yang kemudian mendorong menguatnya identitas suatu kelompok
etnis Kedua adanya aktor yang menggerakkan anggota kelompok etnis sehingga
memiliki sentimen keetnisan yang kemudian mengarah pada pembentukan sebuah
bangsa yang mandiri.14
Politisasi etnik15 terjadi karena liberalisasi politik, otonomi daerah dan desentralisasi

kepegawaian. Pasca orde baru, elit-elit politik dan birokrasi memiliki kesempatan yang

lebih mudah dalam memainkan peranannya. Dalam rekrutmen politik, para elit daerah

lebih leluasa menjalankan strategi-strategi politik untuk mencapai kepentingan

13
Cliford Geertz. The Intepretation ofCultures New York Basic Books .1973 hlm 269-277
14
Joseph Rothscild. Ethnopolities A Conceptual Framework New York .Columbia University Press hlm 29
15
Fredrickson mengatakan bahwa etnik dapat dilacak melalui tanda-tanda atau pertanda yang dimiliki oleh
individu atau kelompok-kelompok sosial sosial, seperti bahasa, agama , kebiasaan dan ciri fisik yang dibawa sejak lahir
(Fredrickson, 2012:18). Pada aspek kebiasaan (budaya), Bart (1998:12-13) menganggap klasifikasi seseorang atau kelompok
setempat dalam keanggotaan suatu kelompok etnik tergantung pada kemampuan seseorang atau kelompok etnik tergantung
pada kemampuan seseorang atau kelompok ini untuk memperlihatkan sifat budaya kelompok tersebut. Selain itu, Barth
menambahkan bahwa budaya yang tampak menunjukan adanya oengaruh ekologi.
politiknya.16 Para elit daerah juga lebih leluasa memanfaatkan etnisitas sebagai bagian

dari upaya mencapai tujuan politiknya. Etnisitas bahkan menjadi alat yang cukup ampuh

untuk menciptakan isu dan “sebagai” kendaraan untuk mencapai jenjang karir politik

atau birokrasi yang lebih tinggi17. Kondisi demikian sangat jauh berbeda dengan masa

Orde baru. Secara formal, pemerintah orde baru melarang penggunaan elemen suku,

agama, ras dan antar golongan (SARA) dalam politik.

Di arena politik, identitas etnik di reproduksi sebagai doxa isu “putera daerah” yang

kebanyakan dilakukan elit lokal untuk merebut dan melanggengkan kekuasaan

politiknya. Tentang hal ini Eindhoeven tegas menyatakan momentum reformasi telah

menghantarkan para elit lokal mengonsolidasikan kekuatan identitas etnik untuk

menolak kepala daerah yang berasal dari non etniknya.18

Etnis yang mengklaim sebagai etnis asli suatu daerah berupaya untuk mendapatkan

peranan yang lebih besar dalam politik. Oleh karena itu, etnisitas berperan penting dalam

politik lokal. Begitupun kontestasi pemilukada di Lampung Barat pada tahun 2012 dan

pemilihan umum legislatif 2019 menyatakan kesamaan dan persaudaraan suatu etnis

terjadi.

Clifford Geertz mengungkapan etnisitas menjadi karakter, kualitas atau kondisi yang

dimiliki oleh suatu kelompok etnis, atapun kelompok etnis itu sendiri. Geertz

mengidentifikasikan berbagai karakteristik askriptif di sekitar kelompok etnis, yaitu

ikatan darah, ras, pola-pola dominasi, bahasa, agama, adat istiadat, geografi dan

sejarah.19 Berdasarkan beberapa definisi diatas, politisasi etnis akan rentan sekali terjadi

16
Tabah Mayanah, Tesis yang berjudul Strategi politik Etnis Lampung memanfaatkan liberalisasi politik dalam
rekrutmen jabatan publik di Propinsi Lampung tahun 1999-2007. 2014. Hlm 80.
17
Ibid.
18
Eindhoven Myrna. Identitas Representasi dan Pemerintahan di Kepulauan Mentawai Pasca orde baru dalam
politik lokal di Indonesia. 2007. Hlm100-104.
19
Clifford Geertz,. Politik Kebudayaan. Terjemah Kanisius, Yogyakarta, 1994, Hlm. 39
apabila masalah etnis telah diangkat dalam isu-isu pemilu. Etnis sebagai instrumen

politik yang dapat dimanfaatkan untuk memobilisasi massa memang dapat mendorong

terjadinya fragmentasi di masyarakat. Demikian juga hal dengan etnisitas, identitas

berdasarkan etnis juga mengalami penonjolan sedemikan rupa. Etnisitas menjadi isu

yang penting dalam rekrutmen birokrasi, penentuan pejabat publik, pilkada langsung,

penentuan pejabat partai, dan anggota legislatif.

Karena karakteristik itu muncullah kekerabatan. Pada masa orde baru jabatan-jabatan

publik maupun jabatan-jabatan politik di Lampung secara umumnya maupun khusus di

Lampung Barat di dominassi etnis Lampung. Jumlah etnis Lampung yang menduduki

jabatan birokrasi dan jabatan politik semakin meningkat Isu “Putera Daerah” menjadi

respon atas perkembangan politik lokal.

Menurut Firmanzah konsep persaingan politik merupakan dapat memenangkan

kompetisi pemilu sesuai dengan aturan dan ketentuan yang berlaku, dimana partai politik

perlu memonitor dan mengevaluasi setiap strategi dan aktifitas yang dilakukan partai lain

layaknya prinsip ‘zero sum’ setiap kemenangan dari satu pemain merupakan kekalahan

dari pihak lain.20

Isu etnis sebagai paling komersil sebagai komoditas politik. Pemilihan isu yang diusung

pun semakin variatif. Semula diharapkan pembauran beragam etnis dengan sendirinya

akan mengaburkan isu tersebut. Karena sebagian masyarakat kita masih hidup di wilayah

perdesaaan yang bersifat homogen dan sangat peka pada isu identitas sosial mereka. Isu

tentang etnis Jawa dan Lampung kembali menjadi perbincangan hangat menjelang

pemilihan umum kepala daerah (pemilukada) di Lampung Barat periode 2012-2017.

Dalam beberapa kesempatan masa pencalonan Mukhlis Basri sering silaturahmi dengan

masyarakat maupun ketua adat minta restu untuk pencalonan di pilkada 2012. Dalam
20
Firmanzah .Marketing Politik; Antara Pemahaman dan Realitas (Jakarta: Yayasan. Obor Indonesia, 2008) hlm 33
beberapa pertemuan terakhir Mukhlis Basri dan Makmur Azhari memang konsisten dan

komitmen terhadap tokoh-tokoh adat dan adat istiadat Sai Batin khususnya di Lampung

barat. Istilah orang kita itu muncul ketika itu mendaftarkan diri sebagai calon kepala

daerah kita, membangun daerah kelahiran patut di kedepankan terutama putera daerah.

Bentuk perhatian Mukhlis-Makmur banyak kegiatan-kegiatan adat, dan upacara-upacara

adat Sai Batin yang dijadikan agenda tetap daerah dan pariwisata di Kabupaten Lampung

Barat ini juga yang menjadi nilai tambah Mukhlis.21

Menurut Dwyer22, pembedaan antara “orang dalam” (insider) dan “orang luar” (out

sider) merupakan syarat dari etnisitas. Tanpa pembedaan tersebut tidak akan ada

etnisitas. Solidaritas dan persaudaraan secara ”Kepaksiaan” dimaksudkan dapat

mempersatukan yakni jiwa persatuan dan kesatuan nyata di Lampung Barat, begitupun

komitmen masyarakat di Lampung Barat pada umumnya setiap individu memiliki

keeratan dan komitmen.

Politik etnisitas merupakan praktek politik yang berdasarkan identitas kelompok etnis,

yang merupakan kontras dari praktek pilitik yang berdasarkan kepentingan (interest),

politik etnisitas merupakan bentuk mobilisasi politik atas dasar identitas kolektif etnis,

yang sebelumnya disembunyikan, ditekan, atau diabaikan oleh kelompok dominan atau

oleh agenda politik. Dengan demikian politik etnisitas menggunakan etnis sebagai basis

tindakan politik, bukan berbasis pada kepentingan. Pernyataan dari masyarakat

mengatakan Mukhlis konsisten dan komitmen terhadap tokoh-tokoh adat istiadat Sai

21
Hasil wawancara dengan Cahyadi Muis “faktor pertama karena Mukhlis incumbent. Faktor kedua kedekatan
Mukhlis dengan tokoh-tokoh adat, kedekatan ini sudah dibangun Mukhlis pada saat 5 tahun sebelum periode ke 2 dia
menjabat Bupati, bantuan serta perhatian yang diberikan Mukhlis pada adat istiadat di Lampung Barat ini yang menjad
nilai lebih Mukhlis.”
22
Dwyer, Larry, Peter Forsyth, and Rao Prasada. "Tourism price competitiveness & journey purpose." Turizam
47.4 (1999): hlm 47.
Batin di Lampung barat. Dengan masyarakat pun sangat dekat dalam perhatiaan

apapun.23

Dari beberapa presentase etnis yang menduduki jabatan partai dan menjadi calon anggota

legislatif juga mengalami peningkatan. Pada pemilihan kepala daerah secara langsung

(pilkada langsung) di Kabupaten/Kota menunjukan bahwa semakin banyaknnya calon

yang berasal dari etnis Lampung. Isu “putera daerah” merupakan isu yang menonjol

dalam pilkada langsung. Hasilnya pada tahun 2005 ketika pilkada pertama kali digelar,

dari enam pilkada di kabupaten/kota dua wilayah Way Kanan dan Lampung Tengah

kepala daerahnya beretnis Lampung, sementara tiga pasangan beretnis Jawa dan satu

pasangan beretnis berasal dari wilayah Sumatera Selatan, sedangkan untuk posisi wakil

kepala daerah lima beretnis Lampung dan satu beretnis Jawa.24

Melihat polarisasi kesukuan dalam peningkatan suara kemenangan dalam hal ini efektif

dalam arti pemilih yang cenderung homogen dapat dimungkinkan politisasi etnis dalam

suatu daerah pada pemilukada di beberapa kota di Indonesia khususnya Lampung

mengedepankan egaliter dan prinsip kebersamaan.

Tentu ada beberapa faktor pendukung serta benang merah untuk mengetahui alasan

kemenangan incumbent dalam kontestasi karena adanya anggapan dipermukaan

kemenangan incumbent adanya bantuaan dan mobilisasi dari kelompok sai bathin. Pada

dasarnya warga adat sai bathin secara umum merupakan kolektivitas sosial yang

memiliki aturan-aturan internal dan ketekadan yang kuat. Secara kultural merupakan satu

kesatuan hidup yang diatur oleh peraturan dan norma sosial dan hukum adat yang

berkembang. Selain itu juga mematuhi asas perintah atau daulah dari raja karena sifatnya

23
Berikut pernyataan Sobirin sebagai ketua tim pemenangan Mukhlis Basri :“ya pendekatan bapak dengan
masyarakat dari kesukuan dan perhatiaan nya sudah jelas ya, dalam kampanye pun beliau fokus pada budaya”
24
Arizka Warganegara. Lampung Post, Selasa, 18 Maret 2014
mengikat. Di sisi lain seorang penyimbang adat mempunyai kewenangan untuk membuat

keputusan hasil musyawarah.25

Karakteristik lainnya fatwa dan kewenangannya mengatur serta melindungi stabilitas

hubungan sosial warganya tentunya menekankan pada konsensus dalam upaya

penyerasian terhadap berbagai kepentingan masyarakatnya. Hal inilah menjadi

perhatiaan khususnya bagi incumbent yang memanfaatkan potensi putera daerah

mengembangkan daerahnya.26

Karena karakteristik ‘kekitaan’ diantara para anggotanya maka muncullah arti

kekerabatan. Bahwa paling tidak suatu kelompok etnis telah menjalin kontak atau

hubungan dengan etnis lain diluarnya agar pemaknaan polarisasi menuju kemajemukan

nyata.27

Politik etnisitas merupakan aktualisasi politik yang berdasarkan dari kelompok etnis,

yang berdasarkan kepentingan. Politik etnisitas merupakan bentuk mobilisasi politik atas

dasar identitas kolektif etnis, yang sebelumnya disembunyikan ditekan atau diabaikan

oleh kelompok dominan atau oleh agenda politik.

Yang terjadi politisasi terhadap etnik di Lampung Barat dengan mengakomodasi

kepentingan adat di Lampung Barat, menjadikan agenda tahunan wajib bagi pemda

ketika pak Mukhlis bila menang dan tentunya kepentingan untuk kegiatan adat sangat

25
Hasil wawancara Lanjut pernyataan Pangeran Edward Syah Pernong :“ Kepaksiaan dimaksudkan dapat
mempersatukan, di Lampung Barat perasaan dan rasa kesatuan begitu nyata, begitupun dalam pemilu setiap individu
memiliki keeratan dan berkomitmen apabila mendukung salah satu calon”
26
Hasil wawancara dengan tokoh adat Andri Meri Yusdiantoro: ”Pak Muklis sudah aktif di partai sejak lama
tentu koordinasi sangat solid ditambahkan aktif di organisasi kesukuan ataupun ormas yang ada sehingga tinggal
menjalankan nya saja, terlebih kesatuan suku itu yang dominan dalam mobilisasi kerabat satu akan menyampaikan dengan
kerabat lainnya”
27
Istilah masyarakat majemuk, ungkapan Furnivval (2009). Masyarakat majemuk menurut Furnivall adalah suatu
masyarakat yang terdiri dari satu atau lebih golongan atau tata sosial yang hidup berdampingan, tapi tanpa berbaur, dalam
satu unit politik,furnivall mengatakan bahwa Indonesia adalah satu dari sekian negara tropis yang mempunyai tipe ekstrem
masyarakat majemuk. Negara lainnya yang berciri masyarakat majemu seperti Kanda, Perancis, Amerika Serikat dan Afrika
Selatan.
diperhatikan bisa dikatakan pendekatan persuasif didapat. Pendekatan itu ada bahwa

tokoh-tokoh adat memiliki pengaruh yang besar di masyarakat jadi intens.

Perjuangan politik identitas

Perjuangan politik identitas pada dasarnya ialah perjuangan kelompok atau orang-orang

pinggiran (pariferi), baik secara politik, sosial, maupun budaya dan ekonomi. Pendekatan

khusus yang dilakukan oleh pak Mukhlis dan tim kampanye dengan tokoh-tokoh adat Sai

Batin di Lampung Barat yakni melakukan kegiatan dengan tokoh-tokoh adat Sai Batin

ini misalnya dengan mengumpulkan tokoh-tokoh adat dalam kagiatan formal dan

Mukhlis memiliki komunikasi yang baik dengan tokoh-tokoh adat khususnya pangeran

Edward Syah Pernong.

Hal ini yang menjadi kekuatan utama dari calon incumbent yang memanfaatkan potensi

putera daerah mengembangkan daerahnya. Dalam hal ini incumbent Mukhlis selaku

calon bupati Lampung Barat mengakomodasi segala kepentingan dewan adat di

Lampung Barat maupun berbagai kegiatan yang gunanya untuk pendekatan ke konsituen,

tentu kedekatan sekaligus putera daerah yang ingin membangun serta disambut baik oleh

keturunan kerajaan dari Skala bekhak. Dan dari kriteria tersebut Mukhlis selaku putera

daerah memiliki ciri pemimpin sesuai ideologi atau aturan yang dmiliki kerajaan skala

bekhak yakni Orang yang bisa menjaga kerukunan dan keberagaman, Menjunjung tinggi

nilai-nilai lokal, Memiliki sikap egaliterian dan tata krama, Akomodatif terhadap

pemerintah pusat, Memiliki akhlakul karimah yang baik, Konsisten dalam

mengedepankan hukum, dan nilai-nilai adat istiadat di Lampung Barat.

Elit-elit politik dan birokrasi di daerah memiliki kesempatan yang lebih luas untuk

memainkan peranannya. Dalam rekrutmen politik, para elit daerah lebih leluasa

menjalankan strategi-strategi politik untuk mencapai kepentingan politiknya. Para elit


daerah juga lebih leluasa memanfaatkan sentimen etnik sebagai dari upaya untuk

mencapai tujuan politiknya. Etnisitas bahkan menjadi alat yang cukup ampuh untuk

menciptakan isu dan sebagai “kendaraan” untuk mencapai jenjang karir politik atau

birokrasi yang lebih tinggi. Dalam mencalonkan diri tidak ada janji-janji tertentu pada

masyarakat.

Hanya saja program yang ditawarkan yakni pendidikan, kesehatan, sosial, dan agama.

Dalam mencalonkan diri sudah pasti bekal SDM sangat dibutuhkan. Menurut David

Leviathan,28 argumen yang digunakan adalah bahwa tingkat penerimaan masyarakat akan

jauh lebih tinggi jika komposisi pegawai instansi pemerintah memperhatikan keragaman

masyarakat Amerika Serikat.29 Semakin tinggi tingkat keterwakilan kelompok-kelompok

yang ada dalam masyarakat kedalam tubuh birokrasi maka legitimasi sebuah kebijakan

akan semakin tinggi.30 Disisi lain, liberalisasi politik telah mendorong konsistensi politik

antar elite yang berimplikasi pada netralitas birokrasi. PNS yang seharusnya bekerja pada

prinsip-prinsip netralitas untuk melayani masyarakat, berubah menjadi mesin politik

yang digunakan untuk memobilisasi dukungan dan perolehan suara dalam pemilihan

kepala daerah, terutama bagi incumbent. Kondisi dan situasi politik yang dihadapi PNS

telah menciptakan dilema netralitas.

Fenomena yang berkembang di dalam implementasi kebijakan Desentralisasi  yang

berkaitan dengan kondisi birokrasi bahwa belum didukung perangkat hukum yang kuat

di dalam menjaga netralitas birokrasi. Strategi sosialisasi yang dilakukan untuk

mengumpulkan basis masa yakni dengan melibatkan PNS dari kota hingga desa yang

dipakai dalam kampanye Mukhlis.

28
David Leviathan, Mencari Bentuk Otonomi Daerah; Suatu Solusi Menjawab Kebutuhan Lokal dan
Tantangan Global, (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), Hlm. 37.
29
Politik yang diartikan alat untuk mencapai tujuan kerakyatan tidak dapat berjalan pada praktiknya apabila tidak
terdapat legitimasi dan konsensus.
30
Mendasari seluruh konotasi negatif akan makna politik, maka politik kenegaraan membutuhkan penguatan agar
dapat menjamin kelangsungan pelaksanaan prosedural politik itu sendiri.
Mc Carthy dalam Tarrow31 menyebutkan bahwa struktur mobilisasi politik memiliki dua

kategori yaitu kategori formal dan informal. Kategori formal meliputi lembaga dan

kelompok masyarakat yang terorganisir, sedangkan kategori informal adalah jaringan

kekerabatan dan pertemanan. Dalam hal ini incumbent Muklis aktif di partai PDIP sejak

lama sangat tentu koordinasi sangat solid ditambahkan aktif di organisasi kesukuan

ataupun ormas yang ada sehingga mudah menjalankannya saja, terlebih kesatuan suku itu

yang dominan dalam memobilisasi suara khususnya dan dalam mobilisasi kerabat satu

akan menyampaikan dengan kerabat lainnya.

Serta strategi kampanye yang dilakukan pada pilkada 2012 adalah dengan

mengoprasionalkan visi dan misi yang sudah dirumuskan. Misalnya dengan

mengarahkan program pembangunan, penyediaan sarana dan prasarana, pelestarian

kebudayaan daerah peningkatan pertumbuhan ekonomi, peningkatan kualitas pendidikan

12 tahun, dan kesehatan. Selain itu incumbent Mukhlis mengedepankan program

berkelanjutan selama periode sebelumnya. Selain itu membangun komunikasi dengan

memobilisas beberapa elemen masyarakat seperti jaringan petani, pedagang, fajar sunda,

paguyuban Jawa Barat dan masyarakat Lampung Sai Batin.

Dalam melakukan kampanye, Mukhlis Basri menggunakan tim kampanye. Dalam

membangun jaringan mobilisasi politik dilakukan oleh relawan dan bersama-sama

dengan tim dari partai kota atau provinsi. Tim ahli/ tim kampanye dalam berkampanye

menggunakan SWOT, karena calon bupati adalah product yang setiap harinya harus

ditinjau perkembangannya. Evaluasi kampanye selalu dilakukan setiap hari dengan tim

kampanye.

31
John D. McCarthy dan Mayer N. Zald (editor’s), Comparative Perspectives on Social Movements:
Political Opportunities, Mobilizing Structures, and Cultural Pembingkaians, (USA: Cambridge Universuty Press,
1986), Hlm. 48.
Perubahan politik, aturan main, dan tata kelembagaannya membawa pengaruh yang

sangat signifikan. Tidak hanya pada politik level nasional, namun pengaruhnya juga

merambah pada ranah politik lokal. Perubahan-perubahan tersebut memberikan

kewenangan yang besar kepada masyarakat dan pemerintah daerah. Perubahan juga

berdampak kepada bangkitnya kesadaran daerah dan kesadaran etnis lokal yang

memungkinkan terjadinya reclaiming position oleh etnis lokal. Pada tingkat lebih lanjut,

semua perubahan politik yang diakibatkan oleh liberalisasi politik memberikan peluang

terjadinya politisasi etnis. Politisasi etnis tidak hanya dilakukan pada ranah politik, tetapi

juga pada rekruitmen pada jabatan publik.

Dalam hal ini pada pelaksanaanya rekruitmen jabatan publik disesuaikan dengan

keinginan dan kepentingan Bupati yang terpilih, dengan memanfaatkan celah-celah

peraturan yang ada. Selain memberikan kekuasaan yang besar kepada kepala daerah,

perubahan politik juga menyebabkan kebangkitan etnis. Pada akhirnya panggung politik,

birokrasi dan roda ekonomi dikuasa etnis mayoritas sesuai ‘kekitaan’.


Kesimpulan

Identitas etnik dalam kontestasi politik lokal tidak bisa lepas dari kuasa simbolis, ekonomi
dan politik. Identitas etnik sebagai instrument dalam arena ekonomi politik lokal, dapat
dimulai dari melihat posisi subjektif aktor ketika memainkan peran yang menentukan
tersebut. Pada kemenngan mukhlis basri baik pemilihan umum kepala daerah 2012 maupun
pemilihan umum legislative 2019 adanya bantuan dan mobilisasi dari kelompok adat Sai
Batin serta mengakomodasi kepentingan politiknya, Sai Batin sendiri suatu suku/kelompok,
garis keturunan yang bermakna satu batin atau memiliki satu junjungan, Begitupun dengan
sikap politik dari suku ini, apabila ada perintah dan masukan dari ketua adat ataupun raja
merupakan suatu hal yang diikuti (primordial). Kewenangan dan fatwanya secara internal
dipatuhi sebagai norma hukum yang dapat mengatur dan melindungi stabilitas hubungan
sosial antar warga, termasuk keserasian hubungan masyarakat dengan alam sekitar. Hal ini
yang menjadi kekuatan utama dari calon incumbent yang memanfaatkan potensi putera
daerah mengembangkan daerahnya. Warga masyarakat adat Saibatin secara umum
merupakan sejumlah kolektivitas sosial yang masing-masing memiliki aturan internal
tersendiri. Secara kultural masyarakat adat Saibatin merupakan kesatuan-kesatuan hidup yang
diatur oleh peraturan-peraturan yang berasal dari norma-norma sosial dan hukum adat yang
hidup berkembang dalam masyarakat bersangkutan. Eksitensi institusi perwatin adat
merupakan wadah penyimbang adat dalam setiap musyawarah, terutama mengenai urusan
adat dan kemasyarakatan. Seorang penyimbang adat mempunyai kewenangan untuk
membuat keputusan hasil musyawarah.
Serta mobilisasi untuk mempengaruhi pemilih Mukhlis menjalin silahturahmi dan komitmen
terhadap tokoh-tokoh adat dan adat istiadat Sai Batin di Lampung barat dimana ketua adat
sebagai tim sukses untuk mengarahkan, mengajak untuk mendukung, memilih serta bantuan
sharing terhadap strategi Pemerintahan Lampung Barat kepemimpinan Mukhlis Basri juga
begitu besar perhatiannya pada adat istiadat Sai Batin. Bentuk perhatiannya banyak kegiatan-
kegiatan adat, dan upacara-upacara adat Sai Batin yang dijadikan agenda tetap daerah dan
pariwisata di Kabupaten Lampung Barat. Begitupun kedekatan dengan masyarakat
pendekatan persuasif Mukhlis dapat menarik simpati masyarakat dengan menaruh perhatian
besar kepada adat setempat serta kepentingan umum.
DAFTAR PUSTAKA
Abd Halim. 2014. Politik Lokal. Yogyakarta: Lembaga Pengkajian Pembangunan Bangsa.
247 halaman.

Abdilah S, Ubed. 2002. Politik Identitas Etnis, Pergulatan Tanda Tanpa Identitas. Magelang:
Indonesia.

Asmu’ie. 2006. Integrasi politik di Kabupaten Ketapan. Disertasi

Bown, David. 1994. The State And Ethnic Politics in South East Asia. New York and
London: Routledge.

Bourdieu, Pierre. 2011. Chose Dites: Uraian dan Pemikiran. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Bourdieu, Pierre. 2010. Arena Produksi Kultural: Sebuah Kajian Sosiologi Budaya.
Terjemahan The Field Of Cultural Production: Essays on Art and Leterature.
Yogyakarta:Kreasi Wacana

Bourdieu, Pierre, and Passeron, J.-C. 1979. The Inheritors: French Students and their
Relations to Culture. University of Chicago, Press. Chicago.

Buchori, Sri Astuti. 2014. Kebangkitan Etnis Menuju Politik Identitas. Jakarta: Yayasan
Pustaka Obor Indonesia. 230 halaman.

Castells Manuel, Network Society From Knowledge to Policy..Washington, DC: Johns


Hopkins Center for Transatlantic Relations, 2010:6-7

Derks, T. and Roymans, N. (Eds). 2009. The Role Power and Tradition: Ethnic Constucts in
Antiquity. Amsterdam: Amsterdam University Press.

Dwyer, Larry, Peter Forsyth, and Rao Prasada. 1999 "Tourism price competitiveness &
journey purpose." Turizam 47.4 (): hlm 47.

Eindhoven, Myrna. 2007. Penjajah Baru? Identitas, Prepresentasi, dan Pemerintahan di


Kepulauan Mentawai Pasca Orde Baru. Dalam “Politik Lokal di Indonesia”
(Nordholt, HS. Dan Klinken, G. (Ed). Jakarta. Yayasan Obor Indonesia.

F. Budi Hardiman, Demokrasi Deliberatif, (Yogyakarta: Kanisius, 2009), h. 182

Firmanzah. 2008. Marketing Politik; Antara Pemahaman dan Realitas Jakarta: Yayasan.
Obor Indonesia.

Geddes, Barbara. 1994. Politicion’s Dilemma, Building State Capasity in Latin America.
California: University of California Press.

Geertz Cliford. 1973. The Intepretation ofCultures New York Basic Books .. hlm 273 -277

Geovanie Jeffrie. 2013. The Pluralism Project: Potret Pemilu, Demokrasi, dan Islam di
Amerika. Jakarta Selatan: Expose (PT Mizan Publika). 262 halaman.
Junaedi Fajar. 2013. Komunikasi Politik: Teori, Aplikasi dan Strategi di Indonesia.
Yogyakarta: Buku Litera Yogyakarta. 222 halaman.

John D. McCarthy dan Mayer N. Zald (editor’s). 1986. Comparative Perspectives


on Social Movements: Political Opportunities, Mobilizing Structures, and
Cultural Pembingkaians, (USA: Cambridge Universuty Press,),.

Maryanah Tabah,. 2014. Strategi politik Etnis Lampung memanfaatkan liberalisasi politik
dalam rekrutmen jabatan publik di Provinsi Lampung tahun 1999-2007. Tesis Hlm 80

Miles, Matthew B, dan A. Michael Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif. Jakarta: UI
Press. 490 halaman.

Muhtar Haboddin, 2012, Menguatnya Politik Identitas di Ranah Lokal. Jurnal Studi Ilmu
Pemerintahan Unversitas Brawijaya Malang

Nordholt Henk Schulte, Gerry Van Klinken, Ireen Karang Hoogenboom. 2007. Politik Lokal
di Indonesia. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. 706 halaman.

Nurhasi Moch. 2005. Konflik Antar Elit Politik Lokal Dalam Pemilihan Kepala Daerah.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 309 halaman.

Leviathan David. 2003. Mencari Bentuk Otonomi Daerah; Suatu Solusi Menjawab
Kebutuhan Lokal dan Tantangan Global, (Jakarta: Rineka Cipta,)

Ritzer, G. dan Goodman, DJ., Teori Sosiologi Modern, Jakarta: Kencana, 2003. Hal 45

Rothscild Joseph. Ethnopolities A Conceptual Framework New York .Columbia University


Press hlm 29

Said Edward W. 2005. Bukan Eropa Freud dan Politik Identitas Timur Tengah. Tanggerang:
C.V Langit Aksara. 72 halaman.

Sjaf Sofyan. 2014. Politik Etnik Dinamika Politik Lokal di Kendari. Jakarta: Yayasan Pustaka
Obor Indonesia. 385 halaman.

Sri Astuti Buchari 2014.Kebangkitan Etnis Menuju Politik Identitas, Yayasan Pustaka Obor
Indonesia Jakarta, 2014. 230 Halaman

Sujadi Firman. 2013. Lampung Sai Bumi Ruwa Jurai. Jakarta: Cita Insani Madani.

Widyawati Nina. 2014. Etnisitas dan Agama Sebagai Isu Politik. Jakarta: Yayasan Pustaka
Obor Indonesia. 245 halaman.

Anda mungkin juga menyukai