Kelompok 13
Dosen Pengajar :
Drs. H. Edward Mandala, M.Si
Mata Kuliah ini memberikan bekal pemahaman dasar tentang ilmu politik mengenai
pengertian, fokus kajian, pendekatan dan konsep-konsep politik. Mata kuliah ini meliputi,
pengertian ilmu politik, objek kajian, ilmu pengetahuan dan studi politik, pendekatan
dalam ilmu politik. Representasi politik, Partai politik, masyarakat sipil dan kelompok
Govermance.
II. STANDAR KOMPETENSI MATA KULIAH
BAB VII
I. LIBERALISME
Setiap insan manusia memiliki ideologi, yang menjadi cara
pikir seseorang atau suatu golongan sehingga mempengaruhi dalam
mengambil keputusan maupun bertindak serta berperilaku. Secara
garis besar ideologi adalah kumpulan ide atau gagasan. Kata ideologi
sendiri diciptakan oleh Destutt de Tracy pada akhir abad ke-18 untuk
mendefinisikan "sains tentang ide" .
Ideologi dapat dianggap sebagai visi yang komprehensif,
sebagai cara memandang segala sesuatu (bandingkan
Weltanschauung), secara umum (lihat Ideologi dalam kehidupan
sehari hari) dan beberapa arah filosofis (lihat Ideologi politis), atau
sekelompok ide yang diajukan oleh kelas yang dominan pada seluruh
anggota masyarakat. Tujuan untama dibalik ideologi adalah untuk
menawarkan perubahan melalui proses pemikiran normatif. Ideologi
adalah sistem pemikiran abstrak (tidak hanya sekadar pembentukan
ide) yang diterapkan pada masalah publik sehingga membuat konsep
ini menjadi inti politik. Secara implisit setiap pemikiran politik
mengikuti sebuah ideologi walaupun tidak diletakkan sebagai sistem
berpikir yang eksplisit.
Secara umum asal-usul hadirnya ideologi liberalisme dikatakan
hadir pada masa Spanish Cortes pada tahun 1810-1811, tetapi titik
awal ini menjadi perdebatan di kalangan intelektual. Seorang
libertarian sekaligus penulis, seperti Murray Rothbard dan David Boaz
telah melihat elemen liberalisme dalam filsuf Cina Kuno, Lao Tzu.
Dimana Lao Tzu menulis Tao Te Ching pada abad ke-6 SM, dokumen
fondasi dari filsafat Taoisme. Adapula argumen yang mengatakan
embrio dari liberalisme sudah ada sejak zaman Yunani dan Romawi
Kuno. Pada 1895, Perdana Menteri Australia, Alfred Deakin
mengatakan bahwa“liberalisme berasal ketika oposisi terhadap
otoritas pertama kali memanifestasikan dirinya”.
Demikian pula dia melihat sebuah konflik antara aristokrat dan
demokrat di Athena atau antara patrician dan pleibeian di Romawi
Kuno, sebagai simbol atau kata lain dari konservatif dan liberalis dari
zamannya. Pada tahun 1950-an, Eric Havelock berpendapat bahwa
batas kata liberal yang digunakan dalam konteks politik cukup luas
untuk diberikan kepada sekelompok ahli teori politik Yunani Kuno,
sebagaimana yang ia sebutkan dalam bukunyaThe Liberal Temper in
Greek Politics.
Sejarawan Amerika lainnya, J. Salwyn Schapiro, mengakui
bahwa Socrates tidak memiliki gagasan tentang apa itu yang disebut
‘hak alami’ dari setiap individu. Namun tetap menggambarkannya
sebagai liberalis terkemuka di zaman kuno. Dibalik asumsi-asumsi
tersebut, banyak juga penentangan ihwal awal mula munculnya
liberalisme dari zaman Yunani dan Romawi Kuno. Karena pada
dasarnya demokrasi dan liberalisme adalah dua konsep yang berbeda
Sebagaimana seperti argumen yang dikemukakan oleh Alan
Ryan yang menentang argumen sebelumnya yang menyatakan bahwa
liberalisme mulai dari zaman Yunani dan Romawi Kuno. Tidak ada
alasan politik mengapa liberalisme bisa tidak muncul di Athena pada
abad ke-4 SM, tetapi agama dan etnis di Yunani sangatlah berbeda. Di
lain kata, liberalisme membutuhkan intelektual dan moral tertentu.
Prospek konseptualisasi masalah morl dan politik tidak ada dalam
kehidupan zaman Kuno, tetapi mereka juga tidak membutuhkan
struktur sosial, ekonomi, maupun politik.
Dibalik perdebatan panjang atas bagaimana tonggak awal
kemunculan liberalisme, perlu diketahui bahwa liberalisme lahir
bukan diciptakan oleh golongan pedagang dan industri, melainkan
lahir dari golongan intelektual atas keresahan ilmiah dan artistik
umum pada abad pertengahan
Keresahan tersebut disambut baik oleh golongan pedagang,
bahkan hal tersebut digunakan sebagai tuntutan politik untuk
golongan kerajaan-gereja agar tidak terlalu mengekang kebebasan
bereskpresi. Tuntutan ini bukan semata-mata untuk menjalankan
kehidupan secara bebas, tetapi juga agar membuka akses lebih lebar
dalam mencari keuntungan. Adapun tokoh-tokoh liberalisme yang
terkenal seperti John Locke, Rousseau, Montesquieu, John Stuart
Mill.
Latar belakang tumbuhnya liberalisme di Eropa pada abad
pertengahan adalah pada saat itu masyarakat ditandai dengan dua
karakteristik, dimana anggota masyarakat terikat satu sama lain dalam
suatu sistem dominasi kompleks nan kukuh , dan pola ini sangat susah
diubah dan statis. Pengekangan oleh kaum aristokrat dan bangsawan-
gereja sangat mempersulit ruang gerak para intelektual dalam
mengembangkan diri, begitu pula kaum pedagang yang tidak dapat
memaksimalkan diri dalam mencari keuntungan dalam sistem
perdagangan mereka, kekangan demi kekangan yang hadir menjadi
bayang-bayang kelam betapa susahnya ruang gerak mereka pada kala
itu.
e. Kebebasan Individual
Kebebasan individual ini megacu kepada kebebasan individu
dalam memeluk agama, berbicara, menulis, dan kebebasan lainnya
yang ada dan berkaitan dengan individu itu sendiri, hal ini diartikan
sebagai kebebasan individu tersebut dalam mengutarakan isi dari
pikirannya sendiri. Tentunya dalam menerapkan kebebasan individual
setiap manusia memiliki batasan dimana dalam menerapkan
kebebasannya ia tak boleh menganggu-gugat kebebasan orang lain,
sehingga tidak menimbulkan polemik pada Kebebasan sipil yang
diatur oleh hukuM
f. Kebebasan Ekonomi
Kebebasan Ekonomi ini mulai terancam ketika era
Indsutrialisasi dimana sturktur ekonomi yang berkembang ialah
pekerja dan pemilik modal, struktur ini dapat mengancam para pekerja
yang dalam teori posisinya lebih lemah karena ia bergantung secara
ekonomi kepada pekerjaan itu, sehingga tidak memiiki "kebebasan"
karena terbatas oleh kontrak, namun para simpatis liberal memiliki
argumen bahwa dengan adanya kontrak, timbul pula kebebasan untuk
berasosiasi selama asosiasi tersebut tidak merugikan pihak tertentu.
Dengan adanya konsep pemikiran tersebut asoasi yang timbul
akan membatasi kekuatan yang timpang antar pekerja dan yang
mempekerjakan sehingga tidak membatasi kebebasan individual dan
sipil sesuai dengan hukum yang berlaku, karena inti dari Liberalisme
ialah memberikan kebebasan kepada seluruh lapisan masyarakat.
g. Kebebasan Domestik
Dalam kehidupan domestik, liberalisme pada dasarnya
menerapkan konsep anti
Arbitary kedalam kehidupan rumah tangga, dimana ia memprevensi
kedudukan sang suami atau kepala rumah tangga yang sewenang-
wenang dan berpotensi mengancam kebebasan individual dan well
being keluarganya, dalam hal ini Liberalisme menekankan beberapa
poin: 1. Kedudukan istri dalam rumah tangga ialah sebagai seseorang
yang memiliki kebebasan dan responsibilitas selayaknya seorang
manusia dewasa, yang berhak memiliki properti individu, menuntut
dan dintuntut, memiliki bisnis individu, dan memiliki perlindungan
hukum terhadap suaminya.
Melihat pernikahan sebagai contractual agreement sesuai
dengan hukum yang berlaku, dan hanya meihat aspek spiritual hanya
dari perspektif agama pelaku saja (menjadikannya personal).
Menjamin kesehatan fisik dan mental anak dengan adanya sanksi
untuk orang tua yang melakukan neglect dan/ kekerasan terhadap
anak. Tentunya semua rincian di atas tidak mencakup semua elemen
yang ada pada liberalisme, namun rincian diatas ialah penggambaran
bagaimana liberalisme meregulasi dan membatasi demi terealisasinya
kebebasan dan kemakmuran bagi seluruh lapisan masyarakat yang
ada.
Kesimpulan
Liberalisme adalah sebuah ideologi, pandangan filsafat, dan
tradisi politik yang didasarkan pada pemahaman bahwa kebebasan
adalah nilai politik yang utama. Liberalisme tumbuh dari konteks
masyarakat Eropa pada abad pertengahan. Ketika itu masyarakat
ditandai dua garis besar yaitu kaum aristokrat dan para petani.
Ada dua macam Liberalisme, yakni Liberalisme Klasik dan
Liberallisme Modern. Liberalisme Klasik timbul pada awal abad
ke 16. Sedangkan Liberalisme Modern mulai muncul sejak abad
ke-20. Liberalisme klasik Prinsip-prinsip dari liberalisme klasik
terletak pada pemikiran Jhon Locke, Hobbes, Adam Smith, dan
Spencer yang menyatakan bahwa keberadaan individu dan
kebebasannya sangatlah diagungkan.
Sedangkan Liberalisme modern Prinsip-prinsip liberalisme
modern terletak pada pokok pikiran Keynes (Tokoh Liberalisme
Modern/Tokoh Abad Ke-20). Paham liberalisme modern (baru)
merupakan antitesa yang mengoreksi prinsip-prinsip fundamental
liberalisme klasik (lama) Liberalisme modern prinsipnya
membebaskan individu-individu dalam mengelola dan
menjalankan kehidupan ekonominya tanpa melibatkan pemerintah
harus dihentikan. Pemerintah harus melakukan campur tangan
lebih banyak dalam mengendalikan perekonomian nasional.
Daftar Pustaka
II. KONSERVATISME
Walaupun konservatisme secara keilmuan semakin di
hormati sepanjang 1980-an,dibandingkan sejak Perang Dunia
II,masih saja ada ketidak pastian yang meluas mengenai status
moralnya.terus terang saja,masih terdapat kecurigaan bahwa
konservatisme akhirnya tidak lebih sekadar kedok egois bagi
kelas-kelas yang berkuasa.Menurut kecurigaan ini,ada realitas
ketimpangan dan eksploitasi ekonomi yang tidak menyenangkan
di balik kedok ini dengan alasan itulah,misalnya belakangan ini
seorang filsuf radikal terkenal,Ted Honderich,menutup sebuah
kajian yang ambisius tentang filsafat konservatisme dengan
penegasan bahwa “konservatisme pada akhirnya tidak
menjelaskan apapun tentang ideologi itu sendiri “sejak tulisan
itu,disintegrasi social yang meluas dan menjadi ciri inggris
maupun Amerika Serikat setelah pemerintahan kelompok
konservatif berkuasa semakin menguatkan tuduhan Honderich
tersebut.
Kendati demikian,uraian berikut menggunakan cara
pandangan yang lebih simpatik konservatisme akan ditunjukan
secara lebih tepat bahwa jauh dari menjadi kedok bagi egoisme,
filsafa tkonservatif yang terbaik,penyebutan ini penting,
menawarkan tanggapan yang lebih mendalam terhadap kondisi
manusia daripada tanggapan dari ortodoksi progresif yang
mendominasi dunia Barat selama dua abad terakhir. Hakikat
ortodoksi ini,menurut konservatisme adalah ideologi yang
melibatkan usaha untuk membangun kenyataan-kenyataan
alternative yang tidak memberikan kelonggaran pada
keterbatasan-keterbatasan yang inheren dalam manusia
konservatisme tidak dipertentangkan dengan perubahan
sebagaimana kadang-kadangdiperkirakan,atau bahkan dengan
perubahan yang radikal dalam beberapa keadaan:apa yang
dipertentangkan dengannya adalah perubahan yang didukung
berdasarkan alasan-alasan ideologis yang dirumuskan sebelumnya.
1. Pengertian Konservatisme
Konservatisme adalah sebuah filsafat politik yang
mendukung nilai-nilai tradisional.Istilah ini berasal dari bahasa
Latin, conservāre, melestarikan; "menjaga,
memelihara,mengamalkan". Karena berbagai budaya memiliki
nilai-nilai yang mapan dan berbeda- beda.
3. Tokoh Pemikir
Richard Hooker(1554-1600)
Richard Hooker (Maret 1554-3 November 1600) disebut
sebagai founding father dari pahamkonservatis,dia adalah seorang
imam dan teolog berpengaruh Hooker penekanannya pada
hal,toleransi dan nilai tradisi untuk memberikan pengaruh abadi
pada perkembangan Gereja Inggris..Dalam retrospeksi ia telah
diambil (dengan Thomas Cranmer dan Matius Parker) sebagai
pendiri pemikiran teologis Anglikan.
4. Prinsip-prinsip Konservatisme
Berdasarkan pemikiran-pemikiran para tokoh tersebut,
Clark (1991, pp. 79-80) mengidentifikasi beberapa prinsip-prinsip
aliran konservatif, diantaranya. Pada dasarnya manusia itu punya
dorongan kuat untuk dapat diarahkan menjadi pribadi jahat atau
baik. Pada kenyataannya manusia tidak dapat berkembang tanpa
ikatan organisasi sosial. Masyarakat sebagai sebuah struktur
organik didasarkan pada sebuah tuntutan hirarki alamiah. Tanpa
hirarki, setiap orang akan jadi homogen dan proses pembentukan
pribadi individu dapat terhambat.
Tujuan dari pemerintah adalah untuk menjaga dan
memelihara kebutuhan dasar masyarakat. Pemerintah seharusnya
tidak hanya menegakkan hukum yang melindungi hak milik, tetapi
harus secara aktif membina lembaga-lembaga seperti keluarga dan
lingkungan yang secara konteks sosial merupakan tempat dimana
individu berkembang. Moralitas, keberadaannya tidak tergantung
dari pendapat individu benar dan salah, dankarena itu setiap orang
harus memiliki prioritas untuk mengejar kebajikan daripada
keinginan pribadi.
Nilai-nilai moral termasuk terdiri dari loyalitas, patriotisme,
ksatria,ketaatan, keberanian, kesetiaan, menghormati otoritas,
ramah, dan kehormatan. Kebebasan itu ada ketika individu-
individu tidak berlaku sewenang-wenang yang dikuasai oleh nafsu
mereka sendiri. Kebebesan itu mensyaratkan otoritas, tradisi, dan
masyarakat yang stabil.
Wewenang adalah sah ketika itu berada diantara orang-
orang yang terbiasa dengan kepemimpinan tradisional dan
memiliki yang memiliki pemahaman tentang kebenarandan
kebajikan. Masyarakat itu bisa dinyatakan setara (equality) hanya
dalam status formalnya sebagai warganegara. Keadilan dapat
terpenuhi ketika tata tertib itu dijaga, hukum diatur dengan
seimbang, dankedudukan individu diatur melalui hirarki sosial.
Efisiensi berarti bahwa masyarakat berfungsi dengan baik
menuju sebuah keberhasilan tidak hanya dalam menghasilkan
sebuah materi, tetapi juga dalam pencapaian nonmaterial seperti
menjaga tata tertib, kesatuan komunitas, dan kebaikan individu.
5. Ciri-ciri konservatisme
a. Lebih mementingkan lembaga-lembaga kerajaan dan gereja
b. Agama dipandang sebagai kekuatan utama disamping upaya
pelestarian tradisi dankebiasaan dalam tata kehidupan
masyarakat.
c. Lembaga-lembaga yang sudah mapan seperti keluarga, gereja,
dan negara semuanyadianggap suci.
d. Konservatisme juga menentang radikalisme dan skeptisme
c. Konservatisme moderat
Inti konservatisme moderat adalah komitmen pada
terpeliharanya Negara yang terbatas.Komitmen ini menjadi ciri
khas tradisi konservatif Inggris yang juga menghormati kekuasaan
hokum,mempertahankan pembedaan antara Negara dan
masyarakat,oposisi konstitusional dan lembaga peradilan yang
independen sebagai liberalisme.Namun,tumpang tindih dengan
liberalisme tidak berarti bahwa konservatisme moderat mengambil
begitu saja nilai-nilai liberal tanpa perubahan. Hubungan itu lebih
rumit dan bisa dipahami dengan menjelaskan secara singkat
konservatisme yang diasumsikan pertama kali dalam pemikiran
Edmund Burke (1729-1797) yang tanggapan terhadap gagasan-
gagasan kaum democrat revolusioner Perancis menandakan awal
tradisi konservatif Inggris.Di satu sisi,Burke menolak konsepsi
universalis yang abstrak tentang rasionalitas yang menjadi
sandaran kaum revolusioner saat mereka menuntut hak asasi
manusia
III. SOSIALISME
BAB I
Daftar Pustaka
"sumber: http://pengertianpolitik.blogspot.com"
sumber: http://pengertianpolitik.blogspot.com
sumber: http://pengertianpolitik.blogspot.com
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, 2008. SUMBER
BAB III
I. HUBUNGAN ILMU POLITIK DENGAN SOSIOLOGI
Sosiologi dan ilmu politik adalah dua bagian dari ilmu sosial
yang sama-sama mempelajari tentang manusia dan negara, sosiologi
menyumbangkan pengertian akan adanya perubahan dalam
masyarakat yang menempati sebuah negara tertentu. Selain
mempelajari manusia-manusia sebagai sebuah masyarakat, sosiologi
juga mempelajari negara sebagai sebuah asosiasi yang di dalamnya
terdapat anggota asosiasi dengan berbagai latar belakang sifat,
golongan, dan kegiatan yang juga dapat mempengaruhi sifat serta
kegiatan negara.
Sosiologi membantu sarjana ilmu politik dalam usahanya
memahami latar belakang susunan, dan pola kehidupan sosial dari
berbagai golongan serta kelompok dalam masyarakat. Dengan
memanfaatkan konsep-konsep dalam sosiologi maka sarjana ilmu
politik dapat mengetahui sejauh mana sertifikasi sosial di masyarakat
mempengaruhi ataupun dipengaruhi oleh keputusan kebijaksanaan,
legitimasi politik, sumber-sumber kewenangan politik, pengendalian
sosial, dan perubahan sosial.
a. Bidang politik;
Dari sistem yang menganut kekuasaan kepala adat yang sederhana
digantyikan dengan sistem pemilihan umum perwakilan dan
birokrasi.selain itu persoalan agama dilariakan menjadi persoalan
politik, karena dukungan politik sangat diperlukan untuk
membesarkan suatu kelompok agama tertentu. Maka akhirnya
persoalan agama menjadi kendaraan politik bagi pemimpinnya
b. Bidang sosial;
Adanya mobilitas geografis dan sosial cenderung merenggangkan
sistem hirarki yang sudah ada. Anggota masyarakat yang sebelumnya
mempunyai sikap kebersamaan dan keterikatan yang tinggi pada
desa/adat istiadat serta pada tetua adat atau sesepuh, sekarang sikap
tersebut menjadi semakin berkurang dan bahkan hilang sama sekali.
Perubahan-perubahan yang terjadi dalam proses moderenisasi
dan globalisasi ini lambat laun tentu akan terjadi pada setiap bangsa /
masyarakat yang di dunia. Kemajuan- kemajuan teknologi dari
negara-negara barat mau tidak mau akan terus merambahh deras
kenegara-negara lain di dunia ini terutama negara-negara yang sedang
berkembang . karena masyarakat dunia akan menganggap bahwa
modernisasi sangat diperlukan untuk memajukan kehidupan, dimana
modernisasi di segala bidang kehidupan dianggap mempunyai
pengaruh positif. Masyarakat menjadi lebih efektif dan efisien dalam
menyelesaikan pekerjaannya. Namun demikinan seperti dua sisi mata
uang dampak negatif dari adanya perubahan sosial menyertai
hubungan sosial atau keberagamaan.
Beberpa hal yang juga tampak dari hasil studi tersebut adalah:
I. Lahirnya konfigurasi politik demokratis dan otoriter tidak
ditentukan oleh UUD. UUD yang sama pada periode ynag berbeda
(seperti UUD 1945) dapat melahirkan konfigurasi politik
demokratis (periode 1945-1949 dan 1966-1961/1971) dan
konfigurasi politik yang otoriter (periode 1959-1966 dan
1969/1971-sekarang); sebaliknya UUD yang berbeda pada periode
yang sama (UUD 1945, Konstitusi RIS 1949, dan UUDS 1950)
yang berlaku selama periode 1945-1959 menampilkan konfigurasi
yang sama yakni demokratis. Dengan demikian, demokratis atau
tidaknya suatu sistem politik tidak tergantung semata-mata pada
UUD-nya tetapi lebih banyak ditentukan oleh pemain- pemain
politiknya.
A. NEGARA
Negara merupakan suatu organisasi dalam suatu wilayah yang
memiliki kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyatnya.
Sarjana-sarjana yang melihat negara sebagai aspek utama politik,
menaruh perhatian terhadap lembaga itu. Sesungguhnya definisi-
definisi tentang negara, yang dipergunakan oleh para sarjana yang
menganut pendekatan kelembagaan, bersifat tradisional dan agak
sempit. Roger F. Soltau misalnya, dalam bukunya Introduction to
Politics mengatakan bahwa “Ilmu Politik mempelajari negara, tujuan-
tujuan negara, dan lembaga-lembaga yang akan melaksanakan tujuan-
tujuan itu, hubungan antara negara dengan warganya serta hubungan
antarnegara”. Keterbatasan ruang lingkup definisi tersebut terlihat
apabila kita mengingat bahwa negara hanya merupakan salah satu
bentuk kemasyarakatan, meskipun tidak mungkin disangkal bahwa
negara memang merupakan bentuk masyarakat yang paling utama.
Sedangkan dalam masyarakat primitif yang belum mengenal negara
dalam pengertian sekarang, aspek kekuasaan justru lebih penting.
B. KEKUASAAN
Kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau kelompok
untuk mempengaruhi tingkah laku seseorang atau kelompok lain,
sesuai dengan keinginan si pelaku. Dibanding dengan definisi ilmu
politik yang berpijak pada aspek negara, definisi para sarjana yang
lebih mengutamakan aspek kekuasaan memiliki jangkauan lebih
luas. Harold D. Laswell dan A. Kaplan dalam Power and Society
mengatakan bahwa “Ilmu Politik mempelajari pembentukan dan
pembagian kekuasaan”. Sedangkan W.A. Robson, dalam The
University Teaching of Social Sciences, mengemukakan bahwa
“Ilmu Politik mempelajari kekuasaan dalam masyarakat … yaitu
sifat hakiki, dasar, proses-proses, ruang lingkup dan hasil-hasil.
Fokus perhatian seorang sarjana ilmu politik tertuju pada
perjuangan untuk mencapai kekuasaan, mempertahankan
kekuasaan, melaksanakan kekuasaan atau pengaruh atas orang
lain, atau menentang pelaksanaan kekuasaan itu”. Definisi yang
lain, misalnya dikemukakan oleh Ossip K. Flechtheim dalam
Fundamentals of Political Science, mengatakan bahwa “Ilmu
Politik adalah ilmu sosial yang khusus mempelajari sifat dan
tujuan dari negara sejauh negara merupakan organisasi kekuasaan,
beserta sifat dan tujuan dari gejala-gejala kekuasaan lain yang
tidak resmi yang dapat mempengaruhi negara”. Sarjana-sarjana
yang telah dikemukakan di atas, tampaknya berpijak dari
anggapan bahwa politik adalah semua kegiatan yang melibatkan
berbagai usaha untuk mempertahankan atau merebut kekuasaan.
Kendatipun perjuangan untuk kekuasaan (power struggle) itu pada
umumnya dilandasi dengan keinginan untuk kepentingan seluruh
warga masyarakat.
Baron. Robert A, Byrne Donn. 2003. Psikologi sosial edisi kesepuluh. Jakarta:
Penerbit Erlangga
Blog : tarrymunawiru.blogspot.com/2015/01/hubungan-antara-politik-dan-
hukum.html
http://wonkdermayu.wordpress.com/artikel/hubungan-kausalitas-antara-politik-
dan-hukumdi-indonesia
utamitamii.blogspot.com/2012/04/aplikasi-psikologi-sosial-dalam-bidang.html
http://repository.ut.ac.id>1>ISIP
BAB V
Daftar Pustaka
http://www.academia.edu/4728319/pendekatan_dalam_ilmu_politik
dunsarwere.blogspot.com/2015/08/4-asumsi-politik.html
BAB VI
I. PENDEKATAN PANCASILA
Pendekatan pasca tingkah laku adalah sebuah pendekatan yang
memiliki dua tuntutan utama yaitu relevansi dan tindakan, berbeda
dengan pendekatan sebelumnya yaitu pendekatan tingkah laku yang
tuntutan utamanya adalah akan adanya dikotomi antar nilai dan fakta
yang menekankan untuk mendahulukan kerja keras dan pengalaman,
baru kemudian masalah relevansi. Perbedaan yang mendasar ini
tentunya telah memacu ilmuwan ilmu politik tingkah laku dan
kalangan lainnya untuk membenahi pendekatan ini agar lebih sesuai
dengan kebutuhan masyarakat. Masyarakat dan lingkungan sekitar
pada saat itu ternyata bukanlah menjadi tuntutan utama yang mana
terjadi krisis dalam kehidupan seperti krisis sosial, ekonomi, dan
politik. Para ilmuwan menghasilkan banyak teori yang tidak sesuai
dan tidak sejalan dengan apa yang terjadi. Hal ini terjadi karena
adanya kecenderungan dari ilmuwan untuk memajukan ilmu politik
dengan menghasilkan teori dan memajukan metode kuantifikasinya
dengan tujuan yang ilmiah. Relevansinya dengan kebutuhan
masyarakat dan orientasinya pada teknik (kuantifikasi) inilah yang
melatarbelakangi lahirnya pendekatan pasca tingkah laku. Asumsi
masyarakat yang muncul adalah seharusnya produk dari pendekatan
ini seperti teori dan metode mampu untuk mengadvokasi masyarakat.
Perang Vietnam yang terjadi pada saat itu memunculkan pertanyaan
dari banyak ilmuwan pendekatan tingkah laku. Ternyata, kuantifikasi
tidak selalu menjadi solusi meski didukung dengan data dan indikator.
Kuantifikasi tidak bisa mengukur hal-hal lain yang tidak bewujud
dalam angka seperti faktor ideologi dan semangat yang menjadi
intisari dari perang Vietnam. Ilmuwan tidak bisa mengukur dua hal
tersebut meski sudah memperhitungkan dengan matang faktor lain
seperti jumlah peluru, jumlah personil perang, dan lainnya.
Sebelum membahas tentang pendekatan pasca tingkah laku,
dalam makalah ini pertama – pertama akan menjelaskan sedikit
tentang pendekatan tingkah laku . awalanya pendekatan tingkah laku
muncul dan berkembang di Amerika pasca perang dunia kedua dan
pokok pemikiran dari pendekatan ini adalah lembaga formal bukan
sesuatu yang perlu dibahas karena hal tersebut tidak memberikan
informasi mengenai proses politik tapi lebih bermanfaat untuk
mempelajari perilaku manusia karena merupakan gejala yang dapat
diamati.[1] Salah satu pelopor dari pendekatan ini adalah Gabriel
almond . disisi lain terdapat juga kritik dari berbagai pihak terhadap
pendekatan ini . contohnya adalah pedekatan tradisional yang masih
mempertahankan hal – hal yang lama dimana pendekatan tersebut
sangat kontadiktif dengan pendekatan tingkah laku sendiri yang
cenderung melihat kedepan atau future oriented dan terdapat beberapa
perbedaan lain diantara kedua pendekatan teersebut, selain dari
pendekatan tersebut muncul pula reaksi dari sebuah gerakan yang
dinamakan revolusi pasca perilaku gerakan ini muncul di amerika
pada pertengahan decade enam puluahan dan mencapai puncaknya
pada saat perang Vietnam dan Amerika. Kecamaan ini muncul karena
pendekatan perilaku memiliki banyak masalah salah satunya adanya
diskriminasi ras dan hal tersebut tidak diselesaikan oleh para penganut
pendekatan perilaku. Menurut penganut pasca perilaku, para penganut
perilaku telah gagal dalam menyelesaikan masalah yang timbul dari
perang Vietnam tersebut oleh karena itu gerakan pasca perilaku ini
mencanangkan perlunya sebuah relevansi dan tindakan. Bibit
terjadinya perang tersebut awalnya karena para ilmuwan, kaum
militer, dan para politisi di Amerika tidak mengetahui keberadaan
Vietnam mereka sama sekali dan tidak mengenal negara tersebut.
Masyarakat Amerika juga menganggap bahwa Vietnam adalah negara
yang mudah untuk dipermainkan. Hal ini disebabkan oleh penjajahan
sebelumnya yaitu oleh Prancis yang terttutup dan sikap tidak peduli
terhadap Asia dan sejarah membuat Amerika tidak menyadari bahwa
Vietnam termasuk negara tua dengan sejarahnya sendiri. Vietnam
awalnya memang dikuasai oleh China baik itu sejarah, kondisi fisik,
tanah , dan kultur bangsanya. Vietnam yang mendapat kemerdekaan
cukup lama membuat seringnya terjadi persaingan internal dan
perbutan dominasi oleh para tokohnya sendiri, konflik internal ini
yang kembali membuat kepentingan masuk dikawasan ini. Adanya
perkembangan pendekatan moderat dan revolusioner yang terlihat
setelah perang dunia II dan terbentuknya Vietnam Utara dan Vietnam
Selatan dan kecenderungan politik masing – masing. Perbedaan
inilah yang menimbulkan bibit – bibit perang Vietnam dan membuat
Amerika ikut campur dan melibatkan diri sepenuhnya dalam perang
tersebut.
David Easton yang merupakan tokoh politik dan salah satu
ilmuwan perilaku mulai mempertanyakan keadaan pendekatan
behavioral itu sendiri. Terutama pada saat terjadi perang antara
Vietnam dan Amerika, dimana pada saat itu terjadi perpecahan
internal, perang saudara dan juga adanya aturan – aturan bersifat
otoriter yang menggawat di Amerika.[2] kejadian yang seperti ini
yang tak pernah diramalkan oleh para ilmuwan politik penganut
pendekatan perilaku. Seperti yang diketahui, bagaimana mungkin
penelitian yang harusnya bersifat empirik tersebut tidak
memperhatikan masalah – masalah sosial yang sebegitu parahnya.
Apa gunanya mengembangkan teknologi canggih apabila para
ilmuwan politik sendiri tidak mampu mengatasai masalah sosial pada
waktu itu. Pendekatan perilaku mendapat kritikan dari David Easton.
Easton juga pernah menguraikan beberapa karakter utama pendekatan
pasca perilaku didalam tulisannya “the new revolution in political
science” yang bernama credo of relevance , pokok – pokok dari
tulisannya itu yaitu yang pertama , pendekatan perilaku secara
terselubung bersifat konservatif karean terlalu menekankan
keseimbangan terhadap suatu sistem dan memberi peluang untuk
perubahan. Kedua dalam penelitian empiris dan kuantitatif, ilmu
politik menjadi sangat abstrak dan tidak relevan dalam masalah
social.relevansi terhadap problema – problema yang dihadapi
masyarakat lebih penting disbanding kecermatan. Ketiga, penelitian
tidak boleh menghilangkan nilai – nilai tapi perlu mendapat
bahasan,dengan kata lain ilmu tidak bisa netral dalam evaluasinya.
Keempat, para cendekiawan harus mempunyai tugas yang historis dan
unik untuk melibatkan diri dalam usaha mengatasi masalah social dan
mempertahankan nilai – nilai kemanusiaan. Kritik Terhadap
Pendekatan Pasca Tingkah Laku
Pendekatan pasca tingkah laku muncul dengan latar belakang di
akhir tahun 1960an, David Easton yang merupakan pencetus general
system theory mulai mempertanyakan pendekatan perilaku.
Pendekatan ini juga lahir dari adanya kritik-kritik pada pendekatan
tingkah laku mengenai tiga preposisi utama dari pendekatan tingkah
laku itu sendiri yaitu (1) unit analisis ditekankan pada individu yang
terlepas dari kelompok atau institusi; (2) fakta harus dipisahkan dari
nilai; dan (3) penjelasan mengenai legitimasi selalu dimaknai dalam
lingkup hukum dan konstitusi—secara umum—namun tidak pernah
dimaknai dalam lingkup pernyataan deskriptif dalam fakta-fakta yang
terjadi.
• Keberatan terhadap klaim positivis bahwa pernyatan yang
bukan definisi (tautologis yang bermanfaat) dann tidak empiris
itu tidak bermakna. Kritik ini menekankan pada tidak akan
adanya peran bagi teori normatif, estetika, atau heurmenitika
dalam analisis politik dan sosial. Sebaliknya, mereka akan
membuktikan bahwa pendekatan ini menghaasilkan suatu
bentuk pengetahuan atau pemahaman yang berbeda.
• Tendensi ke arah empirisme yang kurang intelektual. Petama,
pendekatan tingkah laku memiliki tendensi untuk menekankan
apa yang dapat dengan mudah diukur, daripada apa yang
mungkin akan penting secara teoritis. Permasalahannya, jenis
kritisme ini akan selalu mudah untuk dibuat dalam arti bahwa
apa yang bagi seseorang bersifat remeh, bisa jadi dianggap
mendalam bagi orang lain. Kedua, penelitian pendekatan
tingkah laku muncul dari fokus yang terlalu empiris, dimana
kecenderungan untuk berkonsentrasi pada fenomena yang
telah di observasi—seperti pemungutan suara—dibanding
pada kekuatan struktural yang lebih halus, lebih mendalam,
yang memajukan stabilitas dan perubahan dalam sistem sosial
dan politik.
• Anggapan indepedensi teori dan observasi.[6] Hal ini muncul
karena pada awalnya, orang-orang tingkah laku era awal
memproklamirkan pendekatan mereka terhadap penyelidikan
sosial sebagai sesuatu yang “ilmiah” dan “bebas nilai”. Mereka
tidak sedang berusaha mencari pembenaran bagi suatu
pendirian etis atau politik tertentu. namun mereka sekedar
berusaha membongkar fakta lewat observasi yang tidak berat
sebelah atau tidak bias. Mereka berusaha netral dalam
menjelaskannya secara politik.
I. ITALIA
Fasisme didirikan oleh sindikalis nasional Italia dalam Perang
Dunia I yang menggabungkan sayap kiri dan sayap kanan pandangan
politik, tetapi condong ke kanan di awal 1920-an. Para sarjana
umumnya menganggap fasisme berada di paling kanan. Fasis
meninggikan kekerasan, perang, dan militerisme sebagai memberikan
perubahan positif dalam masyarakat, dalam memberikan renovasi
spiritual, pendidikan, menanamkan sebuah keinginan untuk
mendominasi dalam karakter orang, dan menciptakan persaudaraan
nasional melalui dinas militer . Fasis kekerasan melihat dan perang
sebagai tindakan yang menciptakan regenerasi semangat, nasional dan
vitalitas. Fasisme adalah anti-komunisme, anti-demokratis, anti-
individualis, anti-liberal, anti-parlemen, anti-konservatif, anti-borjuis
dan anti-proletar, dan dalam banyak kasus anti-kapitalis Fasisme.
menolak konsep-konsep egalitarianisme, materialisme, dan
rasionalisme yang mendukung tindakan, disiplin, hierarki, semangat,
dan keinginan. Dalam ilmu ekonomi, fasis menentang liberalisme
(sebagai gerakan borjuis) dan Marxisme (sebagai sebuah gerakan
proletar) untuk menjadi eksklusif ekonomi berbasis kelas gerakan
Fasis ini. Ideologi mereka seperti yang dilakukan oleh gerakan
ekonomi trans-kelas yang mempromosikan menyelesaikan konflik
kelas ekonomi untuk mengamankan solidaritas nasional Mereka
mendukung, diatur multi-kelas, sistem ekonomi nasional yang
terintegrasi.
II. ETIMOLOGI
Fascismo adalah istilah yang berasal dari kata Latin "fasses"
(ejaan Romawi: fasces). Fasses, yang terdiri dari serumpun batang
yang diikatkan di kapak adalah simbol otoritas hakim sipil Romawi
kuno, dan juga berarti kejayaan "Ass". Mereka dibawa oleh para liktor
dan dapat digunakan untuk hukuman fisik dan modal berdasarkan
perintah-Nya. Kata fascismo juga terkait dengan organisasi politik di
Italia dikenal sebagai fasci, kelompok mirip dengan serikat kerja atau
sindikat. Simbolisme fases menyarankan kekuatan melalui kesatuan:
sebuah batang tunggal adalah mudah patah, sedangkan rumpunan
akan sulit untuk mengalami perpecahan. Simbol serupa dikembangkan
oleh gerakan fasis yang berbeda. Misalnya simbol Falange yang
berbentuk sekelompok anak panah yang bergabung bersama oleh
sebuah kuk.
Definisi
Salah satu definisi umum fasisme berfokus pada tiga kelompok ide:
negations fasis yang anti-liberalisme, anti-komunisme dan anti-konservatisme,
nasionalis, otoriter tujuan untuk menciptakan struktur ekonomi yang diatur untuk
mengubah hubungan sosial dalam modern, self- ditentukan budaya, estetika
politik menggunakan simbolisme romantis, mobilisasi massa, pandangan positif
kekerasan, promosi maskulinitas dan pemuda dan kepemimpinan karismatik atau
juga bisa di sebut fasisme sebagai sebuah sistem filsafat. Posisi dalam spektrum
politik Fasisme biasanya digambarkan sebagai ideologi yang dinempatkan pada
spektrum politik konvensional kiri-kanan. Ada sebuah konsensus ilmiah bahwa
fasisme dipengaruhi oleh baik kiri dan kanan, konservatif dan anti -konservatif,
nasional dan supranasional, rasional dan anti-rasional. Sejumlah sejarawan telah
dianggap fasisme baik sebagai doktrin sentris revolusioner, sebagai sebuah
doktrin yang Mixes filsafat kiri dan kanan, atau sebagai kedua hal tersebut. Ada
faksi dalam Fasisme Italia pada kedua sisi kiri dan kanan. Akomodasi hak politik
menjadi Fasisme di awal 1920-an menyebabkan terciptanya sejumlah faksi
internal dalam gerakan Fasis Italia. "Kiri Fasis" termasuk Angelo Oliviero
Olivetti, Sergio Panunzio, dan Edmondo Rossoni, yang berkomitmen untuk
memajukan sindikalisme nasional sebagai pengganti liberalisme parlemen dalam
rangka untuk memodernisasi ekonomi dan memajukan kepentingan pekerja dan
masyarakat umum. Yang "benar Fasis" termasuk anggota paramiliter fasis
"Squadristi" dan mantan anggota Asosiasi Nasionalis Italia (ANI) Squadristi
ingin mendirikan fasisme sebagai sebuah kediktatoran lengkap,. sedangkan ANI
mantan anggota, termasuk Alfredo Rocco , mencari negara korporatis otoriter
untuk menggantikan negara liberal di Italia, sementara tetap mempertahankan
elite yang ada. Ada faksi-faksi juga lebih kecil di dalam gerakan Fasis Italia,
seperti "Fasis ulama" yang berusaha untuk mengalihkan fasisme Italia dari anti-
akar Katolik untuk menerima Katolik. Ada juga "Fasis monarki" yang berusaha
untuk menggunakan fasisme untuk membuat sebuah monarki absolut di bawah
Raja Victor Emmanuel III dari Italia. Sejumlah gerakan fasis menggambarkan
diri mereka sebagai "kekuatan ketiga" di luar spektrum politik tradisional
Mussolini dipromosikan. Ambiguitas tentang posisi fasisme dalam rangka untuk
rally banyak orang itu mungkin, mengatakan fasis dapat "bangsawan atau
demokrat, revolusioner dan reaksioner, kaum proletar dan anti-proletarian, pasifis
dan anti-pasifis". Mussolini menyatakan sistem ekonomi yang Fasisme Italia
korporatisme dapat diidentifikasi sebagai kapitalisme negara atau sosialisme
negara, yang dalam kedua kasus terlibat" birokratisasi dari kegiatan ekonomi
bangsa "dijelaskan. Mussolini fasisme dalam bahasa apapun ia menemukan
berguna. Spanyol Falangist pemimpin José Antonio Primo de Rivera adalah kritis
dari kedua politik sayap kiri dan sayap kanan, sekali mengatakan bahwa "pada
dasarnya Hak berdiri untuk memelihara struktur ekonomi, meskipun salah satu
yang tidak adil, sedangkan Waktu singkatan dari upaya untuk menumbangkan
bahwa struktur ekonomi, meskipun subversi daripadanya akan memerlukan
penghancuran banyak hal yang bermanfaat".
Awalnya fasisme dan Fasis Italia pada khususnya sangat populer di dunia,
sampai Perang Dunia II dan kekalahan kekuatan Poros. Winston Churchill
mendukung rezim Fasis Italia hingga akhir 1937, mengklaim bahwa Mussolini
memiliki kualitas yang kuat yang dijaga Italia dari ancaman komunisme, yang
sepadan dengan pengorbanan kebebasan Pan-Afrika nasionalis Marcus Garvey
sekali. mengklaim bahwa ia adalah pertama fasis dan menyatakan ia
menghormati asal usul kelas bawah Mussolini dan Adolf Hitler. Franklin D.
Roosevelt, sebelum Perang Italo-Ethiopia Kedua, mengatakan bahwa ia "tetap
berhubungan dengan pria yang mengagumkan", merujuk untuk Mussolini.
Mohandas Gandhi bepergian ke Italia untuk bertemu Mussolini pada bulan
Desember 1931 dengan maksud berusaha untuk menyebarkan nilai kedamaian.
Pada pecahnya Perang Dunia I pada bulan Agustus 1914, politik kiri Italia
menjadi sangat dibagi atas posisinya pada perang . Partai Sosialis Italia
menentang perang atas dasar internasionalisme., Tetapi sejumlah sindikalis
revolusioner Italia didukung intervensi melawan Jerman dan Austria-Hongaria
dengan alasan bahwa rezim-rezim reaksioner mereka harus dikalahkan untuk
menjamin keberhasilan sosialisme. Corradini disajikan kebutuhan yang sama
untuk Italia sebagai "bangsa proletar" untuk mengalahkan Jerman reaksioner dari
perspektif nasionalis. Awal fasisme yang dihasilkan dari perpecahan ini, dengan
Angelo Oliviero Olivetti membentuk Fascio Revolusioner Aksi Internasional
pada Oktober 1914 .Pada saat yang sama, Benito Mussolini bergabung penyebab
intervensionis. The Fasis didukung nasionalisme dan mengklaim bahwa
internasionalisme proletar gagal. Pada saat ini, kaum fasis tidak memiliki
serangkaian kebijakan terpadu dan gerakan itu sangat kecil. Its mencoba untuk
mengadakan pertemuan massa tidak efektif dan itu teratur dilecehkan oleh
otoritas pemerintah dan sosialis ortodoks Antagonisme antara intervensionis,.
termasuk Fasis, dan sosialis ortodoks anti-intervensionis menghasilkan
kekerasan. Serangan terhadap intervensionis begitu kekerasan yang bahkan
sosialis demokrasi yang menentang perang, seperti Anna Kuliscioff, mengatakan
bahwa Partai Sosialis Italia sudah terlalu jauh dalam kampanye untuk
membungkam pendukung perang. Penggunaan Italia dari pemberani pasukan
shock elit yang dikenal sebagai Arditi, dimulai pada tahun 1917, merupakan
pengaruh penting terhadap Fasisme Para Arditi adalah prajurit yang secara
khusus terlatih untuk hidup kekerasan dan mengenakan seragam blackshirt unik
dan fezzes. The Arditi membentuk sebuah organisasi nasional pada bulan
November 1918, Associazione fra GLI Arditi d'Italia, yang pada pertengahan
1919 memiliki sekitar dua puluh ribu orang muda di dalamnya Mussolini banding
ke Arditi, dan Squadristi. kaum fasis ', dikembangkan setelah perang, didasarkan
pada Arditi. Dengan pemisahan antara Marxis anti-intervensionis dan Fasis pro-
intervensionis selesai pada akhir perang, kedua belah pihak menjadi tak
terdamaikan. Kaum Fasis disajikan diri mereka sebagai anti-Marxis dan sebagai
lawan dari komunisme Soviet, Benito Mussolini mengontrol konsolidasi selama
gerakan Fasis pada tahun 1919 dengan berdirinya italiani Fasci di combattimento,
yang bertentangan dengan sosialisme ortodoks dia menyatakan: Kami
menyatakan perang melawan sosialisme, bukan karena itu adalah sosialisme,
tetapi karena menentang nasionalisme. Meskipun kita dapat membahas
pertanyaan tentang apa sosialisme adalah, apa programnya, dan apa taktik, satu
hal yang jelas: Italia resmi Partai Sosialis telah reaksioner dan benar-benar
konservatif. Jika dilihat perusahaan mempunyai menang, kelangsungan hidup
kita di dunia saat ini tidak mungkin.
Asal Ideologi
Rezim politik
Bila mendengar kata rezim maka yang terlintas dienak kita adalah
pemerintahan yang otoriter seperti pada zaman orde baru yang dipimpin oleh
Presiden Soeharto. Sebenarnya rezim memiliki beberapa pengertian yang
berbeda-beda. Rezim secara umum terdefinisikan sebagai seperangkat norma,
prinsip, aturan dan prosedur pembuatan keputusan oleh para aktor dengan
harapan tertentu dari pembuatan aturan dan keputusan tersebut (Kranser,1983).
Rezim merupakan suatu kekuasaan seseorang yang menerapkan beliefs, rules,
decision-making process sesuai dengan interest dan kepercayaan orang itu.
Pengertian tersebut membawa kita mengartikan suatu rezim internasional sebagai
prinsip-prinsip, norma-norma serta aturan yang dibuat oleh para aktor
internasional yang menjadi suatu isu dan kasus dalam pembahasan mengenai
hubungan internasional (Kranser, 1983). Rezim telah dikonseptualisasikan
sebagai intervensi dari beberapa variabel antara faktor-faktor umum kausal di
suatu sisi dan hasil serta perilaku di sisi lain (Kranser 983). Faktor umum kausal
yang dimaksud disini adalah power, interest, dan value. Ketiga faktor tersebut
yang menjadi dasar dari perdeatan rezim internasional dalam dunia huungan
internasional. Sementara itu Oran Young, Raymond Hopkins dan Donald Puchala
dalam esainya menyatakan rezim sebagai pervasive characteristic dari sistem
internasional. Rezim seperti yang dimaksud disini adalah keberadaan rezim ini
sendiri tidak dapat ditolak. Suatu tindakan yang secara terus-menerus dilakukan
akan membangun suatu rezim. Pandangan ini sangat kontras dengan pendapat
Susan Strainge yang melihat rezim sebagai suatu konsep yang tidak jelas dan
menyesatkan (Kranser, 1983).
Rezim pada dasarnya adalah pembuatan keputusan oleh suatu aktor yang
mempengaruhi kehidupan suatu masa tertentu. Rezim mempengaruhi outcomes,
dan outcomes mempengaruhi faktor-faktor dasar rezim seperti norma dan prinsip.
Ketiga faktor yang mempengaruhi rezim antara lain power, interest, dan value.
Dapat kita lihat bahwa faktor yang mempengaruhi rezim ini hampir sama dengan
rumus identitas suatu negara dalam ilmu hubungan internasional. Identitas terdiri
dari power, actor, dan interest, sedangkat rezim dilakukan oleh seorang aktor
yang berkuasa pada waktu tertentu. Hal itu membuktikan bahwa rezim adalah
refleksi dari identitas suatu bangsa dan negara. Bukan sampai disitu saja, definisi
rezim pada dasarnya sangatlah beragam sehingga timbulah kerancuan dalam
pengenalan rezim ini. Seperti halnya dalam bidang ekonomi, terdapat juga istilah
rezim yang maknanya jauh berbeda dengan rezim yang ada dalam dunia politik.
Rezim memiliki arti dan berbagai deskripsi, seperti Cohen, Keohane, Jervis,
Susan Strange, Ruggie, Lipson yang tidak setuju dengan penyempitan arti dari
rezim yang hanya berkaitan dengan norma, peraturan dan proses pembutana
keputusan.
Daftar Pustaka
• Marsh, David dan Gerry Stroker. Teori dan Metode dalam Ilmu Politik.
Bandung:Penerbit Nusa Media. 2010