POLITIK IDENTITAS
DOSEN PENGAMPU:
Purnama, S.IP ., M.AP
Di Susun Oleh
Kelompok 1
Deswita Putri ASMI
Hasrin
Imelda
Shelvy Damayanti
Puji syukur kehadiran Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan hidayah-Nya,
penulis dapat menyelesaikan tugas makalah ini yang berjudul “ POLITIK
IDENTITAS” dengan tepat waktu.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Pendidikan Pancasila
dan Kewarganegaraan. Selain itu, makalah ini bertujuan untuk menambah
wawasan bagi para pembaca dan juga bagi penulis.
Dengan hormat
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masala
C. Tujuan Penulisan
BAB II PEMBAHASAN
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah politik identitas?
2. Bagaimana perkembangan politik identitas
3. Bagaimana studi kasus, peristiwa, dan contoh riil tentang penggunaan
politik identitas?
4. Apa alasan tidak setuju penggunaan politik identitas?
C. Tujuan penulisan
1. Untuk mengetahui sejarah politik identitas.
2. Untuk mengetahui perkembangan politik identitas.
3. Untuk mengetahui studi kasus, peristiwa, dan contoh riil tentang
penggunaan politik identitas.
4. Untuk mengetahui alasan tidak setuju penggunaan politik identitas.
BAB II
PEMBAHASAN
Istilah politik identitas pertama kali muncul pada tahun 1970-an. Kala itu
di Amerika Serikat muncul ragam gerakan sosial politik dalam skala besar yang
dilakukan oleh orang-orang Amerika-Afrika.
Istilah politik identitas pertama kali dicetuskan oleh feminin kulit hitam,
Barbara Smith dan Combahee River Collective pada 1974. Politik ini berawal dari
kebutuhan untuk membentuk kembali gerakan-gerakan yang sejak dahulu selalu
mengutamakan kesamaan yang monoton dibanding nilai strategis dari perbedaan.
Sederhananya, politik identitas adalah ketika orang-orang dari ras, etnis, gender
atau agama tertentu beraliansi dan membentuk kelompok secara politik untuk
membela kepentingan kelompok mereka.
Contoh dari politik identitas ini dapat ditemui melalui gerakan sosial
politik di dalam maupun luar negeri. Salah satunya gerakan Afro-Amerika yang
mengklaim persamaan ras.
Kontribusi mereka dalam hal ini adalah telah meletakkan politik identitas
sebagai ciptaan dalam wacana sejarah dan budaya. Sedangkan dalam literatur ilmu
politik, politik identitas betul-betul dipilah, sehingga terlihat perbedaan yang jelas
tentang apa itu politik identitas (political of Identity) dan apa itu identitas politik
(political identity). Identitas politik (Political identity) merupakan sebuah
konstruksi yang menentukan posisi kepentingan subjek, di dalam ikatan suatu
komunitas politik. Adapun politik Identitas (political of identity) akan mengacu
pada mekanisme politik pengorganisasian identitas, baik itu dalam identitas
politik maupun identitas sosial yang menjadi sumber dan sarana politik
(Setyaningrum, 2005: 19).
Sangat dipahami bahwa politik identitas sebagai sumber dan sarana politik
dalam pertarungan perebutan kekuasaan politik kian terlihat dalam praktek politik
kekinian. Apalagi menjelang pesta demokrasi akbar yang akan dilaksanakan pada
tahun 2019 di Indonesia melalui agenda besar bernama PEMILU saat ini.
politik identitas adalah sebuah alat politik suatu kelompok seperti etnis, suku,
budaya, agama atau yang lainnya untuk tujuan tertentu. Misalnya sebagai bentuk
perlawanan atau sebagai alat untuk menunjukkan jati diri suatu kelompok
tersebut. Identitas akan dipolitisasi sedemikian rupa untuk menangkap simpati
orang-orang agar merasa ‘sama’ baik secara ras, suku, budaya, agama dan
sebagainya.
Istilah politik identitas pertama kali dicetuskan oleh feminin kulit hitam,
Barbara Smith dan Combahee River Collective pada 1974. Politik ini berawal dari
kebutuhan untuk membentuk kembali gerakan-gerakan yang sejak dahulu selalu
mengutamakan kesamaan yang monoton dibanding nilai strategis dari perbedaan.
Sederhana, politik identitas adalah ketika orang-orang dari ras, etnis, gender atau
agama tertentu beraliansi dan membentuk kelompok secara politik untuk membela
kepentingan kelompok mereka.
Pengertian mengenai politik identitas tidak lepas dari makna identitas itu
sendiri. Dalam buku Sejarah Sosial Pendidikan Islam dengan penerbit Guepedia
(2022) disebutkan identitas atau jati diri adalah pengakuan terhadap seorang
individu atau suatu kelompok tertentu yang menjadi satu kesatuan menyeluruh
yang ditandai dengan masuk atau terlibat dalam satu kelompok atau golongan
tertentu.
Pada realitas populistik tidak mungkin jauh dari era pasca kebenaran.
Pembahasan yang dibuat dalam kompetisi politik digambarkan adanya berita-
berita tentang menjunjung tinggi hak masyarakat.
Berita tentang menjunjung tinggi hak yaitu berita yang sama dengan
keperluan masyarakat umum. Berita tersebut bukan hanya berita yang dipahami
oleh kalangan sosial tertentu saja. Berita tentang menjunjung tinggi hak sering
kali mengungkap berita yang menyangkut keinginan hidup individu banyak.
Dengan adanya hal tersebut maka, berita menjunjung tinggi hak sangat mudah
mencapai pengertian dan juga selisih massa dari masyarakat umum. Berfungsi
sebagai eksemplar, yang dinamakan gerakan 2019 ganti Presiden dimana menjadi
gerakan yang awal mulanya dibangun sebagai wake up call dan peringatan utama
tentang “kishruhnya” pemerintahan pada saat ini. Salah satu pembuat gerakan ini
yaitu Mardani Ali sera mengatakan Wake up call terhadap masyarakat yang
beragama muslim di Indonesia supaya tidak berdiam diri saja dalam hal berpolitik
menjelang pemilihan presiden tahun 2019. Dengan cara penggunaan kebijakan
agama, tidak hanya doktrin-doktrin primer yang ada pada Al-Qur’an ataupun
Hadist yang sering kali diambil untuk memperkuat pertahanan kebijakan yang
mereka kemukakan. Para pembangun gerakan 2019 Ganti Presiden sering
memberikan berita-berita yang menjunjung tinggi hak. Fakta-fakta yang diberikan
terhadap masyarakat umum biasanya fakta yang kondisinya terpotong-potong dan
tidak memiliki keseimbangan. Kondisi 2019 Ganti Presiden secara umum
pengembangan agama bukan hanya untuk alat politik, tetapi juga untuk
mengeluarkan berita-berita politik yang dimana Indonesia menjadi Negara yang
bahaya. Selain hal tersebut berita tentang hutang Negara, adanya berita yang
membuat keadaan bersifat politis yang dimana terdapat fakta persial yang dilihat
dari sisi hutangnya saja tetapi sisi yang lain tidak dilihat.
Tidak hanya berita agama saja tetapi etnisitas dan rumor juga menjadi
perbincangan dalam media sosial. Munculnya berita ini membuat timbulnya
pertanyaan genealogi etnisitas dan ideologi Jokowi yang berkaitan dengan
komunisme. Garter ganti presiden juga menjadi propaganda berita tentang
bangkitnya komunisme yang hadir di Indonesia. Masyarakat Indonesia masih
mengalami trauma akibat peristiwa G30S hingga saat ini masih menjadi
perdebatan diskusi dikalangkan para sejarawan, dipolitisasi dan dieksploritas nalar
untuk sebagai kepentingan politik praktis.
Menurut suatu wilayah satuan keturunan yang disebut sebagai suku dalam
sejarah perkembangan masyarakat berdasarkan keturunan yang di kenal.
Pembagian wilayah kekuasaan yang di kontrol oleh belanda memberi kekuasaan
antara bukti terhadap penguasaan tanah, pola hubungan sosial yang kemudian
diatas namakan kepada kedua masyarakat melalui ungkapan urang akan. Dalam
etnis cenderung dijadikan sebagai legitimasi politik untuk meraih kekuasaan,
kelompok yang tergabung secara struktural dimanfaatkan oleh pelaku lokal guna
mencapai kekuasaan melalui proses politik yang cenderung memobilisasi jaringan
melalui identitas yang diciptakan untuk memenangkan pertarungan.
Politik yang mengarah pada etnis cenderung dijadikan sebagai alat oleh
pelaku di arena politik untuk mencapai kekuasaan secara struktural dimanfaatkan
pelaku lokal guna mencapai kekuasaan melalui identitas etnis serta diciptakan
untuk memenangkan pertarungan. Politik identitas dijadikan alat untuk legitimasi
politik, ditingkat supra desa. Politik identitas di supra desa menunjukkan bahwa
hubungan kepentingan politik diciptakan oleh pelaku di akuisisi oleh kekuatan
modal seperti ekonomi, politik, sosial dan budaya yang melahirkan pelaku politik.
Dalam penguasaan aset dan sumber daya, pembagian kekuasaan, hingga
pembangunan pedesaan. Kekuasaan politik di supra desa telah menjadi
mekanisme baru pencarian keuntungan bagi pelaku tertentu yang dikenal dengan
istilah rent seeking (Saradi watna, Rilus A. kinseng, dan sofyan sjaf, 2018. 80-83).
B. Perkembangan Politik Identitas
Seperti yang sudah kita diskusikan di atas, terminologi politik identitas ini
sudah lama dibicarakan kalangan akademisi dan aktivis, namun baru menjadi
sangat populer di masyarakat umur selama masa kampanye pemilihan presiden
AS pada 2016. Ketika itu, calon presiden dari Partai Demokrat Hillary Rodham
Clinton dikonfrontasi oleh aktivis Black Lives Matter (BLM). Dua aktivis BLM—
Julius Jones dan Daunasia Yancey—saat itu menggugat peranan Hillary dalam
kebijakan pemenjaraan massal (mass incarceration) dan perang melawan obat-
obat terlarang (war on drugs) di masa pemerintahan Bill Clinton, yang tak lain
adalah suaminya. Seperti yang dicatat media massa, dialog antara aktivis BLM
dan Hillary itu adalah sebagai berikut:
Question: ‘what in your heart has changed that’s going to change the direction of
this country… How do you actually feel that’s different than you did before?’
Question: ‘…you don’t tell black people what we need to know. And we won’t tell
you all what you need to do.’
Hilary Clinton: ‘I’m not telling you – I’m just telling you to tell me.’
Question: ‘What I mean to say is – this is and has always been a white problem of
violence. It’s not – there’s not much that we can do to stop the violence against
us.’[xxviii]
Melihat fenomena tersebut, maka tidak dapat dipungkiri lagi Hal lain yang
juga perlu dicermati adalah masalah mikro politik yaitu relasi-relasi penguasaan
dalam praktek kehidupan sehari-harinya mengaku sebagai rezim kebenaran yang
dikelola secara terstruktur dan diikut sertakan dengan membangkitkan emosi
masyarakat sehingga terjadi marjinalisasi sampai munculnya label "the other",
seperti; perbedaan agama, perbedaan gender, perbedaan etnis dll.
Sentimen terhadap etnis minoritas yang terjadi hingga kini bisa jadi
merupakan rekayasa sosial yang dikonsepsikan oleh kelompok tertentu untuk
menarik simpati masyarakat Bahaya dari politik identitas yang berlebihan adalah
bisa berujungnya pada fasisme, bahkan lebih buruk lagi yaitu separatisme dan
masyarakat yang sudah terasimilasi berdasarkan identitas tertentu, dapat dengan
mudah dimobilisasi oleh kelompok yang ingin mencapai agenda politiknya.
Politik identitas yang dijalankan oleh kelompok tertentu, berupaya memunculkan
negara yang mono- identitas. Masyarakat Indonesia seakan dibuat hilang ingatan
akan sejarah keragaman yang dimilikinya.
Secara singkat, politik identitas tak bisa dilawan dengan politik identitas
"yang lebih lunak". Ia harus dilawan dengan politik yang mengutamakan
kepentingan publik di atas kepentingan pribadi. Hal lain yang juga perlu disikapi
adalah jangan agama dibawa-bawa pada ranah politik.
Agama cukup sebagai keyakinan hidup dan pedoman moral, baik dalam
ranah individu maupun sosial, karena ajaran agama menekankan keimanan, ritual
peribadatan, dan moralitas, Sedangkan politik menekankan aturan main dalam
perebutan dan pembagian kekuasaan dalam konteks kehidupan bernegara, karena
apabila agama digunakan sebagai sentimen primordial dan etnisitas demi
kepentingan politik, maka yang terjadi adalah politisasi agama yang berpotensi
terjadinya kekerasan komunal secara horizontal, dan akibatnya spirit demokrasi
yang sudah diperjuangkan dengan susah payah oleh kekuatan rakyat pada tahun
1998 akan sia-sia. Dilain pihak peran para pemimpin agama baik dari agama
Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Budha dan Kong Hu Cu secara serempak bahu
membahu harus mengarahkan umatnya untuk tidak terjebak dalam politisasi
agama yang dilakukan oleh kelompok-kelompok tertentu demi memenuhi
syahwat politik kekuasaannya.
Tidak setuju karena Dampak dari politik identitas juga cukup serius karena
bisa menyerang golongan tertentu yang menimbulkan diskriminasi hingga
radikalisasi. Oleh karena itu, mari ciptakan demokrasi yang sehat serta menjadi
pemilih bijak dan cerdas.
BAB II
PENUTUP
A. Kesimpulan
Penulis adalah mahasiswa Program Ph.D Kazan Federal University (KFU) Russia,
sekaligus Dosen Tetap FAI Universitas Ibn Khaldun Bogor Jawa Barat.
Gellner, Ernest. Nations and Nationalism. Ithaca: Cornell University Press. 1983.
Maarif, Ahmad Syafii. Politik Identitas dan Masa Depan Pluralisme Kita, Jakarta,
Democracy Project, 2012.