Anda di halaman 1dari 97

TUGAS PENGANTAR ILMU POLITIK

“SILABUS, RPS, DAN MATERI PEMI”


Disusun Oleh:

Kelompok 13

1. Heru Sasmito : 19101046


2. Muhammad Deriansyah :
3. Givanti Avi Savitri : 19102048
4. Suci Ramadanti : 19101059

Dosen Pengajar :
Drs. H. Edward Mandala, M.Si

SEKOLAH TINGGI ILMU SOSIAL DAN POLITIK


RAJA HAJI TANJUNGPINANG
2019 / 2020

SATUAN ACARA PERKULIAHAN


Mata kuliah : Dasar-Dasar Ilmu Politik
SKS :3
Semester :1
Dosen : Drs. H. Edward Mandala, M.Si

I. DESKRIPSI MATA KULIAH

Mata Kuliah ini memberikan bekal pemahaman dasar tentang ilmu politik mengenai
pengertian, fokus kajian, pendekatan dan konsep-konsep politik. Mata kuliah ini meliputi,
pengertian ilmu politik, objek kajian, ilmu pengetahuan dan studi politik, pendekatan
dalam ilmu politik. Representasi politik, Partai politik, masyarakat sipil dan kelompok
Govermance.
II. STANDAR KOMPETENSI MATA KULIAH

Mahasiswa mampu mendeskripsikan bekal pemahaman dasar tentang ilmu politiK


Mahasiswa mampu menjelaskan fokus kajian ilmu politik
Mahasiswa mampu menjelaskan ilmu politik sebagai ilmu pengetahuan
Mahasiswa mampu mengenali dan membedakan berbagai pendekatan politik
Mahasiswa mampu menguraikan berbagai konsep-konsep ilmu politik
BAB II

I. BIDANG ILMU POLITIK


Ilmu politik terdiri dari bidang-bidang ilmu politik pada
pembahasan kali ini kita akan membahas bidang-bidang tersebut
Dalam Contemporary Political Service, terbitan Unesco 1950, Ilmu
politik dibagi menjadi empat bidang yaitu :
I. Teori Politik
1. Teori Politik
2. Sejarah perkembangan ide-ide politik

II. Lembaga - lembaga politik


1. Undang-Undang dasar
2. Pemerintah Nasional
3. Pemerintah daerah dan lokal
4. Fungsi ekonomi dan sosial pemerintah
5. Perbandingan Lembaga-lembaga politik

III. Partai – partai, golongan – golongan, dan pendapatan umum :


1. Partai-partai
2. Golongan-golongan dan asosiasi-asosiasi
3. Partisipasi warga negara dalam pemerintahan dan
administrasi
4. Pendapatan umum

IV. Hubungan Internasional :


1. Politik Internasional
2. Organisasi-organisasi dan Administrasi Internasional
3. Hukum Internasional.

Teori Politik yang merupakan bidang pertama dari ilmu


politik adalah sistematis dan generelisasi dari fenomena
politik. Teori politik bersifat spekulatif sejauh menyangkut
norma-norma untuk kegiatan politik, tetapi juga dapat
bersifat deskriptifatau komparatif atau berdasarkan logika.
Bidang kedua dari ilmu politik, yaitu lembaga-lembaga
partai politik, seperti misalnya pemerintahan, mencakup
aparatur politik teknis untuk mencapai tujuan-tujuan sosial.
Bidang ketiga, yaitu mengenai partai-partai, golongan-
golongan, dan pendapatmu, banyak memakai konsep-
konsep sosiologis dan psikologis dan sering disebut
political dynamics oleh karena sangat menonjolkan aspek-
aspek dinamis dari proses-proses politik. Suatu bidang
yang akhir-akhir ini berkembang dan yang sangat penting
bagi negara berkembang adalah pertumbuhan politik. Studi
meropong akibat dari pembangunan cepat di bidang sosial
dan ekonomi atas tatanan masyarakat.

II. HUBUNGAN ILMU POLITIK DENGAN SEJARAH


Hubungan antara ilmu politik dan ilmu sejarah dilukiskan dengan
tepat dan jelas dalam ucapan sarjana ilmu politik Inggris, Sir Robert
Seeley, yang berkata : “history without political science has no fruit;
political without history has no root”.[2]) Dengan ucapan ini, Seeley
telah dapat memperlihatkan adanya hubungan yang erat dan instrinsik
antara kedua pengetahuan itu. Namun hubungan yang begitu erat
inisekalipun belum dapt membenarkan pendapat Seeley bahwa sejarah
sebenarnya adalah politik jaman lampau, sedangkan ilmu politik
dewasa ini adalah sejarah hari kemudian (History is past politics and
present politics future history). Diktum Seeley ini dapat
mengakibatkan identifikasi sejarah dengan ilmu politik. Hal ini kurang
tepat, sekalipun dimaksudkan dengan sejarah dalam hubungan ini
ialah sejarah politik (political history). Sejarah adalah deskripsi
kronologis dari peristiwa-peristiwa dari jaman yang silam.
Sejarah adalah riwayat hidup umat manusia. Sejarah merupakan ilmu
yang mempelajari peradaban manusia. Melalui pelajaran ini segala
ide- ide, kesuksesan dan peradaban manusia dikupas. Di sini pula kita
mengetahui kejadian- kejadian dahulu, gerak- gerik dan penyebab
dimana memiliki timbal- baliknya pula.
Sejarah merupakan penghimpunan kejadian-kejadian konkrit di
masa yang lalu. Ilmu politik tidak terbatas pada apa yang terdapat
dalam sejarah. Mengetahui sejarah politik sesuatu negara belum
memberikan gambaran yang tepat tentang keadaan politik negara itu
di mas ayang lampau dan di masa yang akan datang. Sejarah mencatat
hanya apa yang pernah terjadi, sejarah memberi gambaran tentang
peristiwa-peristiwa konkrit yang pernah terjelma dalam pengalaman
sesuatu masyarakat.
Ilmu politik, disamping mencatat “das Seinde”,juga melikiskan “das
Sein Sollede”, disamping menyelidiki apa yang pernah terjadi, juga
apa yang kini sedang berlangsung dan mengadakan prognose hari
depan seuatu masyarakat, ditinjau dari segi politik.
Ilmu politik akan samar bila tidak disertai dengan sejarah, dimana
sejarah juga akan terlihat pincang bila tidak diiringi dengan ilmu
politik. Kedua ilmu tersebut memiliki suatu keterkaitan yang tidak
mungkin dipisahkan. Lebih jelasnya setiap sejarah pasti diiringi
dengan sang hero atau nama- nama pemikir terdahulu, dimana ilmu
politik mengupas segala bidang perkembangan suatu negara, dimana
hal ini dikategorikan sebagai sejarah.
Menyamakan ilmu politik dengan ilmu sejarah juga mengandung hal-
hal yang negatif sifatnya yang hanya merugikan ilmu politik. Oleh
karena sejarah sering tidak dianggap sebagai ilmu, maka sebagai
akibat identifikasi ini juga variantnya ilmu politik bukanlah ilmu pula.
Prof. Catlin menulis mengenal hal ini sebagai berikut: “an indolent
unwillingness to make distinctions, which are easier to dismiss as
`artifical` than to examine, has led men to assume that, since most of
the history which thwy read in estitled `political history`, therefore the
study of history an of politics are much the same thing. And the
agreement which showed history to be no science has been used with
apparent cogency toprove that politics is not one”
Politik membuat sejarah dan hampir semua peristiwa historis
adalah peristiwa politik. Penyelidikan sejarah selalu dimaksudkan
sebagai studi untuk mengenal diri sendiri, untuk menemukan
kepribadian sendiri atau untuk mengambil pelajaran dari zaman
lampau, agar dapat menarik pelajaran-pelejaran tertentu dari
pengalaman sendiri: “Historier se repete” dan untuk itu kita telah
bersiap sedia. Ilmu politik memperkaya materinya dengan peristiwa-
peristiwa sejarah, mengadakan perbandingan dan induksi dari bahan-
bahan sejarah itu. Sejarah merupakan gudang persediaan data bagi
ilmu politik.
Betapa hampa dan tidak dan tidak berarti ilmu politik itu tanpa data
yang disediaka oleh sejarah, teristimewa sejarah politik. Mungkin
tidak dapat dibayangkan ilmu politik tanpa sejarah.
Sejak dahulu kala ilmu politik erat hubugannya dengan sejarah
dan filsafat. Sejarah merupakan alat yang paling penting bagi ilmu
politik karena menyumbang bahan data dan fakta dari masa lampau
untuk diolah lebih lanjut dan berguna untuk mengembangkan politik
selanjutnya.
Untuk kita Indonesia mempelajari sejarah dunia dan sejarah
Indonesia khususnya merupakan suatu keharusan. Sejarah kita pelajari
untuk ditarik kesalahan-kesalahan yang sama. Misalnya, perlu sekali
kita mempelajari revolusi-revolusi yang telah mengguncangkan dunia,
yaitu revolusi. Prancis, Amerika, Rusia, dan, China, supaya gejala
revolusi yang telah kita alami sendiri dapat lebih kita mengerti dan
tarik manfaatnya. Begitu pula, misalnya, perlu sekali kita mempelajari
faktor-faktor yang telah mendorong Partai Komunis Indonesia (PKI)
untuk menyelenggarakan Pemberontakan Madiun pada tahun 1948
dan Gerakan 30 September pada tahun 1965, supaya peristiwa-
peristiwa semacam itu dapat dihindarkan di masa depan.
Usaha kita untuk meneliti sejarah kotemporer kita secara ilmiah
masih sangat terbatas. Sarjana ilmu politik asing banyak menulis
mengenai sejarah kotemporer Indonesia seperti misalnya George Mc.
T. Kahin, Nationalism and Revolution in Indonesia, yang membahas
masa revolusi 1945 sampai pengakuan kedaulatan pada tahun
1949;Herbert Feith, The Decline of Constitutional Demorcracy, yang
membahas masa peralihan ke Demokrasi Terpimpin. Tokoh-tokoh
kita sampai sekarang membatasi diri pada penulisan sejarah secsra
memoar (kenangan-kenangan), seperti Sukarno, An Autobiography as
told to Cindy Amas; Moh.Hatta, Sekitar Proklamasi; Adam Malik,
Riwayat Proklamasi, Sewaka, Dari Zaman ke Zaman; T.B.
Simatupang, Laporan dari Banaran; dan sebagainya. Baru pada tahun
1976 suatu tim ahli bawah pimpinan Sartono Kartodirdjo berhasil
meenerbitkan Sejarah Nasional Indoesia. Perlu juga disebut disini
buku Menjadi Indonesia, tulisan Parakitri T. Simbolon pada tahun
2006.

III. HUBUNGAN ILMU POLITIK DENGAN FILSAFAT


Ilmu pengetahuan lain yang erat sekali hubungannya dengan ilmu
politik ialah filsafat. Filsafat ialah usaha untuk secara rasional dan
sistematis mencari pemecahan atau jawaban atas persoalan-persoalan
yang menyangkut alam semesta dan kehidupan manusia. Ilmu politik
terutama sangat erat hubungannya dengan filsafat politik, yaitu bagian
dari filsafat yang menyangkut kehidupan politik terutama mengenai
sifat hakiki, asal mula dan nilai dari Negara. Membahas persoalan-
persoalan politik dengan berpedoman pada suatu sistem nilai dan
norma-norma tertentu.
Gramsci mengatakan bahwa filsafat yang sejati bukan merupakan
cabang kajian yang terisolasi, tetapi dalam dirinya sendiri
mengandung seluruh anasir fundamental yang dibutuhkan untuk
mengonstruksi konsepsi tentang dunia yang total dan integral dan
segala hal yang dibutuhkan untuk mewujudkan organisasi masyarakat
politik yang integral dalam kehidupan manusia. Oleh karenanya,
politik Gramsci mengarahkan dia pada filsafat, dan filsafatnya
sepenuhnya bersifat politis. Dengan kata lain, Gramsci melihat filsafat
sebagai pendidikan politik, dan politik sebagai arena untuk
menerapkan pengetahuan filosifi.
Dalam pandangan Filsuf Yunani Kuno, filsafat politik juga
mencakupdan erat hubungannya dengan moral fiosofi atau etika
(ethics). Etika membahas persoalan yang menyangkut norma-norma
baik/buruk seperti misalnya tindakan apakah yang boleh dinamakan
baik/buruk, manusia apakah yang boleh dinamakan manusia
baik/buruk; apakah yang dinamakan adil/tidak adil. Penilaian
semacam ini, jika diterapkan pada politik menimubulkan pertanyaan
sebagai berikut: apakah seharusnya tujuan dari negara; bagaimana
seharusnya sifat sistem pemerintahan yang terbaik untuk mencapai
tujuan-tujuan tersebut; bagaimana seorang pemimpin harus bertindak
untuk keselamatan negara dan warganya. Dengan demikian kita
sampai pada bidang filsafat politik yang membahas masalah politik
dengan berpedoman pada suatu sistem nilai (value system) dan norma-
norma tertentu. Contoh dari pandangan bahwa ada hubungan erat
antara politik dan etika tercermin dalam karangan filsuf Yunani Plato,
Politeia, yang menggambarkan negara yang ideal. Di negara-negara
Barat pemikiran politik baru memisahkan diri dari etika mulai abad
ke-16 dengan dipelopori oleh negarawan Itali Niccolo Macchiavelli.

BAB VII

I. LIBERALISME
Setiap insan manusia memiliki ideologi, yang menjadi cara
pikir seseorang atau suatu golongan sehingga mempengaruhi dalam
mengambil keputusan maupun bertindak serta berperilaku. Secara
garis besar ideologi adalah kumpulan ide atau gagasan. Kata ideologi
sendiri diciptakan oleh Destutt de Tracy pada akhir abad ke-18 untuk
mendefinisikan "sains tentang ide" .
Ideologi dapat dianggap sebagai visi yang komprehensif,
sebagai cara memandang segala sesuatu (bandingkan
Weltanschauung), secara umum (lihat Ideologi dalam kehidupan
sehari hari) dan beberapa arah filosofis (lihat Ideologi politis), atau
sekelompok ide yang diajukan oleh kelas yang dominan pada seluruh
anggota masyarakat. Tujuan untama dibalik ideologi adalah untuk
menawarkan perubahan melalui proses pemikiran normatif. Ideologi
adalah sistem pemikiran abstrak (tidak hanya sekadar pembentukan
ide) yang diterapkan pada masalah publik sehingga membuat konsep
ini menjadi inti politik. Secara implisit setiap pemikiran politik
mengikuti sebuah ideologi walaupun tidak diletakkan sebagai sistem
berpikir yang eksplisit.
Secara umum asal-usul hadirnya ideologi liberalisme dikatakan
hadir pada masa Spanish Cortes pada tahun 1810-1811, tetapi titik
awal ini menjadi perdebatan di kalangan intelektual. Seorang
libertarian sekaligus penulis, seperti Murray Rothbard dan David Boaz
telah melihat elemen liberalisme dalam filsuf Cina Kuno, Lao Tzu.
Dimana Lao Tzu menulis Tao Te Ching pada abad ke-6 SM, dokumen
fondasi dari filsafat Taoisme. Adapula argumen yang mengatakan
embrio dari liberalisme sudah ada sejak zaman Yunani dan Romawi
Kuno. Pada 1895, Perdana Menteri Australia, Alfred Deakin
mengatakan bahwa“liberalisme berasal ketika oposisi terhadap
otoritas pertama kali memanifestasikan dirinya”.
Demikian pula dia melihat sebuah konflik antara aristokrat dan
demokrat di Athena atau antara patrician dan pleibeian di Romawi
Kuno, sebagai simbol atau kata lain dari konservatif dan liberalis dari
zamannya. Pada tahun 1950-an, Eric Havelock berpendapat bahwa
batas kata liberal yang digunakan dalam konteks politik cukup luas
untuk diberikan kepada sekelompok ahli teori politik Yunani Kuno,
sebagaimana yang ia sebutkan dalam bukunyaThe Liberal Temper in
Greek Politics.
Sejarawan Amerika lainnya, J. Salwyn Schapiro, mengakui
bahwa Socrates tidak memiliki gagasan tentang apa itu yang disebut
‘hak alami’ dari setiap individu. Namun tetap menggambarkannya
sebagai liberalis terkemuka di zaman kuno. Dibalik asumsi-asumsi
tersebut, banyak juga penentangan ihwal awal mula munculnya
liberalisme dari zaman Yunani dan Romawi Kuno. Karena pada
dasarnya demokrasi dan liberalisme adalah dua konsep yang berbeda
Sebagaimana seperti argumen yang dikemukakan oleh Alan
Ryan yang menentang argumen sebelumnya yang menyatakan bahwa
liberalisme mulai dari zaman Yunani dan Romawi Kuno. Tidak ada
alasan politik mengapa liberalisme bisa tidak muncul di Athena pada
abad ke-4 SM, tetapi agama dan etnis di Yunani sangatlah berbeda. Di
lain kata, liberalisme membutuhkan intelektual dan moral tertentu.
Prospek konseptualisasi masalah morl dan politik tidak ada dalam
kehidupan zaman Kuno, tetapi mereka juga tidak membutuhkan
struktur sosial, ekonomi, maupun politik.
Dibalik perdebatan panjang atas bagaimana tonggak awal
kemunculan liberalisme, perlu diketahui bahwa liberalisme lahir
bukan diciptakan oleh golongan pedagang dan industri, melainkan
lahir dari golongan intelektual atas keresahan ilmiah dan artistik
umum pada abad pertengahan
Keresahan tersebut disambut baik oleh golongan pedagang,
bahkan hal tersebut digunakan sebagai tuntutan politik untuk
golongan kerajaan-gereja agar tidak terlalu mengekang kebebasan
bereskpresi. Tuntutan ini bukan semata-mata untuk menjalankan
kehidupan secara bebas, tetapi juga agar membuka akses lebih lebar
dalam mencari keuntungan. Adapun tokoh-tokoh liberalisme yang
terkenal seperti John Locke, Rousseau, Montesquieu, John Stuart
Mill.
Latar belakang tumbuhnya liberalisme di Eropa pada abad
pertengahan adalah pada saat itu masyarakat ditandai dengan dua
karakteristik, dimana anggota masyarakat terikat satu sama lain dalam
suatu sistem dominasi kompleks nan kukuh , dan pola ini sangat susah
diubah dan statis. Pengekangan oleh kaum aristokrat dan bangsawan-
gereja sangat mempersulit ruang gerak para intelektual dalam
mengembangkan diri, begitu pula kaum pedagang yang tidak dapat
memaksimalkan diri dalam mencari keuntungan dalam sistem
perdagangan mereka, kekangan demi kekangan yang hadir menjadi
bayang-bayang kelam betapa susahnya ruang gerak mereka pada kala
itu.

a. Perkembangan Liberalisme di Dunia


Para filsuf, sosiolog, dan ekonom dari abad kedelapan belas dan
awal abad kesembilan belas merumuskan program politik yang
berfungsi sebagai panduan kebijakan sosial pertama di Inggris dan
Amerika Serikat, kemudian di benua Eropa, dan akhirnya di bagian
lain dunia yang dihuni. Tapi tidak di satu tempat pun program ini
pernah benar-benar dijalankan. Bahkan di Inggris, yang dijuluki tanah
kelahiran liberalisme dan model negara liberal, para pendukung
kebijakan liberal tidak pernah berhasil memperoleh semua tuntutan
mereka.
Di bagian lain dunia hanya serpihan-serpihan program liberal
yang diadopsi, sementara yang lain, yang tidak kalah penting, sejak
awal ditolak atau ditinggalkan dalam waktu singkat. Hanya dengan
sedikit melebih-lebihkan dapatlah seseorang mengatakan bahwa dunia
pernah melalui era liberal. Liberalisme tak pernah diberi kesempatan
untuk berkembang penuh
Namun, meskipun supremasi ide-ide liberal tidak berlangsung
lama dan sangat terbatas, ide-ide itu cukup untuk mengubah dunia.
Sebuah perkembangan ekonomi yang luar biasa telah berlangsung.
Pengerahan kekuatan produktif manusia melipatgandakan sarana
penghidupan, Menjelang Perang Dunia dunia jauh lebih padat dari
sebelumnya, dan setiap penduduk bisa hidup jauh lebih baik dari
yang dimungkinkan di abad-abad sebelumnya. Kemakmuran yang
diciptakan liberalisme telah menurunkan angka kematian bayi [yang
di abad-abad permulaan merupakan momok yang menakutkan] secara
menyolok dan sebagai akibat dari perbaikan kondisi hidup, usia rata-
rata hidup diperpanjang. Kemakmuran tidak hanya mengalir ke
sekelompok orang dengan hak-hak istimewa.
Menjelang Perang Dunia pekerja di negara-negara industri
Eropa, Amerika, dan wilayah-wilayah kekuasaan Inggris di seberang
lautan hidup lebih baik dan terhormat dibandingkan dengan para
bangsawan yang berasal dari masa yang belum lama berlalu. Sekat-
sekat yang di abad-abad permulaan memisahkan para tuan dari hamba
sahaya telah runtuh. Sekarang hanya ada warga negara dengan hak
yang sama. Tak seorang pun dirugikan atau dianiaya karena
kebangsaannya, pendapatnya, atau keyakinannya Namun yang terjadi
adalah kebalikannya.
Pada abad kesembilan belas penentang liberalisme yang
tangguh dan garang bermunculan dan berhasil menghapus sebagian
besar pencapaian yang diraih oleh kaum liberal. Dunia tak mau lagi
tahu tentang liberalisme. Di luar Inggris, istilah “liberalisme” secara
terang-terangan dilarang. Di Inggris, kelompok “liberal” masih ada
tapi kebanyakan hanya dalam nama saja. Sebenarnya, mereka lebih
sosialis moderat daripada liberal. Di mana-mana dewasa ini kekuasaan
politik berada di tangan kelompok antiliberal. Program anti
liberalisme melepaskan kekuatan yang memunculkan Perang Dunia
yang dahsyat dan, melalui kuota impor dan ekspor, tarif, hambatan
migrasi, dan langkah-langkah serupa, membuat bangsa-bangsa saling
mengucilkan.

b. Elemen Utama Liberalisme


Dalam membahas Liberalisme, kita tidak hanya perlu tau apa
yang dimaksud dengan ideologi tersebut namun kita harus mengetahui
pembahasan apa yang dinilai fundamental dalam ideologi ini dan
gagasan yang megarahkan kemajuannya.

c. Kebebasan Sipil / Civil Liberty.


Hal pertama yang dikritisi oleh Liberalisme ialah
pemerintahan yang dinilai sewenang-wenang, sehingga kebebasan
yang harus diusung pertama ialah hak untuk diperlakukan sesuai
hukum yang ada. Hal ini dinilai krusial karena sebelumnya,
struktur pemerintahan monarki di Eropa yang terkadang membuat
kekuasaan mereka Arbitary, sehingga solusi yang dinilai terbaik
ialah adanya hukum yang telah mengatur hukuman untuk setiap
pelanggaran yang dilakukan, ketimbang pembuatan persekusi dan
siksaan oleh para penguasa (dalam konteks ini Raja sebagai
pemimpin negara).
Hal ini pertama kali disusung oleh Parlemen Inggris pada abad
ke-17, dimana Kebabasan dan unsur Liberty pertam dimuat didalam
Petition of Right dan nantinya pada Habeas Corpus Act.
Sehingga langkah awal menuju argumen "kebebasan" pada
realitanya ialah tuntutan adanya sebuah hukum. hal ini tentunya
merupakan simbol dari kebebasan universal, yaitu adanya
pembatasan, karena tanpa adanya fondasi dari pembatasan untuk
manusia, akan timbulnya ketidakadilan dimana seseorang dapat
menjadi bebas bertindak semaunya karena memiliki kekuasaan yang
arbitary.
Hukum sendiri ialah suatu hal yang berkaitan dengan kebebasan
dan ideologi Liberalisme, Seperti yang dikatakan oleh Hobhouse:
"...On the contrary, law is essential to liberty. Law, of course, restrains
the individual; it is therefore opposed to his liberty at a given moment
and in a given direction. But, equally, law restrains others from doing
with him as they will. It liberates him from the fear of arbitrary
aggression or coercion, and this is the only way, indeed, the only
sense, in which liberty for an entire community is attainable.”
d. Kebebasan Fiskal
Setelah revolusi Prancis, penarikan pajak menjadi topik utama
dalam menuju kebebasan/Liberalisme. Dalam mengusung kebebasan
fiskal ini tentu saja tidak segampang dalam merumuskan suatu hal
yang eksak seperti hukum, dimana kebijakan hukum dapat bersifat
universal tanpa perlu diganti, kebijakan yang berhubungan dengan
permasalahan pajak dan dalam konteks ini fiskal, tidak dapat
diterapkan hal yang sama, dan harus bersifat dinamis. Sehingga
konsep Liberalisme pada akhirnya memiliki konklusi bahwa dalam
mengusung kebebasan harus adanya pembatasan kekuasaan Eksekutif
dimana urusan taksasi ini harus ada representasi yang mengatur,
sehingga pada akhirnya kebebasa fiskal ini berkembang menjadi
kebebasan politik pada abad ke-17.

e. Kebebasan Individual
Kebebasan individual ini megacu kepada kebebasan individu
dalam memeluk agama, berbicara, menulis, dan kebebasan lainnya
yang ada dan berkaitan dengan individu itu sendiri, hal ini diartikan
sebagai kebebasan individu tersebut dalam mengutarakan isi dari
pikirannya sendiri. Tentunya dalam menerapkan kebebasan individual
setiap manusia memiliki batasan dimana dalam menerapkan
kebebasannya ia tak boleh menganggu-gugat kebebasan orang lain,
sehingga tidak menimbulkan polemik pada Kebebasan sipil yang
diatur oleh hukuM
f. Kebebasan Ekonomi
Kebebasan Ekonomi ini mulai terancam ketika era
Indsutrialisasi dimana sturktur ekonomi yang berkembang ialah
pekerja dan pemilik modal, struktur ini dapat mengancam para pekerja
yang dalam teori posisinya lebih lemah karena ia bergantung secara
ekonomi kepada pekerjaan itu, sehingga tidak memiiki "kebebasan"
karena terbatas oleh kontrak, namun para simpatis liberal memiliki
argumen bahwa dengan adanya kontrak, timbul pula kebebasan untuk
berasosiasi selama asosiasi tersebut tidak merugikan pihak tertentu.
Dengan adanya konsep pemikiran tersebut asoasi yang timbul
akan membatasi kekuatan yang timpang antar pekerja dan yang
mempekerjakan sehingga tidak membatasi kebebasan individual dan
sipil sesuai dengan hukum yang berlaku, karena inti dari Liberalisme
ialah memberikan kebebasan kepada seluruh lapisan masyarakat.

g. Kebebasan Domestik
Dalam kehidupan domestik, liberalisme pada dasarnya
menerapkan konsep anti
Arbitary kedalam kehidupan rumah tangga, dimana ia memprevensi
kedudukan sang suami atau kepala rumah tangga yang sewenang-
wenang dan berpotensi mengancam kebebasan individual dan well
being keluarganya, dalam hal ini Liberalisme menekankan beberapa
poin: 1. Kedudukan istri dalam rumah tangga ialah sebagai seseorang
yang memiliki kebebasan dan responsibilitas selayaknya seorang
manusia dewasa, yang berhak memiliki properti individu, menuntut
dan dintuntut, memiliki bisnis individu, dan memiliki perlindungan
hukum terhadap suaminya.
Melihat pernikahan sebagai contractual agreement sesuai
dengan hukum yang berlaku, dan hanya meihat aspek spiritual hanya
dari perspektif agama pelaku saja (menjadikannya personal).
Menjamin kesehatan fisik dan mental anak dengan adanya sanksi
untuk orang tua yang melakukan neglect dan/ kekerasan terhadap
anak. Tentunya semua rincian di atas tidak mencakup semua elemen
yang ada pada liberalisme, namun rincian diatas ialah penggambaran
bagaimana liberalisme meregulasi dan membatasi demi terealisasinya
kebebasan dan kemakmuran bagi seluruh lapisan masyarakat yang
ada.

h. Kondisi Sosial, Politik, dan Ekonomi Pada Masa Liberalisme


di Dunia
Dalam ekonomi politik, Liberalisme termasuk salah satu Grand
Theory yang pertama kali digunakan untuk menelusuri paradigma
dan memahami fenomena ekonomi politik nasional maupun
internasional. Kaum liberal menolak adanya teori dan kebijakan yang
menyakutpautkan antara ekonomi dan politik.
Hal ini dipengaruhi oleh sejarah kemunculan Liberalisme pada
era sekitar abad 16 dan 17 di Eropa, yang merupakan kritik atas teori
Merkantilisme (Jackson dan Sorensen, 1999). Menurut kaum
Liberalis, pasar adalah suatu sistem atau mekanisme ekonomi yang
dapat mengatur diri mereka sendiri (Self-Regulating Mechanism)
sehingga tidak membutuhkan campur tangan politik. Keyakinan inilah
yang membuat kaum Liberalis merasa bahwa ekonomi dan politik
tidak bisa disatukan. Salah satu prinsip dasar yang sangat populer
dalam pemikiran Liberalisme adalah prinsip Laissez- Faire.
Prinsip ini dalam frasa Bahasa Perancis yang berarti “biarkan
terjadi” atau secara harfiah “biarkan berbuat”. Isitlah yang pertama
kali digunakan oleh para Psiokrat pada abad ke 18 sebagai bentuk
perlawanan terhadap intervensi pemerintah dalam perdagangan ini
kemudian menjadi salah satu prinsip dari Liberalisme yang
dikembangkan oleh Adam Smith. Pada intinya, Liberalisme ingin agar
membiarkan saja segala sesuatunya terjadi dan membiarkan posisi
negara berada pada peran yang sangat minimal (minimal state).
Negara harus membiarkan individu untuk bebas. Hal ini juga berarti
bahwa kaum liberal menolak adanya keyakinan bahwa ekonomi dan
politik adalah dua hal yang saling terpadu dan berhubungan satu sama
lain.
Pandangan kaum liberal ini berangkat dari penolakannya
terhadap pandangan kaum merkantilis yang meyakini bahwa ekonomi
dan politik pada dasarnya saling melengkapi satu sama lain, dengan
meletakkan kekuatan ekonomi sebagai pondasi dasar bagi kekuatan
politik suatu negara dan begitu pula sebaliknya (Jakson dan Sorensen,
1999). Hanya saja, bahwa kaum liberal mengakui adanya pengaruh
dari kekuatan ekonomi terhadap power suatu negara. Negara dengan
ekonomi kuat dapat meningkatkan power yang dimiliki.
Selain itu, kaum liberal juga berpandangan bahwa ekonomi
internasional dapat berpengaruh terhadap kondisi konstelasi politik
internasional (Gilpin, 1997). Ciri khas dari Liberalisme lainnya adalah
adanya pasar bebas. Dalam pasar bebas, proses produksi dan
distribusi inilah yang harus lepas dari campur tangan negara.
Pemerintah tidak boleh memberikan dukungan apapun pada siapapun,
dalam proses produksi maupun distribusi, sekalipun hal ini
menimbulkan kesenjangan dalam segi materi.
Hal yang perlu digaris bawahi dalam konsep Liberalisme dari
pemikiran Adam Smith adalah bahwa pasar diserahkan pada The
Invisible Hand, bukan pada negara. Proses ekonomi dianggap akan
berjalan secara adil hanya bila terjadi melalui Invisible hand atau
tangan-tangan tak kelihatan (Schumpeter, 2003). Pada dasarnya
ideologi Liberalisme ada tiga, yakni Kehidupan, Kebebasan, dan Hak
milik (Life, Liberty and Property ). Lalu dari ketiga ide dasar tadi,
didapatkan nilai-nilai pokok yang bersumber dari ketiga ide dasar tadi.
Nilai-nilai pokok pemikiran Liberalisme dalam konteks ekonomi
politik, sebagai berikut.

1. Pemusatan kepentingan terletak pada individu

2. Menolak ajaran dogmatisme


3. Setiap individu memiliki kesempatan yang sama dalam segala
bidang

4. Adanya pengakuan terhadap persamaan manusia, bahwa setiap


orang mempunyai hak yang sama dalam menjalankan kehidupan
sesuai pilihan hidupnya sendiri.

5. Pemerintah harus bertindak menurut kehendak rakyat

6. Berjalannya hukum karena fungsi Negara adalah untuk membela


dan mengabdi pada rakyat

7. Negara hanya alat untuk mencapai kepentingan individu dalam


masyarakat. Kondisi sosial pada era Liberalisme adalah dimana
masyarakat dunia terutama daerah Eropa yang pada masa itu
masih berbentuk kerajaan menginginkan persatuan dan
kemerdekaan.

i. Liberalisme Klasik dan Modern


Setelah jatuhnya zaman zaman kegelapan sekita abad ke-16,
mulai bermunculan ide ide dari para tokoh tokoh yang
mengepalai untuk memperjuangkan kebebasan kebebasan atas hak
setiap individu masyarakat atau yang dikenal saat ini liberalisme.
Secara garis besar konsep kebebasan dan hak yang dimaksud
dalam ideologi liberalisme adalah hak untuk berpendapat, hak
untuk memilih, hak untuk beragama, hak untuk hidup, hak untuk
menikah, hak untuk berpendapat,hak untuk berekspresi dan segala
hak yang bersinggungan dengan ranah pribadi tiap tiap individu
dari masyarakat. Sama halnya seperti pemikiran pemikiran yang
lain, atau konsep politik lain dengan seiring berjalannya waktu dan
semakin banyaknya tokoh tokoh pemikir yang muncul membuat
liberalisme memiliki bermacam macam versi.
Liberalisme memiliki dua tipe pemikiran, yakni liberalisme
klasik dan liberalisme modern. Banyak tokoh yang
mengembangkan pemikiran ini, dalam klasik maupun pemikiran
yang modern. Dari semua tokoh hanya ada dua yang bisa
dikatakan paling berpengaruh terhadap pemikirannya mereka
melalu liberalisme. Herbet Spencer dalam liberalisme klasik dan
John Keynes dalam liberalisme modern.
Liberalisme klasik yang mengalami masa kejayaannya di
abad ke-19 memiliki ciri yang khas. Liberalisme klasik pada
umumnya memberikan kebebasan kepada setiap individu. Kaum
kaum liberalisme klasik memiliki anggapan bahwa semua orang
harus mendapatkan persetujuan untuk menjalankan kehidupannya
atas apa yang sudah mereka pilih tanpa campur tangan dari pihak
manapun termasuk pemerintah. Meskipun pada awalnya
liberalisme tidak pernah dijalankan secara sepenuhnya, namun
ketika dijalankan perbedaan dapat terlihat secara jelas. Setelah
adanya liberalisme para penduduk yang menjadi orang tua dapat
menyekolahkan anaknya dan hidup jauh lebih baik dari
sebelumnya. Jika dahulu banyak jarak antara golongan atas dan
bawah, semenjak dijalankannya liberalisme jarak jarak tersebut
digantikan oleh masyarakat yang setara dengan kebebasan di
setiap individunya.
Liberalisme klasik memiliki beberapa prinsip prinsip yang
menjelaskan liberalisme klasik itu sendiri. Prinsip prinsip tersebut
antara lain anggapan kebebasan dimana kaum liberalisme lebih
suka hidup bebas dibanding dipaksa paksa. Menurut mereka
kebebasan adalah sesuatu yang didapat dari Tuhan atau alam. Lalu
ada prinsip keutamaan individu yang mana kaum liberalisme
klasik lebih memetingkan individu dibandingkan kolektif. Mereka
berargumen bahwa individu lebih baik dibandingkan kolektif
karna yang menjalankan kolektif tetap individu individu itu
sendiri. Prinsip lainnya seperti meminimalkan paksaan. Kaum
liberalisme sangat meminimalkan paksaan karena mereka
menginginkan kehidupan yang damai sejahtera tanpa harus
menggunakan kekuatan untuk mengeksploitasi dan memaksakan
kehendak mereka kepada orang lain. Dan lagi lagi karena merak
ingin kehidupan bebas seperti yang mereka inginkan tanpa harus
paksaan dari pihak manapun.
Toleransi pun merupakan salah satu dari sekian prinsip
liberalisme klasik dimana masyarakatnya melakukan toleransi
terhadap apapun hal yang akan dilakukan oleh orang lain karna
mereka percaya bahwa mereka tidak harus membatasi kegiatan
seseorang hanya karena mereka tidak suka dengan hal tersebut.
Dan lainnya adalah peraturan hukum.
Masyarakat liberalisme klasik bersikeras bahwa semua
peraturan hukum harus sama dan setara tanpa memanda ras,
suku,jenis kelamin, agama, bahasa, dan lainnya. Semua itu juga
berlaku untuk para pejabat karena tidak ada seorang pun yang
bisa diatas hukum.
Liberalisme modern hadir sekitar abad ke-20 tanpa
menggantikan sepenuhnya liberalisme klasik. Hanya ada sedikit
tambahan dan perbedaan yang lumayan mendasar. Jika pada
liberalisme klasik para individu memiliki hak kebebasan untuk
apapun tanpa paksaan dan campur tangan dari pihak manapun
berbeda halnya dengan liberalisme modern. Liberalisme modern
tidak sepenuhnya memberikan kebebasan kepada tiap tiap
individunya, liberalisme versi baru ini mengikutsertakan
pemerintah dan otoritas lainnya dalam berperan hingga
mewujudkan kebebasan tiap individu masyarakatnya. Para tokoh
yang menganut pemikiran tentang liberalisme modern ini
beranggapan bahwa hak hak setiap individu akan lebih terjamin
ketika pemerintah ikut serta dan bertanggung jawab atas hak hak
mereka tersebut.
Liberalisme modern disini juga hadir untuk membantu
menyelesaikan permasalahan permasalahan terdahulu di segala
aspek kehidupan seperti perekonomian. Kebebasan kaum
liberalisme klasik yang sangat bebas membuat kehidupan para
masyarakatnya tidak selalu membaik. Banyak kaum liberalisme
klasik yang bertindak sesuka hati salah satu contoh adalah
beberapa dari kaum mereka yang memilih untuk tidak bekerja
karena tidak ada peraturan yang mewajibkan untuk bekerja dan
contoh lainnya. Yang pada akhirnya John Keynes dan para tokoh
lainnya melahirkan liberalisme versi baru untuk memperbaiki
sistem kehidupan masyarakatnya.
Maka dari itu diperlukan pemerintah untuk membantu
mengurusi hal hal tersebut. Diperlukan peraturan peraturan yang
bisa mengarahkan masyarakat ke dalam kehidupan yang lebih
terarah. Pada intinya kebebasan mungkin adalah keinginan tiap
individu, namun menjadi sangat bebas juga berbahaya bagi
kehidupan bermasyarakat. Diperlukan pihak pihak yang siap untuk
menegur bilamana kehidupan bermasyarakat salah satu individu
atau kelompok dinilai kelewat batas.

j. Kritisi Terhadap Liberalisme


Liberalisme, layaknya ideologi yang lain menimbulkan
adaya pro-kontra terhadap ideolsehingga pada sub-bab ini kita
akan membahas argumentasi yang dibangun seputar ideologi
Liberalisme itu sendiri. Liberalisme sendiri menimbulkan suatu
polemik karena pada dasarnya terdapat dua macam Liberalisme,
yaitu; Liberalisme pada bidang ekonomi dan Liberalisme dalam
bidang politik, kekaburan pada semua aspek Liberalisme,
Liberalisme itu sendiri menurut Wallerrstein (2011:6) muncul
sebagai kontra dari Conservatism, sehingga Liberalisme sebagai
ide politik memperkenalkan diri sebagai jawaban dari
Conservatism.
Menurut Wallerstein, Liberal hampir selalu memposisikan
dirinya di tengah-tengah political spektrum yang ada ketika
dihadapi dengan suatu perubahan, dimana ia dilihat sebagai
"alternatif" dari kaum konserfativ dan kaum demokrat sosialis.
Menurutnya, Liberal percaya bahwa walaupun perubahan itu tidak
dapat dicegah, tetapi suatu perubahan harus selalu di relugasi
dengan sistem politik.
Wallerstein sendiri mengkritisisi pandangan Liberal seperti
ini, Ia mengatakan "To be sure, the center is merely an abstraction,
and a rhetorical device. One can always locate oneself in a central
position simply by defining the extremes as one wishes. Liberals
are those who decided to do this as their basic political strategy."
Kritisisi terhadap Liberalisme juga diutarakan oleh Pierre
Rosanvallon, ia bahkan berpendapat apa yang kita kenal sebagai
Liberalisme pada awal abad ke-19 hanyalah sebuah alat untuk
melawan politik Jean-Jacques Rousseau.
Sehingga kembali lagi, menurut mereka Liberalisme hanyalah
suatu ideologi yang sama dengan lainnya karena pada dasarnya 3
ideologi dasar saat itu (Sosialis,Liberal,konservatif) dibuat dengan
dasar menentang ideologi sebelumnya.
Liberalisme juga kerap kali dianggap sebagai pendorong
adanya Social Science, tetapi pada sudut pandang para Ilmuwan
Sosial Liberalisme dinggap sebagai suatu hal yang fundemental
dalam modernitas atau Liberlaisme sebagai hal yang terancam
oleh modernitas itu sendiri. Sehingga kerap kali, hubungan yang
erat antara Liberalisme dan Modern Society dianggap sebagai
suatu hal yang negatif.
Para kritik juga menyebutkan bahwa Liberalisme sendiri
paling baik hanyalah befungsi sebagai pengasil Borjouis
Postivistik yang mengabaikan dampak pemikiran manusia,
kondisi material, dan kekuatan produktif, sehingga memprevensi
adanya
reflective critism.
Richard Belamy sendiri berargumen bahwa memang
Liberalisme pada dasarnya telah terancam oleh modernitas "The
threat posed to liberalism by elements of modernity was especially
evident in countries such as Italy and Germany, where a
modernizing economy and society went along with fragile and
incomplete liberal regimes which ultimately succumbed to
fascism."

Kesimpulan
Liberalisme adalah sebuah ideologi, pandangan filsafat, dan
tradisi politik yang didasarkan pada pemahaman bahwa kebebasan
adalah nilai politik yang utama. Liberalisme tumbuh dari konteks
masyarakat Eropa pada abad pertengahan. Ketika itu masyarakat
ditandai dua garis besar yaitu kaum aristokrat dan para petani.
Ada dua macam Liberalisme, yakni Liberalisme Klasik dan
Liberallisme Modern. Liberalisme Klasik timbul pada awal abad
ke 16. Sedangkan Liberalisme Modern mulai muncul sejak abad
ke-20. Liberalisme klasik Prinsip-prinsip dari liberalisme klasik
terletak pada pemikiran Jhon Locke, Hobbes, Adam Smith, dan
Spencer yang menyatakan bahwa keberadaan individu dan
kebebasannya sangatlah diagungkan.
Sedangkan Liberalisme modern Prinsip-prinsip liberalisme
modern terletak pada pokok pikiran Keynes (Tokoh Liberalisme
Modern/Tokoh Abad Ke-20). Paham liberalisme modern (baru)
merupakan antitesa yang mengoreksi prinsip-prinsip fundamental
liberalisme klasik (lama) Liberalisme modern prinsipnya
membebaskan individu-individu dalam mengelola dan
menjalankan kehidupan ekonominya tanpa melibatkan pemerintah
harus dihentikan. Pemerintah harus melakukan campur tangan
lebih banyak dalam mengendalikan perekonomian nasional.
Daftar Pustaka

Allshop, Richard. 2014. Liberalism: A Short History.


Australia:Institute of Public
Affairs Bellamy, Richard. 2014. Liberalism: Impact on Social
Science.
London: University College London Butler, Eamonn. 2015.
Classical Liberalism A Primer . London: Institute of Economic
Affairs Gilpin, Robert., 1997.
Global Politic Economy: Princeton University Press. Hobhouse,
L. T. 1911.Liberalism,
London: Oxford University Press Jackson, Robert H., and
Sørensen, Georg, 1999.Introduction to International Relations :
Theories and Approaches.
Oxford: Oxford University Press. Murdani, Andika. 2018.
Teori Liberalisme: Dari Sejarah Hingga Ide Pokok dalam
Ekonomi Politik.Online [artikel]. Diakses pada 17 Maret 2019
https://portal-ilmu.com/teori-liberalisme-dalam-ekonomi-politik/..
Rosanvalon, Pierre. 1985.Le Moment Guizot.
Prancis: Gallimard Schumpeter, Joseph A., 2003.
Capitalism, Socialism and Democracy. Stockholm: Stockholm
University. Surbakti, Ramlan. 1992.Memahami Ilmu Politik .
Jakarta:Gramedia Press Sutisna, Agus.____.Liberalisme Klasik
dan Modern.
Online [makalah]. Diakses pada 16 Maret 2019
https://www.academia.edu/8845088/Liberalisme_Klasik_dan_Mo
dern Von Mises, Ludwig. 2011.Kembali Liberalisme.
Jakarta: FREEDOM INSTITUTE Wallerstein, Immanuel. 2011.
The modern world system, vol-4 :centrist liberalism triumphant.
1789-1914.
Berkeley: University of California Press.

II. KONSERVATISME
Walaupun konservatisme secara keilmuan semakin di
hormati sepanjang 1980-an,dibandingkan sejak Perang Dunia
II,masih saja ada ketidak pastian yang meluas mengenai status
moralnya.terus terang saja,masih terdapat kecurigaan bahwa
konservatisme akhirnya tidak lebih sekadar kedok egois bagi
kelas-kelas yang berkuasa.Menurut kecurigaan ini,ada realitas
ketimpangan dan eksploitasi ekonomi yang tidak menyenangkan
di balik kedok ini dengan alasan itulah,misalnya belakangan ini
seorang filsuf radikal terkenal,Ted Honderich,menutup sebuah
kajian yang ambisius tentang filsafat konservatisme dengan
penegasan bahwa “konservatisme pada akhirnya tidak
menjelaskan apapun tentang ideologi itu sendiri “sejak tulisan
itu,disintegrasi social yang meluas dan menjadi ciri inggris
maupun Amerika Serikat setelah pemerintahan kelompok
konservatif berkuasa semakin menguatkan tuduhan Honderich
tersebut.
Kendati demikian,uraian berikut menggunakan cara
pandangan yang lebih simpatik konservatisme akan ditunjukan
secara lebih tepat bahwa jauh dari menjadi kedok bagi egoisme,
filsafa tkonservatif yang terbaik,penyebutan ini penting,
menawarkan tanggapan yang lebih mendalam terhadap kondisi
manusia daripada tanggapan dari ortodoksi progresif yang
mendominasi dunia Barat selama dua abad terakhir. Hakikat
ortodoksi ini,menurut konservatisme adalah ideologi yang
melibatkan usaha untuk membangun kenyataan-kenyataan
alternative yang tidak memberikan kelonggaran pada
keterbatasan-keterbatasan yang inheren dalam manusia
konservatisme tidak dipertentangkan dengan perubahan
sebagaimana kadang-kadangdiperkirakan,atau bahkan dengan
perubahan yang radikal dalam beberapa keadaan:apa yang
dipertentangkan dengannya adalah perubahan yang didukung
berdasarkan alasan-alasan ideologis yang dirumuskan sebelumnya.

1. Pengertian Konservatisme
Konservatisme adalah sebuah filsafat politik yang
mendukung nilai-nilai tradisional.Istilah ini berasal dari bahasa
Latin, conservāre, melestarikan; "menjaga,
memelihara,mengamalkan". Karena berbagai budaya memiliki
nilai-nilai yang mapan dan berbeda- beda.

Konservatisme adalah paham politik yg ingin


mempertahankan tradisi dan stabilitas sosial,melestarikan pranata
yg sudah ada, menghendaki perkembangan langkah demi, serta
menentang perubahan yg radikal konservatisme diartikan sebagai
ideologi dan filsafat yang menjunjung tinggi nilai-nilai tradisional.
Samuel Francis mendefinisikan konservatisme yang otentik
sebagai “bertahannya dan
penguatan orang-orang tertentu dan ungkapan-ungkapan
kebudayaannya yang
dilembagakan”

2. Sejarah Perkembangan Pemikiran


Istilah konservatisme pertama kali digunakan dalam
pengertian modern yang khas dalam konteks ini yakni untuk
menunjukan pandagan politik yang dibedakan dengan politik
ideologis,ketika Chateubriand (1768-1848 ) member nama
conservateur pada sebuah junal yang diterbitkan untuk melawan
penyebaran politk baru,dan terutama ide-ide demokrasi yang
merupakan perwujudan utamanya. Nama itu kemudian segera
dipakai oleh kelompok-kelompok lain yang menentang kemajuan
demokrasi setidaknya dalam bentuk-bentuk yanglebih radikal.
Konservatisme belum pernah, dan tidak pernah bermaksud
menerbitkan risalat-risalat sistematis seperti Leviathan karya
Thomas Hobbesa tau Dua Risalat tentang Pemerintahan karya
Locke .Akibatnya, apa artinya menjadi seorang konservatif di
masa sekarang seringkali menjadi pokok perdebatan dan topik
yang dikaburkan oleh asosiasi dengan bermacam-macam ideologi
atau partai politik (dan yang seringkali berlawanan). R.J. White
pernah mengatakannya demikian:
"Menempatkan konservatisme di dalam botol dengan sebuah label
adalah seperti berusaha mengubah atmosfer menjadi cair …
Kesulitannya muncul dari sifat konservatisme sendiri. Karena
konservatisme lebih merupakan suatu kebiasaan pikiran, cara
merasa, cara hidup, daripada sebuah doktrin politik."
Meskipun konservatisme adalah suatu pemikiran politik,
sejak awal, ia mengandung banyak alur yang kemudian dapat
diberi label konservatif, baru pada Masa Penalaran,dan
khususnyareaksi terhadap peristiwa-peristiwa di sekitar Revolusi
Perancis pada 1789, konservatisme mulai muncul sebagai suatu
sikap atau alur pemikiran yang khas. Banyak orang yang
mengusulkan bahwa bangkitnya kecenderungan konservatif sudah
terjadi lebih awal, padamasa-masa awal Reformasi, khususnya
dalam karya-karya teolog Anglikan yang berpengaruh, Richard
Hooker – yang menekankan pengurangan dalam politik demi
menciptakan keseimbangan kepentingan-kepentingan menuju
keharmonisan sosial dan kebaikan bersama. Namun baru ketika
polemic Edmund Burke muncul-Reflections on the Revolution in
France - konservatisme memperoleh penyaluran pandangan-
pandangannya yang paling berpengaruh.

3. Tokoh Pemikir
 Richard Hooker(1554-1600)
Richard Hooker (Maret 1554-3 November 1600) disebut
sebagai founding father dari pahamkonservatis,dia adalah seorang
imam dan teolog berpengaruh Hooker penekanannya pada
hal,toleransi dan nilai tradisi untuk memberikan pengaruh abadi
pada perkembangan Gereja Inggris..Dalam retrospeksi ia telah
diambil (dengan Thomas Cranmer dan Matius Parker) sebagai
pendiri pemikiran teologis Anglikan.

 Edmund Burke (1729-1797)


Burke merupakan anggota parlemen Inggris dan dikenal
sebagai bapak konservatisme. Dalam tulisannya Reflections on the
Revolution in France
(1970), Burke mengkritik keras radikalisme Revolusi Perancis.
Menurunya masyarakat itu bukanlah sebuah mekanisme yang bisa
dapat dibongkar menjadi beberapa bagian dan kemudian dibangun
kembali dengan cara berbeda. Masyarakat adalah organisme yang
rentan, dan jika proses tradisi itu terganggu, maka akantimbul
sebuah kekacauan (chaos).Burker menyatakan bahwa individu
membutuhkan bimbingan moral dan kekuasaan, untuk ituBurke
mengusulkan hadirya sebuah gereja nasional dan pemerintahan
aristokrat ada masa itu. Dia tidak percaya dengan demokrasi,
menurutnya demokrasi hanya akan mengubah proses politik
menjadi perang antara kepentingan pribadi. Burke mendukung
konsep hak milik danekonomi pasar, tetapi dia menyatakan bahwa
kepentingan individu harus dikendalikan olehmoral. Dia mendesak
para pengusaha untuk tetap berperilaku terhormat dalam
menempatkantugasnya demi masyarakat untuk memeroleh
keuntungan maksimum. Dia juga ingin aktivitasekonomi tetap
relatif bebas dari intervensi pemerintah, tetapi ia juga percaya
bahwa kebebasanmembutuhkan struktur kekuasaan untuk
menahan keinginan individu. Pandangan Burke jelas beroposisi
(Clark, 1991, pp. 72-73).
 Thomas Carlyle
Carlyle adalah seorang sejarawan Inggris. Dalam karyanya
Heroes and Hero-Worship (1840),dia mengklaim bahwa setiap
masyarakat itu membutuhkan pemimpin berwibawa yang bisa
menghasilkan sebuah konsensus diantara kelompok yang berbeda.
Tidak seperti Burke, Carlyle mengagumi Robespierre dan para
pemimpin lain dalam Revolusi Perancis dalam mengambil
kesempatan untuk menumbuhkan kembali stagnasi masyarakat.
Meskipun begitu, Carlyle bukan seorang
democrat. Dia menolak kampanye dan pemilihan politik. Dia
mengusulkan bahwa individu-individu yang bijaksana sudah
seharusnya ditempatkan dalam episentrum kekuasaan.
Dia juga tidak sepakat dengan gagasan liberal yang
menciderai kebebasan individu. Persaingan individu dalam
kapitalisme laissez-faire tidak bisa hidup dalam kebebasan sejati.
Kemudian untuk mengurangi efek dari pasar, Carlyle
mengusulkan bahwa pemerintah harus memikul tanggung jawab
regenerasi spiritual dan moral dalam masyarakat. Ditambah lagi,
pemerintah bisa memperlancar kapitalisme melalui program
bantuan, peraturan dan upaya untuk mereformasi struktur
kewenangan disuatu perusahaan.

4. Prinsip-prinsip Konservatisme
Berdasarkan pemikiran-pemikiran para tokoh tersebut,
Clark (1991, pp. 79-80) mengidentifikasi beberapa prinsip-prinsip
aliran konservatif, diantaranya. Pada dasarnya manusia itu punya
dorongan kuat untuk dapat diarahkan menjadi pribadi jahat atau
baik. Pada kenyataannya manusia tidak dapat berkembang tanpa
ikatan organisasi sosial. Masyarakat sebagai sebuah struktur
organik didasarkan pada sebuah tuntutan hirarki alamiah. Tanpa
hirarki, setiap orang akan jadi homogen dan proses pembentukan
pribadi individu dapat terhambat.
Tujuan dari pemerintah adalah untuk menjaga dan
memelihara kebutuhan dasar masyarakat. Pemerintah seharusnya
tidak hanya menegakkan hukum yang melindungi hak milik, tetapi
harus secara aktif membina lembaga-lembaga seperti keluarga dan
lingkungan yang secara konteks sosial merupakan tempat dimana
individu berkembang. Moralitas, keberadaannya tidak tergantung
dari pendapat individu benar dan salah, dankarena itu setiap orang
harus memiliki prioritas untuk mengejar kebajikan daripada
keinginan pribadi.
Nilai-nilai moral termasuk terdiri dari loyalitas, patriotisme,
ksatria,ketaatan, keberanian, kesetiaan, menghormati otoritas,
ramah, dan kehormatan. Kebebasan itu ada ketika individu-
individu tidak berlaku sewenang-wenang yang dikuasai oleh nafsu
mereka sendiri. Kebebesan itu mensyaratkan otoritas, tradisi, dan
masyarakat yang stabil.
Wewenang adalah sah ketika itu berada diantara orang-
orang yang terbiasa dengan kepemimpinan tradisional dan
memiliki yang memiliki pemahaman tentang kebenarandan
kebajikan. Masyarakat itu bisa dinyatakan setara (equality) hanya
dalam status formalnya sebagai warganegara. Keadilan dapat
terpenuhi ketika tata tertib itu dijaga, hukum diatur dengan
seimbang, dankedudukan individu diatur melalui hirarki sosial.
Efisiensi berarti bahwa masyarakat berfungsi dengan baik
menuju sebuah keberhasilan tidak hanya dalam menghasilkan
sebuah materi, tetapi juga dalam pencapaian nonmaterial seperti
menjaga tata tertib, kesatuan komunitas, dan kebaikan individu.

5. Ciri-ciri konservatisme
a. Lebih mementingkan lembaga-lembaga kerajaan dan gereja
b. Agama dipandang sebagai kekuatan utama disamping upaya
pelestarian tradisi dankebiasaan dalam tata kehidupan
masyarakat.
c. Lembaga-lembaga yang sudah mapan seperti keluarga, gereja,
dan negara semuanyadianggap suci.
d. Konservatisme juga menentang radikalisme dan skeptisme

6. Hubugan Konservatisme Dengan Ideologi “Kiri dan


Kanan”
Secara Kseseluruhan sebelum melangkah jauh,perlu
dijelaskan mengapa kurang tepat memulai bagian ini dengan
menghubungkan analisis tentang konservatisme dengan
spectrum kiri-kanan yang umumnya dianggap sebagai cara
yang paling mendasar untuk mengelompokan pelbagai
pemikiran dan kelompok dalam tradisi politik Eropa Modern.
Jawabanya adalah hakikat sebenarnya dari spectrum itu masih
terlalu samar agar pendekatan yang digunakan dapat
menjelaskan.
a. Konservatisme Reaksioner
Inti pandangan reaksioner adalah klaim bahwa tak ada
tatanan politik yang tidak stabil,kecuali didasarkan pada
konsensus tentang nilai-nilai spiritual sejati. pandangan ini
menegaskan bahwa kesatuan politik membutuhkan kesatuan
spiritual. Dalam perspektif ini,demokrasi pada akhirnya hancur
karena mendorong kebebasan tanpa batas,dan dengan demikian
menciptakan perpecahan spiritual. Alih-alih mengakui ketegangan
– ketegangan mendasar yang inheren dalam manusia dan
consensus spiritual yang diperlukan untuk mengakomodasi
ketegangan itu,demokrasi modern justu menuju dunia fantasi
ideologis,tempat semua perjumpaan dengan realitas politik
mulaihilang dengan cepat.
Apa saja fantasi – fantasi ideologis menurut tradisi
reaksioner dianggap sangat berbahaya?Menurut Joseph de Maistre
(1753 – 1821 ), fantasi yang paling fundamental adalah optimis
meyang keliru tentang kemungkinan penyempurnaan manusia
melalui perubahan pilitik dan social.Revolusi perancis yang
diilhami tujuan kotor itu tak akan terjadi jika tidak ada fakta
bahwa pencerahan melahirkan teori baru tentang kejahatan.
Fantasi lain adalah cita-cita demokrasi tentang pemerintahan
sendiri (self government ) fantasiini adalah absurditas yang
mendasar :semua kekuasaan melibatkan sebagian orang atas
oranglain dengan demikian justru mengabaikan kemungkinan
untuk mempertimbangkan pemerintahan sendiri secara serius.yang
tidak kalah absurdnya adalah ide modern bahwa demokrasi adalah
satu-satunya bentuk pemerintahan yang sah Karena pemerintah itu
mendapatkan kekuasaan atas persetujuan mereka yang diperintah.
sejarah pemikrian reaksioner selanjutnya memandang kritik ini
dapat diperluas dan diperbaiki dalam berbagai segi.selama paruh
pertama abad ke-20.
Misalnya Maurice Barres (1862-1923) berpendapat bahwa
demokrasi modern bukan hanya ancaman bagi stabilitas
politik,melainkan juga bagi peradaban itu sendiri lantaran
individualisme yang ekstrem dan kebebasan tanpa tujuan yang di
dorongnya menghancurkan pemahaman tradisional nasional
terpenting yang merupakan sumber identitas dan inspirasi spiritual
kita yang sesungguhnya. Akibatnya adalah dunia modern semakin
cenderung untuk menciptakan LesDeracines atau manusia yang
tidak berakar,mengikuti judul buku barres yang berpengaruh dan
diterbitkan tahun 1897.pandangan serupa dilontarkan oleh Charles
Maurras(1868-1923) yang mendirikan gerakan action Francaise
yang berusaha menegakan kembali monarki perancis. Namun
dalam karya Maurras,kritik revolusioner diperluas terutama pada
struktur industri masyarakat modern.Dalam konteks ini,menurut
Maurras,semua mimpi demokratis akan terciptnya kebebasan dan
keadilan bagi semua orang ternyata terbuka bagi kekuasaan
pemilik uang,pengusaha dan birokrat.Kebebasa berubah menjadi
kebebasan untuk melakukan eksploitasi oleh kapitalisme,dan
keadilan terbukti hanya menciptakan hierarki baru yang
mementingkan dirisendiri.

b. Pemikiran Revolusioner Konservatif


Dalam mazhab ini,ide ketegangan sebagai inti eksistensi
diikuti dengan bersemangat sehingga mengakibatkan penolakan
terhadap semua stabilitas sebagai suatu bentuk degenerasi. Dengan
mengklaim sebagai konservatisme yang paling realistis
dibandingkan mazhab konservatisme lainnya, kaum revolusioner
konservatif bersekukuh bahwa apa yang dimaksud dengan
realisme adalah penerimaan-penerimintrinsik dalam konflik dan
perjuangan sebagai hakikat kehidupan itu sendiri. Apabila mazhab
reaksioner memahami tatanan sebagai sesuatu yang statisdan
melampaui control kehendak manusia.apa yang membuat
konservatisme berubah menjadi radikal secara tidak lazim ini?
Jawabannya diberikan oleh Muller Van Bruck (1876-1925)
ketika menyatakan bahwa konservatisme adalah satu-satunya
konservatisme yang relevan saat ini adalah konservatisme yang
menghadapi fakta revolusi dan tidak mengindar untuk berjuang
melaluinya,bukan menentangnya. Hakekat konservatisme adalah
konservatisme memanfaatkan revolusi secara langsung, dengan
revolusi,melalui revolusi dan melampaui revolusi.

c. Konservatisme moderat
Inti konservatisme moderat adalah komitmen pada
terpeliharanya Negara yang terbatas.Komitmen ini menjadi ciri
khas tradisi konservatif Inggris yang juga menghormati kekuasaan
hokum,mempertahankan pembedaan antara Negara dan
masyarakat,oposisi konstitusional dan lembaga peradilan yang
independen sebagai liberalisme.Namun,tumpang tindih dengan
liberalisme tidak berarti bahwa konservatisme moderat mengambil
begitu saja nilai-nilai liberal tanpa perubahan. Hubungan itu lebih
rumit dan bisa dipahami dengan menjelaskan secara singkat
konservatisme yang diasumsikan pertama kali dalam pemikiran
Edmund Burke (1729-1797) yang tanggapan terhadap gagasan-
gagasan kaum democrat revolusioner Perancis menandakan awal
tradisi konservatif Inggris.Di satu sisi,Burke menolak konsepsi
universalis yang abstrak tentang rasionalitas yang menjadi
sandaran kaum revolusioner saat mereka menuntut hak asasi
manusia

III. SOSIALISME

Istilah sosialisme dikatakan tidaklah lebih spesifik dari


berbagai cap yang dipakai dalam politik. sebagian karena kata
sosialisme kerap digunakan untuk menunjuk setiap ideologi
kiri dari liberalisme dan konservatisme. Sosialisme mungkin
bisa dikelompokkan dengan anarkisme' komunisme
(umpamanya seorang komunis adalah sosialis yang berakal
pendek)' selain sebagian ideologi kiri yang lain' seperti
sindikalisme (yang organisasi politiknya bersandarkan pada
serikat – serikat buruh)' anarko – sindikalisme' rotskyisme dan
semua jenis ideologi politik "artis. ,banyak pemikir politik
yang diindentifikasikan dengan ideologi kiri lainnya yang juga
patut dihargai karena telah memberikan ilham yang penting
bagi perkembangan sosialisme modern.
Kemenduaan yang halus dari cap sosialis telah
menolong menerangkan keunggulan politiknya sepanjang
sejarah- sebagian besar masyarakat dan sebagian besar
ideologi menempatkan bau – bau sosialis. Ini sama dengan
mengatakan bahwa sosialisme mempunyai banyak muka' baik
dalam arti organisasi politik (otoriter atau demokratis) maupun
sistem ekonomi (sangat terpusat dan diatur langsung atau
sebagian terpusat dan diatur secara langsung) dan juga tidaklah
benar sama sekali untuk mengatakan bahwa secara tersirat
sosialisme memerlukan kediktatoran politikatau pengawasan
tangan besi atas akti&itas ekonomi indi&idu dan kelompok.
Sosialisme berarti menempatkan kesejahteraan individu dan di
bawah kesejahteraan seluruh masyarakat. banyak orang
mungkin yang akan sangat beruntung kalau kepentingan
sedikit orang tidak diikutserakan dalam kantong kesejahteraan
orang banyak. pelaksanaan prinsip umum ini sesungguhnya
mengambil banyak bentuk seperti :
 Sosialisme Otoriter
 Sosialisme Demokratis
Sepanjang sejarah kebanyakan negara pada hakikatnya
bersifat sosialis. Tetapi juga tidak salah kalau kebanyakan
pemerintah telah sangat otoriter. Hubungan yang agakerat
antara sosialisme dan otoriterisme ini sebagaiman telah
dikatakan sebelumnya' bahwa hubungan itu bukanlah hal yang
diperlukan, tetapi merupakan akibat dari berbagai &ariabel
yang melakukan persamaan – persamaan sosial. tetapi apapun
akibatnya' cirinya adalah jelas' bahwa sepanjang sejarahnya'
kebanyakkan pemerintah tanpa memandang sistem
ekonominya atau ideologi yang menopangnya' telah ditandai
oleh pemusatan kekuasaan ditangan elit – elit yang tidak
bertanggung jawab secara langsung kepada massa rakyat yang
dikuasainya.
Dan karena elit penguasanya merasa yakin bahwa
mereka lebih tau akan kepentingan yang terbaik bagi rakyat
daripada rakyatnya sendiri.
Potensi sosialisme demokratis berkembang bersamaan dengan
semakin pekanya pemerintah terhadap masalah – masalah
kapitalisme yang tidak diatur dan lebih terbukannya terhadap
perwakilan kelas kelas pekerja dalam arena politik. Didalam
sosialisme demokratis terdapat suatu persyaratan yaitu bahwa
hak seluruh warga negara untuk mengorganisasi perwakilan
politik dari kepentingan – kepentingan ekonominya'
perwakilan politik yang mengambil adalah dalam bentuk partai
– partai politik kelas pekerja dan serikat buruh./ersepektif
sosialis demokratis' masih banyak yang perlu dikerjakan
sebelum tujuan – tujuan mendasar dari sosialisme menjadi
kenyataan bukan hanya suatu janji. Tetapi adalah juga suatu
kebenaran bahwa sosialis demokratis' dalam menggambarkan
jalan yang perlu ditempuh' bisa mengambil beberapa petunjuk
yang berguna dari suatu kumpulan doktrin yang dalam
hubungan awal perkembangan industri' pada mulanya lebih
terkait dan diartikulasikan secara lebih baik daripada
sosialisme.

BAB I

I. PERKEMBANGAN ILMU POLITIK


Mendengar kata "politik” mungkin bukanlah suatu kata
yang asing di telinga kita. Mungkin sebagian besar diantara
kita mengasosiasikan kata politik dengan sesuatu term yang
bersifat negatif, seperti “politik itu kotor”, “politik itu
korupsi”, dan lain sebagainya. Ilmu Politik itu sendiri dapat
dikatakan masih berusia muda, karena ia lahir pada abad ke-
19. Pada saat itu ilmu politik berkembang beriringan dengan
cabang-cabang ilmu sosial lainnya, seperti sosiologi,
antropologi, ekonomi dan psikologi. Dalam perkembangannya,
ilmu-ilmu ini saling mempengaruhi satu sama lainnya.
Namun apabila ilmu politik kita tinjau dalam kerangka
yang lebih luas lagi, yaitu sebagai pembahasan secara rasional
dari berbagai aspek negara dan kehidupan politik, maka ilmu
politik tersebut memiliki umur yang lebih tua lagi. Ilmu
tersebut dikatakan tua karena pada taraf perkembangannya,
ilmu politik masih bersandar pada sejarah dan filsafat.
Contohnya di Yunani Kuno misalnya, pemikiran mengenai
negara sudah dimulai pada tahun 450 S.M., yang terbukti
dalam karya-karya ahli seperti Herodotus, Plato, Aristoteles,
Socrates, dan lain sebagainya. Selain di Eropa, perkembangan
ilmu politik juga berada di beberapa pusat peradaban di Asia,
seperti di India dan China, yang telah mewariskan berbagai
tulisan politik yang bermutu. Tulisan-tulisan dari India seperti
kesusastraan Dharmasastra dan Arthasastra yang berasal dari
sekitar tahun 500 S.M. Sedangkan diantara filsuf terkenal dari
China sepert Confusius ( 350 S.M.), Mensius ( 350 S.M.) dan
Shang Yang ( 350 S.M.).
Di dalam sejarah Politik Indonesia sendiri, kita telah
memiliki beberapa karya tulis yang membahas masalah sejarah
dan kenegaraan, misalnya adalah Negarakertagama yang
ditulis pada masa Majapahit sekitar abad ke-13 dan ke-15
Masehi dan Babad Tanah Jawi. Namun sayangnya
kesusastraan yang mencakup bahasan politik di negara-negara
Asia mulai tergerus dan terdesak pada akhir abad ke-19 oleh
pemikiran Barat yang dibawa oleh negara negara Seperti
Jerman, Belanda, Amerika Serikat, dan Inggris dalam rangka
imperialisme.
Di negara-negara Eropa seperti Austria, Jerman, dan
Prancis topik bahasan mengenai politik pada abadi ke-18 dan
ke 19 masih banyak dipengaruhi oleh ilmu hukum dan karena
itu fokus perhatian pembahasannya masih berkisar negara saja.
Hingga Perang Dunia II pengaruh ilmu hukum, filsafat, dan
sejarah masih terasa di dalam ilmu politik.
Sedikit berbeda dengan perkembangan politik di
Amerika Serikat. Memang pada awalnya tekanan yuridis
seperti di Eropa memberikan tekanan pada perkembangan ilmu
politik, akan tetapi pengaruh itu kian memudar seiring
keinginan untuk mendasarkan diri pada pengumpulan data
empiris. Perkembangan ilmu politik di Amerika Serikat
bersamaan dengan perkembangan sosiologi dan psikologi,
sehingga kedua cabang ilmu sosial ini sedikit banyak
mempengaruhi metodologi dan terminologi ilmu politik.
Pada masa selanjutnya ilmu-ilmu sosial banyak
memanfaatkan penemuan dari antropologi, psikologi,
ekonomi, dan sosiologi, dan dengan demikian ilmu politik
telah dapat meningkatkan mutu dengan banyak mengambil
model dari cabang-cabang ilmu sosial lainnya. Hal ini telah
banyak mengubah wajah ilmu politik. Dengan begitu ilmu
politik telah menjadi ilmu yang terpandang yang perlu
dipelajari untuk mengerti kehidupan politik.

Daftar Pustaka

"sumber: http://pengertianpolitik.blogspot.com"
sumber: http://pengertianpolitik.blogspot.com
sumber: http://pengertianpolitik.blogspot.com
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, 2008. SUMBER

II. ILMU POLITIK SEBAGAI ILMU PENGETAHUAN


Perbedaan antara kaum tradisional dan behaviour.
Kaum tradisional Kaum behaviour nilai-nilai dan norma-
norma fakta filsafat (sejarah). Penelitian emperis ilmu terapan
ilmu murni-istoris yuridis sosiologis psikologis tidak
kuantitatif. Kuantitatif 3 konsep behavior dan post behavior
konsep behavior atau pendekatan perilaku. Prilaku politik
memperlihatkan keteraturan (regularities) yang dapat
dirumuskan dalam generalisasi-generalisasi.
Generalisasi ini pada asasnya harus dapat di buktikan
kebenaranya (v erification)dengan menunjuk pada prilaku
yang relevan. Untuk mengumpulkan dan menafsirkan data di
perlukan teknik teknik penelitian yangcermat.d.Untuk
mencapai kecermatan dalam penelitian di perlukan
pengukuran dankuantifikasi melalui ilmu statistic dan
matematikae./alam membuat analisa politi nilai3nilai pribadi
peneliti tidak main peran.f.Peneliti politik mempunyai sifat
terbuka terhadap konsep konsep teori dan ilmu sociallainya.
Konsep atau pokok pokok reaksi post behavior atau
tndakan pasca perilaku. dalam usaha mengadakan penelitian
yang empiris dan kuantitatif ilmu politik menjadi terlalu
abstrak dan tidak relevan terhadap masalah social yang di
hadapi, padahal relevansidi anggap lebih penting dari pada
pebelitian yang cermat. Karna penelitian terlalu bersifat
abstrak ilmu politik kehilangan kontak dengan realitas-realitas
social , padahal ilmu politik harus melibatkan diri dalam
mengatasikrisis krisis yang di hadapi manusia.c.Penelitian
mengenai nilai-nilai harus merupakan tugas ilmu politik. Para
cendikiawan mempunyai tugas historis dan unik untuk
melibatkan diri dalamusaha mengatasi masalah masalah
social . pengetahuan membawa tanggung jawab untuk
bertindak harus engage atou commited untuk mencari jalan
keluar dari krisisyang di hadapi.

Dari uraian konsep post behavior ini dapat di simpulkan


bahwa ada usaha para peneliti atau sarjana politik untuk
mengubah penelitian dan pendidikan ilmu politik itu sendiri
menjadisuatu ilmu pengetahuan yang murni sesuai dengan
pola ilmu eksakta yang telah di jelaskan tahapan tahapannya di
depan.
 Esensi ilmu politik
Pada bahasan ini akan sedikit di bahas mengenai definisi
ilmu politik dipandang melalui etimologi dan unsure unsure
yang tak dapat di pisahkan dari politik itu sendiri (hegar,
kekuasaan, pengambilan keputusan, kebijakan, pembagian).
Politik berasal dari kata polish yangartinya kota atau
madani,jadi dari sini dapat diambil pengertian bahwa politik
adalah usaha untuk mencapai masyarakat madani. Untuk
mencapai masyaarakat madani sendiri (negara) tidak
akanterlepas dari kekuasaan,pengambilan keputusan,kebijakan
public,pemerataan(alokasi distribusi). Pengertian politik
menurut unsur unsurpendukung diatas dapat disimpulkan
sebagai berikut,
i. negara (state), ilmu politik adalah ilmu yang
mempelajari kehidupan bermasyarakat dengan
negarasebagai bagiannya (5. parents dalam ilmu
politika).
ii. Kekuasan (power), kekuasaan adalah kemampuan
seseorang untuk mempengaruhi prilaku sesuai dengan
keinginan para pelaku. Jadi ilmu politik mempelajari
kekuasaan dalam bermasyarakat, yaitu sifat hakiki
dasar proses-proses ruang lingkup dan hasil hasil focus
perhatian seorang sarjana ilmu politik tertuju pada
perjuangan untuk mencapai atau mempertahankan
kekuasaan melaksanakan kekuasaan atau pengaruh
atas orang lainatau menentang pelaksanaan itu (7.8
gobson dalam the university teching of social science).
iii. Pengambilan keputusan (decision marking), keputusan
adalah hasil dari membuat pilihan diantara beberapa
alternative. Politik adalah mengambil keputusan
kolektif atau pembuatan kebijakan umum untuk
masyarakat seluruhnya (oyce mitchell dalam bukunya
political analysis and public polisy). kebijakan Umum
(public policy,beleid) kebijakan adalah suatu kumpulan
keputusan yang di ambil oleh seorang pelaku atau kelompok
politik,dalam usaha memilih dan mencapai tujuan.
Ilmu politik dilihat dari kebijakan umum adalah
kebijakan pemerintah, proses terbentuknya serta akibat
akibatnya ,(hoogerwerf) artinya membangun masyarakat
secara terarah melalui pemakaian
kekuasaan&.Pembagian(distribution) alokasi. Pembagian dan
alokasi ialah pembagian dan penjatahaan nilai3nilai dalam
masyarakat.Politik adalah masalah siapa pendapat apa, kapan
dan bagaimana (Harold D.Laswell dalam bukunya Who get
what,when,how).

B. POLITIK SEBAGAI SENI


Apakah politik itu jika mempelajari ilmu politik
sangatlah beragam pengertian atau definisi dari sautu
pengertian politik dan berbagai prespektif cara pandang yang
digunakan.Sama hal nya penulis yang pada mulanya
kebingunanan untuk mempelajari suabuah teori politik dan
penerapannya. Selama ini mungkin muncul anggapan bahwa
politik adalah kejam. Dalam politik tidak mengenal istilah
kawan dan lawan, tidak ada teman dan musuh yang abadi,
yangada hanya kepentingan kekuasaan. Ketika ada
kepentingan yang sama, maka menjadi kawan untuk bersama-
sama mencapai tujuan. Namun ketika kepentingannya
berbeda, yang tadinya kawan pun bisa menjadi musuh,siapa
cepat dan pintar, dia yang mendapat kekuasaan itu. Memang
hal itu tidak salah, namun tidak sepenuhnya benar. Bahwa
yang dimaksud kawan dan lawan tersebut bukan dalam arti
hubungan antar sesama manusia secara keseluruhan. Namun
kondisi itu berlaku saat terjadi
Hubungan antar sesama manusia sebagai makhluk
politik, yang masing3masing mempunyaitujuan tersendiri
untuk mencapai maksud yang diinginkannya.
Masing-masing individu atau kelompok yang memiliki
kepentingan yang sama, tentunya memiliki strategi dan
cara3caratertentu untuk mencapai tujuannya tersebut. /alam
politik, strategi politik itu sangat penting danmenjadi bagian
tersendiri dalam berpolitik. Bahwa ketika menjalankan suatu
strategi, kemudian berubah haluan atau strategi, adalah sebuah
permainan yang sangat luar biasa. Seseorang yang bisa
memainkan strategi politik dengan apik, maka dia bisa
menyebutnya sebagai seni berpolitik. Seni tidak hanya pada
sesuatu yang bisa dilihat dan disaksikan, tapi juga bisa
dirasakandalam sebuah strategi politik yang sedang
berlangsung maupun sudah berlangsung. Mereka yang berhasil
menang, mencapai tujuan yang diinginkan bersama, akan
merasa senang. Senang menjalankan indahnya seni berpolitik.
Mereka yang kalah, pasti akan merasa sakit akankekalahannya,
namun mereka tidak pernah berhenti setelah kalah tersebut.
Justru akan mengatur strategi lain, bagaimana ke depan agar
bisa menang dan mengalahkan musuhnya tersebut. Seni
berpolitik yang telah disuguhkan menjadi evaluasi dan
pembelajaran ke depan.-al inilah yang harus disadari oleh
setiap orang, yang belajar ilmu politik maupun belajar
berpolitik secara langsung. Bahwa musuh dalam politik, bukan
berarti musuh seperti yang terjadidalam peperangan. Di mana
dalam peperangan, harus banyak membunuh untuk menang.
Membunuh dalam politik, adalah membunuh atau pun
menutup karir politik maupun citra politik lawan-lawannya.
Membunuh dalam peperangan adalah perbuatan kejam, tetapi
itu harusdilakukan agar tetap bertahan hidup dan menang.
Dalam perang, prinsip utamanya adalahmembunuh atau
dibunuh. Begitu juga dengan di politik, hampir sama.
Membunuh lawan-lawan politiknya atau mati terbunuh lebih
dulu oleh lawan-lawan politiknya. 0tulah kenapa politik
disebut kejam.
Karena politik adalah perang strategi, untuk mencapai
kekuasaan yangdiinginkan. Kondisi ini bisa terjadi dalam
setiap kehidupan masyarakat, di tingkat organisasi paling kecil
pun politik yang dianggap kejam itu pasti ada dan itu semua
membutuhkan strategi politik. Ada yang terbunuh dan ada
yang membunuh. 6unuh3membunuh ini tentunya dalam
pengertian membunuh kesempatan atau pun karir yang
diperebutkan bersama. Bukan membunuhsecara fisik, sehingga
tak bernyawa. Namun jika itu terjadi, maka politik yang
dimaksud punsudah termasuk yang menghalalkan segala cara
untuk mencapai kekuasaan.
Dalam pengertian ilmu politik yang ada, sepertinya yang
paling banyak dicerna adalah dalam pengertian di mana politik
adalah sebagai konflik untuk mencari atau mempertahankan
sumber-sumber yang dianggap penting. Padahal pengertian
politik tersebut yang paling utama adalah politik sebagai ilmu
tentang tata pemerintahan dan negara . Dalam bidang itu,
politik tujuan utamanya adalah mencapai kebaikan bersama.
Yang harus tetap dipegang seorang politisi dalam bermain
politik, salah satunya adalah etika politik. Ini untuk
menghindari terjadi peperangan fisik usai terjadi perang
politik. Etika politik ini perlu digunakan, agar hasil-hasil yang
diraih dalam peperangan politik bisa dipertanggung jawabkan
secara moral. Seperti halnya dalam peperangan, seseorang
yang menjadi tawanan harus tetap diperlakukan secara
manusiawi,tidak boleh diperlakukan semena-mena, kekerasan
bahkan dibunuh. Itu sudah menjadi salah satu klausul atau
etika berperang. Di sinilah seninya berpolitik.

III. DEFINISI ILMU POLITIK


Ilmu politik adalah cabang ilmu sosial yang mempelajari
negara, politik, dan pemerintahan. Ilmu Politik berurusan
secara luas dengan analisis sistem politik, aplikasi teoritis dan
praktis untuk politik, dan pemeriksaan perilaku politik.
Pemikir Yunani, Aristoteles, mendefinisikan ilmu politik
sebagai studi tentang negara. Banyak ilmuwan politik
memandang diri mereka terlibat dalam menyempurnakan
hubungan antara peristiwa dan kondisi politik, dan dengan
pemahaman ini mereka berharap dapat membangun sistem
prinsip-prinsip umum yang menempatkan cara kerja dunia
politik.
Ilmu politik bukan bidang mandiri dan itu memotong
banyak cabang lain seperti sosiologi, ekonomi, sejarah,
antropologi, kebijakan publik antara lain. Ilmuwan politik
banyak dicari belakangan ini karena perubahan lanskap politik
di seluruh dunia dan karena masyarakat ingin memahami
bagaimana dunia politik bekerja, mereka membutuhkan
seseorang untuk menjelaskan nuansa ekonomi politik. Setiap
koran dan saluran televisi mengungkapkan bahwa para
ilmuwan politik berada di garis depan perdebatan dan diskusi
untuk pengetahuan dan keahlian mereka.
I. Lingkup Ilmu Politik
Ruang lingkup ilmu politik sangat luas dan para ahli
telah membagi bidang ilmu politik menjadi lima sub-disiplin
ilmu yaitu teori politik, administrasi publik, politik komparatif,
hubungan internasional, dan hukum publik. Perlu dicatat
bahwa sub-disiplin ini mencakup keseluruhan ekonomi politik
modern dan memberikan dasar untuk studi dan pemahaman
tentang bagaimana ekonomi politik global bekerja.
Studi tentang hal-hal mengenai alokasi dan distribusi
serta transfer kekuasaan adalah salah satu keasyikan utama
para ilmuwan politik. Keberhasilan atau sebaliknya dari
struktur tata kelola diukur oleh para ilmuwan politik yang
memeriksa faktor beragam dan berlapis-lapis di tempat kerja
yang berkontribusi terhadap tata kelola yang baik atau buruk.
Ruang lingkup para ilmuwan politik sekarang telah
diperluas untuk mencakup bidang studi pemilihan demokratis
di seluruh dunia. Dengan kata lain, dengan ledakan dalam
sistem politik di seluruh dunia, para ilmuwan politik, dan
ruang lingkup studi mereka telah sangat ditingkatkan.

BAB III
I. HUBUNGAN ILMU POLITIK DENGAN SOSIOLOGI
Sosiologi dan ilmu politik adalah dua bagian dari ilmu sosial
yang sama-sama mempelajari tentang manusia dan negara, sosiologi
menyumbangkan pengertian akan adanya perubahan dalam
masyarakat yang menempati sebuah negara tertentu. Selain
mempelajari manusia-manusia sebagai sebuah masyarakat, sosiologi
juga mempelajari negara sebagai sebuah asosiasi yang di dalamnya
terdapat anggota asosiasi dengan berbagai latar belakang sifat,
golongan, dan kegiatan yang juga dapat mempengaruhi sifat serta
kegiatan negara.
Sosiologi membantu sarjana ilmu politik dalam usahanya
memahami latar belakang susunan, dan pola kehidupan sosial dari
berbagai golongan serta kelompok dalam masyarakat. Dengan
memanfaatkan konsep-konsep dalam sosiologi maka sarjana ilmu
politik dapat mengetahui sejauh mana sertifikasi sosial di masyarakat
mempengaruhi ataupun dipengaruhi oleh keputusan kebijaksanaan,
legitimasi politik, sumber-sumber kewenangan politik, pengendalian
sosial, dan perubahan sosial.

II. HUBUNGAN ILMU POLITIK DENGAN ANTROPOLOGI

Keterkaitan antara ilmu politik dengan antropologi dapat terlihat


dari adanya sumbangan dari antropologi yang melahirkan pengertian-
pengertian dan teori-teori tentang kedudukan serta peranan berbagai
satuan sosial budaya. Dalam antropologi, kita mengetahui bahwa
manusia itu beragam dan diantara keberagaman tersebut terdapat
satuan-satuan sosial budaya yang mempunyai karakteristik berbeda,
adanya perbedaan karakteristik dalam satuan sosial budaya juga dapat
berpengaruh terhadap pemikiran dan ideologi politik satuan sosial
budaya tersebut.

Perhatian sarjana ilmu politik terhadap antropologi semakin


meningkat sejalan dengan bertambahnya perhatian dan penelitian
tentang kehidupan serta usaha bertambahnya perhatian dan penelitian
tentang kehidupan serta usaha modernesasi politik di negara-negara
baru. Mula-mula penelitian politik terhadap beberapa negara baru
berkisar pada masalah-masalah yang bersifat makro, namun
antropologi menunjukkan bahwa betapa rumitnya mengelola
kehidupan nasional pada level mikro (komunitas tradisional),
khususnya ketika berhadapan dengan situasi faktro sosial budaya yang
berlawanan dengan usaha-usaha nation building.

III. HUBUNGAN ILMU POLITIK DENGAN EKONOMI


Ilmu ekonomi merupakan suatu ilmu sosial yang sering
digunakan untuk menyusun perhitungan-perhitungan kedepan,
terutama berkaitan dengan usaha manusia untuk mengembangkan
serta membagi sumber-sumber yang langka langsung demi
kelangsungan hidupnya. Studi ilmu ekonomi pada dasarnya bersifat
planning-oriented dan choice-oriented.
Planning-oriented berpengaruh pada pengertian pembangunan
politik, dan choice-oriented berpengaruh pada penelitian mengenai
decision-making. Dalam membuat kebijakan ekonomi, seorang ahli
ekonomi dapat bertanya kepada sarjana politik mengenai sistem
politik.
BAB X

I. PERKEMBANGAN ILMU POLITIK


Apabila ilmu politik dipandang semata-mata sebagai salah satu
cabang dari ilmu-ilmu sosial yang memiliki dasar, rangka, fokus, dan
ruang lingkup yang jelas, maka dapat dikatakan bahwa ilmu politik
masih muda usianya karena baru lahir pada akhir abad ke-19. Pada
tahap itu ilmu politik berkembang secara pesat berdampingan dengan
cabang-cabang ilmu sosial lainnya, seperti sosiologi, antropologi,
ekonomi, dan psikolog, dan dalam perkembangan ini mereka saling
memengaruhi.
Akan tetapi, apabila ilmu politik ditinjau dalam rangka yang
lebih luas, yaitu sebagai pembahasan secara rasional dari berbagai
aspek negara dan kehidupan politik, maka ilmu politik dapat
dikatakan jauh lebih tua umurnya. Bahkan ia sering dinamakan ilmu
sosial yang tertua di dunia. Pada taraf perkembangan itu ilmu politik
banyak bersandar pada sejarah dan filsafat.
Di Yunani Kuno misalnya, pemikiran mengnai negara sudah
dimulai pada tahun 450 S.M., seperti terbukti dalam karya-karya ahli
sejarah Herodotus, atau filsuf-filsuf seperti Plato, Aristoteles, dan
sebagainya. Di Asia ada beberapa kebudayaan, antara India dan
China, yang telah mewariskan berbagai tulisan politik yang bermutu.
Tulisan-tulisan dari India terkumpul antara lain dalam kesusastraan
Dharmasastra dan Arthasastra yang berasal dari masa-masa kira 500
S.M. Diantara filsuf China yang terkenal ialah Confucius (+- 350
S.M), Mencius (+- 350 S.M) dan mazhab Legalist, antara lain Shang
Yang (+- 350 S.M).
Di Indonesia kita mendapati beberapa karya tulis yang
membahas masalah sejarah dan kenegaraan, seperti misalnya Negara
kertagama yang ditulis pada masa Majapahit sekitar abad ke-13 dan
ke-15 Masehi dan Babad Tanag Jawi. Sayangnya di negara-negara
Asia tersebut kesusastraan yang mencakup bahasan politik mulai akhir
abad ke-19 telah mengalami kemunduran karena terdesak oleh
pemikiran Barat yang dibawa oleh negara-negara seperti Inggris,
Jerman, Amerika Serikat, dan Belanda dalam rangka imperialisme.
Di negara-negara benua Eropa seperti Jerman, Austria, dan
Prancis bahasan mengenai politik dalam abad ke-18 dan ke-19 banyak
dipengaruhi oleh ilmu hukum dan karena itu fokus perhatiannya
adalah negara semata-mata. Bahasan mengenai negara termasuk
kurikulum Fakultas Hukum sebagai mata kuliah Ilmu Negara
(Staatslehre). Di Inggris permasalahan politik dianggap termasuk
filsafat, terutama moral philosophy,dan bahasannya dianggap tidak
dapat terlepas dari sejarah. Akan tetapi dengan didirikannya Ecole
Libre des Sciences Politiques di Paris(1870) dan London School of
Economic and political science (1895), ilmu politik untuk pertama
kali di negara-negara tersebut dianggap sebagai disiplin tersendiri
yang patut mendapat tempat dalam kurikium perguruan tinggi. Namun
demikian, pengaruh dari ilmu hukum, filsafat, dan sejarah sampai
Perang Dunia II masih tetap terasa.
Perkembangan yang berbeda terjadi di Amerika Serikat . Mula-
mula tekanan yuridis seperti yang terdapat di Eropa yang dipengaruhi
bahasan masalah politik, akan tetapi lama-lama timbul hasrat yang
kuat untuk membebaskan diri dari tekanan yuridis itu, dan lebih
mendasarkan diri pada pengumpulan data empiris. Pada tahun 1858
seorang sarjana kelahiran Jerman, Prancis Lieber, diangkat sebagai
guru besar dalam sejarah ilmu dan politik di Columbia College, dan
kejadian ini di Amerika dianggap sebagai pengakuan pertama
terhadap ilmu politik sebagai ilmu tersendiri. Perkembangan
selanjutnya berjalan secara cepat, yang dapat dilihat dari didirikannya
American Polotical Science Assosiation (APSA) pada tahun 1904.
Sesudah perang Dunia II perkembangan ilmu politik semakin
pesat lagi. Di negeri Belanda, di mana sampai saat itu penelitian
menegnai negara dimonopoli oleh Fakultas Hukum, didirikan
Faculteit se Sociale en Politieke wetenschappen (Fakultas Ilmu Sosial
dan Politik) pada tahun 1947 (sekarang namanya Faculteit se Sociale
en Politieke wetenschappen – Fakultas Ilmu Sosial) di Amsterdam. Di
Indonesia pun didirikan fakultas-fakultas yang serupa, yang
dinamakan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIPOL) seperti di
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Di sini ilmu politik menjadi
jurusan tersendiri dengan nama Ilmu Pemerintahan. Selain itu ada
juga Fakultas Ilmu-ilmu Sosial, kemudian berganti nama menjadi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) seperti di Universitas
Indonesia, Jakarta, di mana ilmu politik merupakan jurusan tersendiri.
Akan tetapi, karena pendidikan tinggi ilmu hukum sangat maju,
tidaklah mengherankan apabila pada awal perkembangannya, ilmu
politik di Indonesia terpengaruh secara kuat oleh ilmu itu.
Sementara itu perkembangan ilmu-ilmu politik di negara-negara
Eropa Timur memperlihatkan bahwa pendekatan tradisional dari segi
sejarah, filsafat, dan yuridis yang sudah lama digunakan, masih
berlaku hingga dewasa ini. Tapi kemudian perkembangan ilmu politik
mengalami kemajuan dengan pesat sesudah runtuhnya komunisme
pada akhir dekade 1990-an. Ini dicirikan dengan masih berlakunya
pendekatan tradisonal tapi ditambah dengan pendekatan-pendekatan
lain yang tengah berkembang di negara-negara Barat.
Pesatnya perkembangan ilmu politik sesudah Perang Dunia II
tersebut juga disebabkan karena mendapat dorongan kuat dari
beberapa bdan internasional, terutama UNESCO. Terdorong oleh
tidak adanya keseragaman dalam terminologi dan metodologi dalam
Ilmu Politik, UNESCO pada tahun 1948 menyelenggarakan suatu
survei mengenai kedudukan ilmu politik di kira-kira 30 negara.
Proyek ini, yang dipimpin oleh W.Ebenstein dari Princeton University
Amerika Serikat, kemudian dibahas oleh beberapa ahli dalam suatu
pertemuan di Paris dan menghasilkan buku Cotemporary Political
Science (1948).
Sebagai tindak lanjutnya UNESCO bernama International
Political Science Association (IPSA) yang didirikan pada tahun 1949,
menyelenggarakan suatu penelitian mendalam yang mencakup kira-
kira sepuluh negara, di antaranya negara-negara Barat Besar, di
samping India, Mexico, dan Polandia. Pada tahun 1952 laporan-
laporan ini dibahas dalam suatu konferensi di Cambridge, Inggris, dan
hasilnya disusun oleh W.A. Robson dari London School of Economic
and Political Science dalam buku The University Teaching of Social
Sciences: Political Science. Buku ini merupakan bagian dari suatu
rangkaian penerbitan UNESCO mengenai pengajaran beberapa ilmu
sosial (termasuk ekonomi, antropologi budaya, dan kriminologi) di
perguruan tinggi. Kedua karya ini merupakan usaha internasional
untuk membina perkembangan ilmu politik dan mempertemukan
pandangan yang berbeda-beda.
Pada masa berikutnya ilmu-ilmu sosial banyak memanfaatkan
penemuan dari antropologi, psikologi, ekonomi, dan sosiologi, dan
dengan demikian ilmu politik telah dapat meningkatkan mutu dengan
banyak mengambil model dari cabang-cabang ilmu sosial lainnya. Hal
ini telah banyak mengubah wajah ilmu politik. Berkat berbagai usaha
tersebut di atas, ilmu politik telah menjadi ilmu yang terpandang yang
perlu dipelajari untuk mengerti kehidupan politik.
II. SUMBER KEWENANGAN
Pada bab sebelumnya, kita telah meriview tentang definisi
kewenangan, kali ini kita membahas tentang sumber-sumber
kewenangan. Sebelum menjabarkan apa saja sumber kewenangan itu,
kami akan menjelaskan kembali pengertian kewenangan. Kewenangan
merupakan kekuasaan yang memiliki keabsahan
(legitimate power).

a.Hak memerintah berasal dari tradisi


Kepercayaan yang mengakar, bahwa yang ditakdirkan menjadi
pemimpin masyarakat ialah dari keluarga yang berdarah biru. Jadi,
yang berhak memerintah adalah keturunan dari pemimpin
sebelumnya. Jika tidak berasal dari garis keturunan, maka tidak bisa
memerintah. Contoh: Pangeran Charles tahtanya akan diteruskan oleh
putra pertamanya, Pangeran William.

b.Hak memerintah berasal dari Tuhan, Dewa, atau Wahyu.


Hak memerintah ini bersifat sakral. Contoh: Kaisar Hiroto dapat
menjadi pemimpin Jepang karena dianggap berasal dari keturunan
Dewa Matahari.

c.Hak memerintah berasal dari kualitas pribadi.


Seorang yang kharismatik dapat menjadi pemimpin karena
mendapat anugerah istimewa, sehingga menimbulkan pesona dan
daya tarik. Maka dari itu, ia dapat diangkat menjadi pemimpin.
Contoh: Ir. Soekarno, Mahatma Gandhi, dan Nelson Mandela.

d.Hak memerintah berasal dari undang-undang.


Peraturan yang dimaksud misalnya UUD 1945. Syarat dan
ketentuan untuk menjadi presiden dan wakil presiden telah diatur
semua di dalam perundang-undangan. Maka, sumber kewenangan ini
berasal dari hukum.

e.Hak memerintah berasal dari keahlian dan kekayaan atau


sumber instrumental.
Keahlian yang dimaksud ialah keahlian dalam ilmu
pengetahuan dan teknologi. Sedangkan kekayaan disini berarti mereka
yang memiliki uang, tanah, sarana dan alat produksi, serta surat-surat
berharga.
Kelima sumber kewenangan tersebut dibagi menjadi dua tipe,
yaitu kewenangan yang bersifat prosedural dan kewenangan yang
bersifat substansial. Kewenangan yang bersifat prosedural ialah hak
memerintah berdasarkan peraturan perundang-undangan, baik yang
bersifat tertulis maupun tidak. Sedangkan kewenangan yang bersifat
substansial ialah hak memerintah berdasarkan faktor yang melekat
pada diri pemimpin, seperti kualitas pribadi, tradisi, sakral, keahlian,
dan kekayaan.
Opini
f. Hak memerintah yang berasal dari Tuhan sangat tidak masuk
akal.
Jika pemimpin tersebut merupakan keturunan Tuhan, maka
rakyatnya sedang dipimpin oleh Tuhan. Dan hak memerintah yang
berasal dari tradisi hanya dapat diisi oleh keturunan keluarga tertentu,
hak memerintah ini bersifat tertutup dan selamanya suatu keluarga
tersebut akan menjadi pemimpin. Hak memerintah berdasarkan
kualitas pribadi adalah yang terbaik diantara kelima sumber
kewenangan yang ada, namun alangkah lebih baiknya lagi jika
kualitas pribadi ditambah dengan keahlian yang mumpuni.
Legistimasi dapat diartikan sebagai dukungan masyarakat terhadap
pemerintah maupun sistem politik. Obyek politik tidak hanya
pemerintah, tetapi juga komponen-komponen politik, termasuk
masyarakat. Maka dari itu, dalam legitimasi, semua unsur saling
berkaitan erat dan berhubungan satu sama lain.
Di Indonesia, untuk mendapatkan legitimasi dilakukan dengan
cara prosedural, yakni dengan menyelenggarakan pemilu. Pemilu
bertujuan untuk memilih presiden dan wakilnya secara langsung,
jujur, adil, dan rahasia. Namun paa kenyataannya kini, pemilu tidak
lagi rahasia. Karena banyak para pemilih yang menyatakan
dukungannya pada suatu calon kandidat tertentu. Esensinya, apakah
pemilu rahasia itu hanya terjadi pada saat di bilik suara saja?
DAFTAR PUSTAKA

Surbakti, Ramlan. 2010.


Memahami Ilmu Politik.
Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia.
III. Peralihan Kewenangan
Jabatan, termasuk kepemimpinan, bersifat relatif tetap,
sedangkan orang yang memegang dan menjalankan fungsi (tugas dan
kewenangan) jabatan bersifat tidak tetap (Surbakti, 2010).
Hal ini disebabkan umur manusia yang terbatas, kearifan dan
kemampuan manusia juga terbatas, begitu juga masa menjabat sebagai
pemegang kewenangan melalui sistem prosedural juga dibatasi waktu.
Oleh karena itu, maka peralihan kewenangana akhirnya menjadi
sebuah kemestian. Berbagai cara peralihan kewenangan yang biasa
terjadi. Setidaknya terdapat tiga cara (Paul Conn, 1971 dalam
Surbakti, 2010), yaitu secara turun temurun, pemilihan dan paksaan.
Pada sistem substansial, biasanya terjadi secara turun temurun,
meskipun sesekali pernah terjadi dengan cara paksa karena terjadi
kudeta atau peperangan.
Sedangkan pada sistem prosedural, pada umumnya berdasarkan
pemilihan, meskipun pernah terjadi pemegang kewenangan harus
diganti secara paksa melalui tindakan impeachment, bahkan kudeta.
Berbagai cara peralihan kewenangan tidak bisa dipastikan yang paling
baik, karena tergantung sistem legitimasi kewenangan yang
diberlakukan, baik prosedural maupun substansial. Hanya saja, cara
paksaan hampir bisa dipastikan bukan cara yang baik dan diharapkan.
Terlepas dari cara yang digunakan dalam peralihan kewenangan, yang
lebih penting adalah implementasi kebijakan yang diputuskan dan
diberlakukan haruslah memberi dampak kebaikan, bermanfaat untuk
semua pihak. Semakin baik kualitas kebijakan yang diberlakukan akan
semakin meningkatkan penerimaan masyarakat terhadap pemerintah
sebagai pemegang dan penentu kebijakan.
BAB IV

I. HUBUNGAN ILMU POLITIK DAN PSIKOLOGI


SOSIAL
Berdasarkan pengertian di atas, dapat disimpulkan
bahwa psikologi sosial adalah pengkhususan psikologi yang
mempelajari hubungan timbal balik antara manusia dan
masyarakat, khususnya faktor-faktor yang mendorong manusia
untuk berperan dalam kelompok atau golongan, karena
psikologi pada umumnya memperhatikan tentang kehidupan
perorangan. Hubungan psikologi sosial dalam analisis ilmu
politik dapat diketahui bila kita sadar bahwa analisa sosial
politik secara makro dan diperkuat dengan analisa yang
bersifat mikro. Psikologi sosial mengamati kegiatan manusia
dari segi ekstern maupun segi intern. Dengan itu ilmu politik
dapat menganalisis secara lebih mendalam makna dan peran
orang kuat, kondisi sosial ekonomi serta ciri-ciri kepribadian
yang memungkinkannya memainkan peran besar itu.
Psikologi sosial juga dapat menjelaskan bagaimana
kepemimpinam tidak resmi turut menentukan suatu hasil
keputusan dalam kebijakan politik dan kenegaraan; bagaimana
sikap (attidue)d dan harapan (expectation) masyarakat dapat
melahirkan tindakan serta tingkah laku yang berpegang teguh
pada tuntutan tuntutan soaial (conformity);bagaimana motivasi
untuk kerja dapat ditingkatkan sehingga memperbanyak
produksi kerja melalui penanaman penghargaan terhadap
waktu dan usaha ; betapa nilai nilai budaya yang telah
bertahun tahun lamanya diterima oleh masyarakat dapat
melahirkan tingkah laku politik yang relatif stabil (budaya
politik atau political culture) yang memberi dorongan kuat
pada ketaatan terhadap aturan permainan rulles of the game.
Selain memberi pandangan baru dalam penelitian
tentang kepemimpinan, Psikologi sosial dapat pula
menerangkan sikap dan reaksi kelompok terhadap keadaan
yang dianggapnya baru,mengenai suatu gejala sosial tertentu
serta psikologi soaial menjelaskan kondisi-kondisi apa yang
akhirnya dapat meredakan sikap dan reaksi masyarakat
terhadap gejala baru yang dihadapinya itu.
a. Aplikasi Psikologi Sosial dalam Bidang Politik
Persoalan agama merupakan hal yang sensitif karena
menyangkut hubungan pribadi antar manusia dan Tuhan. Jadi
keimanan beragama merupakan suatu hal yang tidak dapat
dipaksakan. Setiap usaha memaksa, dengan cara mewajibkan
agama tertentu merupakan pelanggaran serius terhadap hak pribadi
(siagian,1987). Oleh karena itu penghinaan atau penghujatan
terhadap agama tertentu menjadi persoalan serius yang sulit untuk
diatasi, apalagi hanya memandang dari persfektif hukum positif,
indonesia merupakan negara pertemuan agama-agama di dunia.
Keanekaragaman agama yang ada di Indonesia dapat
dikatakan tidak menimbulkan permasalahan namun menunjukkan
adanya saling toleransi. Adi subroto 1993, menjelaskan hanya
indonesia yang mempunyai rasa keagamaan yang monoteisme
demikian menyatu secara alamiah dengan masyarakatnya,
contohnya ada beberapa tempat yang masih menghormati hewan
yang di sakralkan oleh agama tertentu. Jadi pada dasarnya umat
agama yang berbeda-beda di Indonesia mempunyai dasar untuk
hidup rukun dan berdampingan bersama. Namun demikian, searah
dengan perubahan yang terjadi di masyarkat menyebabkan
perubahan pola dalam hubungan kehidupan keagamaan, antara
lain ada banyak kasus kerusuhan besar yang disebabkan oleh
faktor perbedaan agama.

Moderenisasi dalam masyarakat adalah suatu proses transformasi; suatu


perubahan dalam segala aspeknya (Schoorl, 1991). Perubahan tersebut antara lain
meliputi

a. Bidang politik;
Dari sistem yang menganut kekuasaan kepala adat yang sederhana
digantyikan dengan sistem pemilihan umum perwakilan dan
birokrasi.selain itu persoalan agama dilariakan menjadi persoalan
politik, karena dukungan politik sangat diperlukan untuk
membesarkan suatu kelompok agama tertentu. Maka akhirnya
persoalan agama menjadi kendaraan politik bagi pemimpinnya

b. Bidang sosial;
Adanya mobilitas geografis dan sosial cenderung merenggangkan
sistem hirarki yang sudah ada. Anggota masyarakat yang sebelumnya
mempunyai sikap kebersamaan dan keterikatan yang tinggi pada
desa/adat istiadat serta pada tetua adat atau sesepuh, sekarang sikap
tersebut menjadi semakin berkurang dan bahkan hilang sama sekali.
Perubahan-perubahan yang terjadi dalam proses moderenisasi
dan globalisasi ini lambat laun tentu akan terjadi pada setiap bangsa /
masyarakat yang di dunia. Kemajuan- kemajuan teknologi dari
negara-negara barat mau tidak mau akan terus merambahh deras
kenegara-negara lain di dunia ini terutama negara-negara yang sedang
berkembang . karena masyarakat dunia akan menganggap bahwa
modernisasi sangat diperlukan untuk memajukan kehidupan, dimana
modernisasi di segala bidang kehidupan dianggap mempunyai
pengaruh positif. Masyarakat menjadi lebih efektif dan efisien dalam
menyelesaikan pekerjaannya. Namun demikinan seperti dua sisi mata
uang dampak negatif dari adanya perubahan sosial menyertai
hubungan sosial atau keberagamaan.

Faktor penyebab pertentangan antar umat beragama. Ada


beberapa hal yang menyebabkan terjadinya permasalahan /
pertentangan antar umat beragama, antara lain:

a. Adanya prasangka sosial; prasangka merupakan fenomena yang


terjadi antar kelompok yang cenderung berkonotasi negatif
(kappuswany, 1973 ). Prasangka bisa muncul karena adanya
konflik atau kompetisi antar kelompok. Prasangka tersebut terkait
dengan stereotip negatif pada kelompok lain atau stigma yang
akan melekat dan diturunkan terus menerus sehingga akan
menjadi prasangka tersebut terlihat sebagai dosa turunanyang akan
selalu ditularkan dari suatu generasi ke generasi lainnya. Pada
akhirnya prasngka yang tak kunjung selesai akan menciptakan
keinginan untuk melakukan diskriminasi dalam berbagai bidang
kehidupan.

b. Fanatisme yang berlebihan dan keliru dalam kehidupan beragama


bisa muncul bila terjadi adanya pandangan yang mengagung-
agungkan agamanya, namun menganggap rendah agama lain. Maka
segala hal yang menyangkutg agama lain di anggap sebbagai sesuatu
yang negatif atau bahkan lebih jauh di anggap sebagai musuh yang
harus di hormati.
Menggalang toleransi sebagai solusi efektif dalam penyelesaian
konflik anntar umat beragama
Permasalahan-permasalahan konflik antar umat beragama seharusnya
mendapatkan perhatian yang lebih serius dari semua pihak karena
penyelesaiannya persoalan ini harus lebih komprehesif. Beberapa
solusi tersebut antara lain.

a. Lebih cepat dan tanggap dalam memperhatikan berbagai


ketidakpuasan yang terjadi di masyarakat, sebagaimana diketahui
ketidakpuasaan menjadi faktor utama munclnya gerakan sosial,
selama masih banyak persoalan tentang ketidakadilan,
penganguran dan tekanan ekonomi dikaitkan atau dijadikan dasar
munculnya konflik antar umat beragama.

b. Perlu tindakan hukum yang lebih tegas dan transparan pada


pemicu kerusuhan, selama ini kesan pelaku kerusuhan tidak
pernah mendapatkan law enforcement yang sepadan, karena
adanya kendala bukti dan saksi dalam kegiatan masa sulit
didapatkan serta dukungan dari tokoh agama dan anggota
kelompok agamanya membuat pollisi sulit untuk memberikan
punishment kepada mereka.

c. Meningkatkan komunikasi diantara umat bergama untuk


mengurangi prasangka serta mempererat kerukunan, komunikasi
ini dalam bentuk dialog interaktif secara kontinu dengan tujuan
untuk membangun kesadaran sebagai bagian dari masyarakat
plural kegiatan bersama untuk membangun rasa percaya diantara
umat beragama sertya refleksi dan renungan keagaman untuk
mensikapi perbedaan visi keagamaan.

d. Kesadaran dari pemuka agama untuk tidak menjadikan agama


sebagai alat politik, hal ini memang tidak mudah karena politik berarti
kekuasaan dan agama merupakan kendaraan politik yang paling
ampuh untuk mendapatkan kekuasaan. Padahal sebagian besar
pemeluk agama tergolong pada masyarakat level bawah. Yang
mengedepankan emosi pada para pemimpin agama pollitiknya.
Ditambah dengan kekurang mampuan mengulas konflik dengan lebih
bijaksana dalam tataran wacana sehingga mudah sekali digiring pada
aksi brutal untuk mempertahankan agamanya. Oleh karena itu para
pemimpin keagamaan diharapkan mengurangi perannya dalam politik
atau tidak memunculkan pendapat yang dirasuki oleh kepntingan
politik.
Dari berbagai model penyelesaian diatas, sebenarnya
penyelesaian yang terfokus pada peningkatan kesadran kelompok
keagamaan merupakan cara yang paling efektif dalam menurunkan
konflik antar agama. Pembinaan pada pemeluk agama diarahkan pada
peningkatan kualitas akan nilai-nilai kebenaran dan menumbuhakan
sikap toleransi adalah suatu yang paling efektif dari pada
mengkonsentrasikan pada penambahan jumlah pengikutnya. Namun
pada kehidupan sosila yang semakin penuh dengan kompetisi maka
penghayatan akan toleransi masih merupakan wacana yang sulit untuk
diimplementasikan pada tingkat realitas.
Di dalam kehidupan bermasyarakat ada kecenderungan orang
masih berfikir “ senang melihat orang lain sakit, atau sakit hati bila
meliahat orang lain senang “Padahal toleransi harus didasari oleh
kebutuhan kita untuk share saling berbagi persoalan dengan yang lain
tanpa saling manghalangi, mampu merasakan apa yang sedang terjadi
pada ornag lain, kemampuan empati seperti ini memang tidak mudah
mudah untuk dilakukan selama tidak ada keterbuakaan hati dan fikiran
kita akan keberadaan orang lain, simpati pada apa yang dilakukan
orang lain selalu melihat bahwa apa yang dilakukan orang lain pun
patut kita hargai; menghormati pendapat, pandangan, keyakinan,
perilaku, agama, suku dan segala atribut orang atau kelompok lain.
Kondisi seperti ini bisa tercapai apabila kita terbiasa untuk
mengkomunikasi dengan berbagai tipikal orang yang berbeda,
fanatisme menggumpal karena jarang ada interaksi dan komunikasi
dengan orang atau kelompok lain berdasarkan subjektivitas dirinya,
bahaya menggunakan ini adalah semakin menyulitkan kita untuk
menerima kehadiran dan perubahan yang terjadi pada orang lain,
karena setiap orang mau tidak mau akan selalu berubah, sehingga
pandangan kita pin akan berubah.
Objektifitas muncul apabila kita mampu beriinteraksi
mengedepankan consensus dari pada konflik dengan individu lain,
selama inipenyelesaian dengan konflik dianggaap lebih sesuai dalam
mencapai tujuan diri dan kelompok. Padahal sekali konflik miuncul
akan semakin sulit kita mengendalikan untuk tidak berkonflik atau
akan muncul jenis konflik lain yang semakin parah, yang
menumbuhkan pemahaman yang lebih mendalam tentang segala
persoalan yang terjadi pada orang lain, memahami tidaklah mudah
karena harus didasari oleh kkebersihan nurani untuk melihat segala
persoalan dengan lebih hati-hati dan jernih, tidak ada keinginan untuk
mengalahkan orang lain, dalam arti tidak selalu melihat kelompok lain
sebagi musuh namun lebih menekankan pada kemenangan semua
pihak, karena semua pihak adalah mitra dalam kehidupan sehari-hari
serta menetapkan bahwa kerja sama adalah modal sosial yang paling
utama dalam membangun interaksi bersama.
Pada dasarnya psikologi sosial sangat berhubungan dengan ilmu
sosial lain nya, dimana psikologi sosial merupakan bagian dari semua
cabang ilmu sosial lainnya Peran politik sebagai determinan dari
perilaku karakteristik psikologi, maupun sebaliknya perilaku dan
karakteristik psikologi seseorang akan mempengaruhi konteks sosio
politik. Konteks sosio politik bersinergi dengan konteks ekologi akan
mengarahkan pada akulturasi, adaptasi biologis atau adaptasi budaya,
sehingga muncul perilaku yang teramati (observable behavior) dan
ciri-ciri psikologi yang tersimpulkan dari seseorang.
Selanjutnya perilaku dan karateristik psikologis itu akan
memberi dampak pada perubahan konteks ek ologis dan konteks
sosio-politik. Psikologi sosial juga dapat menjelaskan bagaimana
kepemimpinam tidak resmi turut menentukan suatu hasil keputusan
dalam kebijakan politik dan kenegaraan. Psikologi sosial menjelaskan
pula kondisi-kondisi apa yang akhirnya dapat meredakan sikap dan
reaksi masyarakat terhadap gejala baru yang dihadapinya itu.

II. HUBUNGAN ILMU POLITIK DENGAN HUKUM


Dalam kehidupan ini kita tidak bisa dilepaskan dengan
keterikatan hukum dan politik,Ilmu hukum sejak dulu kala erat
hubungannya dengan ilmu politik,karena mengatur dan melaksanakan
undang – undang (lau enforcement) merupakan salah satu kewajiban
negara yang penting.cabang cabang ilmu hukum adalah
• Hukum tata negara (staatsrech,public law)
• Ilmu negara (staatslehre,general theory of the state)

Ilmu hukum tidak melihat manusia sebagai makhluk yang terpengaruh


oleh faktor sosial,psikologi, dan kebudayaaan.akibatnya ialah bahwa
ada kecenderungan pada ilmu hukum untuk meremehkan kekuatan-
kekuatan lainnya yang berada diluar bidang hukum.
Sistem politik yang demikian ternyata menyebabkan lahirnya hukum-
hukum yang memiliki karakter tersendiri. Sistem hukum tercermin
dari politik yang berkembang. Tentu saja hukum tidak bisa dipisahkan
dengan politik. Bahwa pada kenyataannya keadaan politik tertentu
dapat mempengaruhi suatu produk hukum. Pengaruh politik terhadap
hukum dapat berlaku terhadap penegakkan hukumnya dan
karakteristik produk-produk serta proses pembuatannya.
Idealnya hukum dibuat dengan mempertimbangkan adanya
kepentingan untuk mewujudkan nilai-nilai keadilan tersebut. Dengan
ciri-ciri mengandung perintah dan larangan, menuntut kepatuhan dan
adanya sangsi, maka hukum yang berjalan akan menciptakan
ketertiban dan keadilan di masyarakat. Disini kita akan membahas
mengenai hubungan antara hukum dan politik di Indonesia. Sejauh
mana hubungan antara hukum dan politik tersebut.

A. Pembangunan Sistem Hukum Berkeadilan


Hukum itu diciptakan bukan semata-mata untuk mengatur,
akan tetapi lebih dari itu untuk menciptakan adanya kesejahteraan
dan keadilan dalam masyarakat. Maka hukum itu terus mengikuti
perkembangan yang terjadi di masyarakat. Secara empiris hukum
dipandang sebagai bagian dari fenomena sosial. Pada awalnya
tidak ada keragu-raguan mengenai kemampuan negara untuk
secara otonom dan mutlak mengatur serta menata kehidupan
masyarakat. Hukum menjadi semacam alat di tangan kekuasaan
untuk mewujudkan apa yang dikehendaki. Negara hukum yang
dikembangkan bukanlah absolute rechtsstaat, melainkan
democratic rechtsstaat (negara hukum yang demokratis).
Konsekuensi negara hukum yang demokratis adalah adanya
supremasi konstitusi sebagai bentuk pelaksanaan demokrasi..
Demokrasi yang workable dapat berfungsi dan mampu
memelihara stabilitas politik nasional serta menciptakan
pemerintahan yang efektif, kuat, acountable yang dibangun dalam
sebuah masyarakat yang tingkat pemilahan sosialnya sangat
tinggi.
Socrates menyatakan bahwa hakikat hukum adalah keadilan.
Hukum berfungsi melayani kebutuhan keadilan dalam masyarakat.
Hukum menunjuk pada suatu aturan hidup yang sesuai dengan
cita-cita hidup bersama, yaitu keadilan. Plato mencanangkan suatu
tatanan di mana hanya kepentingan umum yang diutamakan, yakni
partisipasi semua orang dalam gagasan keadilan. Lebih tepatnya ia
mencanangkan suatu negara dimana keadilan akan dicapai secara
sempurna.
Keadilan akan dapat terwujud apabila aktifitas politik yang
melahirkan produk-produk hukum memang berpihak pada nilai-
nilai keadilan itu sendiri. Terlepas bahwa dalam proses kerjanya
lembaga- lembaga hukum harus bekerja secara independen untuk
dapat memberikan kepastian dan perlindungan hukum. Dasar dari
pembentukan hukum itu sendiri yang dilakukan oleh lembaga-
lembaga politik juga harus mengandung prinsip-prinsip
membangun hukum yang berkeadilan. Sistem hukum Indonesia
sangat dipengaruhi oleh faktor- faktor masa lalu (pengaruh
penjajahan), faktor-faktor adat istiadat serta budaya bangsa serta
faktor agama yang berpengaruh kuat di Indonesia. Kesemua faktor
itulah yang melahirkan sistem hukum Indonesia melalui proses
legislasi maupun praktik hukum.
Pembangunan sering diartikan sebagai penyelenggaraan
perubahan tertentu terhadap suatu masyarakat. Sering pula
ditegaskan bahwa hakikat pembangunan adalah pembangunan
terhadap manusianya. Kenyataannya, pembangunan bukan sekedar
perubahan terhadap suatu masyarakat, melainkan juga perubahan
terhadap lingkungannya.. Pembangunan hukum ditujukan pada
masyarakat dan lingkungan untuk membangun hukum yang
berkeadilan. Hukum sebagai alat untuk mengubah masyarakat,
dalam arti bahwa mungkin dipergunakan sebagai suatu alat oleh
agent of change. Agent of change atau pelopor perubahan adalah
seseorang atau kelompok orang ang mendapatkan kepercayaan
dari masyarakat sebagai pemimpin satu atau lebih lembaga-
lembaga kemasyarakatan.

B. Hukum sebagai produk politik


Dalam studi tentang hukum banyak identitifikasi yang diberikan
sebagai suatu sifat atau karakter hukum seperti memaksa, tidak
berlaku surut, dan umum. Dalam berbagai studi hukum dikemukakan
bahwasanya hukum mempunyai sifat umum sehingga peraturan
hukum tidak ditujukan kepada seseorang dan tidak akn kehilangan
kekuasaannya jika telah berlaku terhadap suatu peristiwa konkret.
Peraturan hukum juga mempunyai sifat abstrak, yakni mengatur hal-
hal yang belum terkait dengan kasus-kasus konkret. Selain itu juga
ada yang mengidentifikasikan hukum bersifat imperatif dan fakultatif.
Dengan sifat imperatif yaitu peraturan hukum bersifat apriori harus
ditaati, mengikat, dan memaksa. Sedangkan hukum bersifat fakultatif
yaitu peraturan hukum tidak secara apriori mengikat, melainkan
sekedar melengkapi, subsidair, dan dispositif.
Budaya politik merupakan produk dari proses pendidikan atau
sosialisasi politik dalam sebuah masyarakat. Dengan sosialisasi
politik, individu dalam negara akan menerima norma, sistem
keyakinan dan nilai- nilai generasi sebelumnya, yang dilakukan
melalui berbagai tahap dan dilakukan oleh berbagai macam agent.
Dalam berpolitik kita juga dihadapkan dengan hukum. Hukum
merupakan refleksi dari budaya hukum pada suatu tatanan
masyarakat. Hukum merupakan produk politik sehingga setiap produk
hukum akan sangat ditentukan oleh imbangan kekuatan atau
konfigurasi politik yang melahirkannya. Setiap produk hukum
merupakan produk keputusan politik sehingga hukum dapat dilihat
sebagai kristalisasi dari pemikiran politik yang saling berinteraksi di
kalangan para politisi. Hukum tidak selalu dapat dilihat sebagai
penjamin kepastian hukum, penegak hak-hak rakyat, atau penjamin
keadilan. Banyak sekali peraturan hukum yang tumpul, tidak mempan
memotong keseweang-wenangan, tidak mampu menegakkan keadilan
dan tidak dapat menampilkan dirinya sebagai pedoman yang harus
diikuti dalam menyelesaikan berbagai kasus yang harusnya bisa
dijawab oleh hukum. Banyak produk hukum yang lebih diwarnai oleh
kepentingan-kepentingan politik pemegang kekuasaan dominan.
Hukum itu tidak steril dari subsistem kemasyarakatan lainnya. Politik
kerapkali melakukan intervensi atas pembuatan dan pelaksanaan
hukum sehingga muncul pertanyaan tentang subsistem mana antara
hukum dan politik yang dalam kenyataannya lebih suprematif. Disini
hukum tidak bisa hanya dipandang sebagai pasal-pasal yang bersifat
imperatif atau keharusan-keharusan yang bersifat das sollen,
melainkan harus dipandang sebagai subsistem yang dalam kenyataan
das sein bukan tidak mungkin sangat di tentukan oleh politik, baik
dalam perumusan materi dan pasal-pasalnya, maupun dalam
implementasi penegakkannya.
Politik itu selalu berbicara mengenai kepentingan. Semua
pemain politik selalu membawa kepentingan yang kadang-kadang dan
bahkan selalu bertubrukan atau saling bertentangan. Karena muara
kepentingan politik adalah kekuasaan dan pengaruh, maka konflik
kepentingan politik menjadi lebih keras dari konflik lainnya. Karena
itulah politik harus diikat dengan norma-norma hukum dan tata cara
yang disepakati bersama diantara para pemain politik.
Fenomena politik berlangsung dalam berbagai jenis masyarakat,
manusia, bangsa-bangsa, provinsi-provinsi, dan kelompok lainnya.
Struktur politik adalah pengelompokan sosial yang berbeda-beda.
Elite politik memainkan sejumlah skenario yang mengarah
kepada kepentingan diri, partai, atau golongannya sendiri. Politics for
itself menjadi sesuatu yang lazim dan mengobsesi pikiran banyak
politikus. Politikus yang di parlemen, yang tengah menjalankan fungsi
legislasi, dalam menjalankan tugasnya tidak berorientasi kepada
upaya memecahkan problema konstitusional, melainkan didasarkan
pada upaya menutup kepentingan dan kelemahan pribadi masing-
masing elite politik. Melihat logika berpikir para politikus, maka nyata
benar bahwa aroma politics for itself sangat kental. Praktik politik
demikian tentu tidak dapat terlalu diharapkan untuk bisa membangun
pemerintahan yang memiliki komitmen terhadap kepentingan bangsa.
Akan sulit membangun sebuah pemerintahan yang memiliki state
capacity yang jelas dalam menyelesaikan krisis, karena elite politik
yang tengah memegang kekuasaan itu sendiri ternyata menjadi
sumber dan biang krisis.
Politik memiliki unsur dominan dan mengintimidasi hukum.
Para pembuat hukum adalah orang-orang politik yang memegang
kekuasaan dan berwenang untuk menentukan hukum. Maka hukum
yang ada adalah cerminan dari politik. Hukum berkembang sesuai
dengan perkembangan politik. Sudah dibenarkan bahwa hukum
merupakan produk politik. Pengaruh politik terhadap hukum dapat
berlaku terhadap penegakan hukumnya dan karateristik produk-
produk serta proses pembuatannya. Philipe None dan Philip Selznick
pernah mengatakan bahwa tingkat perkembangan masyarakat tertentu
dapat mempengaruhi pola penegakan hukumnya.[15] Maka
masyarakat harus menunjukan dan membuktikan bahwa dirinya
mampu menguasai keadaan. Hukum yang di lahirkan dari politik
sudah seharusnya dapat memberikan perlindungan bagi warga negara
dan seluruh lapisan masyarakat, sehingga semua orang sama
kedudukan di muka hukum itu dapat berjalan dengan baik dan
sempurna. Namun karena yang berpolitik itu adalah manusia yang
memiliki nafsu akan kekuasaan maka hukum di bentuk dan di buat
atas dasar kepentingan kelompok atau golongan mereka dalam rangka
melanggengkan kekuasaan atau melindungi diri mereka. Realita ini
tidak dapat di pungkiri, bahwa siapapun yang berkuasa maka mereka
akan membentuk peraturan perundang-undangan itu atas dasar sikap
egoistik pada perlindungan kelompoknya sendiri dengan mengabaikan
kepentingan rakyat pemilik kedaulatan negara.
Produk hukum yang berlaku di indonesia didasari dengan suatu
kekuatan politik yang mengatur hukum yang direkomendasikan oleh
pemangku jabatan sehingga produk-produk hukum yang berlaku
bukan menjadi suatu proyek dasar yang berdasarkan penghayatan
pengamalan pancasila, hingga tak jarang mendengar kebijakan yang
tak berpihak kepada masyarakat dalam budaya dan etika moral
kekuasaan yang diamanatkan kepada seorang presiden dan di
koordinasikan ke DPR sebagai pemangku amanat rakyat. Peradaban
yang menjunjung tinggi atas keadilan sosial bagi masyarakat yang
mengartikan bahwa masyarakat memiliki kebijakan secara sosial dan
politik akan menciptakan sistem hukum yang tetap menjunjung
norma-norma produk hukum yang berlaku tanpa mengesampingkan
moralitas peradaban tersebut. Politik sebagai subsistem
kemasyarakatan senantiasa mempengaruhi produk hukum sehingga
muncul paham baku bahwa “hukum adalah produk politik”.

B. Determinasi Politik atas Hukum


Berangkat dari asumsi bahwasanya hukum merupakan produk
politik, sehingga hukum merupakan kristalisasi dari kehendak-
kehendak politik. Eksistensi hukum dan kinerja hukum sangat
dipengaruhi dengan konfigurasi politik yang sedang terjadi pada
periode tertentu. Sepanjang perjalanan sejarah negara Republik
Indonesia telah terjadi tolak dan tarik atau pasang surut antara
konfigurasi politik yang demokratis dan politik yang otoriter. Jika
konfigurasi politik tersebut dimulai dari proklamasi kemerdekaan
tanggal 17 Agustus 1945. Penetapan demokrasi dan otoriter itu
didasarkan pada konsep dan indikator-indikator tertentu sebab kedua
istilah tersebut ambigu. Indikator-indikator yang dipergunakan adalah
peranan lembaga perwakilan rakyat, peranan eksekutif, dan tingkat
kebebasan pers.

Beberpa hal yang juga tampak dari hasil studi tersebut adalah:
I. Lahirnya konfigurasi politik demokratis dan otoriter tidak
ditentukan oleh UUD. UUD yang sama pada periode ynag berbeda
(seperti UUD 1945) dapat melahirkan konfigurasi politik
demokratis (periode 1945-1949 dan 1966-1961/1971) dan
konfigurasi politik yang otoriter (periode 1959-1966 dan
1969/1971-sekarang); sebaliknya UUD yang berbeda pada periode
yang sama (UUD 1945, Konstitusi RIS 1949, dan UUDS 1950)
yang berlaku selama periode 1945-1959 menampilkan konfigurasi
yang sama yakni demokratis. Dengan demikian, demokratis atau
tidaknya suatu sistem politik tidak tergantung semata-mata pada
UUD-nya tetapi lebih banyak ditentukan oleh pemain- pemain
politiknya.

II. Khusus untuk hukum publik yang berkaitan dengan hubungan


kekuasaan, ternyata konfigurasi politik tertentu melahirkan produk
hukum dengan karakter tertentu, yakni “konfigurasi politik yang
demokratis senantiasa melahirkan produk hukum yang berkarakter
responsif, sedangkan konfigurasi politik yang otoriter melahirkan
produk hukum yang berkarakter konservatif. Karakter responsif dan
konservatif ditandai, antara lain oleh hal- hal :
a. Dalam pembuatannya produk hukum yang responsif menyerap
aspirasi masyarakat seluas-luasnya (partisipatif), sedangkan produk
hukum yang konservatif lebih didominasi lembaga-lembaga negara
terutama pihak eksekutif (sentralistis).
b. Cerminan isi produk hukum yang responsif adalah aspiratif dalam
arti mencerminkan kehendak dan aspirasi umum masyarakat,
sedangkan produk hukum yang konservatif adalah positivistik-
instrumentalistik dalam arti lebih mencerminkan kehendak atau
memberikan justifikasi bagi kehendak-kehendak dan progam
pemerintah.
c. Cakupan isi hukum yang responsif biasanya rinci, mengatur hal-
hal secara jelas dan cukup detail (limitatif) sehingga tidak dapat
ditafsirkan secara sepihak oleh lembaga eksekutif, sedangkan hukum
konservatif memuat hal-hal yang pokok-pokok dan ambigu sehingga
memberi peluang luas bagi pemerintah untuk membuat penafsiran
secara sepihak melalui berbagai peraturan pelaksanaan (interpretatif).
Perubahan konfigurasi politik dari otoriter ke demokratis atau
sebaliknya berimplikasi pada perubahan karakter produk hukum.
Pernyataan tersebut bisa dilihat dari bagan berikut ini.
Variabel Bebas Variabel
Terpengaruh
Konfigurasi Politik Karakter Produk
Hukum
Demokratis Responsif /
Populistik
Otoriter Konservatif/
Ortodoks / Elitis

4 Hubungan Kausalitas antara Politik dan Hukum di Indonesia


Politik dan hukum tidak dapat dipisahkan, keduanya merupakan satu
kesatuan. Dalam kaitannya dengan hubungan keduanya, ada beberapa
pendapat :
a. Menurut Arbi Sanit, bahwa hubungan antara hukum dengan
politik memang berjalan dalam dua arah sehingga kedua aspek
kehidupan ini saling mempengaruhi.
b. Menurut Soeharjo SS, bahwa politik dan hukum merupakan
pasangan. Politik membentuk hukum dan hukumlah yang memberikan
wujud pada politik.
Dari kedua pendapat diatas, dapat dilihat bahwa hukum dan politik
berhubungan sangat erat dikarenakan:
1. Hukum merupakan produk politik.
2. Hukum merupakan salah satu alat politik, dimana penguasa dapat
mewujudkan kebijakannya.
3. Jika sudah menjadi hukum, maka politik harus tunduk pada
hukum.
Satjipto Rahardjo mengemukakan bahwa kalau kita melihat hubungan
antara subsistem politik dan subsistem hukum, tampak bahwa politik
memiliki konsentrasi energi yang lebih besar sehingga hukum selalu
berada pada posisi yang lemah. Politik sangat menentukan bekerjanya
hukum. Di indonesia jika dilihat secara realitanya maka akan
cenderung bahwa politik determinan atas hukum. Seperti yang telah
diasumsikan penulis bahwasanya politiklah yang berperan aktif dalam
mengendalikan hukum. Dimana pada keadaan politik tertentu hukum
yang dihasilkan juga berjalan sesuai keadaan politik tersebut. Maka
hukum di pandang sebagai dependent variabel (variabel terpengaruh),
sedangkan politik diletakkan sebagai independent variabel (variabel
berpengaruh). Peletakan hukum sebagai variabel yang tergantung atas
politik atau politik yang determinan atas hukum itu mudah dipahami
dengan melihat realitas, bahwa pada kenyataannnya hukum dalam
artian sebagai peraturan yang abstrak (pasal-pasal imperatif)
merupakan kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling
berinteraksi dan bersaingan. Sidang parlemen bersama pemerintah
untuk membuat undang-undang sebagai produk hukum pada
hakikatnya merupakan adegan kontesasi agar kepentingan dan aspirasi
semua kekuatan politik dapat terakomodasi di dalam keputusan politik
dan menjadi UU. UU yang lahir dari kontesasi tersebut dengan mudah
dapat dipandang sebagai produk dari adegan politik.
Berangkat dari studi mengenai hubungan antara politik dan
hukum kemudian lahir sebuah teori “politik hukum”. Politik hukum
adalah legal policy yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional
oleh pemerintah Indonesia yang meliputi: pertama, pembangunan
yang berintikan pembuatan dan pembaruan terhadap materi-materi
hukum agar dapat sesuai dengan kebutuhan. Kedua, pelaksanaan
ketentuan hukum yang telah ada termasuk penegasan fungsi lembaga
dan pembinaan para penegak hukum. Jadi politik hukum adalah
bagaimana hukum akan atau seharusnya dibuat dan ditentukan
arahnya dalam kondisi politik nasional serta bagaimana hukum
difungsikan sejarah politik dan hukum di Indonesia di bagi dalam tiga
periode yaitu periode 1945-1959, periode 1959-1966, dan periode
1966-sampai sekarang; sedangkan produk-produk hukum diarahkan
pada hukum-hukum publik. Hasil studi tersebut memperlihatkan
secara signifikan bahwa sistem politik yang demokrasi dapat
melahirkan hukum-hukum yang responsif, sedangkan sistem politik
yang otoriter dan non demokratis melahirkan hukum-hukum yang
memiliki karater konservatif/ortodoks. Jadi, ada hubungan kausalitas
antara politik dan hukum, dimana hukum itu begitu dependent
terhadap politik yang melahirkannya.
Harus dipisahkan antara demokrasi sebagai sistem politik
dengan way of life masyarakat. Oleh karena demokrasi adalah sistem
tang memberi kebebasan dan partisipasi masyarakat, apa yang tampil
di publik sangat tergantung dari kecenderungan populasi. Demokrasi
adalah cara yang efektif untuk mengontrol operasi kekuasaan agar
tidak menghasilkan penyalahgunaan wewenang. Hal yang lazim jika
pembela demokrasi adalah lapisan masyarakat yang terdidik,
sedangkan penentangnya adalah mereka yang sedang mengendalikan
pemerintahan. Hukum sebagai salah satu kaidah yang dipositifkan
secara resmi oleh penguasa negara adalah sebuah produk dari kegiatan
politik, yang dapat terbaca dari konteks dan kepentingan yang
melahirkan hukum itu dan bagaimana hukum tersebut dijalankan.
Berbeda dengan kaidah agama yang didasarkan pada ketaatan
individu pada Tuhan atau kaidah kesusilaan dan kesopanan yang
didasarkan pada suara hati atau dasar-dasar kepatutan dan kebiasaan,
kaidah hukum dibuat untuk memberikan sangsi secara langsung yang
didasarkan pada tindakan nyata atas apa yang disepakati/ditetapkan
sebagai bentuk-bentuk pelanggaran berdasarkan keputusan politik.
Perubahan karakter produk hukum juga terjadi secara tolak- tarik
dengan senantiasa mengikuti konfigurasi politik yang melatar
belakanginya. Oleh karena itu, jika masyarakat mendambakan
lahirnya hukum-hukum yang berkarakter responsif, yaitu produk
hukum yang mencerminkan rasa keadilan dan memenuhi harapan
masyarakat. Maka yang lebih dulu diupayakan adalah menata
kehidupan politiknya agar menjadi demokratis. Sebab bagaimanapun
juga hukum terus mengikuti arus politik.

II. KONSEP KONSEP ILMU POLITIK


Ilmu politik mempelajari tentang kehidupan politik. Istilah
politik dalam kepustakaan ilmu politik dapat dipahami dari berbagai
definisi. Perlu dikemukakan bahwa perbedaan-perbedaan yang
muncul antara satu definisi dengan definisi yang lain, sesungguhnya
hanya disebabkan oleh karena setiap sarjana hanya melihat pada salah
satu aspek politik. Aspek inilah yang kemudian digunakan sebagai
konsep utama dalam menganalisis aspek yang lain
Secara umum dapat dikatakan bahwa politik ialah berbagai
kegiatan dalam suatu sistem politik atau negara yang menyangkut
proses penentuan tujuan dari sistem itu, dan bagaimana melaksanakan
tujuan-tujuannya. Heywood merumuskan politik secara luas sebagai
keseluruhan aktivitas di mana masyarakat membuat, mempertahankan
dan membuat amandemen aturan-aturan umum di mana mereka hidup.
Pembuatan keputusan (decision making) mengenai apa yang menjadi
tujuan dari sistem politik atau negara tidak dapat dipisahkan dari
pemilihan antara beberapa alternatif dan penentuan urutan prioritas.
Sedangkan untuk melaksanakan tujuan-tujuan itu pun diperlukan
kebijakan-kebijakan umum (public policies) yang menyangkut
pengaturan dan pembagian atau alokasi dari sumber-sumber yang ada.
Perlu diingat bahwa untuk menentukan kebijakan umum,
pengaturan, pembagian, maupun alokasi sumber-sumber yang ada,
diperlukan kekuasaan dan wewenang (authority). Kekuasaan dan
wewenang ini memainkan peranan sangat penting untuk membina
kerja sama ataupun untuk menyelesaikan konflik yang mungkin
muncul dalam proses pencapaian tujuan. Dalam tradisi politik dapat
dipergunakan cara-cara persuasi (meyakinkan) maupun cara-cara
kohesif (kekerasan).
Berdasar uraian singkat di atas terlihat bahwa konsep-konsep pokok
yang mendasari perumusan definisi ilmu politik melibatkan beberapa
aspek, di antaranya : (a) negara (state); (b) kekuasaan; (c)
pengambilan keputusan dan kebijakan publik (policy); (d) kompromi
dan konsensus dan (e) pembagian (distribution) atau alokasi. Berikut
ini kita akan melihat aspek- aspek tersebut.

A. NEGARA
Negara merupakan suatu organisasi dalam suatu wilayah yang
memiliki kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyatnya.
Sarjana-sarjana yang melihat negara sebagai aspek utama politik,
menaruh perhatian terhadap lembaga itu. Sesungguhnya definisi-
definisi tentang negara, yang dipergunakan oleh para sarjana yang
menganut pendekatan kelembagaan, bersifat tradisional dan agak
sempit. Roger F. Soltau misalnya, dalam bukunya Introduction to
Politics mengatakan bahwa “Ilmu Politik mempelajari negara, tujuan-
tujuan negara, dan lembaga-lembaga yang akan melaksanakan tujuan-
tujuan itu, hubungan antara negara dengan warganya serta hubungan
antarnegara”. Keterbatasan ruang lingkup definisi tersebut terlihat
apabila kita mengingat bahwa negara hanya merupakan salah satu
bentuk kemasyarakatan, meskipun tidak mungkin disangkal bahwa
negara memang merupakan bentuk masyarakat yang paling utama.
Sedangkan dalam masyarakat primitif yang belum mengenal negara
dalam pengertian sekarang, aspek kekuasaan justru lebih penting.

B. KEKUASAAN
Kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau kelompok
untuk mempengaruhi tingkah laku seseorang atau kelompok lain,
sesuai dengan keinginan si pelaku. Dibanding dengan definisi ilmu
politik yang berpijak pada aspek negara, definisi para sarjana yang
lebih mengutamakan aspek kekuasaan memiliki jangkauan lebih
luas. Harold D. Laswell dan A. Kaplan dalam Power and Society
mengatakan bahwa “Ilmu Politik mempelajari pembentukan dan
pembagian kekuasaan”. Sedangkan W.A. Robson, dalam The
University Teaching of Social Sciences, mengemukakan bahwa
“Ilmu Politik mempelajari kekuasaan dalam masyarakat … yaitu
sifat hakiki, dasar, proses-proses, ruang lingkup dan hasil-hasil.
Fokus perhatian seorang sarjana ilmu politik tertuju pada
perjuangan untuk mencapai kekuasaan, mempertahankan
kekuasaan, melaksanakan kekuasaan atau pengaruh atas orang
lain, atau menentang pelaksanaan kekuasaan itu”. Definisi yang
lain, misalnya dikemukakan oleh Ossip K. Flechtheim dalam
Fundamentals of Political Science, mengatakan bahwa “Ilmu
Politik adalah ilmu sosial yang khusus mempelajari sifat dan
tujuan dari negara sejauh negara merupakan organisasi kekuasaan,
beserta sifat dan tujuan dari gejala-gejala kekuasaan lain yang
tidak resmi yang dapat mempengaruhi negara”. Sarjana-sarjana
yang telah dikemukakan di atas, tampaknya berpijak dari
anggapan bahwa politik adalah semua kegiatan yang melibatkan
berbagai usaha untuk mempertahankan atau merebut kekuasaan.
Kendatipun perjuangan untuk kekuasaan (power struggle) itu pada
umumnya dilandasi dengan keinginan untuk kepentingan seluruh
warga masyarakat.

C. PENGAMBILAN KEPUTUSAN DALAM KEBIJAKAN


PUBLIK
Pengambilan keputusan sebagai konsep pokok ilmu politik,
melibatkan keputusan-keputusan yang diambil secara kolektif dan
mengikat seluruh warga masyarakat. Ruang lingkup keputusan itu
pun dapat terbatas hanya pada penentuan tujuan masyarakat,
namun dapat pula menjangkau keputusan-keputusan untuk
mencapai tujuan tersebut. Kecuali itu, pengambilan keputusan
sebagai aspek utama dari politik juga harus dilihat sebagai suatu
proses memilih alternatif yang terbaik. Sehingga seandainya
Indonesia memutuskan untuk memberi prioritas kepada ekspor
nonmigas, maka keputusan itu pun diambil setelah
mempertimbangkan kemungkinan alternatif-alternatif yang lain.
Aspek-aspek di atas juga banyak melibatkan masalah-masalah
pembagian (distribution) yang oleh Harold D. Laswell dirumuskan
sebagai “who gets what, when and how”. Di samping itu, kajian
mengenai pengambilan keputusan sering memusatkan
perhatiannya kepada pertanyaan “siapa yang mengambil
keputusan” dan “untuk siapa keputusan itu dibuat”. Definisi Joice
Mitchell, dalam Political Analysis and Public Policy, menyatakan
bahwa “Politik adalah pengambilan keputusan kolektif atau
pembuatan kebijakan umum untuk masyarakat seluruhnya”.
Serupa dengan definisi Joyce Mitchell, Karl W. Deutsch
mengemukakan bahwa “Politik adalah pengambilan keputusan
melalui sarana umum”. Keputusan itu berbeda dengan
pengambilan keputusan-keputusan pribadi oleh seseorang, dan
keseluruhan dari keputusan itu merupakan sektor umum atau
sektor publik dari suatu negara. Kebijakan (policy) merupakan
suatu kumpulan keputusan yang diambil oleh seorang pelaku atau
suatu kelompok politik, dalam rangka memilih tujuan dan cara
untuk mencapai tujuan itu. Pada prinsipnya pihak yang membuat
kebijakan itu mempunyai kekuasaan untuk melaksanakan
kebijakan-kebijakan yang dibuatnya. Para sarjana ilmu politik
yang memusatkan perhatian pada aspek kebijakan ini,
beranggapan bahwa masyarakat memiliki beberapa tujuan
bersama yang ingin dicapai secara bersama pula. Untuk itu
diperlukan rencana yang mengikat dan dirumuskan ke dalam
kebijakan-kebijakan oleh pihak yang memiliki wewenang. Dengan
menekankan pada aspek kebijakan umum itu, maka “Ilmu Politik
adalah kebijakan pemerintah, proses terbentuknya, serta akibat-
akibatnya”, seperti dikatakan oleh Hoogerwerf; bagi sarjana ini,
kebijakan umum ditafsirkan sebagai kebijakan untuk membangun
masyarakat secara terarah melalui pemakaian kekuasaan.
Barangkali definisi Easton lebih lengkap, ketika dalam bukunya
“The Political Sistem”, ia mengemukakan bahwa “kehidupan
politik mencakup bermacam-macam kegiatan yang mempengaruhi
cara untuk melaksanakan kebijakan itu”. Bagi Easton, seseorang
akan berperan serta dalam kehidupan politik, apabila aktivitasnya
berhubungan dengan pembuatan dan pelaksanaan kebijakan untuk
masyarakat.

D. KOMPROMI DAN KONSENSUS


Politik sering kali dianggap sebagai suatu cara untuk
menyelesaikan sebuah konflik (resolusi konflik) melalui
kompromi dan negosiasi dibandingkan melalui kekuatan atau
aplikasi kekuasaan secara nyata. Menurut Bernard Crick dalam In
Defence of Politics (1993), karena konflik tidak bisa dihindari
maka saat kelompok-kelompok sosial dalam masyarakat yang
bertentangan sama-sama memiliki kekuasaan maka mereka tidak
bisa dihancurkan begitu saja tetapi dapat dipecahkan melalui
kompromi. Politik dalam hal ini dianggap sebagai kekuatan
penuntun menuju keberadaban yang menjauhkan masyarakat dari
pertumpahan darah.
E. PEMBAGIAN DAN ALOKASI
Pembagian (distribution) dan alokasi yang dimaksudkan
adalah pembagian dan penjatahan nilai-nilai (values) dalam
masyarakat. Politik adalah pembagian dan pengalokasian nilai-
nilai secara mengikat. Nilai dalam ilmu-ilmu sosial diartikan
sebagai sesuatu yang dianggap baik dan benar, sesuatu yang
diinginkan, atau sesuatu yang mempunyai harga. Oleh karenanya
ia selalu dikejar oleh manusia untuk dimiliki. Nilai tidak saja
bersifat konkret, seperti: rumah, tanah, maupun bentuk-bentuk
kekayaan materiil yang lain, tetapi juga bersifat abstrak, seperti:
penilaian atasan kepada bawahan, kebebasan berpendapat, atau
kebebasan berorganisasi. Para sarjana yang menitikberatkan pada
aspek pembagian ini, pada umumnya juga menelusuri bagaimana
interaksi yang terjadi dalam masyarakat mempengaruhi dinamika
politik. Harold D. Laswell misalnya, mengemukakan bahwa
“Politik adalah masalah siapa mendapat apa, kapan dan
bagaimana”. Definisi David Easton, dalam bukunya A System
Analysis of Political Life, menyatakan bahwa “Sistem politik
adalah keseluruhan interaksi yang mengatur pembagian nilai-nilai
secara otoritatif (berdasarkan wewenang) untuk dan atas nama
masyarakat.
Demikianlah ilmu politik memang dapat dilihat dari
berbagai segi, sesuai dengan penajaman yang diinginkan oleh
seorang sarjana ilmu politik. Meskipun demikian, tentu lebih
bijaksana apabila kita berpijak pada anggapan bahwa definisi-
definisi yang telah dikemukakan di atas adalah saling melengkapi
satu terhadap yang lain. Sebagai contoh, kajian mengenai Dekrit
Presiden 5 Juli 1959 tentu tidak mungkin hanya dilihat dari segi
tujuan diumumkannya Dektrit itu sendiri (aspek kebijakan umum);
sebaliknya, kajian yang baik dan menyeluruh, mau tidak mau,
akan melihat perimbangan kekuatan-kekuatan politik yang ada
pada waktu itu (aspek kekuasaan dan aspek pembagian). Bagi
sarjana ilmu politik tersedia banyak pilihan; yang penting adalah
bagaimana menggunakan definisi yang sesuai untuk titik-pijak
dalam mengamati gejala-gejala politik yang dikehendaki.
Daftar Pustaka

Budiardjo, Miriam. (1997). Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia


Pustaka Utama.

Miriam Budiardjo (2008),dasar dasar ilmu politik,jakarta, Gramedia pustaka


utama

Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, Jakarta : Rajawali Press,


2013. Hlm. 122

Baron. Robert A, Byrne Donn. 2003. Psikologi sosial edisi kesepuluh. Jakarta:
Penerbit Erlangga

Blog : tarrymunawiru.blogspot.com/2015/01/hubungan-antara-politik-dan-
hukum.html

http://wonkdermayu.wordpress.com/artikel/hubungan-kausalitas-antara-politik-
dan-hukumdi-indonesia

Matulessy, Andik . 2005. Psikologi politik. Surabaya: Dieta persada.

utamitamii.blogspot.com/2012/04/aplikasi-psikologi-sosial-dalam-bidang.html

http://repository.ut.ac.id>1>ISIP
BAB V

I. ASUMSI – ASUMSI POLITIK


Pengertian Asumsi Politik. Asumsi adalah dugaan atau anggapan
sementara yang belum terbukti kebenarannya dan memerlukan
pembuktian secara langsung. Setiap konsep dan teori bermula dari
sejumlah anggapan dasar (asumsi) yang menjadi titik tolak kerangka
berpikirnya. Pandangan fungsional dalam ilmu politik berawal dari
asumsi bahwa masyarakat dan system politik mengandung bagian –
bagian berbeda fungsi. Namun bagian – bagian itu tergantung satu
sama lain.akibatnya masyarakat dan system politik selalu berada
dalam keadaan berkeseimbangan dan konsesus, dank arena itu stabil.
Sebaliknya, pandangan konflik bermula dari asumsi bahwa
masyarakat dan system politik terdiri atas bagian – bagian yang
masing masing memiliki kepentingan yang bertentangan sehinnga
masyarakat berada dalam keadaan ketidakseimbangan dan konflik.atas
dasar itu maka tidak stabil. Jadi salah satu factor penting yang
membedakan suatu teori dari teori yang lain terletak pada asumsi –
asumsi yang mendasarinya. Andrew Heywood sekurangnya
mengajukan 4 asumsi tatkala kata “politik” diucapkan. Keempat
asumsi ini sama-sama diyakini merupakan konteks situasi tatkala kata
politik disebutkan kendati memiliki obyek kajian yang berbeda.
Keempat asumsi tersebut adalah
1. Politik sebagai Seni Pemerintahan
Artinya, politik adalah penerapkan kendali di dalam masyarakat lewat
pembuatan dan pemberdayaan keputusan kolektif. Asumsi ini adalah
yang paling tua dan telah berkembang sejak masa Yunani Kuno.
2. Politik sebagai hubungan publik
Aristoteles dalam bukunya Politics, menyatakan bahwa manusia
adalah binatang politik. Maknanya, secara kodrati manusia hanya
dapat memperoleh kehidupan yang baik lewat suatu komunitas politik.
Lalu, dilakukan pembedaan antara lingkup “publik” dan “privat.”
Kedua lingkup tersebut diperbesar menjadi State (kembangan publik)
dan Civil Society (kembangan privat). Dalam “state” terletak institusi
seperti pengadilan, aparat pemerintah, polisi, tentara, sistem
kesejahteraan sosial, dan sejenisnya, sementara dalam “civil society”
terletak institusi seperti keluarga, kekerabatan, bisnis swasta, serikat
kerja, klub-klub, komunitas, dan sejenisnya.
Masalahnya, masing-masing entitas dalam “civil society” cenderung
mengedepankan kepentingannya sendiri yang kadang berbenturan dengan entitas
civil society lainnya. Dengan demikian, munculah konsep “state” untuk
memoderasi dan meregulasi entitas-entitas sipil tersebut. Dalam konteks
hubungan “state-civil society” inilah asumsi kedua politik diletakkan.

3. Politik sebagai kompromi dan consensus


Sharing atau pembagian kekuasaan adalah asumsi politik sebagai
kompromi dan konsensus. Kompromi dan konsensus dilawankan
dengan brutalitas, pertumpahan darah, dan kekerasan. Dalam politik,
tidak ada pihak yang kepentingannya terselenggarakan 100%.
Masing-masing memoderasi tuntutan agar tercapai persetujuan satu
pihak dengan pihak lain. Baiknya politik suatu negara bilamana
masalah pergesekan kepentingan diselesaikan lewat kompromi dan
konsensus di atas “meja” bukan pertumpahan darah.
4. Politik sebagai kekuasaan
Kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau suatu kelompok untuk
mempengaruhi orang atau kelompok lain guna menuruti kehendaknya.
Dalam konteks politik, kekuasaan yang dirujuk adalah kekuasaan
sosial, yaitu produksi, distribusi dan penggunaan sumber daya suatu
masyarakat. Dalam asumsi ini, politik dilihat sebagai penggunaan
“kapital” (yaitu kekuasaan) dalam konteks produksi, distribusi, dan
penggunaan sumber daya tersebut.

Asumsi Asumsi yang mendasari konseptual

1. Setiap masyarakat menghadapi kelangkaan dan keterbatasan sumber


sumber,sehingga konflik timbul dalam proses penentuan distribusi.
2. Kelompok yang dominan dalam masyarakat ikut serta dalam proses
pendistribusian dan pengalokasian sumber sumber melalui keputusan
politik sebagai upaya menegakan pelaksanaan keputusan politik.
3. Pemerintah mengalokasikan sumber – sumber yang langka pada beberapa
kelompok dan individu ,tetapi mengurangi atau tak mengalokasikan
sumber – sumber itu kepada kelopok dan individu yang lain.oleh karena
itu kebijakan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah tidak akan pernah
menguntungkan semua pihak.
4. Ada tekanan teknan terus meneru untuk mengalokasikan sumber sumber
yang langka berupa petisi,demonstrasi,protes dan huru hara.
5. Karena meluasnya tekanan – tekanan, kelompok atau individu yang
mendapatkan keuntungan dari pola distribusi sumber yang ada berupaya
keras untuk mempertahankan struktur yang menguntungkan.
6. Makin mampu penguasa menyakinkan masyarakat umum bahwa sistem
politik yang ada memiliki keabsahan(legitimasi),makin mantap
kedudukan penguasa dan kelompok yang diuntungkan dalam perjuangan
mereka menghadapi golongan yang menghendaki perubahan
7. Politik tetap merupakan the art of the possible
8. Dalam politik tidak ada yang serba gratis.

II. PENDEKATAN TRADISIONAL


Pendekatan ini mulai berkembang pada abad ke-19 pada masa
sebelum perang dunia II. Pada pendekatan ini negara menjadi fokus
utama, terutama konstitusional dan yurisidisnya. Bahasan pendekatan
ini menyangkut sifat dari Undang-Undang Dasar, masalah kedaulatan,
kedudukan dan kekuasaan formal serta yuridis dari lembaga-lembaga
kenegaraan seperti parlemen, badan eksekutif, dan badan yudikatif.
Dengan demikian pendekatan tradisional ini mencakuo baik unsur
legal maupun unsur institusionaL. Mempelajari parlemen dengan
pendekatan ini maka yang akan dibahas adalah kekuasaan serta
weenang yang dimilikinya seperti tertuang dalam naskah – naskah
atau hasil karya. Pendekatan ini lebih sering bersifat normatif dengan
mengasumsikan norma-norma demokrasi barat serta negara lebih di
artikan sebagai suatu badan dari norma-norma konstitusional yang
formal. Contoh pendekatan ini adalah karya R.Kraneburg,yang
berjudul Algemene Staatsleer,yang terjemahannya telah lama beredar
di Indonesia dengan judul Ilmu Negara Umum.bahasan biasanya
terbatas pada Negara – Negara demokrasi barat,seperti
inggris,amerika,perancis,belanda dan jerman.
Sementara itu pada pertengahan dasawarsa 1930-an beberapa
sarjana di amerika mulai mengemukakan suatu pandangan yang lebih
melihat politik sebagai kegiatan atau proses,dan Negara sebagai
sarana perebutan kekuasaan antara berbagai kelompok dalam
masyarakat. Di amerika pandangan baru ini memang lebih mudah
dapat diterima karena keadaan sosial banyak berbeda dengan keadaan
di eropa.dengan demikian dapat dipahami bahwa pendekatan ini
kurang memberi peluang bagi terbentuknya teori - teori baru. Akan
tetapi penelitian mengenai kekuasaan dalam praktknya sangat sukar
untuk dilaksanakan dan kurang dapat berkembang pada masa itu.
Sekalipun demikian ,pandangan untuk memusatkan perhatian pada
kekuasaan membuka jalan bagi timbulnya pendekatan lain yang lebih
bersifat fungsional.
III. PENDEKATAN PERILAKU
Pendekatan prilaku timbul dan mulai berkembanf di amerika
pada tahun 1950-an seusai perang dunia II..
Adapun sebab munculnya pendekatan ini yaitu:
a. Sifat deskriptif dari ilmu politikdianggap tidak memuaskan
b. Ada kekhawatiran bahwa jika ilmu politik tidak akan maju
dengan pesat
c. Di kalangan pemerintah amerika tealh muncul keraguan
mengenai kemampuan para sarjana ilnu politik untuk
menerangkan fenomena politik. Pendekatan ini tidak
menganggap lembaga-lembaga formal sebagai sentral atau
actor independen, tetapi sebagai kerangka.
Salah satu pemikiran pokok dari pendekatan perilaku ialah
bahwa tidak ada gunanya membahas lembaga lembaga
formal,karena pembahasan seperti itu tidak banyak memberi
informasi mengenai proses politik yang sebenarnya.
Sebaliknya ,lebih bermanfaat untuk mempelajari perilaku
manusia karena merupakan gejala yang benar benar dapat
diamati. Pendekatan ini tidak menganggap lembaga – lembaga
formal sebagai titik sentralbatau sebagai actor yang
independen,tetapi hanya sebagai kerangka bagi kegiatan
manusia.
Konsep pokok pendekatan perilaku yang diuraikan David
Easto (1962)dan Albert Somit (1967)
i. Perilaku menampilkan keteraturan (regularities)yang
perlu dirumuskan sebagai generalisasi – genralisasi
yang kemudian dibuktikan atau diverifikasi
kebenarannya.proses verifikasi ini dilakukan melalui
pengumpulan dan analisis data yang dapat diukur atau
dikuantifikasikan antara lain melalui statistic dan
matematika.
ii. Harus ada usaha membedakan secara jelas antara
norma(idealatau standar sebagai pedoman untuk
perilaku) dan fakta (sesuatu yang dapat dibuktikan
berdasarkan pengamatan dan pengalaman).Analisis
politik tidak boleh dipengaruhi oleh nilai – nilai pribadi
si peneliti;setiap analisis harus bebas – nilai,sebab
benar/tidaknya nilai – nilai.
iii. Penelitian harus sistematis dan menuju pembentukan
teory
iv. Ilmu politik harus bersifat murni (pure science);kajian
terapan untuk mencari penyelesaian masalah.

Daftar Pustaka

Miriam budhiarjo,dasar dasar ilmu politk,2008,Jakarta,Gramedia Utama

Ramlan surbakti,memahami ilmu politik,2010,Jakarta,Gramedia Widiasarana


Indonesia

http://www.academia.edu/4728319/pendekatan_dalam_ilmu_politik

dunsarwere.blogspot.com/2015/08/4-asumsi-politik.html

BAB VI
I. PENDEKATAN PANCASILA
Pendekatan pasca tingkah laku adalah sebuah pendekatan yang
memiliki dua tuntutan utama yaitu relevansi dan tindakan, berbeda
dengan pendekatan sebelumnya yaitu pendekatan tingkah laku yang
tuntutan utamanya adalah akan adanya dikotomi antar nilai dan fakta
yang menekankan untuk mendahulukan kerja keras dan pengalaman,
baru kemudian masalah relevansi. Perbedaan yang mendasar ini
tentunya telah memacu ilmuwan ilmu politik tingkah laku dan
kalangan lainnya untuk membenahi pendekatan ini agar lebih sesuai
dengan kebutuhan masyarakat. Masyarakat dan lingkungan sekitar
pada saat itu ternyata bukanlah menjadi tuntutan utama yang mana
terjadi krisis dalam kehidupan seperti krisis sosial, ekonomi, dan
politik. Para ilmuwan menghasilkan banyak teori yang tidak sesuai
dan tidak sejalan dengan apa yang terjadi. Hal ini terjadi karena
adanya kecenderungan dari ilmuwan untuk memajukan ilmu politik
dengan menghasilkan teori dan memajukan metode kuantifikasinya
dengan tujuan yang ilmiah. Relevansinya dengan kebutuhan
masyarakat dan orientasinya pada teknik (kuantifikasi) inilah yang
melatarbelakangi lahirnya pendekatan pasca tingkah laku. Asumsi
masyarakat yang muncul adalah seharusnya produk dari pendekatan
ini seperti teori dan metode mampu untuk mengadvokasi masyarakat.
Perang Vietnam yang terjadi pada saat itu memunculkan pertanyaan
dari banyak ilmuwan pendekatan tingkah laku. Ternyata, kuantifikasi
tidak selalu menjadi solusi meski didukung dengan data dan indikator.
Kuantifikasi tidak bisa mengukur hal-hal lain yang tidak bewujud
dalam angka seperti faktor ideologi dan semangat yang menjadi
intisari dari perang Vietnam. Ilmuwan tidak bisa mengukur dua hal
tersebut meski sudah memperhitungkan dengan matang faktor lain
seperti jumlah peluru, jumlah personil perang, dan lainnya.
Sebelum membahas tentang pendekatan pasca tingkah laku,
dalam makalah ini pertama – pertama akan menjelaskan sedikit
tentang pendekatan tingkah laku . awalanya pendekatan tingkah laku
muncul dan berkembang di Amerika pasca perang dunia kedua dan
pokok pemikiran dari pendekatan ini adalah lembaga formal bukan
sesuatu yang perlu dibahas karena hal tersebut tidak memberikan
informasi mengenai proses politik tapi lebih bermanfaat untuk
mempelajari perilaku manusia karena merupakan gejala yang dapat
diamati.[1] Salah satu pelopor dari pendekatan ini adalah Gabriel
almond . disisi lain terdapat juga kritik dari berbagai pihak terhadap
pendekatan ini . contohnya adalah pedekatan tradisional yang masih
mempertahankan hal – hal yang lama dimana pendekatan tersebut
sangat kontadiktif dengan pendekatan tingkah laku sendiri yang
cenderung melihat kedepan atau future oriented dan terdapat beberapa
perbedaan lain diantara kedua pendekatan teersebut, selain dari
pendekatan tersebut muncul pula reaksi dari sebuah gerakan yang
dinamakan revolusi pasca perilaku gerakan ini muncul di amerika
pada pertengahan decade enam puluahan dan mencapai puncaknya
pada saat perang Vietnam dan Amerika. Kecamaan ini muncul karena
pendekatan perilaku memiliki banyak masalah salah satunya adanya
diskriminasi ras dan hal tersebut tidak diselesaikan oleh para penganut
pendekatan perilaku. Menurut penganut pasca perilaku, para penganut
perilaku telah gagal dalam menyelesaikan masalah yang timbul dari
perang Vietnam tersebut oleh karena itu gerakan pasca perilaku ini
mencanangkan perlunya sebuah relevansi dan tindakan. Bibit
terjadinya perang tersebut awalnya karena para ilmuwan, kaum
militer, dan para politisi di Amerika tidak mengetahui keberadaan
Vietnam mereka sama sekali dan tidak mengenal negara tersebut.
Masyarakat Amerika juga menganggap bahwa Vietnam adalah negara
yang mudah untuk dipermainkan. Hal ini disebabkan oleh penjajahan
sebelumnya yaitu oleh Prancis yang terttutup dan sikap tidak peduli
terhadap Asia dan sejarah membuat Amerika tidak menyadari bahwa
Vietnam termasuk negara tua dengan sejarahnya sendiri. Vietnam
awalnya memang dikuasai oleh China baik itu sejarah, kondisi fisik,
tanah , dan kultur bangsanya. Vietnam yang mendapat kemerdekaan
cukup lama membuat seringnya terjadi persaingan internal dan
perbutan dominasi oleh para tokohnya sendiri, konflik internal ini
yang kembali membuat kepentingan masuk dikawasan ini. Adanya
perkembangan pendekatan moderat dan revolusioner yang terlihat
setelah perang dunia II dan terbentuknya Vietnam Utara dan Vietnam
Selatan dan kecenderungan politik masing – masing. Perbedaan
inilah yang menimbulkan bibit – bibit perang Vietnam dan membuat
Amerika ikut campur dan melibatkan diri sepenuhnya dalam perang
tersebut.
David Easton yang merupakan tokoh politik dan salah satu
ilmuwan perilaku mulai mempertanyakan keadaan pendekatan
behavioral itu sendiri. Terutama pada saat terjadi perang antara
Vietnam dan Amerika, dimana pada saat itu terjadi perpecahan
internal, perang saudara dan juga adanya aturan – aturan bersifat
otoriter yang menggawat di Amerika.[2] kejadian yang seperti ini
yang tak pernah diramalkan oleh para ilmuwan politik penganut
pendekatan perilaku. Seperti yang diketahui, bagaimana mungkin
penelitian yang harusnya bersifat empirik tersebut tidak
memperhatikan masalah – masalah sosial yang sebegitu parahnya.
Apa gunanya mengembangkan teknologi canggih apabila para
ilmuwan politik sendiri tidak mampu mengatasai masalah sosial pada
waktu itu. Pendekatan perilaku mendapat kritikan dari David Easton.
Easton juga pernah menguraikan beberapa karakter utama pendekatan
pasca perilaku didalam tulisannya “the new revolution in political
science” yang bernama credo of relevance , pokok – pokok dari
tulisannya itu yaitu yang pertama , pendekatan perilaku secara
terselubung bersifat konservatif karean terlalu menekankan
keseimbangan terhadap suatu sistem dan memberi peluang untuk
perubahan. Kedua dalam penelitian empiris dan kuantitatif, ilmu
politik menjadi sangat abstrak dan tidak relevan dalam masalah
social.relevansi terhadap problema – problema yang dihadapi
masyarakat lebih penting disbanding kecermatan. Ketiga, penelitian
tidak boleh menghilangkan nilai – nilai tapi perlu mendapat
bahasan,dengan kata lain ilmu tidak bisa netral dalam evaluasinya.
Keempat, para cendekiawan harus mempunyai tugas yang historis dan
unik untuk melibatkan diri dalam usaha mengatasi masalah social dan
mempertahankan nilai – nilai kemanusiaan. Kritik Terhadap
Pendekatan Pasca Tingkah Laku
Pendekatan pasca tingkah laku muncul dengan latar belakang di
akhir tahun 1960an, David Easton yang merupakan pencetus general
system theory mulai mempertanyakan pendekatan perilaku.
Pendekatan ini juga lahir dari adanya kritik-kritik pada pendekatan
tingkah laku mengenai tiga preposisi utama dari pendekatan tingkah
laku itu sendiri yaitu (1) unit analisis ditekankan pada individu yang
terlepas dari kelompok atau institusi; (2) fakta harus dipisahkan dari
nilai; dan (3) penjelasan mengenai legitimasi selalu dimaknai dalam
lingkup hukum dan konstitusi—secara umum—namun tidak pernah
dimaknai dalam lingkup pernyataan deskriptif dalam fakta-fakta yang
terjadi.
• Keberatan terhadap klaim positivis bahwa pernyatan yang
bukan definisi (tautologis yang bermanfaat) dann tidak empiris
itu tidak bermakna. Kritik ini menekankan pada tidak akan
adanya peran bagi teori normatif, estetika, atau heurmenitika
dalam analisis politik dan sosial. Sebaliknya, mereka akan
membuktikan bahwa pendekatan ini menghaasilkan suatu
bentuk pengetahuan atau pemahaman yang berbeda.
• Tendensi ke arah empirisme yang kurang intelektual. Petama,
pendekatan tingkah laku memiliki tendensi untuk menekankan
apa yang dapat dengan mudah diukur, daripada apa yang
mungkin akan penting secara teoritis. Permasalahannya, jenis
kritisme ini akan selalu mudah untuk dibuat dalam arti bahwa
apa yang bagi seseorang bersifat remeh, bisa jadi dianggap
mendalam bagi orang lain. Kedua, penelitian pendekatan
tingkah laku muncul dari fokus yang terlalu empiris, dimana
kecenderungan untuk berkonsentrasi pada fenomena yang
telah di observasi—seperti pemungutan suara—dibanding
pada kekuatan struktural yang lebih halus, lebih mendalam,
yang memajukan stabilitas dan perubahan dalam sistem sosial
dan politik.
• Anggapan indepedensi teori dan observasi.[6] Hal ini muncul
karena pada awalnya, orang-orang tingkah laku era awal
memproklamirkan pendekatan mereka terhadap penyelidikan
sosial sebagai sesuatu yang “ilmiah” dan “bebas nilai”. Mereka
tidak sedang berusaha mencari pembenaran bagi suatu
pendirian etis atau politik tertentu. namun mereka sekedar
berusaha membongkar fakta lewat observasi yang tidak berat
sebelah atau tidak bias. Mereka berusaha netral dalam
menjelaskannya secara politik.

Istilah New revolution in political science yang muncul pada


tahun 1960 ini disebut-sebut sebagai directed against a
developing behavioral orthodoxy dimana pendekatan tingkah
laku dianggap sebagai a successful protest[7] oleh Robert A.
Dahl. Hal utama dari revolusi ini adalah yang pertama,
ilmuwan politik kontemporer Amerika mulai merasakan
adanya sesuatu yang tidak relevan dalam kecenderungan
politik dengan mengejar kesempurnaan dalam metodologi.
Kedua, istilah bebas nilai yang menjadi gagasan utama dari
para ilmuwan pendekatan pasca tingkah laku dirasa tidak
dimungkinkan seratus persen murni bebas nilai. Kritik yang
datang dari para ilmuwan pendekatan tingkah laku sendiri ini
muncul dan meragukan bahwa pekerjaan ini akan selalu
dipengaruhi oleh penilaian dan judgements personal dimana
persepsi ini akan dipengaruhi oleh situasi status quo yang
terjadi di Amerika Serikat yang pada saat itu tengah salah
dalam menyampaikan gambaran kehidupan politik dan
demokrasi.
Pendekatan tingkah laku yang terlalu mendepankan
metode kuantifikasi memperlihatkan ilmuwan politik pada saat
itu cenderung untuk melestarikan keilmiahan dari Ilmu Politik
saja dengan menghasilkan banyak teori. Metode kuantifikasi
ini membuat ilmuwan menganggap dirinya sebagai murni
peneliti. Kritik datang pada ilmuwan politik tingkah laku,
mereka dianggap tidak memperhatikan fenomena sosial yang
terjadi di sekeliling mereka seperti adanya diskriminasi,
dominasi, dan kemiskinan. Mereka hanya fokus pada proses
yang terjadi seperti sistem yang terdapat dalam sistem politik
dalam kotak konversi dimana yang dipentingkan adalah respon
(input) dan hasil (output) saja. Sebagai contoh, peneliti
memandang negara adalah murni sebatas negara yang netral
dan steril dalam menjalani urusan kenegaraan. Faktanya,
negara belum tentu selalu netral dan bebas nilai. Inilah yang
luput dari ilmuwan tingkah laku, mereka terlalu bebas nilai
dan menyadari sebuah fenomena dengan pemahaman sebatas
sebagai kejadian yang memang terjadi dan tidak berusaha
untuk mengatasi permasalahan yang muncul pada fenomena
tersebut dan tidak menyesuaikan dengan kebutuhan dan
keadaan masyarakat.
Ilmuwan pendekatan tingkah laku yang beralih menjadi
ilmuwan pasca tingkah laku menyadari akan kelemahan yang
telah terjadi atas pemikiran ulang dari para ilmuwan tingkah
laku mengenai pendekatan-pendekatan yang dinilai dangkal
dan seringkali tidak relevan ini. mereka menyadari akan
keterlibatannya dalam pembuatan beberapa paradigma,
kerangka konseptual, model-model, teori-teori, dan meta teori.
Padahal, seperti yang sudah disebutkan tadi, dunia
sesungguhnya tengah menghadapi krisis-krisis sosial,
ekonomi, dan budaya yang kian parah sedangkan mereka
bekerja dengan tekun dalam perpustakaan kampus universitas
yang ekslusif, membentuk sebuah menara gading. Pendekatan
tingkah laku yang begitu fokus pada metode penelitian
kuantifikasi seperti masalah-masalah stabilitas, ekuilibrium
dengan didasarkan pada skala-skala, indeks-indeks, dan
teknik-teknik khusus untuk mengumpulkan data dan
menganalisa data menimbulkan kesadaran sendiri dalam
penelitian. Penelitian dengan pengembangan teknik-teknik
yang memadai serta peralatan riset yang canggih nyatanya
tidak mampu memahami masalah sosial dan politik yang
terjadi pada saat itu, bahkan mereka tidak berhasil memberikan
sumbangan pemikiran untuk memecahkan masalah tersebut.
Terlalu fokusnya pada metode kuantifikasi dan statistik
menyadarkan mereka akan tidak semua hal bisa diukur dengan
angka. Metode kuantifikasi bukanlah menjadi tujuan utama
dalam pemecahan suatu masalah sosial, tapi hanya menjadi
alat untuk menganalisa data dan membantu pemecahan
masalah.[10] David Easton sempat menanyakan kembali apa
yang telah dilakukannya selama ini berserta dengan para
ilmuwan lainnya, “tidakkah kita berkewajiban
memperhitungkan kondisi-kondisi yang berubah dan selalu
siap dan mau mempertimbangkan kembali bayangan-bayangan
yang lama dan memodifikasinya bila perlu?” seperti yang
dikutip dari Varma.
Kritik utama pendekatan tingkah laku ini hal mendasar
kembali ke filsafat ilmu pengetahuan dimana sebuah ilmu
haruslah berguna bagi masyarakat, dimana para ilmuwan
tingkah laku ini melihat sebuah gejala dangan statis padahal
fenomena yang terjadi merupakan sesuatu yang dinamis, yang
selalu berubah. Teori-teori yang banyak dihasilkan oleh
ilmuwan tidak memikirkan bagaimana proses dan cara
kerjanya atau solusi dari sebuah teori tersebut atas fenomena
yang terjadi. Munculnya pendekatan pasca tingkah laku
adalah sebagai sebuah penerimaan dari apa-apa yang telah
dicapai oleh pendekatan tingkah laku, tetapi berusaha untuk
mendorong ilmu politik lebih jauh lagi, ke arah suatu
cakrawala baru. Berbeda dengan pendekatan tradisional yang
sepenuhnya menolak validitas pendekatan yang menekankan
pada prilaku dan selalu mengulang kembali pada klasik ilmu
politik. Pasca tingkah laku berusaha untuk melengkapi dari
yang sudah dicapai dari masa lalu daripada sekedar
menolaknya yang digagas oleh ilmuwan politik dari segala
macam pandangan seperti konservatif atau ekstrim kiri.
Semuanya berangkat dari sebuah keyakinan yaitu
ketidakpuasaan yang mendalam terhadap arah penelitian
politik pada masa itu.
Kesimpulan

Pendekatan pasca tingkah laku adalah sebuah pendekatan


yang masih menumpuk sejumlah perdebatan. Ia menjadi sebuah
pendekatan yang dianggap “komplit” yang muncul karena adanya
ketidaksesuaian dan antara teori yang dihasilkan dengan
kebutuhan masyarakat secara nyata ini menjadi salah satu faktor
utama yang menjadi kritikan (relevansi). Pendekatan ini juga
muncul karena adanya fokus yang berlebih dari ilmuwan pada saat
itu pada metode kuantifikasi yang ilmiah sekali seperti factor
analysis, cross tabulation, korelasi, dan metode berbasis data dan
angka lainnya. Hal ini tidak sesuai dengan fenomena masyarakat
yang terjadi dan membuat ilmuwan berdiam diri dalam menara
gadingnya. Ilmuwan menyadari adanya masalah yang terjadi tapi
tidak terpanggil untuk membenahinya. Mereka menjadi ilmuwan
yang dengan pendekatan ini sebagai ilmuwan bebas nilai. Prinsip
bebas nilai ini juga kelak mendapat kritikan karena dinyatakan
tidak mungkin untuk selalu bebas nilai. Pasti akan ada penilaian
personal dari ilmuwan itu sendiri. Pendekatan pasca tingkah laku
ini menjadi sebuah pendekatan yang memiliki kelemahan
metodologis pada akhirnya. ia tidak berhasil merumuskan sebuah
teori-teori politik yang baku yang masih menuai perdebatan. hal
ini merupakan sebuah konsekuensi dari proses pensempurnaan
pendekatan sebelumnya.
 Pendekatan Fasisme

Fasisme adalah ideologi yang berdasarkan pada prinsip


kepemimpinan dengan otoritas absolut di mana perintah
pemimpin dan kepatuhan berlaku tanpa pengecualian.
Pasukan dengan otoritas (atau militer) menjadi sangat
penting dalam ideologi fasis, karena ideologi ini selalu
membayangkan adanya musuh, sehingga pemimpin dan
militer harus kuat menjaga negara. Gerakan ini memiliki
satu tujuan: menghancurkan musuh, dimana musuh
dikonstruksikan dalam kerangka konspirasi atau ideologi
lain. Dalam pola pikir fasis, musuh berada di mana-mana
baik di medan perang maupun dalam bangsa sendiri
sebagai elemen yang tidak sesuai dengan ideologi fasis.
Dalam ideologi fasis, akibatnya adalah individualitas
manusia hilang, dan pengikut menjadi massa yang seragam
dimana individu hanya menjadi alat untuk mencapai tujuan
gerakan fasis tersebut. Gerakan fasis termasuk adalah
gerakan radikal ideologi nasionalis otoriter politik. Dalam
ideologi fasis, massa tak boleh mempunyai identitas yang
beragam dan wajib seragam. Individualitas hilang karena
kebhinekaan dilarang, hancurnya identitas individu
berdampak massa mengambang yang dengan dipimpin
oleh pemimpin karismatik dengan kekuasaan absolut.

Ciri-ciri ideologi fasis

i. Kepemimpinan otoritas absolut, pengikut menjadi


massa yang seragam.
ii. Gerakan militerisme penting, karena fasisme selalu
membayangkan negara dalam keadaan bahaya dan
musuh dimana-mana.
iii. Musuh dikonstruksi dalam sebuah kerangka
konspirasi atau ideologi.
iv. Ideolgi identitas dimana sebuah unsur harus murni,
yaitu bebas unsur-unsur yang mengangap sebagai
unsur yang tidak asli.
Ekonomi dalam negara fasis
Dalam negara fasis biasanya struktur ekonomi
kapitalis berjalan dengan menempatkan manusia
sebagai alat pembangunan negara. Elit politik dan
elit ekonomi bekerja sama dan ideologi bangsa
ultra nasionalis membuat warga biasa tidak sadar
atau tidak peduli hierarki ekonomi-politik.
Mereka menganjurkan pembentukan partai tunggal
negara totaliter yang berusaha mobilisasi massa
suatu bangsa dan terciptanya "manusia baru" yang
ideal untuk membentuk suatu elit pemerintahan
melalui indoktrinasi, pendidikan fisik, dan
termasuk eugenika kebijakan keluarga. Fasis
percaya bahwa bangsa memerlukan kepemimpinan
yang kuat, identitas kolektif tunggal, dan
kemampuan untuk melakukan kekerasan dan
berperang untuk menjaga bangsa yang kuat.
pemerintah Fasis melarang dan menekan oposisi
terhadap negara.
Gerakan fasisme di dunia

I. ITALIA
Fasisme didirikan oleh sindikalis nasional Italia dalam Perang
Dunia I yang menggabungkan sayap kiri dan sayap kanan pandangan
politik, tetapi condong ke kanan di awal 1920-an. Para sarjana
umumnya menganggap fasisme berada di paling kanan. Fasis
meninggikan kekerasan, perang, dan militerisme sebagai memberikan
perubahan positif dalam masyarakat, dalam memberikan renovasi
spiritual, pendidikan, menanamkan sebuah keinginan untuk
mendominasi dalam karakter orang, dan menciptakan persaudaraan
nasional melalui dinas militer . Fasis kekerasan melihat dan perang
sebagai tindakan yang menciptakan regenerasi semangat, nasional dan
vitalitas. Fasisme adalah anti-komunisme, anti-demokratis, anti-
individualis, anti-liberal, anti-parlemen, anti-konservatif, anti-borjuis
dan anti-proletar, dan dalam banyak kasus anti-kapitalis Fasisme.
menolak konsep-konsep egalitarianisme, materialisme, dan
rasionalisme yang mendukung tindakan, disiplin, hierarki, semangat,
dan keinginan. Dalam ilmu ekonomi, fasis menentang liberalisme
(sebagai gerakan borjuis) dan Marxisme (sebagai sebuah gerakan
proletar) untuk menjadi eksklusif ekonomi berbasis kelas gerakan
Fasis ini. Ideologi mereka seperti yang dilakukan oleh gerakan
ekonomi trans-kelas yang mempromosikan menyelesaikan konflik
kelas ekonomi untuk mengamankan solidaritas nasional Mereka
mendukung, diatur multi-kelas, sistem ekonomi nasional yang
terintegrasi.

II. ETIMOLOGI
Fascismo adalah istilah yang berasal dari kata Latin "fasses"
(ejaan Romawi: fasces). Fasses, yang terdiri dari serumpun batang
yang diikatkan di kapak adalah simbol otoritas hakim sipil Romawi
kuno, dan juga berarti kejayaan "Ass". Mereka dibawa oleh para liktor
dan dapat digunakan untuk hukuman fisik dan modal berdasarkan
perintah-Nya. Kata fascismo juga terkait dengan organisasi politik di
Italia dikenal sebagai fasci, kelompok mirip dengan serikat kerja atau
sindikat. Simbolisme fases menyarankan kekuatan melalui kesatuan:
sebuah batang tunggal adalah mudah patah, sedangkan rumpunan
akan sulit untuk mengalami perpecahan. Simbol serupa dikembangkan
oleh gerakan fasis yang berbeda. Misalnya simbol Falange yang
berbentuk sekelompok anak panah yang bergabung bersama oleh
sebuah kuk.
Definisi

Sejarawan, ilmuwan politik dan para sarjana lainnya kaya lama


diperdebatkan sifat yang tepat dari fasisme. Setiap bentuk fasisme adalah
berbeda, meninggalkan banyak definisi terlalu lebar atau sempit. Sejak 1990-an,
para sarjana termasuk Stanley Payne, Roger Eatwell, Roger Griffin dan Robert O.
Paxton telah mengumpulkan sebuah konsensus kasar pada prinsip-prinsip inti
ideologi. Untuk Griffin, fasisme adalah "bentuk, benar-benar revolusioner trans-
kelas anti-liberal, dan dalam analisis terakhir, nasionalisme anti-konservatif"
dibangun di berbagai kompleks pengaruh teoretis dan budaya. Ia membedakan
periode antar-perang yang terwujud dalam elit yang dipimpin tetapi populis
"bersenjata partai" politik menentang sosialisme dan liberalisme dan politik
radikal yang menjanjikan untuk menyelamatkan bangsa dari dekadensi. Paxton
melihat fasisme sebagai "keasyikan obsesif dengan penurunan masyarakat,
penghinaan atau menjadi korban dan dengan kultus-kultus kompensasi persatuan,
energi dan kemurnian". Dalam interpretasi Paxton's, fasis adalah "militan
nasionalis berkomitmen", bekerja gelisah bersama elit tradisional dan
meninggalkan kebebasan demokratis dalam mengejar "pembersihan internal"
atau perluasan wilayah.

Salah satu definisi umum fasisme berfokus pada tiga kelompok ide:
negations fasis yang anti-liberalisme, anti-komunisme dan anti-konservatisme,
nasionalis, otoriter tujuan untuk menciptakan struktur ekonomi yang diatur untuk
mengubah hubungan sosial dalam modern, self- ditentukan budaya, estetika
politik menggunakan simbolisme romantis, mobilisasi massa, pandangan positif
kekerasan, promosi maskulinitas dan pemuda dan kepemimpinan karismatik atau
juga bisa di sebut fasisme sebagai sebuah sistem filsafat. Posisi dalam spektrum
politik Fasisme biasanya digambarkan sebagai ideologi yang dinempatkan pada
spektrum politik konvensional kiri-kanan. Ada sebuah konsensus ilmiah bahwa
fasisme dipengaruhi oleh baik kiri dan kanan, konservatif dan anti -konservatif,
nasional dan supranasional, rasional dan anti-rasional. Sejumlah sejarawan telah
dianggap fasisme baik sebagai doktrin sentris revolusioner, sebagai sebuah
doktrin yang Mixes filsafat kiri dan kanan, atau sebagai kedua hal tersebut. Ada
faksi dalam Fasisme Italia pada kedua sisi kiri dan kanan. Akomodasi hak politik
menjadi Fasisme di awal 1920-an menyebabkan terciptanya sejumlah faksi
internal dalam gerakan Fasis Italia. "Kiri Fasis" termasuk Angelo Oliviero
Olivetti, Sergio Panunzio, dan Edmondo Rossoni, yang berkomitmen untuk
memajukan sindikalisme nasional sebagai pengganti liberalisme parlemen dalam
rangka untuk memodernisasi ekonomi dan memajukan kepentingan pekerja dan
masyarakat umum. Yang "benar Fasis" termasuk anggota paramiliter fasis
"Squadristi" dan mantan anggota Asosiasi Nasionalis Italia (ANI) Squadristi
ingin mendirikan fasisme sebagai sebuah kediktatoran lengkap,. sedangkan ANI
mantan anggota, termasuk Alfredo Rocco , mencari negara korporatis otoriter
untuk menggantikan negara liberal di Italia, sementara tetap mempertahankan
elite yang ada. Ada faksi-faksi juga lebih kecil di dalam gerakan Fasis Italia,
seperti "Fasis ulama" yang berusaha untuk mengalihkan fasisme Italia dari anti-
akar Katolik untuk menerima Katolik. Ada juga "Fasis monarki" yang berusaha
untuk menggunakan fasisme untuk membuat sebuah monarki absolut di bawah
Raja Victor Emmanuel III dari Italia. Sejumlah gerakan fasis menggambarkan
diri mereka sebagai "kekuatan ketiga" di luar spektrum politik tradisional
Mussolini dipromosikan. Ambiguitas tentang posisi fasisme dalam rangka untuk
rally banyak orang itu mungkin, mengatakan fasis dapat "bangsawan atau
demokrat, revolusioner dan reaksioner, kaum proletar dan anti-proletarian, pasifis
dan anti-pasifis". Mussolini menyatakan sistem ekonomi yang Fasisme Italia
korporatisme dapat diidentifikasi sebagai kapitalisme negara atau sosialisme
negara, yang dalam kedua kasus terlibat" birokratisasi dari kegiatan ekonomi
bangsa "dijelaskan. Mussolini fasisme dalam bahasa apapun ia menemukan
berguna. Spanyol Falangist pemimpin José Antonio Primo de Rivera adalah kritis
dari kedua politik sayap kiri dan sayap kanan, sekali mengatakan bahwa "pada
dasarnya Hak berdiri untuk memelihara struktur ekonomi, meskipun salah satu
yang tidak adil, sedangkan Waktu singkatan dari upaya untuk menumbangkan
bahwa struktur ekonomi, meskipun subversi daripadanya akan memerlukan
penghancuran banyak hal yang bermanfaat".

Sudut pandang kontemporer luar

Awalnya fasisme dan Fasis Italia pada khususnya sangat populer di dunia,
sampai Perang Dunia II dan kekalahan kekuatan Poros. Winston Churchill
mendukung rezim Fasis Italia hingga akhir 1937, mengklaim bahwa Mussolini
memiliki kualitas yang kuat yang dijaga Italia dari ancaman komunisme, yang
sepadan dengan pengorbanan kebebasan Pan-Afrika nasionalis Marcus Garvey
sekali. mengklaim bahwa ia adalah pertama fasis dan menyatakan ia
menghormati asal usul kelas bawah Mussolini dan Adolf Hitler. Franklin D.
Roosevelt, sebelum Perang Italo-Ethiopia Kedua, mengatakan bahwa ia "tetap
berhubungan dengan pria yang mengagumkan", merujuk untuk Mussolini.
Mohandas Gandhi bepergian ke Italia untuk bertemu Mussolini pada bulan
Desember 1931 dengan maksud berusaha untuk menyebarkan nilai kedamaian.

Fasis sebagai julukan


Setelah kekalahan kekuatan Poros dalam Perang Dunia II, istilah fasis telah
digunakan sebagai kata merendahkan, sering merujuk pada gerakan yang sangat
beragam di seluruh spektrum politik. Dalam wacana politik, istilah "fasis" adalah
umum digunakan untuk menunjukkan kecenderungan otoriter, tetapi sering kali
digunakan sebagai julukan peyoratif oleh penganut politik kedua sayap kiri dan
sayap kanan untuk merendahkan mereka dengan sudut pandang yang berlawanan.
George Orwell menulis pada tahun 1944 bahwa "'Fasisme' kata hampir
seluruhnya berarti … hampir semua orang Inggris akan menerima 'pengganggu'
sebagai sinonim untuk 'fasis'". Richard Griffiths pada tahun 2005 berpendapat
bahwa "fasisme" adalah "yang paling disalahgunakan, dan kata lebih-digunakan,
pada zaman kita". "Fasis" kadang-kadang diterapkan pada organisasi pasca-
perang dan cara berpikir yang akademisi lebih umum istilah "neo-fasis".

Digunakan dalam dan terhadap Komunisme

Berlawanan dengan mainstream umum penggunaan akademis dan populer


dari, istilah negara komunis kadang-kadang disebut sebagai "fasis". Interpretasi
Marxis istilah miliki, misalnya, telah diterapkan dalam kaitannya dengan Kuba di
bawah Fidel Castro dan Vietnam di bawah Ho Chi Minh . Herbert Matthews dari
New York Times bertanya "Haruskah kita sekarang tempat Rusia Stalinis di
kategori yang yang sama Orang fasis Jerman? Haruskah kita mengatakan bahwa
dia Fasis ". J. Edgar Hoover menulis secara ekstensif dari"? Red Fasisme ".
Marxis Cina menggunakan istilah itu untuk mengecam Uni Soviet selama Split
Sino-Soviet, dan juga, Soviet menggunakan istilah untuk mengidentifikasi
Marxis Cina.

Sejarah penyebab dan pengembangan

Fusi nasionalisme dan Sorelianisme serta pemecahan terakhir (1907–1914).


Unsur kunci dalam penciptaan fasisme adalah perpaduan dari agenda nasionalis
pada hak politik dengan sindikalis Sorelian di sebelah kiri, sekitar pecahnya
Perang Dunia I. Sindikalisme Sorelian, tidak seperti ideologi lain di sebelah kiri,
diadakan sebuah elitis pandangan bahwa moralitas kelas pekerja harus dinaikkan.
Konsep Sorelian sifat positif dari perang sosial dan desakan terhadap revolusi
moral menyebabkan beberapa sindikalis percaya bahwa perang adalah
manifestasi akhir dari perubahan sosial dan revolusi moral . Pengaruh Nasionalis
dan militer yang telah mulai menggabungkan dengan sindikalisme sejak 1907
menciptakan perpecahan dalam politik kiri. split ini kuat di Italia, di mana
nasionalis dan sindikalis semakin dipengaruhi satu sama lain nasionalisme.
Maurassian, dekat dengan Sorelism, dipengaruhi radikal nasionalis Italia Enrico
Corradini. Corradini berbicara tentang perlunya gerakan nasionalis-sindikalis,
dipimpin oleh aristokrat elitis dan anti-demokrat yang berbagi komitmen
sindikalis revolusioner untuk aksi langsung dan kemauan untuk melawan.
Corradini berbicara Italia sebagai sebuah "bangsa proletar" yang diperlukan
untuk mengejar imperialisme dalam rangka tantangan "berkenaan dgn
pemerintahan orang kaya" Prancis dan Inggris. pandangan Corradini adalah
bagian dari satu set yang lebih luas persepsi dalam Italia sayap kanan Nasionalis
Association (ANI), yang menyatakan bahwa keterbelakangan ekonomi Italia
disebabkan oleh korupsi dalam kelas politik, liberalisme, dan pembagian yang
disebabkan oleh "sosialisme tercela" . ANI diadakan ikatan dan pengaruh antara
konservatif, Katolik, dan masyarakat bisnis.

Sindikalis nasional Italia mengadakan seperangkat prinsip: penolakan nilai-


nilai borjuis, demokrasi, liberalisme, Marxisme, internasionalisme, dan pasifisme
dan promosi kepahlawanan, vitalisme, dan kekerasan . nasionalisme radikal di
Italia – dukungan untuk ekspansi dan revolusi budaya untuk menciptakan sebuah
"Manusia Baru" dan "New Negara" - mulai tumbuh pada tahun 1912 selama
penaklukan Italia dari Libya dan didukung oleh futuris Italia dan anggota ANI .
ANI mengklaim bahwa demokrasi liberal tidak lagi kompatibel dengan dunia
modern dan menganjurkan sebuah negara yang kuat dan imperialisme,
mengklaim bahwa manusia secara alami predator dan bahwa bangsa-bangsa
dalam perjuangan terus-menerus di mana hanya yang terkuat bisa bertahan.
Namun, hingga 1914, nasionalis Italia dan sindikalis revolusioner dengan
kecenderungan nasionalis tetap terpisah. sindikalis tersebut menentang Perang
Italo-Turki pada tahun 1911 sebagai urusan kepentingan keuangan dan bukan
bangsa. Perang Dunia I terlihat oleh nasionalis Italia dan sindikalis sebagai
urusan nasional.

Perang Dunia I dan pendirian Fasisme (1914–1920)

Pada pecahnya Perang Dunia I pada bulan Agustus 1914, politik kiri Italia
menjadi sangat dibagi atas posisinya pada perang . Partai Sosialis Italia
menentang perang atas dasar internasionalisme., Tetapi sejumlah sindikalis
revolusioner Italia didukung intervensi melawan Jerman dan Austria-Hongaria
dengan alasan bahwa rezim-rezim reaksioner mereka harus dikalahkan untuk
menjamin keberhasilan sosialisme. Corradini disajikan kebutuhan yang sama
untuk Italia sebagai "bangsa proletar" untuk mengalahkan Jerman reaksioner dari
perspektif nasionalis. Awal fasisme yang dihasilkan dari perpecahan ini, dengan
Angelo Oliviero Olivetti membentuk Fascio Revolusioner Aksi Internasional
pada Oktober 1914 .Pada saat yang sama, Benito Mussolini bergabung penyebab
intervensionis. The Fasis didukung nasionalisme dan mengklaim bahwa
internasionalisme proletar gagal. Pada saat ini, kaum fasis tidak memiliki
serangkaian kebijakan terpadu dan gerakan itu sangat kecil. Its mencoba untuk
mengadakan pertemuan massa tidak efektif dan itu teratur dilecehkan oleh
otoritas pemerintah dan sosialis ortodoks Antagonisme antara intervensionis,.
termasuk Fasis, dan sosialis ortodoks anti-intervensionis menghasilkan
kekerasan. Serangan terhadap intervensionis begitu kekerasan yang bahkan
sosialis demokrasi yang menentang perang, seperti Anna Kuliscioff, mengatakan
bahwa Partai Sosialis Italia sudah terlalu jauh dalam kampanye untuk
membungkam pendukung perang. Penggunaan Italia dari pemberani pasukan
shock elit yang dikenal sebagai Arditi, dimulai pada tahun 1917, merupakan
pengaruh penting terhadap Fasisme Para Arditi adalah prajurit yang secara
khusus terlatih untuk hidup kekerasan dan mengenakan seragam blackshirt unik
dan fezzes. The Arditi membentuk sebuah organisasi nasional pada bulan
November 1918, Associazione fra GLI Arditi d'Italia, yang pada pertengahan
1919 memiliki sekitar dua puluh ribu orang muda di dalamnya Mussolini banding
ke Arditi, dan Squadristi. kaum fasis ', dikembangkan setelah perang, didasarkan
pada Arditi. Dengan pemisahan antara Marxis anti-intervensionis dan Fasis pro-
intervensionis selesai pada akhir perang, kedua belah pihak menjadi tak
terdamaikan. Kaum Fasis disajikan diri mereka sebagai anti-Marxis dan sebagai
lawan dari komunisme Soviet, Benito Mussolini mengontrol konsolidasi selama
gerakan Fasis pada tahun 1919 dengan berdirinya italiani Fasci di combattimento,
yang bertentangan dengan sosialisme ortodoks dia menyatakan: Kami
menyatakan perang melawan sosialisme, bukan karena itu adalah sosialisme,
tetapi karena menentang nasionalisme. Meskipun kita dapat membahas
pertanyaan tentang apa sosialisme adalah, apa programnya, dan apa taktik, satu
hal yang jelas: Italia resmi Partai Sosialis telah reaksioner dan benar-benar
konservatif. Jika dilihat perusahaan mempunyai menang, kelangsungan hidup
kita di dunia saat ini tidak mungkin.

Pada tahun 1919, Alceste De Ambris dan pemimpin gerakan Futurist


Filippo Tommaso Marinetti menciptakan Manifesto dari Fasci dari Combat (alias
Manifesto Fasis). Manifesto disajikan pada tanggal 6 Juni 1919 di surat kabar Il
Popolo d'Italia Fasis. Manifesto mendukung penciptaan hak pilih universal bagi
laki-laki dan perempuan (yang terakhir disadari hanya sebagian pada tahun 1925-
an, dengan semua pihak oposisi dilarang atau dibubarkan); perwakilan
proporsional berdasarkan regional; perwakilan pemerintah melalui sistem
korporatis dari "Dewan Nasional" ahli, dipilih dari para profesional dan
pedagang, terpilih untuk mewakili dan memiliki kekuasaan legislatif di daerah
masing-masing, termasuk tenaga kerja, industri, transportasi, kesehatan
masyarakat, komunikasi, dll; dan penghapusan Senat Italia . Manifesto
mendukung terciptanya hari kerja delapan jam untuk semua pekerja, upah
minimum, perwakilan pekerja dalam manajemen industri, sama kepercayaan
serikat buruh seperti di eksekutif industri dan pegawai negeri, reorganisasi sektor
transportasi, revisi draft undang-undang tentang asuransi cacat, pengurangan usia
pensiun 65-55, pajak progresif yang kuat atas modal, penyitaan milik lembaga
agama dan penghapusan keuskupan, dan revisi kontrak militer untuk
memungkinkan pemerintah untuk menyita 85% dari [mereka yang keuntungan].?
Ini juga disebut untuk menciptakan layanan-singkat milisi nasional untuk
melayani tugas defensif, nasionalisasi industri persenjataan, dan kebijakan luar
negeri yang dirancang untuk menjadi damai tetapi juga kompetitif. Peristiwa
berikutnya yang mempengaruhi Fasis adalah serangan dari Fiume oleh Gabriele
d'Annunzio nasionalis Italia dan pendiri Piagam Carnaro pada tahun 1920
D'Annunzio dan De Ambris dirancang Piagam, yang menganjurkan
productionism korporatis nasional-sindikalis. pandangan bersama D'Annunzio's
politik .Banyak Fasis melihat. Piagam Carnaro sebagai konstitusi ideal untuk
Italia Fasis.

Bergeser ke kanan dan konsolidasi politik (1920–1922)

Awal tahun 1920, Fasisme mulai membuat pergeseran ke arah hak


politik .Hal ini terjadi sebagai aktivitas pemogokan militan oleh pekerja industri
mencapai. Puncaknya di Italia, di mana 1919 dan 1920 dikenal sebagai "Tahun
Merah". Mussolini dan Fasis mengambil keuntungan dari situasi dengan allying
dengan usaha industri dan menyerang para pekerja dan petani dalam nama
menjaga ketertiban dan perdamaian internal di Italia. Fasis diidentifikasi lawan
utama mereka sebagai mayoritas sosialis di sebelah kiri yang menentang
intervensi dalam Perang Dunia I. Fasis dan hak politik Italia diadakan landasan
bersama: baik Marxisme diadakan di penghinaan, diskon kesadaran kelas dan
percaya dalam aturan elit Kaum Fasis membantu kampanye anti-sosialis hak
politik dengan allying dengan tepat dalam upaya bersama untuk menghancurkan
Partai Sosialis Italia dan tenaga kerja organisasi berkomitmen untuk identitas
kelas di atas identitas nasional. Fasisme berusaha untuk mengakomodasi
konservatif Italia dengan membuat perubahan besar dalam agenda politiknya -.
Meninggalkan populisme sebelumnya, republikanisme, dan anticlericalism,
mengadopsi kebijakan yang mendukung pasar bebas, dan menerima Gereja
Katolik Roma dan monarki sebagai lembaga di Italia untuk menarik konservatif
Italia, Fasisme mengadopsi kebijakan seperti mendorong nilai-nilai keluarga,
termasuk promosi peran wanita sebagai seorang ibu Meskipun Fasisme diadopsi.
beberapa posisi yang dirancang untuk menarik reaksioner, kaum fasis berusaha
untuk mempertahankan karakter revolusioner Fasisme's, dengan Angelo Oliviero
Olivetti mengatakan "Fasisme ingin menjadi konservatif, tetapi akan dengan
menjadi revolusioner." The Fasis mendukung aksi revolusioner dan berkomitmen
untuk mengamankan hukum dan ketertiban untuk menarik baik konservatif dan
sindikalis. Sebelum bergeser ke kanan, Fasisme adalah, kecil perkotaan, gerakan
Italia utara yang memiliki sekitar seribu anggota .Setelah itu, keanggotaan
gerakan Fasis melejit menjadi sekitar 250.000 pada 1921.

Gelombang fasisme Internasional dan Perang Dunia II (1929–1945)

Peristiwa-peristiwa Depresi Besar menghasilkan gelombang internasional


fasisme dan penciptaan rezim fasis berganda dan rezim yang mengadopsi
kebijakan fasis. Rezim yang paling penting fasis baru Nazi Jerman, di bawah
kepemimpinan Adolf Hitler. Dengan bangkitnya Hitler dan Nazi berkuasa pada
1933, demokrasi liberal dibubarkan di Jerman, dan Nazi dimobilisasi negara
untuk perang, dengan tujuan ekspansionis teritorial terhadap negara-negara
ganda. Pada tahun 1930 dilaksanakan Nazi hukum rasial yang sengaja
didiskriminasi, disenfranchised, dan menganiaya orang-orang Yahudi,
homoseksual, dan kelompok-kelompok ras dan minoritas lainnya. Fasis Hungaria
Gyula Gömbös naik ke tampuk kekuasaan sebagai Perdana Menteri Hongaria
pada 1932 dan mengunjungi Fasis Italia dan Nazi Jerman untuk
mengkonsolidasikan hubungan baik dengan dua rezim. Ia berusaha berkubu
Partai Persatuan Nasional di seluruh negeri; menciptakan hari kerja delapan jam,
empat puluh delapan jam seminggu bekerja di industri, dan berusaha berkubu
ekonomi korporatis, dan mengejar irredentist klaim pada tetangga Hungaria .
Gerakan Besi fasis Guard di Rumania melonjak dalam dukungan politik setelah
tahun 1933, mendapatkan perwakilan dalam pemerintahan Rumania, dan seorang
anggota Garda Besi Rumania dibunuh perdana menteri Ion Duca. Berbagai
pemerintah para-fasis yang dipinjam unsur-unsur dari fasisme terbentuk selama
Depresi Besar, termasuk Yunani, Lithuania, Polandia, dan Yugoslavia
International gelombang fasisme dan Perang Dunia II (1929–1945).

Fasisme juga memperluas pengaruh luar Eropa, terutama di Asia Timur,


Timur Tengah, dan Amerika Selatan. Di Cina, p'ai Wang Jingwei's Kai-tsu
(Reorganisasi) faksi Kuomintang (Partai Nasionalis China) didukung Nazisme di
akhir 1930-an. Di Jepang, Tōhōkai, sebuah gerakan Nazi dibentuk oleh Seigō
Nakano. The Integralists Brasil dipimpin oleh Plínio Salgado, diklaim sebanyak
200.000 anggota walaupun setelah upaya kudeta itu menghadapi tindakan keras
dari Estado Novo dari Getúlio Vargas pada 1937. Club Al-Muthanna di Irak
adalah sebuah gerakan pan-Arab yang didukung Nazisme dan pengaruh yang
dilakukan di pemerintah Irak melalui kabinet menteri Saib Shawkat yang
membentuk gerakan pemuda paramiliter. pada tahun 1930-an Nasional Gerakan
Sosialis Chili memperoleh kursi di parlemen Chili dan mencoba kudeta yang
mengakibatkan pembantaian Obrero Seguro Tahun 1938 presiden Peru Luis
Miguel Sánchez Cerro mendirikan Uni Revolusioner pada tahun 1931 sebagai
pihak negara untuk kediktatoran nya.. Setelah Uni Revolusioner diambil alih oleh
Raúl Ferrero Rebagliati yang berusaha untuk memobilisasi dukungan massa
untuk nasionalisme kelompok dengan cara yang mirip dengan fasisme. Dia
bahkan mulai lengan blackshirts paramiliter sebagai salinan dari kelompok Italia,
meskipun Uni kehilangan berat dalam pemilu 1936 dan menjadi layu
ketidakjelasan.

Selama Depresi Besar, Mussolini dipromosikan intervensi negara yang


aktif dalam perekonomian. Dia mencela "supercapitalism" kontemporer yang ia
mengklaim mulai tahun 1914 sebagai kegagalan karena dekadensi dugaan,
dukungan untuk konsumerisme terbatas dan niat untuk menciptakan
"standardisasi manusia" Namun,. Mussolini menyatakan bahwa perkembangan
industri sebelumnya "kapitalisme heroik" yang berharga dan terus mendukung
milik pribadi selama itu produktif Dengan terjadinya Depresi Besar,. Fasis Italia
mulai intervensi negara besar-besaran ke dalam perekonomian, mendirikan
Institut untuk Industri Rekonstruksi (Istituto per la Ricostruzione Industriale,
IRI), sebuah perusahaan raksasa milik negara dan perusahaan induk yang
menyediakan dana negara gagal perusahaan swasta The IRI dibuat sebuah
lembaga permanen di Fasis Italia pada 1937, mengejar. kebijakan Fasis untuk
membuat autarki nasional, dan memiliki kekuatan untuk mengambil alih
perusahaan-perusahaan swasta untuk memaksimalkan produksi perang. Nazi
Jerman juga dikejar agenda ekonomi dengan tujuan autarki dan persenjataan
kembali dan kebijakan proteksionis dikenakan, termasuk memaksa industri baja
Jerman untuk menggunakan bijih besi berkualitas rendah Jerman daripada besi
impor berkualitas unggul.

Asal Ideologi

Meskipun fasisme dianggap telah pertama kali muncul di Perancis pada


tahun 1880-an, pengaruhnya telah dipertimbangkan kembali sejauh Julius Caesar.
Thomas Hobbes, Niccolò Machiavelli, dan Hegel juga telah dianggap sebagai
berpengaruh, serta ide-ide kontemporer seperti sindikalisme dari Georges Sorel,
yang futurisme dari Filippo Tommaso Marinetti, nasionalis dan filsafat otoriter
Oswald Spengler dan konservatisme dan sosial Enrico Corradini.

Rezim politik
Bila mendengar kata rezim maka yang terlintas dienak kita adalah
pemerintahan yang otoriter seperti pada zaman orde baru yang dipimpin oleh
Presiden Soeharto. Sebenarnya rezim memiliki beberapa pengertian yang
berbeda-beda. Rezim secara umum terdefinisikan sebagai seperangkat norma,
prinsip, aturan dan prosedur pembuatan keputusan oleh para aktor dengan
harapan tertentu dari pembuatan aturan dan keputusan tersebut (Kranser,1983).
Rezim merupakan suatu kekuasaan seseorang yang menerapkan beliefs, rules,
decision-making process sesuai dengan interest dan kepercayaan orang itu.
Pengertian tersebut membawa kita mengartikan suatu rezim internasional sebagai
prinsip-prinsip, norma-norma serta aturan yang dibuat oleh para aktor
internasional yang menjadi suatu isu dan kasus dalam pembahasan mengenai
hubungan internasional (Kranser, 1983). Rezim telah dikonseptualisasikan
sebagai intervensi dari beberapa variabel antara faktor-faktor umum kausal di
suatu sisi dan hasil serta perilaku di sisi lain (Kranser 983). Faktor umum kausal
yang dimaksud disini adalah power, interest, dan value. Ketiga faktor tersebut
yang menjadi dasar dari perdeatan rezim internasional dalam dunia huungan
internasional. Sementara itu Oran Young, Raymond Hopkins dan Donald Puchala
dalam esainya menyatakan rezim sebagai pervasive characteristic dari sistem
internasional. Rezim seperti yang dimaksud disini adalah keberadaan rezim ini
sendiri tidak dapat ditolak. Suatu tindakan yang secara terus-menerus dilakukan
akan membangun suatu rezim. Pandangan ini sangat kontras dengan pendapat
Susan Strainge yang melihat rezim sebagai suatu konsep yang tidak jelas dan
menyesatkan (Kranser, 1983).

Rezim harus dipahami sebagai lebih dari perjanjian sementara yang


berubah-ubah setiap pergantian kekuasaan atau kepentingan. (Kranser, 1983).
Saat terjadi perubahan kekuasaan, kebiasaanpun ikut berubah. Apaila rezim itu
tidak bisa menyesuaikan dengan perubahan tersebut maka rezim tersebut akan
berakhir setelah masa pembuat rezim itu berakhir. Waltz
mengkonseptualisasikan keseimbangan kekuasaan dalam negara didorong dari
tekanan sistematik kepada pengulangan keseimbangan kebiasaan, bukan
rezim;namun Kaplan memiliki konsep keseimbangan membutuhkan komitmen
kepada peraturan yang kendala langsung maksimalisasi kekuasaan dalam jangka
pendek (bukan menghancurkan aktor utama) adalah rezim (Kranser 983). Efek
rezim dipahami untuk menganalisis seperti memfasilitasi gerakan ke arah
peratasan Pareto mengurang biaya transaksi dan lain-lain. Dengan kata lain rezim
dibentuk sebagai suatu instrumen untuk pengobatan konflik internasional secara
damai. Selain itu, penelitian tentang efek rezim meliputi dimensi seperti
'demokratisasi dalam negeri' dan 'peradaban internasional; denominator umum
adalah relevansinya diasumsikan perdamaian yang stabil (Breitmeier & Wolf
dalam Underdal, 1995). Dengan demikian, dalam pandangan mereka, rezim
internasional setidaknya berpotensi pilar penting dari apa Deutsch (1954) sebut
sebagai 'masyarakat keamanan' (Underdal, 1995).

Rezim pada dasarnya adalah pembuatan keputusan oleh suatu aktor yang
mempengaruhi kehidupan suatu masa tertentu. Rezim mempengaruhi outcomes,
dan outcomes mempengaruhi faktor-faktor dasar rezim seperti norma dan prinsip.
Ketiga faktor yang mempengaruhi rezim antara lain power, interest, dan value.
Dapat kita lihat bahwa faktor yang mempengaruhi rezim ini hampir sama dengan
rumus identitas suatu negara dalam ilmu hubungan internasional. Identitas terdiri
dari power, actor, dan interest, sedangkat rezim dilakukan oleh seorang aktor
yang berkuasa pada waktu tertentu. Hal itu membuktikan bahwa rezim adalah
refleksi dari identitas suatu bangsa dan negara. Bukan sampai disitu saja, definisi
rezim pada dasarnya sangatlah beragam sehingga timbulah kerancuan dalam
pengenalan rezim ini. Seperti halnya dalam bidang ekonomi, terdapat juga istilah
rezim yang maknanya jauh berbeda dengan rezim yang ada dalam dunia politik.
Rezim memiliki arti dan berbagai deskripsi, seperti Cohen, Keohane, Jervis,
Susan Strange, Ruggie, Lipson yang tidak setuju dengan penyempitan arti dari
rezim yang hanya berkaitan dengan norma, peraturan dan proses pembutana
keputusan.
Daftar Pustaka

• Marsh, David dan Gerry Stroker. Teori dan Metode dalam Ilmu Politik.
Bandung:Penerbit Nusa Media. 2010

• Varma, S,P. Teori-Teori Politik Modern. Jakarta: Rajagrafindo Persada. 2010

• Nasruddin. Kuantifikasi Ilmu-Ilmu Sosial: Suatu Kemajuan atau Pembiasaan.


Bogor: Institut Pertanian Bogor. 2002

• Budiardjo, Miriam. Dasar -Dasar Ilmu politik. Jakarta: PT.Gramedia. 2008

• Ilmu Politik Indonesia. Jurnal Ilmu Politik Volume 1. Jakarta: PT.Gramedia.


1986.
BAB VIII

Anda mungkin juga menyukai