Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH

POLITIK IDENTITAS

DOSEN PENGAMPU:
Purnama, S.IP ., M.AP

Di Susun Oleh
Kelompok 1
Deswita Putri ASMI
Hasrin
Imelda
Shelvy Damayanti

FAKULTAS PENDIDIKAN PANCASILA DAN


KEWARGANEGARAAN
UNIVERSITAS MUSLIM BUTON
2023/2024
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadiran Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan hidayah-Nya,
penulis dapat menyelesaikan tugas makalah ini yang berjudul “ POLITIK
IDENTITAS” dengan tepat waktu.

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Pendidikan Pancasila
dan Kewarganegaraan. Selain itu, makalah ini bertujuan untuk menambah
wawasan bagi para pembaca dan juga bagi penulis.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Purnama, S.IP ,. M.AP selaku


dosen pengampuh pada mata kuliah ini. Penulis menyadari makalah ini masih
jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, saran dan kritik yang membangun
diharapkan demi kesempurnaan makalah ini.

Dengan hormat

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
B. Rumusan Masala
C. Tujuan Penulisan

BAB II PEMBAHASAN

A. Sejarah Politik Identitas


B. Perkembangan Politik Identitas
C. Studi Kasus, Peristiwa, dan Contoh Riil tentang penggunaan politik
identitas
D. Alasan Tidak Setuju Dengan Penggunaan Politik Identitas

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan
B. Saran

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

politik identitas adalah sebuah alat politik suatu kelompok seperti


etnis, suku, budaya, agama atau yang lainnya untuk tujuan tertentu. Misalnya
sebagai bentuk perlawanan atau sebagai alat untuk menunjukkan jati diri suatu
kelompok tersebut. Identitas akan dipolitisasi sedemikian rupa untuk
menangkap simpati orang-orang agar merasa ‘sama’ baik secara ras, suku,
budaya, agama dan sebagainya.

Istilah politik identitas pertama kali dicetuskan oleh feminis kulit


hitam, Barbara Smith dan Combahee Rivel Collective pada 1974. Politik ini
berawal dari kebutuhan untuk membentuk kembali gerakan-gerakan yang
sejak dahulu selalu mengutamakan kesamaan yang monoton dibanding nilai
strategis dari perbedaan. Sederhana, politik identitas adalah ketika orang-
orang dari ras, etnis, gender atau agama tertentu beraliansi dan membentuk
kelompok secara politik untuk membela kepentingan kelompok mereka.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah politik identitas?
2. Bagaimana perkembangan politik identitas
3. Bagaimana studi kasus, peristiwa, dan contoh riil tentang penggunaan
politik identitas?
4. Apa alasan tidak setuju penggunaan politik identitas?
C. Tujuan penulisan
1. Untuk mengetahui sejarah politik identitas.
2. Untuk mengetahui perkembangan politik identitas.
3. Untuk mengetahui studi kasus, peristiwa, dan contoh riil tentang
penggunaan politik identitas.
4. Untuk mengetahui alasan tidak setuju penggunaan politik identitas.

BAB II

PEMBAHASAN

A. SEJARAH POLITIK IDENTITAS

Istilah politik identitas pertama kali muncul pada tahun 1970-an. Kala itu
di Amerika Serikat muncul ragam gerakan sosial politik dalam skala besar yang
dilakukan oleh orang-orang Amerika-Afrika.

Menurut Kauffman, gerakan mahasiswa SNCC (The Student Nonviolent


Coordinating Committee) yang merupakan gerakan sipil di Amerika Serikat di
tahun 1960, menjadi simbol dari asal usul pelacakan politik identitas. Kala itu
terjadi diskriminasi terhadap kesetaraan warga negara dimana kaum Amerika kulit
hitam tidak diperbolehkan untuk menggunakan sekolah, gereja, restoran, bus, dan
fasilitas lainnya.

Dalam catatan sejarawan dan sosiolog Hugh Davis Graham, di Amerika


pada tahun 1960-an ditemukan beberapa kebijakan-kebijakan negara yang
cenderung melemahkan hak-hak masyarakat sipil terutama terhadap kelompok
minoritas. Oleh karena itu awalnya politik identitas identik dengan melawan
penindasan dan membela kaum minoritas.

Adapun beberapa tokoh dalam sejarah yang memelopori gerakan- gerakan


politik identitas di Amerika tersebut antara lain adalah Martin Luther King, Rosa
Parks, Malcom X, dan banyak tokoh lainnya. Hingga pada tahun 1964, Presiden
Amerika, Lyndon B. Johnson menanda tangani Civil Right Act. Civil Rights Act
menandai penghapusan diskriminasi berdasarkan ras, warna kulit, agama, asal
bangsa dan lainnya.

Melansir dari Wikipedia (11/5/2023), politik identitas adalah sebuah alat


politik suatu kelompok seperti etnis, suku, budaya, agama atau yang lainnya untuk
tujuan tertentu. Misalnya sebagai bentuk perlawanan atau sebagai alat untuk
menunjukkan jati diri suatu kelompok tersebut. Identitas akan dipolitisasi
sedemikian rupa untuk menangkap simpati orang-orang agar merasa ‘sama’ baik
secara ras, suku, budaya, agama dan sebagainya.

Istilah politik identitas pertama kali dicetuskan oleh feminin kulit hitam,
Barbara Smith dan Combahee River Collective pada 1974. Politik ini berawal dari
kebutuhan untuk membentuk kembali gerakan-gerakan yang sejak dahulu selalu
mengutamakan kesamaan yang monoton dibanding nilai strategis dari perbedaan.
Sederhananya, politik identitas adalah ketika orang-orang dari ras, etnis, gender
atau agama tertentu beraliansi dan membentuk kelompok secara politik untuk
membela kepentingan kelompok mereka.

Politik Identitas di Indonesia, sebagaimana dikutip dari Ma’arif dalam


bukunya Politik Identitas dan Masa Depan Pluralisme Indonesia”, menjelaskan
bahwa khususnya di Indonesia, politik Identitas lebih terkait dengan etnisitas,
agama, ideologi dan kepentingan lokal yang diwakili umumnya oleh para elite
politik dengan artikulasinya masing-masing (Ma’arif, 2012: 55). Gerakan
pemekaran daerah dapat dipandang sebagai salah satu wujud dari politik identitas
tersebut. Isu-isu tentang keadilan dan pembangunan daerah menjadi sangat sentral
dalam wacana politik mereka, sehingga lebih banyak dipengaruhi oleh ambisi para
elit lokal untuk tampil sebagai pemimpin, merupakan masalah yang tidak selalu
mudah dijelaskan. Tentu berbeda dengan pemahaman sejarah nasionalisme di
Indonesia dahulu, yang awal mulanya merupakan sebuah ideologi, sebagai bentuk
perlawanan terhadap kolonialisme yang dimulai dengan penerbitan koran Medan
Prijaji milik pengusaha pers dan jurnalis pribumi pertama R.M. Tirtoadisoerjo.
Sikap kritisnya selalu dituangkan dalam bentuk tulisan-tulisan yang tentu banyak
membuat para pejabat-pejabat Hindia Belanda geram, begitu pun pengungkapan-
pengungkapan skandal-skandal korupsi di lingkungan birokrasi kolonial.
Akibatnya, tahun 1912 surat kabar ini dilikuidasi dengan alasan utang dan
penipuan, dan Tirtoadisoerjo dibuang ke Ambon.

Contoh dari Politik Identitas

Contoh dari politik identitas ini dapat ditemui melalui gerakan sosial
politik di dalam maupun luar negeri. Salah satunya gerakan Afro-Amerika yang
mengklaim persamaan ras.

Ada juga gerakan kelompok adat yang memperjuangkan hak pengelolaan


tanah ulayat. Gerakan gender yang memperjuangkan kesetaraan dan keadilan
dalam ketenagakerjaan juga tergolong sebagai contoh politik identitas.

Kontribusi mereka dalam hal ini adalah telah meletakkan politik identitas
sebagai ciptaan dalam wacana sejarah dan budaya. Sedangkan dalam literatur ilmu
politik, politik identitas betul-betul dipilah, sehingga terlihat perbedaan yang jelas
tentang apa itu politik identitas (political of Identity) dan apa itu identitas politik
(political identity). Identitas politik (Political identity) merupakan sebuah
konstruksi yang menentukan posisi kepentingan subjek, di dalam ikatan suatu
komunitas politik. Adapun politik Identitas (political of identity) akan mengacu
pada mekanisme politik pengorganisasian identitas, baik itu dalam identitas
politik maupun identitas sosial yang menjadi sumber dan sarana politik
(Setyaningrum, 2005: 19).

Sangat dipahami bahwa politik identitas sebagai sumber dan sarana politik
dalam pertarungan perebutan kekuasaan politik kian terlihat dalam praktek politik
kekinian. Apalagi menjelang pesta demokrasi akbar yang akan dilaksanakan pada
tahun 2019 di Indonesia melalui agenda besar bernama PEMILU saat ini.

Sebenarnya Donald L Morowitz (1998), salah satu pakar politik dari


universitas Duke telah mendefinisikan politik identitas sebagai pemberian garis
yang sangat tegas untuk menentukan siapa yang akan disertakan dan siapa yang
akan ditolak. Garis penentuan tersebut tentu akan tampak tidak dapat dirubah.
Karena itu maka status baik sebagai anggota dan bukan anggota akan terlihat
bersifat permanen. Sedangkan para ilmuwan yang bergelut dalam wacana politik
identitas lainnyapun, telah mencoba menafsirkan kembali dalam logika yang
sangat sederhana dan lebih operasional. Sebut saja Agnes Heller misalnya, yang
telah mendefinisikan politik identitas adalah sebagai sebuah gerakan politik yang
fokus perhatiannya adalah pada suatu perbedaan sebagai suatu kategori politik
yang utama.

Agnes Heller (Abdillah, 2002: 22) menggambarkan terkait politik identitas


dalam hal ini sebagai politik, yang difokuskan pada suatu pembedaan, dimana
sebagai kategori utamanya adalah menjanjikan kebebasan, toleransi, dan
kebebasan bermain (free play) walaupun pada akhirnya akan memunculkan pola-
pola intoleransi, kekerasan dan pertentangan etnis. Pada akhirnya politik identitas
juga dapat mencakup rasisme, bio-feminisme, Environmentalism (politik isu
lingkungan), dan perselisihan etnis.

Berbeda halnya di Era politik kontemporer saat ini, politik identitas


mengancam sikap nasionalisme dan pluralisme yakni sebuah realitas kegamangan
yang dialami bangsa Indonesia terkait menguatnya politik identitas. Oleh karena
itu, bila dilacak dari sejarah Indonesia, politik identitas yang muncul cenderung
bermuatan etnisitas, agama dan ideologi politik. Terkait dengan kondisi bangsa
Indonesia yang multikulturalisme, maka politik identitas dapat menjadi bahan
kajian yang menarik untuk ditelaah jika dihubungkan dengan penguatan
nasionalisme bangsa.

politik identitas adalah sebuah alat politik suatu kelompok seperti etnis, suku,
budaya, agama atau yang lainnya untuk tujuan tertentu. Misalnya sebagai bentuk
perlawanan atau sebagai alat untuk menunjukkan jati diri suatu kelompok
tersebut. Identitas akan dipolitisasi sedemikian rupa untuk menangkap simpati
orang-orang agar merasa ‘sama’ baik secara ras, suku, budaya, agama dan
sebagainya.

Istilah politik identitas pertama kali dicetuskan oleh feminin kulit hitam,
Barbara Smith dan Combahee River Collective pada 1974. Politik ini berawal dari
kebutuhan untuk membentuk kembali gerakan-gerakan yang sejak dahulu selalu
mengutamakan kesamaan yang monoton dibanding nilai strategis dari perbedaan.
Sederhana, politik identitas adalah ketika orang-orang dari ras, etnis, gender atau
agama tertentu beraliansi dan membentuk kelompok secara politik untuk membela
kepentingan kelompok mereka.

 Pengertian Politik Identitas

Pengertian mengenai politik identitas tidak lepas dari makna identitas itu
sendiri. Dalam buku Sejarah Sosial Pendidikan Islam dengan penerbit Guepedia
(2022) disebutkan identitas atau jati diri adalah pengakuan terhadap seorang
individu atau suatu kelompok tertentu yang menjadi satu kesatuan menyeluruh
yang ditandai dengan masuk atau terlibat dalam satu kelompok atau golongan
tertentu.

Penggabungan ke dalam kelompok tersebut tidak terlepas dari adanya rasa


persamaan yang didasari oleh sebuah identitas. Umumnya, identitas terdapat
dalam berbagai bentuk dan jenis, seperti identitas gender, agama, suku, profesi,
dan lain sebagainya.

Politik identitas lahir dari sebuah kelompok sosial yang merasa


diintimidasi hingga didiskriminasi oleh negara dan pemerintah dalam
menyelenggarakan sistem pemerintahan.

Politik identitas biasa digunakan sebagai satu cara di mana anggota


masyarakat berjuang dengan tujuan untuk memperoleh pengakuan publik atas
unsur budaya atau identitas mereka.

Budaya politik lokal yang sekarang berkembang di Indonesia merupakan


warisan sosial yang sudah terbentuk sejak berjalanya sejarah di Indonesia. Budaya
terbentuk dari beberapa bagian yaitu kepercayaan, kebiasaan, dan struktur soaial
yang berkesinam bungan dengan kehidupan politik masyarakat. Adapun batasan
terdapat dalam budaya tersebut dapat berasal dari agama, adat istiadat dan juga
norma-norma yang sudah berlaku di masyarakat. Budaya tersebut juga dapat
dilihat dari condongnya perilaku masyarakat pada kehidupan politik di dalam
masyarakat tersebut. Budaya politik lokal yang berkembang di Indonesia juga
memiliki tanggapan adanya tekanan sosial, politik, dan ekonomi masyarakat.
Budaya tersebut mendapat pengaruh dari sistem kultural dan kepercayaan atau
agama. Dengan berkembangnya sekelompok komunitas tradisional pada budaya
tersebut didalamnya terdapat nilai-nilai positif yang cocok dikembangkan dan
dapat dipertahankan dalam pengelolaan sistem birokrasi lokal di daerah. Pada
sistem politik juga akan memberi pengaruh kebudayaan pada setiap daerah, dan
berpengaruh juga terhadap bagaimana pola birokrasi yang telah dilaksanakan dan
sistem demokrasi, Sistem demokrasi lokal merupakan gambaran bagi budaya
politik suatu daerah, dan juga menjadi aspek paling penting karena sistem
birokrasi berpengaruh pada seluruh bidang kehidupan politik di masyarakat.
Budaya demokrasi tersebut memiliki hubungan antara budaya politik lokal yang
kuat, pertama birokrasi merupakan badan politik, yang ke dua budaya demokrasi
mempunyai peranan penting dalam upaya memahami golongan atas dalam politik.

Yang ketiga keberhasilan merupakan pembangunan daerah yang


dipengaruhi oleh peranan sistem birokrasi yang dijalankan setempat. Beberapa
dalih yang utarakan oleh para informan terkait ada tidaknya suatu tindakan lokal
yang dapat mengubah suatu sistem politik lokal, beberapa anggapan melihat
bahwa nilai lokal yang masih banyak di gunakan oleh masyarakat. Namun mereka
tidak belum percaya atau masih meragukan hal tersebut yang di dasari dengan
anggapan bahwa sistem politik yang di gunakan saat ini sudah melupakan hal- hal
yang bersifat lokal, seperti tata kelola dan penyelesaian masalah .dalam politik
lokal ini menjuru pada sistem tata kelola yang di junjung oleh masyarakat dunia.

 Kebangkitan Politik Identitas Islam

Pendekatan pertama, mengargumentasikan primordialisme untuk melihat


fenomena agama yang terdapat di dalam kategori sosio-biologis. Dalam
pandangan ini di jelaskan bahwa suatu kelompok sosial dikarakteristikkan oleh
wilayah, agama, kebudayaan, bahasa dan organisasi sosial sebagai hal yang tidak
bisa di bantah. Sedangkan secara konseptual, pandangan ini menekankan
kehadiran identitas etnik dan agama primordial memiliki fungsi sebagai perekat
sebuah komunitas. Secara definitif para penganut paham primordialisme
menekankan pada upaya pencapaian kepentingan yang kolektif untuk di jadikan
definisi dan mengartikulasi pandangan secara umum sekaligus untuk membentuk
visi untuk masa depan. Pendekatan konstruktif yang di kembangkan oleh frederik
barth. Suatu teori yang memandang suatu identitas agama dan budaya, sebagai
hasil dari proses yang kompleks, dan batas-batas yang sangat simbolik kemudian
dibangun oleh manfaat mitologi yang situasi kondisi dan tujuan yang ingin di
capai. (Endang sari, 2016. 149).

Politisme Agama Sebagai Sebuah Fenomena Politik Pasca-Kebenaran:


Antara Populisme, Distorsi, Informasi, dan Legitimasi

Pada realitas populistik tidak mungkin jauh dari era pasca kebenaran.
Pembahasan yang dibuat dalam kompetisi politik digambarkan adanya berita-
berita tentang menjunjung tinggi hak masyarakat.

Jansen (2015) berpendapat bahwa perilaku individu yang menjunjung


tinggi hak adalah integritas politik didalamnya ada tokoh-tokoh politik dapat
mengarahkan integritas sosial yang tersisihkan lalu menciptakan integritas yang
bisa secara giat melaksanakan praktik politik benar adanya dan perdebatan. Dalam
hal ini komponen penting yang menjunjung tinggi yaitu mengarahkan dan terkait.
Menjunjung tinggi hak memiliki ciri yang bertabiat normal. Yang pertama yaitu
kemampuan yang memiliki arti keadaan yang mewakili dari integritas dapat
meninggikan, yang kedua adalah ada tokoh yang mempunyai kekuasaan, lalu
yang ketiga rasa integritas sosial sangat kuat, bisa diketahui melalui kondisi
dimana yang seringkali diajukan beberapa pelaku yang berfungsi sebagai ‘kita dan
mereka’ dimana ada batasan suatu integrasi dengan integrasi lainnya, integrasi
disini memiliki tabiat yang menghasilkan perbedaan.

Berita tentang menjunjung tinggi hak yaitu berita yang sama dengan
keperluan masyarakat umum. Berita tersebut bukan hanya berita yang dipahami
oleh kalangan sosial tertentu saja. Berita tentang menjunjung tinggi hak sering
kali mengungkap berita yang menyangkut keinginan hidup individu banyak.
Dengan adanya hal tersebut maka, berita menjunjung tinggi hak sangat mudah
mencapai pengertian dan juga selisih massa dari masyarakat umum. Berfungsi
sebagai eksemplar, yang dinamakan gerakan 2019 ganti Presiden dimana menjadi
gerakan yang awal mulanya dibangun sebagai wake up call dan peringatan utama
tentang “kishruhnya” pemerintahan pada saat ini. Salah satu pembuat gerakan ini
yaitu Mardani Ali sera mengatakan Wake up call terhadap masyarakat yang
beragama muslim di Indonesia supaya tidak berdiam diri saja dalam hal berpolitik
menjelang pemilihan presiden tahun 2019. Dengan cara penggunaan kebijakan
agama, tidak hanya doktrin-doktrin primer yang ada pada Al-Qur’an ataupun
Hadist yang sering kali diambil untuk memperkuat pertahanan kebijakan yang
mereka kemukakan. Para pembangun gerakan 2019 Ganti Presiden sering
memberikan berita-berita yang menjunjung tinggi hak. Fakta-fakta yang diberikan
terhadap masyarakat umum biasanya fakta yang kondisinya terpotong-potong dan
tidak memiliki keseimbangan. Kondisi 2019 Ganti Presiden secara umum
pengembangan agama bukan hanya untuk alat politik, tetapi juga untuk
mengeluarkan berita-berita politik yang dimana Indonesia menjadi Negara yang
bahaya. Selain hal tersebut berita tentang hutang Negara, adanya berita yang
membuat keadaan bersifat politis yang dimana terdapat fakta persial yang dilihat
dari sisi hutangnya saja tetapi sisi yang lain tidak dilihat.

Selain berita tentang tingginya hutang Negara, berita yang membuat


keadaan Indonesia bersifat politis yaitu tingginya tingkat tenaga kerja asing yang
memiliki pekerjaan diindonesia, padahal jika dilihat dari data statistik surveinya
mengatakan bahwa prevalensinya sangat sedikit kemungkinannya jika
dibandingkan dengan banyaknya tenaga kerja domestik. Kebijakan presiden
dalam mempermudah visa dari tenaga asing dianggap oleh beberapa pihak sebagai
bukti presiden berpihak pada tenaga kerja asing. Perbincangan yang diberikan
gerakan 2019 Ganti Presiden menuju pada proteksionistik, yang memiliki sifat
SARA, dan menghidupkan kembali sistem masyarakat warga Negara dan bukan
warga Negara.
Hidupnya kembali pembahasan proteksionis ini sama dengan pembahasan
populis Trump dimana hal tersebut menjanjikan bahwa Amerika akan bangkit di
dunia dengan melaksanakan kebijakan proteksionis dan diskriminatif, dengan cara
melaksanakan legitimasi yang cukup subjektif yang mereka anggap sama dengan
kepentingan politik mereka.

Aturan informasi juga menjadi salah satu yang membuat mengerucutnya


berita tentang semakin tingginya harga BBM. Banyak media islami yang
menjunjung tinggi hak masyarakat terkait kampanye politik milik Jokowi tentang
kenaikan harga BBM. Dan sebenarnya fakta yang ada yaitu tingginya harga BBM
terjadi pada varian BBM pertama saja yang berfungsi untuk bahan bakar
kendaraan kelas sosial yang menengah ke atas. Presiden ditimpakan tuduhan tidak
mendukung rakyat kecil. Dengan adanya kemudahan dalam mengakses informasi
di era pasca-kebenaran pada saat ini, argumen parsial semacam ini sangat mudah
viral dan masyarakat umum sangat mudah mempercayai berita tersebut.

Dari pengumpulan masalah-masalah yang memiliki keterkaitan kebijakan


sosial dan politik Jokowi akhirnya mengikuti gerakan 2019 Ganti Presiden dan
menjadi narasi dalam gerakan tersebut tidak hanya fakta yang berhubungan tetapi
ketika membacakan narasinya menggunakan dalil-dalil dimana secara sistematik
masuk dalam dalil-dalil tanda bahwa sudah memasuki akhir zaman. Narasi yang
disampaikan dalam sosial media instagram menggunakan tager 2019 Ganti
Presiden. Tindakan seperti ini merupakan menjadi mentalitas pasca- kebenaran,
dimana fakta parsialnya dan opini emosionalnya lebih menonjol dari pada fakta
objektifnya (Budi Kurniawan, 2018. 145).

Yang menjadi pedoman penunjang kepentingan politik yaitu legitimasi,


dalam pembahasan ini yaitu untuk tidak memilih Jokowi kembali menjadi
presiden jika mencalonkan diri lagi menjadi pemimpin pada tahun 2019. Agitasi
dan propaganda politik dijadikan satu dalam bentuk subjektifitas fakta seperti
gambaran realitas politik pasca kebenaran di Negara Indonesia. Yang menjadi
poin penting dalam menarik perhatian masyarakat umum dalam
mempropagandakan gerakan tersebut dengan menggunakan instrumentalisasi
agama.

Tidak hanya berita agama saja tetapi etnisitas dan rumor juga menjadi
perbincangan dalam media sosial. Munculnya berita ini membuat timbulnya
pertanyaan genealogi etnisitas dan ideologi Jokowi yang berkaitan dengan
komunisme. Garter ganti presiden juga menjadi propaganda berita tentang
bangkitnya komunisme yang hadir di Indonesia. Masyarakat Indonesia masih
mengalami trauma akibat peristiwa G30S hingga saat ini masih menjadi
perdebatan diskusi dikalangkan para sejarawan, dipolitisasi dan dieksploritas nalar
untuk sebagai kepentingan politik praktis.

Lepas dari interpretasi masyarakat Indonesia yang memiliki kaitan dengan


komunisme dimana masih ter asosiasikan dengan menggunakan ateisme.
Peristiwa ini menghasilkan keuntungan individu yang masuk dalam kelompok
islamis, dimana masyarakat Indonesia dimanfaatkan untuk kepentingan politik
Negara. Dengan adanya hal tersebut berita tentang ideologi dicampurkan dengan
interpretasi sosial-agama yang menjadi strategi politik untuk kelompok oposisi
kepada golongan nasionalis.

Adanya penggunaan pola kasus-kasus yang ada, dapat dilihat bahwa


politisasi agama di Indonesia pada saat ini politik dapat dilacak menggunakan
analisis pasca-kebenaran. Analisis untuk realitas politik yang ada saat ini bisa
menggunakan konsep populisme yang di kolaborasi dengan informasi distortif,
persial maka akan menjadi legitimasi akibat politisasi agama dimana dilakukan
para kaum yang berkepentingan. Hal ini berhubungan dengan pengalaman Negara
Indonesia dalam kasus politisasi agama yang terjadi dalam Negara tersebut (Budi
Kurniawan, 2018. 145-148).

 Politik Identitas Terhadap Dinamika Penduduk

Di Indonesia lebih dominan yang berkaitan pada suatu masalah etnisitas,


agama, serta ideologi dan pelaku lokal yang berkepentingan melalui perluasan
daerah. Berita yang digunakan para pelaku lokal dalam ketidakadilan dalam
membangun politik bargaining. Yang di jelaskan pada setiap kesempatan. Akan
tetapi target para pelaku lokal telah di anggap hanya menjadi naluri untuk
memimpin suatu kelompok demi mencapai tujuan ekonomi, politik. Yang
menjelaskan bahwa desentralisasi merupakan faktor penentu munculnya suatu
politik identitas dengan besarnya kewenangan yang diberikan oleh pemerintah
pusat ke daerah di era reformasi membuat mantapnya kedudukan pelaku lokal atas
kekuasaan di arena politik lokal. Praktek politik didesentralisasi menjadikan berita
etnisitas, suku, agama, dan golongan sebagai politik dalam meraih kekuasaan.
Politik identitas di pengaruhi oleh faktor struktural, dimensi politik utamanya,
ketidaksinambungan politik dan etnis.

Menurut suatu wilayah satuan keturunan yang disebut sebagai suku dalam
sejarah perkembangan masyarakat berdasarkan keturunan yang di kenal.
Pembagian wilayah kekuasaan yang di kontrol oleh belanda memberi kekuasaan
antara bukti terhadap penguasaan tanah, pola hubungan sosial yang kemudian
diatas namakan kepada kedua masyarakat melalui ungkapan urang akan. Dalam
etnis cenderung dijadikan sebagai legitimasi politik untuk meraih kekuasaan,
kelompok yang tergabung secara struktural dimanfaatkan oleh pelaku lokal guna
mencapai kekuasaan melalui proses politik yang cenderung memobilisasi jaringan
melalui identitas yang diciptakan untuk memenangkan pertarungan.

Politik yang mengarah pada etnis cenderung dijadikan sebagai alat oleh
pelaku di arena politik untuk mencapai kekuasaan secara struktural dimanfaatkan
pelaku lokal guna mencapai kekuasaan melalui identitas etnis serta diciptakan
untuk memenangkan pertarungan. Politik identitas dijadikan alat untuk legitimasi
politik, ditingkat supra desa. Politik identitas di supra desa menunjukkan bahwa
hubungan kepentingan politik diciptakan oleh pelaku di akuisisi oleh kekuatan
modal seperti ekonomi, politik, sosial dan budaya yang melahirkan pelaku politik.
Dalam penguasaan aset dan sumber daya, pembagian kekuasaan, hingga
pembangunan pedesaan. Kekuasaan politik di supra desa telah menjadi
mekanisme baru pencarian keuntungan bagi pelaku tertentu yang dikenal dengan
istilah rent seeking (Saradi watna, Rilus A. kinseng, dan sofyan sjaf, 2018. 80-83).
B. Perkembangan Politik Identitas

Klaus Von Beyme menganalisis karakter gerakan identitas dalam beberapa


tahap perkembangannya, mulai dari tahap pramodern sampai dengan post modern.
Perpecahan mendasar, kelompok-kelompok kesukuan dan kebangsaan muncul
gerakan sosial politik yang menyeluruh. Dalam hal in imobilisasi secara ideologi
diprakarsai oleh para pemimpin. Tujuan adalah perampasan dan perebutan
kekuasaan dari suatu penguasaan ke penguasaan yang baru.

Pada tahap modern, gerakan tersebut muncul dengan adanya pendekatan


kondisi sosial, keterpecahan membutuhkan sumber-sumber untuk dimobilisasi.
Mungkin keseimbangan mobilisasi dari atas dan partisipasi dari bawah, peran
pemimpin tidak lagi dominan dan tujuan akhirnya adalah pembagian kekuasaan.
Berdasarkan kesadaran diri yang bersifat atauonami sebagai tujuan akhirnya.
Salam, (1996: 122). Hasil dari analisis Von Beyme digambarkan melalui tabel
berikut:

Kemunculan politik etnis diawali dengan tumbuhnya kesadaberlari yang


mengidentikkan mereka ke dalam suatu golongan atau kelompok etnis tertentu.
Kesadaran ini kemudian muncul solidaritas kukelompokkan dan kebangsaan.
Politik etnis mengacu pada politik “kelompok etnis” dan “minoritas kecil”,
sementara penafsiran kelompok etnis bisa mencakup bangsa etnis( etnik bangsa ).
Pada wacana politik nuansa kontemporernya lebih sempit. Dalam konteks ini,
biasanya kelompok etnis atau minoritas etnis tidak memiliki wilayah tertentu.
Tujuan mereka permainan kata-kata berbeda dengan nasionalis klasik, mereka
tidak menghendaki “penentuan diri kebangsaan” dalam suatu wilayah bangsa
(negara). Akan tetapi, lebih pada penerimaan proteksi dan kemajuan bagi
kelompok, khususnya bagi individu-individu dalam kelompok itu, dalam suatu
negara yang telah ada. Kellas, (1988:119)

C. Studi Kasus, Peristiwa, dan Politik Identitas


 Studi kasus dan Peristiwa Penggunaan Politik Identitas

Hubungan Aksi 212 Dalam Keterpilihannya Anies Baswedan dengan


Sandiaga Uno Di Pemilihan Kepala Daerah serta Wakil Kepala Daerah Jakarta
Periode 2017-2022)”. Penelitian dilakukan dengan dasar untuk membuktikan
identitas politik dalam Aksi 212 dalam keberhasilan Anies-Sandi dalam Pemilihan
Gubernur serta Wakil Gubernur Jakarta 2017. Latar belakang penelitian ini adalah
pernyataan yang disampaikan Ahok pada kunjungan kerjanya. Pernyataan Ahok
diduga menistakan agama Islam yang secara tidak langsung menyenggol ayat Al-
Maidah 51. Setelah itu muncul berbagai gerakan Islam, salah satunya adalah Aksi
212 yang diikuti masyarakat jutaan. Peneliti menggunakan metode penelitian
kualitatif dengan teknik analisis data, antara lain pengumpulan, reduksi,
penyajian, serta kesimpulan data. Teori yang akan peneliti gunakan adalah politik
identitas dan jaringan informal. Hasil penelitian ini adalah dalam kemenangan
Anies dan Sandi di Pilkada DKI Jakarta 2017 penggunaan identitas politik
terdapat dalam izin dengan Aksi 212. Penggunaan identitas agama dibangun
dalam Aksi 212 selain untuk mengadili Ahok ada kepentingan secara tidak
langsung yang diraih untuk mencari suara masyarakat. Faktor primordialisme
terjadi ketika adanya permasalahan yang sama dan ditampung dalam Aksi 212.
Kata Kunci: Pilkada, Aksi 212 dan Politik Identitas.

Dampak politik identitas pada Gerakan BLM dan Gerakan Pembebasan


Nasional Papua

Seperti yang sudah kita diskusikan di atas, terminologi politik identitas ini
sudah lama dibicarakan kalangan akademisi dan aktivis, namun baru menjadi
sangat populer di masyarakat umur selama masa kampanye pemilihan presiden
AS pada 2016. Ketika itu, calon presiden dari Partai Demokrat Hillary Rodham
Clinton dikonfrontasi oleh aktivis Black Lives Matter (BLM). Dua aktivis BLM—
Julius Jones dan Daunasia Yancey—saat itu menggugat peranan Hillary dalam
kebijakan pemenjaraan massal (mass incarceration) dan perang melawan obat-
obat terlarang (war on drugs) di masa pemerintahan Bill Clinton, yang tak lain
adalah suaminya. Seperti yang dicatat media massa, dialog antara aktivis BLM
dan Hillary itu adalah sebagai berikut:

Question: ‘what in your heart has changed that’s going to change the direction of
this country… How do you actually feel that’s different than you did before?’

Question: ‘…you don’t tell black people what we need to know. And we won’t tell
you all what you need to do.’

Hilary Clinton: ‘I’m not telling you – I’m just telling you to tell me.’

Question: ‘What I mean to say is – this is and has always been a white problem of
violence. It’s not – there’s not much that we can do to stop the violence against
us.’[xxviii]

Dari dialog ini, tampak bahwa aktivis BLM mengaja memisahkan


persoalan rasisme struktural dan sistematis yang mereka alami akibat dari sistem
sosial ekonomi kapitalistik yang eksploitatif itu menjadi urusan yang lebih sempit
antara mereka dan Hillary Clinton. Di sini kedua aktivis itu dengan gamblang
memosisikan BLM dalam orbit politik identitas (catatan: saya tidak mengklaim
bahwa BLM adalah sebuah gerakan yang homogen dan monolitik). Clinton
dikonfrontasi secara personal (sebagai perempuan kulit putih yang pernah
berkuasa), bukan sebagai representasi dari sebuah sistem yang eksploitatif dan
diskriminatif sehingga siapapun yang berkuasa akan mengambil tindakan yang
sama. Bahkan dalam masa kepresidenan Barack Obama yang berkulit hitam,
rasisme terhadap warga kulit hitam sama sekali tidak berkurang. BLM sendiri
muncul pertama kali sebagai sebuah hashtag pada Juli 2013, hanya enam bulan
setelah pelantikan kembali Presiden Obama.
Hasilnya memang secara politik gerakan BLM ini tidak beranjak lebih
jauh dari sekadar tuntutan akan pengakuan. Sebelumnya, perlu saya tekankan
bahwa bersolidaritas dengan warga kulit hitam dan BLM dalam isu penolakan
diskriminasi berdasarkan ras adalah penting dan harus. Gerakan BLM sendiri
telah membangkitkan kesadaran secara luas bahwa supremasi kulit putih masih
bercokol di negeri Paman Sam dan sukses mengarusutamakan dikursus anti-
rasisme kulit hitam di tempat-tempat di mana warga kulit hitam pernah
diperbudak dan mengalami diskriminasi hingga hari ini. Kemajuan ini patut
diapresiasi.
Namun, bukan berarti BLM tidak bisa dikritik, baik dari segi gagasan
dasar/ideologi maupun metode gerakannya. Pada BLM, identitas menjadi tujuan
akhir, bukan titik awal keberangkatan menuju tujuan akhir: pembebasan kelas
proletar (dari semua elemen: ras, etnis, nasionalitas, seksual dan agama) dari
penindasan kelas borjuasi (juga dari semua elemen: ras, etnis, rasionalitas, seksual
dan agama). Dalam kasus bangsa-bangsa terjajah, pembebasan proletar ini secara
historis mengambil bentuk gerakan pembebasan/kemerdekaan nasional (nasional
liberation) untuk memutus rantai kapital global. Di Papua hari ini, penjaga mata
rantai itu hari ini jelas diwakili oleh kolonisasi negara Indonesia.
Dalam terang perspektif ini, mengasosiasikan gerakan pembebasan
nasional Papua dengan BLM adalah sebuah kekeliruan. Secara historis penindasan
di antara keduanya (bangsa Papua dan warga kulit hitam AS) sangatlah berbeda.
Pertama, walaupun sama-sama mengalami periode kolonisasi, rakyat
Papua tidak diperbudak oleh kelas berkuasa (the ruling class) Indonesia seperti
yang dialami leluhur banyak warga kulit hitam AS. Eksploitasi yang berlangsung
di Papua tidak diselenggarakan dalam kerangka perbudakan.
Kedua, diskriminasi negara terhadap warga kulit hitam AS didasarkan
pada ras, sedangkan diskriminasi negara terhadap rakyat Papua tidak. Rakyat
Papua didiskriminasi bukan karena mereka berkulit hitam, tapi karena mereka
secara kultural dianggap primitif, barbar, dan bodoh, yang secara jitu dibahasakan
oleh mantan tahanan politik Papua Filep Karma: Seakan Kitorang Setengah
Binatang. Karena itu, tidak seperti AS yang melegalkan rasisme dan
melembagakannya, dalam kasus Papua kita tidak menemukan aturan legal beserta
institusi penunjangnya yang melarang rakyat Papua untuk kawin dengan rakyat
Indonesia lain yang berbeda warna kulit. Tidak ada aturan legal yang melarang
rakyat Papua menjadi pejabat negara. Tidak ada aturan legal yang melarang rakyat
Papua memilih dan dipilih dalam proses pemilihan umum.
Ketiga, perlakuan rasis yang dialami oleh warga kulit hitam AS hari ini
juga berbeda dengan yang dialami rakyat Papua. Warga kulit hitam (dan juga kulit
berwarna lainnya) saat ini sebenarnya mengalami penindasan yang lebih
sistematis pada level struktural, atau dalam bentuk rasisme terselubung (covert
racism) yang lebih halus dan abstrak ketimbang rasisme terbuka (overt racism)
seperti dalam kasus kekerasan polisi terhadap George Floyd yang berujung
kematian dan aksi besar-besaran saat ini. Manifestasi tertinggi dari rasisme
terselubung itu adalah tingginya tingkat pengangguran, rendahnya kesempatan
kerja, pelecehan seksual, perbedaan jenis pekerjaan dan struktur penggajian,
kualitas pelayanan kesehatan yang buruk, mahalnya biaya pendidikan dan
perumahan serta iklim lingkungan yang buruk terutama di pemukiman-
pemukiman kelas bawah kulit hitam. Karena itulah kita tidak mendengar tuntutan
BLM untuk memisahkan diri dari negara AS. Sementara itu, diskriminasi warga
Papua hari ini adalah akibat dari kolonialisme yang dilakukan Negara Indonesia
dan karena itulah tuntutannya adalah pemisahan diri alias merdeka.
Tentu akan muncul pertanyaan, bukankah kolonialisme Indonesia ini
adalah kolonialisme kapitalis, persis seperti kolonialisme Inggris di AS dulu? Dan
sesuai sejarahnya, kolonialisme kapitalis inilah yang kemudian melahirkan
rasisme? Saya sepenuhnya setuju bahwa kolonialisme Indonesia ini adalah
kolonialisme kapitalis, namun Negara Indonesia belum sampai pada tahap
menjadikan rasisme sebagai alat untuk melanggengkan penindasannya terhadap
bangsa Papua.
Lalu apa dampaknya jika mengasosiasikan gerakan pembebasan nasional
Papua dengan BLM? Pertama, gerakan pembebasan nasional Papua akan masuk
dalam kerangka politik identitas. Dan seperti sudah kita diskusikan di atas, di sini
identitas kepapuaan menjadi tujuan akhir perjuangan itu. Konsekuensi politiknya:
tujuan dari gerakan pembebasan nasional Papua adalah terbentuknya sebuah
negara baru yang berbasiskan pada ras kulit hitam. Jika konsekuensi politik ini
diterima, ini mengingatkan saya pada salah satu bentuk gerakan anti-rasisme
warga kulit hitam AS yang dikenal dengan istilah Reactionary Black Nationalism
(RBN). Gerakan ini melihat orang kulit putih sebagai musuh utama. RBN
meyakini bahwa emansipasi warga kulit hitam mustahil dicapai dalam sebuah
sistem sosial politik dan ekonomi yang didominasi dan dikuasai oleh orang kulit
putih. Dalam kerangka ini, perjuangan orang kulit hitam adalah melawan orang
kulit putih dan bertujuan menciptakan sebuah sistem sosial ekokomi dan politik
yang sepenuhnya dikontrol dan dikuasai oleh orang kulit hitam. Inilah satu-
satunya cara agar warga kulit hitam terbebas dari penindasannya. Namun, sejarah
mencatat gerakan emansipasi rasial tanpa perspektif kelas tertindas hanya
melahirkan elite-elite ekonomi baru dari kaum kulit berwarna.[xxix] Dalam
perkembangannya, gerakan RBN mengalami kegagalan dan terpecah-belah satu
sama lain.
Kedua, sebagai akibatnya maka perjuangan bangsa Papua untuk merdeka
dari kolonialisme Negara Indonesia akan sulit mendapatkan dukungan luas dari
rakyat Indonesia, baik yang berada di Papua maupun yang di luar Papua yang
berbeda secara rasial. Bagaimanapun, negara yang mengkolonisasi bangsa Papua
adalah negara yang sama yang juga menindas rakyat Indonesia yang melawan
ketika tanahnya dirampas; yang buruhnya diupah sangat rendah untuk dijual
kepada para kapitalis asing dan domestik; yang kelompok minoritasnya
didiskriminasi dan dipersekusi ketika menuntut hak-haknya diakui atau ketika
mempraktikkan apa yang menjadi keyakinannya; yang rakyatnya tidak
mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik dan murah; yang rakyatnya kesulitan
memasuki perguruan tinggi karena harganya yang tak terjangkau, dsb. Realisme
ini dicatat dengan sangat baik dalam sejarah: gerakan anti-kolonial di berbagai
tanah jajahan senantiasa bekerjasama dengan gerakan rakyat di negeri penjajah
yang berani menekan pemerintahnya sendiri dan menghimpun dukungan dari
masyarakat setempat untuk rakyat di negeri jajahan. Ini berlaku buat gerakan
pembebasan Timor Leste yang didukung oleh gerakan pro-demokrasi di Indonesia
pada era Orde Baru. Ini juga berlaku buat gerakan kemerdekaan Indonesia yang
melibatkan elemen-elemen progresif di Negeri Belanda dan berbagai tempat
lainnya. Ini bahkan sudah berlaku 200 tahun lalu pada gerakan anti-kolonialis
tertua dunia di Haiti, sebuah republik pertama dunia yang didirikan para bekas
budak, yang gerak pembebasannya mengalami lompatan jauh setelah kaum
revolusioner Prancis menghabisi kekuasaan monarki Louis XVI dan kelas feodal
antara 1789 dan 1794.
Dampak ketiga pengasosiasian gerakan rakyat Papua dan BLM: rakyat
kedua bangsa, Papua dan Indonesia, bisa mengabaikan ada hubungan kausal
antara penindasan terhadap rakyat Papua dan penindasan terhadap rakyat
Indonesia atas nama ideologi “NKRI Harga Mati”. Minimnya kesadaran ini akan
menyebabkan gerakan pembebasan nasional Papua terisolasi atau terpisah dari
denyut nadi pergerakan rakyat Indonesia lainnya, sementara gerakan demokratis
kedua bangsa saling membutuhkan. Rakyat Papua membutuhkan dukungan luas
rakyat untuk memenangkan perjuangan pembebasan nasional. Demikian pula
rakyat Indonesia yang tertindas perlu menyadari bahwa Papua adalah wilayah di
mana gagasan tentang “NKRI Harga Mati” yang dijaga oleh aparatus bersenjata
direproduksi secara besar-besaran dan berkelanjutan. Narasi “NKRI Harga Mati”
inilah yang menjadi norma utama aparatus kekerasan dan ideologi negara dalam
melakukan penindasan terhadap rakyat yang kehilangan hak-haknya sebagai
warganegara. Karena itu, rakyat Indonesia yang tertindas harus memahami dan
menyadari bahwa pembebasan bangsa Papua dari kolonialisme Negara Indonesia
adalah syarat mutlak bagi pembebasan dirinya sendiri.
Dari penjelasan panjang lebar ini, saya ingin menegaskan bahwa
“membawa atau menarik isu penindasan bangsa Papua ke isu ras adalah cacat
secara teoritik dan berbahaya secara politik bagi rakyat kedua bangsa.”***

 Contoh real penggunaan politik identitas

Meritokrasi Politik dan Politik Identitas di Indonesia Pelaksanaan Pilkada


DKI 2017 yang sudah berlalu, merupakan potret yang menunjukkan dimana
politik identitas yang cenderung mengarah ke isu suku, agama dan ras. Peranan
suku, agama dan ras berperan sangat kuat bahkan terkristalisasi sedemikian rupa
sehingga memberikan tekanan psikologis kepada masyarakat pemilih. Proses
politik semacam itu disadari atau tidak akan menggerus demokratisasi di
Indonesia.

Melihat fenomena tersebut, maka tidak dapat dipungkiri lagi Hal lain yang
juga perlu dicermati adalah masalah mikro politik yaitu relasi-relasi penguasaan
dalam praktek kehidupan sehari-harinya mengaku sebagai rezim kebenaran yang
dikelola secara terstruktur dan diikut sertakan dengan membangkitkan emosi
masyarakat sehingga terjadi marjinalisasi sampai munculnya label "the other",
seperti; perbedaan agama, perbedaan gender, perbedaan etnis dll.

Bahkan keberhasilan penerapan politik identitas di DKI pada Pilkada


2017, telah menjadi ras model bagi beberapa daerah untuk menggunakan politik
identitas sebagai pondasi utama bagi setiap kontestan untuk memenangkan
pertarungan politik formal dan informal. Partai-partai sudah tidak lagi menjadi
representasi dan wadah maupun alat untuk proses konsolidasi, dan komunikasi.
Mendominasinya politik identitas dalam ruang publik yang sehari-hari sekarang
terjadi dengan gelombang yang begitu besar di media sosial bukan hal yang patut
dirayakan, karena sepertinya media sosial juga turut andil terjadinya segresi sosial
secara horizontal yang makin melebar. Praktek demokrasi di Indonesia sepertinya
telah beralih menjadi perlombaan yang tak mengenal kawan maupun lawan,
semuanya dijalankan secara oligarchic democracy yang sangat akrab dengan
politisasi bertendensi SARA dan memecah belah.

Sentimen terhadap etnis minoritas yang terjadi hingga kini bisa jadi
merupakan rekayasa sosial yang dikonsepsikan oleh kelompok tertentu untuk
menarik simpati masyarakat Bahaya dari politik identitas yang berlebihan adalah
bisa berujungnya pada fasisme, bahkan lebih buruk lagi yaitu separatisme dan
masyarakat yang sudah terasimilasi berdasarkan identitas tertentu, dapat dengan
mudah dimobilisasi oleh kelompok yang ingin mencapai agenda politiknya.
Politik identitas yang dijalankan oleh kelompok tertentu, berupaya memunculkan
negara yang mono- identitas. Masyarakat Indonesia seakan dibuat hilang ingatan
akan sejarah keragaman yang dimilikinya.
Secara singkat, politik identitas tak bisa dilawan dengan politik identitas
"yang lebih lunak". Ia harus dilawan dengan politik yang mengutamakan
kepentingan publik di atas kepentingan pribadi. Hal lain yang juga perlu disikapi
adalah jangan agama dibawa-bawa pada ranah politik.

Agama cukup sebagai keyakinan hidup dan pedoman moral, baik dalam
ranah individu maupun sosial, karena ajaran agama menekankan keimanan, ritual
peribadatan, dan moralitas, Sedangkan politik menekankan aturan main dalam
perebutan dan pembagian kekuasaan dalam konteks kehidupan bernegara, karena
apabila agama digunakan sebagai sentimen primordial dan etnisitas demi
kepentingan politik, maka yang terjadi adalah politisasi agama yang berpotensi
terjadinya kekerasan komunal secara horizontal, dan akibatnya spirit demokrasi
yang sudah diperjuangkan dengan susah payah oleh kekuatan rakyat pada tahun
1998 akan sia-sia. Dilain pihak peran para pemimpin agama baik dari agama
Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Budha dan Kong Hu Cu secara serempak bahu
membahu harus mengarahkan umatnya untuk tidak terjebak dalam politisasi
agama yang dilakukan oleh kelompok-kelompok tertentu demi memenuhi
syahwat politik kekuasaannya.

D. Alasan Tidak Setuju Penggunaan Politik Identitas

Tidak setuju karena Dampak dari politik identitas juga cukup serius karena
bisa menyerang golongan tertentu yang menimbulkan diskriminasi hingga
radikalisasi. Oleh karena itu, mari ciptakan demokrasi yang sehat serta menjadi
pemilih bijak dan cerdas.

Contoh dari Konflik Politik Identitas di Indonesia

Contoh konflik politik identitas yang belum lama di Indonesia yakni


Pilkada DKI 2017, di mana salah satu calon gubernur yakni pertahanan Basuki
Tjahaja Purnama atau Ahok kerap diserang dengan politik identitas karena
beragama Kristen Protestan.
Gerakan massa yang berbasis Islam, dengan keras menentang Ahok dan
para pendukungnya melalui berbagai gelombang unjuk rasa. Mereka menuntut
agar Ahok dihukum karena dianggap telah menistakan agama atas ucapannya.

BAB II

PENUTUP

A. Kesimpulan

Politik Identitas merupakan praktik yang mudah dijumpai di dalam


bernegara, namun akan menjadi riskan jika wilayah agama dieksploitasi ataupun
di kapitalisasi didalamnya, yang mana dampak buruknya dapat mencederai
kerukunan antar umat beragama yang ada. Seperti yang terjadi pada kasus mantan
Gubernur D.K.I Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau yang biasa disebut Ahok,
bahwa bagaimana massa dimobilisasi secara terstruktur untuk kepentingan
kekuasaan kelompok tertentu, yang menyebabkan jatuhnya karir politik Ahok.
Mudahnya mobilisasi massa atas nama agama yang secara tidak sadar
dimanfaatkan suatu kelompok tertentu, hal ini dapat terjadi karena Kurangnya rasa
saling menghargai juga mengasihi terhadap sesama dalam masyarakat Indonesia.
bangsa Indonesia merupakan bangsa yang besar dengan segala keragaman serta
perbedaan yang dimilikinya, hal tersebut yang dimanfaatkan oleh kelompok
terkait untuk menjalankan praktik politik identitas, dan yang paling rentan adalah
wilayah agama.

Politik Identitas dalam bentuk apapun bisa saja membahayakan keutuhan


bangsa dan Negara ini di masa depan, jika cita – cita para pendiri bangsa tentang
persatuan dan kesatuan, semangat sumpah pemuda, kemudian Pancasila serta
Binnekah Tunggal Ika, sebagai dasar filosofi Negara, tidak diamalkan dan
dijalankan secara baik
B. Saran
1. Untuk Masyarakat, lebih dapat menghargai segala bentuk perbedaan yang
ada di sekitar kita, pentingnya pengetahuan lebih dalam menerima sesuatu,
agar tidak dengan mudah dimanfaatkan suatu kelompok untung
kepentingan tertentu.
2. Untuk Peneliti selanjutnya, melakukan penelitian dengan desain analisis
kritis hendaklah memahami analisis wacana kritis itu sendiri secara
holistic, karena analisis wacana kritis memiliki relasi yang luas. Maka dari
itu analisis wacana kritis merupakan studi yang menarik untuk terus
dipelajari dan dipahami
DAFTAR PUSTAKA

Penulis adalah mahasiswa Program Ph.D Kazan Federal University (KFU) Russia,
sekaligus Dosen Tetap FAI Universitas Ibn Khaldun Bogor Jawa Barat.

Abdillah, Ubed. Politik Identitas Etnis. Pergulatan Tanda Tanpa Identitas.


Magelang: Indonesia Tera, 2002.

Gellner, Ernest. Nations and Nationalism. Ithaca: Cornell University Press. 1983.

Maarif, Ahmad Syafii. Politik Identitas dan Masa Depan Pluralisme Kita, Jakarta,
Democracy Project, 2012.

Setyaningrum, Arie. ”Memetakan lokasi bagi politik identitas dalam wacana


politik poskolonial dalam “Politik perlawanan” Yogyakarta: IRE, 2005

Melansir dari Wikipedia (11/5/2023),

Anda mungkin juga menyukai