Anda di halaman 1dari 14

KONVERGENSI POLITIK

DENGAN KORBAN
Drs. Tamrin, M.Si
Jurusan Ilmu Politik, FISIP, UNAND
2022`
LATAR BELAKANG SEJARAH POLITIK
IDENTITAS

Pemikiran
• Faktor kelahiran (alam)
menentukan keberadaan
Pencerahan • berisi semangat partikularistis
dan pemujaaan Romantisme
manusia baru terhadap budaya
• Terhadap hak-hak universal
• Pemerintahan oleh sedikir orang • Pentingnya perbedaan budaya
manusia, seperti kebebasan,
• Terdapat hak-hak partikularistis persamaan dan kemerdekaan dan menjelaskan identitas yang
dibuat manusia dibangun diatasnya lebih otentik
• Modernisasi negara melalui nilai-
• Berkembang menjadi ideologi daripada keterikatan abstrak
nilai universal terhadap univerrsalisme.
Sayap Kanan • Keberadaaan manusia ditentukan
oleh sejarah yang dibuatnya
Kelompok Romantisme
Konservatif Konservatif
PERIODE AWAL GERAKAN POLITIK
IDENTITAS
• Meskipun politik identitas sudah berkembang sejak abad 18, tetapi yang
memperkenalkan politik identitas adalah Erik Erikson pada tahun 1950an.
• Namun, seperti yang dikatakan oleh Francis Fukuyama politik identitas
sebagai gerakan (movement) muncul pada dekade 1960-an sebagai bentuk
tuntutan etnis kulit hitam Afrika-Amerika dan perempuan untuk
memperoleh pengakuan terhadap harkat diri mereka, hal ini sebagai hasil
evolusi dari perjuangan kelas sosial ekonomi dalam bentuk perjuangan
gerakan kiri untuk memperbaiki ketidaksetaraan.
• Dalam beberapa kasus, gerakan ini mulai mengambil kharakter ekslusif
dalam bentuk orang-orang dalam “pengalaman hidup” yang sama serta
menentukan siap diri mereka (who they were).
GERAKAN SOSIAL BARU POLITIK
IDENTITAS
• Marie Moran sepakat dengan Fukuyama, Heyes dan Nicholson bahwa masalah
identitas masuk ke dalam ranah politik sejak 1860-an yang ditandai oleh
munculnya serangkan gerakan sosial baru (New Sosical Movement), gerakan ini
dimobilisasi oleh pengalaman dan ekspresi identitas.
• Dalam periode ini menurut Moran identitas juga dilihat sebagai masalah pribadi
dan sumber dari serangkaian kecemasan masyarakat, identitas terikat dengan
ancaman yang dirasakan terhadap diri dan kewarasan yang dimiliki oleh gagasan
krisis identitas. Dalam konteks lain adalah meningkatnya bahaya pencirian
identitas (Bakry, 2020; 175).
• Menurut Grant Farred politik identitas memiliki asal usul (geneologies) atau
turunan dari Gerakan Kiri Baru (New left), terutama muncul setelah adanya
larangan berpawai (Ban the Bomb) yang muncul pada 1960an.
POLITIK IDENTITAS SEBAGAI
RADIKALISASI
• Berbeda dengan pandangan Nicholson, Moran, Fukuyama dan Farred diatas,
maka Wianda menjelaskan poliitik identitas muncul sejak 1970an sebagai
reaksi atmosfir politik yang telah teradikalisasi sebagai cara peningkatan
kesadaran di antara kelompok-kelompok yang terpinggirkan, dan sebagai
sarana untuk memberdayakan kelompok kelompok yang merasa tertindas
oleh masyarakat di sekitar mereka.
• Politik identitas berusaha unutk meningkatkan kesadaran diri (self awareness)
kelompok kelompok tersebut, serta memberi ruang mereka terhadap
kekuasaan politik sebagai kekuatan yang harus diperhitungkan dalam arena
politik. Pandangan Wanda ini diukung oleh Asad Hadner, istilah politik
identitas menurutnya diperkenalkan ke ranah publik pada 1977 oleh
Combahee Rivere Collective (CRC)
PERGESERAN POLITIK IDENTITAS KIRI
BARU
• Gerakan Sosail Baru (New Social Movements) memberikan pengaruh besar
terhadap perkembangan kaum kiri (New Left) itu sendiri, yang telah memberi
makna terhadap perjurangan solidaritas yang lebih luas.
• Secara bertahap, fokus kaum kiri bergeser dari perjuangan kelas (class
struggle) kepada perjuangan identitas (identity struggles) dan lebih fokus lagi
kepada perjuangan identitas kelompok (group identity struggle).
• Dukungan terhadap gerakan pembebasan Dunia Ketiga menjadi sumber unik
identitas radikal, ketidadaan dorongan radikal dalam masyarakat Barat
mendorong Gerakan Kriik Baru mencari alkasan insiprasi baru dari luar negeri,
seperti identifikasi diri kaum kiri di Perancis dengan Revolusi Kebudayaan di
Cina (Wenhua Da Geming) bukan dengan kekuatan sosial domestik
KONVERGENSI IDENTITAS DENGAN
KORBAN
• Salah satu perkembangan penting politik identitas sejak 1970an adalah
identifikasi diri dengan korban (victimhood), terdapat transformasi diri politik
liberal maupun radikal.
• Kelompok radikal mengalami masa keletihan (exchaustion), serta semakin
kurang berinvestasi dengan proyek transformasi sosial. Banyak sekutu
tradisional kiri yang menganggab dirinya sebagai korban dari sistem (victim of
the system), pola serupa juga terlihat pada gerakan perempuan. Jika pada
periode sebelumnya kaum feminins menentang representasi perempuan
sebagai korban, pada tahun 1970an terrdapat revisi besar yang menempatkan
perempuan sebagai korban. Kaum kiri juga menganggab penderitaan sebagai
sumberdaya penting untuk memobilisasi konstituensi di balik penyebabnya.
KONVERGENSI POLITIK DENGAN
KORBAN
• Menurut Robert Horwitz korban sudah menjadi posisi penting dalam
politik korban sejak 1970an, menjadi korban merupakan posisi penting
bagi individu atau kelompok untuk mengkontruksi mereka sebagai
aktor politik.
• Sebelum menjadi korban, individu atau kelompok harus mendapatkan
penetapan status yang telah ditetapkan (delegetimasi) sebelum klaim-
klaim politik diajukan. Selain itu, individu atau kelompok yang menjadi
korban biasanya menyatakan bahwa mereka memperjuangkan sesuatu
yang lebih besar daripada kerugian yang dialami. Proses konvergensi ini
menandai gerakan perempuan dan gerakan sipil di Amerika Serikat
sejak 1970an
REDEFINISI VIKTIMISASI DEKADE
1980an
• Pada tahun 1980an terdapat revisi secara radikal terhadap maka
victimisasi (menjadi korban), jika awalnya korban digambarkan sebagai
korban dari pengalaman tertentu (seperti korban ekspoitasi) maka
sejak 1980an makna victimisasi menyangkut berbagai pengalaman
kelompok yang berbeda.
• Pendekatan baru ini juga memakna viktimisasi bukan lagi sebagai
“bahaya luar biasa”, tetapi juga merupakan kondisi yang tidak
terpisahkan dari masyarakat yang tidak adil. Melalui redefinisi dan
perluasan pengalaman korban, berbagai kelompok mengklaim bahwa
menjadi kroban dalam masyarakat adalah ciri mendasar dari identitas
mereka.
REDEFINISI TENTANG KORBAN AKHIR
1970AN
• Redefinisi tentang identitas korban dipromosikan oleh sekelompok aktifis baru (new cohorts of
activists), serta menganggab kampanye mereka sebagai bentuk baru politik radikal. Menurut
William Ryan dalam bukunya Blaming The Victim, gerakan antikapitalis yang populis (populist
anticapitalist) mempresentasikan politik identitas baru di Amerika Serikat. Citra sebagai korban
dari ketidaksetaraan sejak akhir 1970an sudah meluas dari kalangan kulit hitam, orang miskin
dan kaum perempuan kepada orang yang tergantung hidupnya pada gaji dan upah, dan mereka
yang tidak memiliki perndapatan terpisah melalui pemilikan substansial.
• Mereka adalah korban potensial dalam masyarakat Amerika Serikat. Otoritas korban adalah
kekuasaan, baik kelompok kiri dan kanan mendukung keabsahan status otoritatif korban.
Menjadi korban adalah sumber budaya yang penting untuk pembentukan identitas, sehingga
semua orang mendapat label menjadi korban. Bahkan korban secara kompetitif dengan cepat
mengarah pada upaya menciptakan hierarkhi korban. Meskipun sejak tahun 1980an sebuah
gerakan laki-laki baru muncul yang bersikeras bahwa mereka juga kelompok korban yang tidak
diakui dan terpinggirkan
VICTIMHOOD SEBAGAI RANAH
POLITIK
• Beberapa alasan mengapa victimhood dikonstruksi menjadi identitas dalam ranah politik,
diantaranya; (1) narasi tentang penderitaan individu atau kelompok yang ditempatkan
sebagai korban biasanya mudah menghasilkan kasihan dan empati; (2) konstruksi korban
melibatkan mekanisme inklusi dan ekslusi, menciptakan dikhotomi “kita-mereka” (we-
them) yang menghasilkan kolektifitas korban (collective victimhood) dimana dalam banyak
kasus dapat berfungsi sebagai platform darimana lembaga politik dapat disuarakan,;
• (3) konstruksi korban dapat menghasilkan kebenaran politik, korban diberi status tertentu
yang menggambarkan integritas moral tertentu untuk menentukan kebenaran tentang
“apa yang sebenarnya terjadi”. Selanjutnya, status menjadikan korban sebagai aktor
penting pertarungan politik. Sissel Roland menjelaskan korban memiliki efek
memanusiakan manusia serta tidak manusiawi, tergantung pada kontekstual pada saat
direkonstruksi. Korban dapat menciptakan keperrcayaan, pemberdayaan dan agensi,
tetapi juga ketidakberdayaan dan kepasifan.
OTORITAS MORAL “PERCAYA PADA
KORBAN”
• Frank Furedi menyatakan bahwa perubahan penting politik identitas adalah pada
saat terjadinya upaya tidak hanya menganggab korban tidak bersalah, tetapi juga
harus dipercaya. Anggapan kredibilitas ini dalam kaitannya dengan viktimisasi anak-
anak, anak-anak tidak pernah berbohong dan harus dipercaya.
• Mantra “percaya pada korban” dilembagakan dalam kepada titik dimana mereka
yang dituduh melakukan kesalahan terhadap “korban” harus membuktikan dirinya
tidak bersalah. Menjadi korban memberikan poliik idennitas dengan identitas moral
otoritas, karenanya gerakan politik yang dahulu bertujuan untuk pembebasan dan
transformasi sosial mulai memandang diri mereka sebagai korban.
• Argumen “korban tidak bersalah” ini dibingkai sebagai klaim bahwa versi realitas
kelompok identitats tertentu tidak dapat diperrtanyakan, pertanyaan atau
mjengkritik korban dianggab sebagai kejahatan moral.
KELANJUTAN IDE PARTIKULARIS
ABAD 19
• Politik identiitas versi terbaru ini, yakni dalam bentuk sintesis kesadaran
korban dengan perhatian terhadap validasi terapeutik ini-memiliki sedikit
persamaan dengan versi pendahulunya di abad 19, yakni kelanjutan dari
pandangan partikularis dan epistemologi identitas abad 19.
• Kedua pandangan ini menegaskan bahwa mereka yang tinggal dan
memahami budaya tertentu yang menopang identitas mereka dapat
memahami realitas mereka. Pernyataan bahwa hanya perempuan yang
bisa memahami dan berbicara tentang perempuan merupakan bentuk
pernyataan pendukung politik identitas versi baru ini, serta memberikan
hak paten pada siapa yang dapat memiliki suara atau suara tentang hal-
hal yang berkaitan dengan budaya tertentu.
MONOPOLI PEMAHAMAN BUDAYA
• Terdapat pemeliharaan batas-batas budaya secara intensif, tanda “keep out’ ditujukan
kepada orang-orang yang mempertanyakan “monopoli” pemahaman terhadap yang
dimiliki oleh para cultural entrepreneur atas pemahaman tentang identitas mereka.
• Dogma percaya pada korban didaur ulang sebagai argumen untuk menutup diskusi
tentang masalah apapun yang dianggap menyingung para penganut identitas.
Kewajiban untuk percaya serta tidak mengkritik individu dibenarkan atas dasar
terapeutik, kritik dikatakan sebagai bentuk reviktimisasi psikologis dan karena itu
dapat melahirkan luka dan kerusakan mental.
• Argumen terapeutik yang diinformasikan ini menentang pelaksanaan penilaian kritis
dan kebebasan berbicara. Para civitas akamedika diminta untuk menghindari kata-
kata atau gerakan yang membuat mereka tersinggung terhadap apa yang dialami oleh
etnis, keyakinan agama, atau orientasi seskual tertentu.

Anda mungkin juga menyukai