Anda di halaman 1dari 4

Nama : Arif Aji Kurniawan

NIM : 20/462921/SP/29904

UTS POLITIK IDENTITAS DAN INKLUSI SOSIAL

Dalam menjalani kegiatan masyarakat berbangsa dan bernegara di Indonesia,


tentuunya kita tidak terhindar dengan adanya politik identitas. Politik identitas terjadi secara
sadar maupun tidak sadar, yang terjadi secara turun-temurun dalam masyarakat kita. Sebelum
mengenal lebih jauh, pertama-tama kita akan memahami apa itu politik identitas. Politik
identitas merupakan nama lain dari biopolitik dan politik perbedaan yang berbeda dengan
identitas politik. Identitas politik merupakan identitas yang meliputi nasionalitas dan
kewarganegaraan, yang menentukan posisi individu di dalam sebuah komunitas dengan rasa
kepemilikan (sense of belonging) dan sekaligus menandakan rasa perbedaan (sense of
otherness) dalam komunitas lainnya.

Sementara itu, politik identitas adalah strategi politis berasal dari kelompok dengan
identitas ras, agama, etnis, sosial, atau budaya yang sama dan berusaha untuk
mempromisikan kepentingan kelompok mereka sendiri. Persoalan ini sering kali digunakan
sebagai alat politik untuk mendapatkan kekuasaan. Misalnya adalah perkembangan politik
identitas masyarakat etnik China yang tinggal di Indonesia, atau biasa disebut Tionghoa yang
hanya menempati 3% dari seluruh populasi yang ada di Indonesia atau sekitar 2,8 juta jiwa.
Politik identitas yang melekat pada masyarakat Tionghoa dapat dikatakan berdampak pada
seluruh aspek masyarakat yang secara efektif telah mendikte jalannya politik di Indonesia
selama beberapa dekade terakhir.

Sejarah mengatakan, kelompok etnis Tionghoa selalu terperosok dalam ruang


diskriminasi dan kekerasan. Hal itu didasari oleh kolonialisme Belanda pada waktu itu yang
membedakan kelas berdasarkan rasnya yang menempatkan pribumi asli di bawah masyarakat
Tionghoa. Akibatnya, masyarkat pribumi memiliki kebencian dan kedendaman terhadap
Tionghoa yang berasal dari peraturan-peraturan yang tidak adil.

Setelah merdeka, dibawah kepemimpinan Presiden Soekarno, masyarakat Tionghoa


dilarang berbisnis di luar kota. Diskriminasi berlanjut pada kepemimpinan Presiden Soeharto
yang membatasi Tionghoa dalam mendapatkan kursi pemerintah dan militer. Ia juga
melarang adanya praktek tradisi kebudayaan China dan memaksa nama mereka diganti
dengan nama yang berbau Indonesia.
Pada tahun 1998, bulan Mei, terjadi kerusuhan yang dilakukan oleh sekelompok anti-
china terjadi di DKI Jakarta dan Medan menyebabkan toko-toko bisnis milik orang Tionghoa
dijarah dan dibakar, perempuan Tionghoa diperkosa mengakibatkan ribuan orang Tionghoa
dan pribumi asli meninggal dunia. Peraturan-peraturan pemerintah yang berkaitan dengan
kehidupan masyarakat Tionghoa berubah sejak pemerintahan Soeharto digantikan.

Pemerintah mencabut larangan peribadatan etnis Tionghoa, nama asli etnis Tionghoa
juga diperbolehkan, hingga tahun baru imlek dijadikan sebagai hari libur nasional. Akan
tetapi, derita masyarakat Tionghoa tidak hilang begitu saja. Masih banyak praktek-praktek
diskriminasi yang merugikan etnis Tionghoa.

Misalnya ketika adanya kontestasi Pilihan Kepala Daerah DKI Jakarta yang pada saat
itu terjadi sebuah praktik politik identitas yang begitu kuat. Hal itu disebabkan karena adanya
kekuasaan yang sulit ditaklukkan dan pembagian kekuasaan tidak tercapai karena kuatnya
pasangan calon yang dituju. Pemisahan dan pengecualian diri dengan embel-embel etnis dan
agama melekat sangat kuat hingga menggiring opini kepada masyarakat luas yang
menjadikan identitas pasang calon tersebut (sebagai mayoritas) diuntungkan untuk
memperoleh tujuan kekuasaannya.

Dalam memahami adanya politik identitas pada Pilkada DKI Jakarta Tahun 2017 ini
setidaknya ada perangkat konseptual yang terbentuk, yaitu sense of otherness. Karakteristik
identitas tidak hanya terbentuk oleh ikatan kolektif tetapi terbentuk oleh kategori pembeda
juga (categories of difference). Adanya perbedaan ras, yaitu pribumi dan keturunan etnis
Tionghoa memberikan identitas yang menguntungkan bagi mayoritas, yakni pribumi yang
mana dalam pembahasan kali ini adalah Anies Baswedan dan pihak yang dirugikan adalah
Basuki Tjahaja Purnama.

Ada juga konsep otherness yang lain, yaitu agama. Lagi-lagi, pihak yang diuntungkan
adalah pihak mayoritas yang membawa embel-embel agama mayoritas. Basuki Tjahaja
Purnama atau disingkat Ahok juga sempat dituding menistakan agama mayoritas sehingga
menimbulkan kericuhan yang terjadi di Monas dalam rangka aksi bela Islam yang secara
langsung maupun tidak langsung merugikan Ahok sebagai calon gubernur DKI Jakarta.

Pembentukan politik identitas pada Pilkada DKI Jakarta juga didukung dengan
adanya peran media sosial. Media sosial seperti Instagram dan Twitter pada saaat itu diwarnai
dengan konten-konten bernuansa SARA yang memprovokasi dalam orientasi politik
masyarakat DKI Jakarta. Selain itu, ada juga intimidasi yang dipengaruhi oleh media sosial
dan dogma yang diselumi oleh “khotbah” di tempat ibadah yang sangat sentiment terhadap
golongan non-Islam. Menyebabkan anggapan Pilkada DKI Jakarta 2017 oleh masyarakat
Muslim di seluruh Indonesia, khususnya DKI Jakarta sebagai peperangan terhadap penista
agama Islam sehingga siapapun yang akan menjadi Gubernur adalah yang beragama Islam
dan melabeli pendukung Ahok sebagai penista agama. Contonya adalah jenazah nenek
Hindun yang tidak dapat disolatkan karena keluarga mereka adalah pendukung Ahok.

Ada juga isu etnis yang tidak kalah ramai dengan isu agama dalam persoalan Pilkada
DKI Jakarta 2017 ini yang membahas mengenai sentiment pribumi dan non pribumi
(keturunan bangsa asing). Pembentukan identitas pribumi ini dapa dijelaskan dalam
pendekatan kontruktivisme, yaitu memandang identitas sebagai suatu hasil dari proses yang
kompleks dan terbentuk dari ikatan-ikatan kultural di masyarakat yang terbangun oleh
pengalaman masa lampau. Dalam hal ini mengenai penindasan rakyat pribumi yang berada di
kasta paling bawah dan masyarakat Tionghoa berada di kelas menengah pada masa
kolonialisme Belanda.
Daftar Pustaka

Sahalatua, A. P., Hamid, A., & Hikmawan, M. D. (2018). Politik Identitas dalam Pemilihan

Kepala Daerah (Studi Kasus pada Pemilihan Gubernur DKI Jakarta Periode

2017-2022) (Doctoral dissertation, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa). Diakses

pada 13 April 2022, dari https://eprints.untirta.ac.id/969/1/POLITIK

%20IDENTITAS%20DALAM%20PEMILIHAN%20KEPALA%20DAERAH

%20Studi%20Kasus%20Pada%20Pemilihan%20Gubernur%20DKI%20Jakarta

%20P%20-%20Copy.pdf

Anda mungkin juga menyukai