Anda di halaman 1dari 18

KEBANGKITAN ISLAM POLITIK

Analisis Gerakan Aksi Bela Islam Dalam Pilkada DKI Jakarta 2017

Musthofa2, Indiana Ngenget1, Rifky Ardiyansyah3


1
Program Studi Ilmu Politik, Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (ISIP) Jakarta, Indonesia
2
Program Studi Ilmu Politik, Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta,Indonesia
3
Alumni Program Studi Ilmu Politik, Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta,
Indonesia

Abstrak. Politik Indonesia kontemporer khususnya dalam pemilihan kepala daerah


(Pilkada) DKI Jakarta 2017, menunjukkan perkembangan demokrasi yang
menarik, yaitu adanya gerakan massa aksi bela Islam yang terjadi secara
bergelombang dengan jumlah peserta aksi yang besar dari (4 November
2016, 2 Desember 2016, 11 Februari 2017, 21 Februari 2017, 3 Maret
2017 dan 5 Mei 2017). Aksi bela Islam tersebut terjadi karena dilatar
belakangi oleh pidato Basuki Tjahaja Purnama di Kepulauan Seribu, yang
dianggap sebagai penistaan agama. Kekuatan Islam dalam politik
Indonesia mempunyai sejarah yang panjang dan pasca reformasi dapat
direpresentasikan melalui berdirinya partai-partai Islam. Kebangkitan
Islam politik menemukan momentumnya dalam gerakan aksi bela Islam
yang fenomenal dalam Pilkada DKI Jakarta 2017. Secara empiris
peristiwa aksi bela Islam yang bergelombang menjelang Pilkada DKI
Jakarta menempatkan Islam politik sebagai faktor determinan dalam
politik Indonesia modern.

Kata Kunci: gerakan massa, aksi bela Islam, kebangkitan Islam politik,
pilkada DKI 2017.

1.1 Pendahuluan

Dalam politik Indonesia kontemporer saat ini menunjukkan sebuah realitas menguatnya
kebangkitan Islam politik1. Hal ini mempunyai relevansi dengan posisi Indonesia sebagai negara
dengan penduduk Islam terbesar di dunia, dengan jumlah pemeluk kurang lebih 222 juta jiwa
(87%) dari keseluruhan penduduk Indonesia yang berjumlah 260 juta (2018).
Indonesia adalah bangsa yang multikultural, dari segi budaya, etnis/ras dan religi, maka
kekuatan Islam dalam perspektif politik dapat menjadi kajian yang menarik untuk ditelaah.
Pasca reformasi kekuatan Islam dapat direpresentasikan dengan munculnya partai-partai Islam,

1
Istilah “Islam Politik” di sini merujuk pada Islam sebagai ideologi politik lebih daripada sekedar agama
atau konstruksi teologis”. Sementara itu Yon Machmudi menjelaskan dua karakter utama Islam Politik,
pertama: Islam dipahami sebagai ideologi politik yang berfungsi sebagai justifikasi dan legitimasi untuk
melindungi tatanan sosial, politik, dan ekonomi yang sudah mapan, 2. Islam digunakan sebagai kekuatan
melawan status qua. Dalam hal ini Islam berfungsi sebagai kekuatan ideologi dan instrumen untuk
menentang, melawan, bahkan menggulingkan rezim yang sedang berkuasa. Lihat Yon Machmudi, Partai
Keadilan Sejahtera. “Wajah Baru Islam Politik Indonesia”. Harakatuna Publishing, Bandung, 2005, hal.
85. Kajian lebih lengkap tentang Islam Politik oleh Oliver Roy, “Gagalnya Islam Politik”. Jakarta: PT
Serambi Ilmu Semesta, 1996. Dan L.Carl Brown. Wajah Islam Politik. “Pergulatan Agama dan Negara
sepanjang sejarah umat”. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2003.

1
yang dapat menjadi pilihan bagi masyarakat muslim di Indonesia, khususnya bagi masyarakat
DKI Jakarta. Secara umum dapat dikatakan bahwa Jakarta merupakan representasi masyarakat
Indonesia, dimana terdapat multikulturalisme dalam keragaman suku, ras, agama dan budaya,
termasuk berbagai ras di dunia ada di Jakarta. Oleh karena itu peristiwa di Jakarta menjadi
perhatian tersendiri bagi masyarakat di Indonesia, termasuk Pilkada yang dilaksanakan tahun
2017.
Pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara langsung, diberlakukan mengacu pada
Undang-Undang nomor 22 tahun 2007. Pemilihan kepala daerah pertama yang diselenggarakan
berdasarkan Undang-undang ini adalah Pilkada DKI Jakarta tahun 2007. Sejak saat itu
pemilihan Gubernur di Jakarta berlangsung relatif biasa saja, namun dalam Pilkada DKI Jakarta
tahun 2017, menjadi ajang pertarungan calon Gubernur (cagub) paling sengit dan menarik
perhatian masyarakat yang besar. Para pimpinan partai politik sampai turun tangan memilih,
menyeleksi dan bertarung dalam menentukan siapa yang akan memimpin Jakarta untuk periode
2017-2022.
Pilkada DKI Jakarta diikuti oleh 3 (tiga) pasangan calon gubernur dan wakil gubernur
yaitu:
No Nama Pasangan Partai Pengusung
1 Agus Harimurti Yudhoyono dan Sylviana Murni Partai Demokrat, PKB, PAN, PPP
2 Basuki Tjahaja Purnama dan Djarot Saiful PDI-P, Golkar, Nasdem, Hanura
Hidayat
3 Anies Baswedan dan Sandiaga Salahuddin Uno Partai Gerindra dan PKS

Secara umum, ketiga pasangan calon tersebut mempunyai latar belakang yang berbeda.
Dari sisi etnis ketiga calon ini memiliki latar belakang etnis yang berbeda yaitu Jawa, Betawi,
Tionghoa, Arab, Riau dan Gorontalo. Latar belakang identitas yang berbeda dari ketiga calon
menjadi gambaran ketatnya persaingan dalam memperoleh dukungan suara masyarakat dan
menjadikan Pilkada DKI Jakarta 2017 semakin menarik dibandingkan dengan Pilkada
sebelumnya.
Sebelum adanya pidato Ahok di kepulauan Seribu, masalah identitas yang mencakup
(suku/etnis, agama, golongan) mungkin tidak akan ditunjukan di permukaan oleh para calon
gubernur karena tidak menguntungkan dan sangat sensitif. Ada calon gubernur yang
menegaskan bahwa pertarungan Pilkada adalah pertarungan program bukan kampanye

2
perbedaan identitas, tapi pada dasarnya faktor identitas2 tidak bisa dilepaskan dari latar belakang
calon gubernur dan calon wakil gubernur tersebut.
Ketika memenangi Pilkada DKI Jakarta berpasangan dengan Joko Widodo, penolakan
terhadap Ahok tidak mengemuka karena ia hanya sebagai wakil Gubernur, namun pada Pilkada
DKI Jakarta 2017, ia mencalonkan diri sebagai Gubernur. Sentimen etnis terus mengemuka
dalam proses pencalonannya.Sentimen inilah yang menjadi salah satu hambatan bagi Ahok
sebagai calon gubernur (petahana), karena baru kali ini DKI Jakarta mempunyai calon Gubernur
yang memiliki darah Tionghoa dalam Pilkada. Pada masa pemerintahan Orde Lama, Jakarta
pernah mempunyai gubernur yang memiliki darah Tionghoa dan Manado yaitu Henk Ngantung
tetapi tidak dipilih melalui proses pemilu, namun ditunjuk oleh Soekarno.
Situasi politik Jakarta menjelang Pilkada tahun 2017, berkembang tidak terkendali
setelah adanya pidato Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) di kepulauan Seribu yang mengatakan
“Jangan mau dibohongi pakai surat Al-maidah ayat 51”, ketika video rekaman pidatonya
diunggah ke media sosial. Akhirnya Video tersebut menimbulkan kontroversi dikalangan
masyarakat yang mengakibatkan munculnya kemarahan masyarakat yang menganggap Ahok
melecehkan Al-quran. Peristiwa ini secara tidak langsung telah membangkitkan sentimen
identitas keagamaan terutama bagi masyarakat Jakarta dan sekitarnya. Sentimen identitas
keagamaan ini akhirnya melahirkan demo secara bergelombang yang dilakukan dengan jumlah
massa Islam yang besar, terjadi di akhir tahun 2016 (4 November 2016, 2 Desember 2016) dan
awal tahun 2017 (11 Februari 2017, 21 Februari 2017, 3 Maret 2017 dan 5 Mei 2017).
Rangkaian demonstrasi ini dikemudian hari dikenal sebagai aksi bela Islam (ABI),
sebagai representasi dari kebangkitan identitas Islam politiik dalam menuntut Ahok diproses
secara hukum. Mengacu pada rangkaian demo yang dilakukan pada saat itu, yang menjadi
sorotan adalah aksi tanggal 2 Desember 2016 (dikenal dengan sebutan 212), karena terjadi
dengan jumlah massa yang besar dan dihadiri oleh presiden Jokowi dan Jusuf Kalla.
Aksi bela Islam yang dilakukan secara bergelombang dari 4 November 2016 sd 5 Mei
2017 mempunyai relevansi dengan teori gerakan massa, yang memiliki beberapa indikator.
Umat Islam bergerak untuk ikut dalam aksi itu karena adanya keinginan akan perubahan,
doktrin, sifat fanatik, dan adanya pemimpin kharismatik. Dilihat dari indikator tersebut dapat
dijelaskan kenapa massa dalam jumlah besar bisa berkumpul pada aksi-aksi yang sangat

2
Secara empiris, masyarakat umum dapat merasakan dan melihat bahwa sentimen masyarakat
Indonesia terhadap etnis Tionghoa masih tidak bisa dihilangkan, kebanyakan pribumi menganggap bahwa
warga Tionghoa itu eksklusif dan kaya (pedagang dan pengusaha). Ahok yang beretnis Tionghoa
dianggap oleh sebagian masyarakat mewakili identitas tersebut.

3
fenomenal tersebut, yaitu karena umat Islam memiliki sifat fanatisme terhadap keyakinan
religius mereka dan adanya sosok pemimpin harismatik.
Aksi-aksi dalam jumlah massa yang besar pada Pilkada DKI Jakarta dalam upaya
memenjarakan Ahok tidak terlepas dari kemunculan tokoh populis yang dapat mempersatukan
berbagai kelompok. Tokoh populis ini adalah Rizieq Shihab pimpinan Front Pembela Islam
(FPI), yang dapat membangkitkan sentimen keagamaan dalam aksi-aksi massa Islam yang
bergelombang. Dalam setiap orasinya Habib Rizieq Shihab menuntut Ahok menjadi tersangka
dalam kasus penistaan agama, tokoh ini seakan mewakili umat Islam yang mengecam atas
tindakan yang dilakukan oleh Ahok. Pada saat itu, tokoh ini dapat memobilisasi massa dimana
peryataan dan seruannya diikuti dan dilaksanakan oleh umat Islam yang menganggap Ahok
bersalah dan harus melewati proses hukum, yang berarti masyarakat DKI Jakarta diarahkan
untuk memilih salah satu calon yang mewakili identitas keIslaman. Kegiatan demonstrasi yang
dinamakan sebagai aksi bela Islam, berlangsung sebelum dilaksanakannya perhelatan Pilkada
DKI Jakarta 2017, sehingga memunculkan persepsi bahwa aksi-aksi tersebut mempunyai tujuan
tertentu yang lebih bersifat politis untuk menghadang Ahok dibanding dengan tuntutan kasus
penodaan Agama. Pada sisi lain para peserta aksi damai mempunyai pandangan bahwa tuntutan
mereka bukan masalah mayoritas versus minoritas melainkan karena Ahok telah menistakan
agama Islam, sehingga harus dibawa ke pengadilan.
Peristiwa Pilkada DKI Jakarta, memberikan gambaran bahwa identitas (suku/etnis,
agama) yang melekat pada seseorang, bahkan kelompok bisa melebur menjadi identitas tunggal.
Masyarakat dengan latar belakang suku yang beragam melebur menjadi sebuah kesatuan
identitas keIslaman. Identitas Islam merupakan satu diantara identitas yang sangat krusial bagi
pemeluknya. tanpa menafikan bahwa ada identitas-identitas lain yang juga penting.
Identitas keIslaman merupakan bagian dari apa yang kerapkali disebut sebagai “dunia
Islam” yang melekat pada penduduk muslim. Pada sisi lain orang yang beragama muslim juga
mempunyai pandangan yang beragam, misalnya dalam nilai-nilai sosial politik, pendekatan
ekonomi dan sastra, keterlibatan professional dan filisofis, sikap terhadap Barat. Berfokus
semata pada klasifikasi agama berarti luput mencermati berbagai kecenderungan lain yang
dimiliki oleh orang-orang yang kebetulan dari segi agama adalah muslim (Sen, 2016)
Didalam situasi tersebut kita bisa melihat bahwa kesadaran religius secara hakiki terkait
erat dengan praksis hidup yang berkelanjutan dalam sebuah kelompok/persekutuan. Kesadaran
religius masing-masing dapat memberi dorongan yang lebih kuat untuk membangun solidaritas.
Hal itu mudah terlaksana karena agama mampu menyatukan seluruh umatnya dari berbagai latar
belakang etnis dan bangsa (Menoh, 2015)

4
Secara empiris kebangkitan sentimen agama erat kaitannya dengan SARA,
kecenderungan ini yang dijadikan sebagai kekuatan politik, penonjolan identitas agama dari
kelompok mayoritas telah menafikan kemajemukan suku, agama, dan ras yang sejatinya
menjadi modal dalam pembangunan peradaban, namun belakangan menjadi isu polarisasi dalam
bernegara. Aksi-aksi bela Islam yang dilakukan secara bergelombang dalam Pilkada DKI
Jakarta 2017, telah dimanfaatkan sebagai sumber daya politik atau kekuatan politik dari
kelompok mayoritas kepada minoritas.
Menariknya jika dilihat dari suara yang diperebutkan oleh calon gubernur adalah suara
muslim, yang menjadi daya tarik apakah suara masyarakat muslim tersebut memilih mengikuti
keyakinan religius atau rasionalitas mereka yang melihat dari kinerja dan visi misi calon
gubernur. Penggunaan identitas keagamaan bukan tidak mungkin mempengaruhi masyarakat
dalam memilih, karena dalam perilaku pemilih terdapat beberapa faktor yang bisa
mempengaruhi pemilih dalam memilih calon gubernur seperti faktor isu-isu, kebijakan politik
dan faktor agama.Kemudian ada pula sekelompok orang yang memilih kandidat tertentu karena
dianggap representasi dari agama atau keyakinannya.
Dalam hal memilih inilah yang menjadi menarik karena memang agak sulit bagi
masyarakat untuk melepaskan keyakinan religiusnya seperti yang diungkapkan oleh Habermas
bahwa tuntutan bagi kaum agama untuk melepaskan doktrin komprehensif (ajaran agama)
mereka dalam ruang publik merupakan beban yang berat karena ciri agama itu sendiri. Tuntutan
itu hanya akan membuat umat beragama mengalami beban mental dan psikologis. Habermas
berpendapat bahwa iman itu bukan hanya soal doktrin semata, yakni sesuatu yang dipercayai
melainkan juga sebagai sumber kekuatan yang menuntun seluruh hidup orang beriman. Orang
yang beragama menjalankan seluruh kehidupannya atas dasar imannya. Iman adalah sesuatu
yang inheren dalam diri manusia dan menuntunnya menjalani hidup baik secara individu
maupun sosial (Menoh, 2015)
Pandangan dari Habermas di atas mempunyai relevansi untuk menganalisis secara
komprehensif gerakan massa aksi bela Islam sebagai representatif dari kebangkitan Islam politik
di dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) di DKI Jakarta 2017.

1.2 Masalah Pokok


Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini
adalah :

1. Bagaimana latar belakang gerakan aksi bela Islam yang bergelombang sebelum
Pilkada DKI Jakarta tahun 2017?

5
2. Apakah gerakan aksi bela Islam sebelum Pilkada DKI Jakarta tahun 2017,
merupakan fenomena dari kebangkitan Islam politik dalam politik Indonesia
modern?

1.3 Tujuan Penelitian


1. Menganalisis latar belakang terjadinya gerakan aksi bela Islam sebelum Pilkada DKI
Jakarta tahun 2017.
2. Menganalisis gerakan aksi bela Islam sebagai representatif dari kebangkitan Islam
politik dalam politik Indonesia modern khususnya dalam Pilkada DKI Jakarta 2017.

1.4 Manfaat Penelitian


1. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi, sebagai salah satu analisis
terhadap pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara langsung (Pilkada) dalam konteks
demokrasi lokal (otonomi daerah) di Indonesia.

2. Penelitian ini dapat menjadi salah satu rujukan (bahan analisis) atas kasus-kasus
empirik khususnya mengenai kebangkitan Islam politik dalam bentuk gerakan massa
Islam yang relevan dengan mata kuliah “Pemikiran Politik Islam” dan “Kekuatan-
Kekuatan Politik di Indonesia”.

3. Penelitian ini dapat memperluas wawasan intelektual peneliti terhadap obyek studi
(manfaat praktis).

2. Metode Penelitian

Metode dapat diartikan sebagai cara mendekati, mengamati, dan menjelaskan suatu
gejala dengan menggunakan landasan teori. Secara umum, metode penelitian adalah suatu cara
dan prosedur yang sistematis dengan tujuan untuk menyelidiki, memahami dan memecahkan
objek permasalahan yang ada. Oleh karena itu, metode merupakan keseluruhan langkah ilmiah
yang digunakan untuk menemukan jawaban atas suatu masalah.

2.1 Desain Penelitian


Secara umum desain penelitian adalah proses yang dilakukan dalam perencanaan dan
pelaksanaan penelitian. Desain penelitian (rancangan penelitian) merupakan strategi peneliti
dalam menggunakan metode pengumpulan data yang akan digunakan sesuai prosedur ilmiah.,
yaitu tahapan penelitian mulai dari permasalahan yang akan diteliti, bagaimana meneliti dan
bagaimana melakukan analisis secara keseluruhan. Desain penelitian ini dimulai dengan tahap
pengumpulan data mengenai latar belakang gerakan aksi bela Islam yang bergelombang

6
sebelum Pilkada DKI Jakarta tahun 2017. Mengindentifikasi dan menganalisis gerakan massa
aksi bela Islam sebagai representatif dari kebangkitan Islam politik dalam politik Indonesia
modern (Pilkada DKI 2017) secara komprehensif.

2.2 Metode/Tipe Penelitian


Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif. Penelitian kualitatif
merupakan penelitian yang berupaya menganalisis kehidupan sosial dengan cara
menggambarkan dunia sosial dari sudut pandang atau interpretasi individu (informan) dalam
latar alamiah. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan tipe penelitian deskriptif
explanatory yang merupakan kombinasi antara penelitian deskriptif dan penelitian explanatory.
Keith Punch menuturkan :
A descriptive sets out to collect, organize and summarize information about the matter
being studied while an explanatory study is on the other hand, sets out to explain and
account for the descriptive information. Description is a more restricted purpose than
explanation (Punch,2006).

Penjelasannya, penelitian deskriptif ditujukan untuk menjawab pertanyaan ‘apa’,


sementara penelitian eksplanasi akan menjawab pertanyaan ‘mengapa’ dan ‘bagaimana’.
Penelitian eksplanatif (explanatory research), berupaya menjelaskan mengapa suatu fenomena
atau gejala sosial terjadi dengan menghubungkan satu fenomena dengan fenomena yang lain.
Penelitian ini mencoba menghubungkan pola-pola yang berbeda namun memiliki keterkaitan
serta menghasilkan pola hubungan sebab akibat. Penelitian eksplanasi menyiratkan bahwa
penelitian ini dimaksudkan untuk menjelaskan, bukan hanya untuk menggambarkan fenomena
yang diteliti (Martono, 2015).

2.3 Unit Analisis


Unit analisis adalah subjek atau objek penelitian, yaitu sumber informasi mengenai
variabel yang akan diolah dalam penelitian. Sumber informasi mengenai variabel tersebut dapat
berupa individu, kelompok, organisasi dan sebagainya. Dalam penelitian ini, unit analisisnya
adalah gerakan massa aksi bela Islam sebelum Pilkada DKI Jakarta 2017 sebagai representatif
dari kebangkitan Islam politik dalam politik di Indonesia modern.

2.4. Teknik Pengumpulan data

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis secara komprehensif mengenai gerakan aksi
bela Islam dalam Pilkada DKI Jakarta tahun 2017 sebagai representasi dari kebangkitan Islam
politik dalam Politik di Indonesia modern. Penelitian ini diantaranya mengacu pada teknik
wawancara (deep interview) dan studi pustaka (library Research), berbagai literatur tertulis

7
digunakan sebagai data dalam memperkuat hasil wawancara, seperti berbagai buku/literatur,
jurnal dan pemberitaan media massa yang relevan dengan masalah dan tujuan penelitian.
Wawancara merupakan alat yang paling sering digunakan untuk memperoleh informasi,
teknik ini memiliki sifat-sifat penting yang tidak dimiliki oleh tes-tes dan skala obyektif serta
pengamatan behavioral. Apabila digunakan dengan memakai skedul yang tersusun baik, suatu
wawancara dapat menghasilkan banyak informasi, bersifat fleksibel (Kerlinger, 2006). Secara
khusus, wawancara adalah alat yang baik untuk menghidupkan topik riset. Wawancara juga
merupakan metode bagus untuk pengumpulan data tentang subjek kontemporer yang belum
dikaji secara eksternal dan tidak banyak literatur membahasnya (Harrison, 2009).

2.5 Teknik Pengolahan dan Analisis Data


Setiap kegiatan penelitian, baik menggunakan metode kuantitatif maupun kualitatif
tidak akan terlepas dari data, pengolahan data dan analisisnya. Sebuah proses penelitian akan
diakhiri dengan proses analisis dan penyusunan laporan. Analisis data merupakan proses
pengolahan, menyajian dan interpretasi data dengan tujuan agar data yang disajikan mempunyai
makna. Data hasil wawancara mendalam (indept interview) sebagai data utama diperkuat
dengan studi pustaka akan saling melengkapi, mengkontrol serta mengkonfirmasi antara satu
dengan lainnya.
Proses analisis data bertujuan untuk menjawab masalah penelitian dan membuktikan
hipotesis penelitian, menyusun dan menginterpretasikan data yang sudah diperoleh, menyusun
data dalam cara yang bermakna sehingga dapat dipahami, menjelaskan kesesuaian atau
relevansi antara teori dan temuan/ hasil penelitian di lapangan dan menjelaskan argumentasi
hasil temuan di lapangan (Martono, 2015).

3. Pembahasan
Dalam pembahasan ini berisikan pertama gambaran secara umum tentang sejarah
singkat Pilkada DKI Jakarta, kedua Pilkada DKI Jakarta 2017, ketiga latar belakang gerakan
aksi bela Islam dalam Pilkada DKI Jakarta 2017, keempat gerakan massa Islam dalam Pilkada
DKI Jakarta, kelima analisis dan keenam penutup.

3.1 Sejarah Singkat Pilkada DKI Jakarta


DKI Jakarta melaksanakan pemilihan kepala daerah secara langsung (Pilkada) pada
tahun 2007 yang dimenangkan oleh pasangan Fauzi Wibowo-Prijanto, mengalahkan pasangan
Adang Daratjatun dan Dani Anwar. Dalam hal peraturan, DKI Jakarta mempunyai
keistimewaan peraturan yang berbeda dengan provinsi-provinsi lain yaitu adanya UU
pemerintahan DKI Jakarta yang mengharuskan kemenangan pasangan calon dalam pemilukada

8
mewajibkan kemenangan 50% plus satu. Komposisi kemenangan Pilkada DKI Jakarta 2017
adalah Fauzi Wibowo-Prijanto 57,87% dan Adang Daratjatun-Dani Anwar 42,13%.
Pilkada berikutnya diselenggarakan pada tahun 2012, yang berlangsung dengan 6
pasangan calon, hasil Pilkada putaran 1 yaitu:
No Pasangan Calon Partai Pengusung Persentase
Perolehan suara

1 Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli Partai Demokrat 34,05%

2 Hendardji Soepandji-Ahmad Riza Non Partai 1,98%


Patria
3 Joko Widodo-Basuki Tjahaja PDI-P dan Gerindra 42,60%
Purnama
4 Hidayat Nur Wahid-Didik J.Rachbini PKS dan PAN 11,72%
5 Faisal Batubara-Biem Triani Non Partai 4,98%
Benyamin
6 Alex Noerdin-Nono Sampono Golkar 4,67%

Mengacu pada hasil di atas, terlihat tidak ada pasangan yang mendapatkan suara lebih
dari 50% plus satu, sehingga dilakukan Pilkada putaran kedua dengan dua pasangan calon yang
berhadapan berdasarkan perolehan suara terbanyak pada putaran ke 1 yaitu Joko Widodo-
Basuki Tjahaja Purnama dan Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli yang dimenangkan oleh pasangan
Joko Widodo- Basuki Tjahaja Purnama dengan komposisi suara 53,82% dan 46,18%.
Pada pemilu 2014, Joko Widodo meninggalkan jabatannya sebagai gubernur DKI
Jakarta dan menang dalam pemilu presiden (Pilpres) 2014, sehingga Basuki Tjahaja Purnama
sebagai wakil gubernur menggantikannya dari tahun 2014 sd 2017. Selama menjalankan masa
jabatannya sebagai gubernur DKI, Ahok terkenal dengan kontroversi seperti pola komunikasi
politik yang kurang baik, kasus-kasus penggusuran bahkan yang terakhir di masa jabatannya
(tepat pada masa Pilgub DKI Jakarta 2017) ialah kasus penodaan agama yang menyeretnya
masuk kedalam penjara3. Pada tanggal 15 Juni 2017 Djarot Saiful Hidayat sebagai wakilnya
diangkat menjadi gubernur untuk menggantikan Ahok yang terjerat kasus hukum, hanya selama
4 bulan.

3.2 Pilkada DKI Jakarta 2017


Secara umum pemilihan kepala daerah secara langsung (Pilkada) sudah pernah
dilaksanakan di DKI Jakarta tahun 2007 dan 2012, yang berlangsung secara demokratis dimana

3
www.faktadki.com diakes pada tanggal 22 September 2017 pada pukul 20.00 WIB

9
pemenang disahkan secara konstitusi sebagai pejabat eksekutif (gubernur) yang menjalankan
roda pemerintahan DKI Jakarta dalam periode 5 tahun.
Pada sisi lain, karena DKI Jakarta adalah ibukota negara,maka pemilihan kepala daerah
di DKI Jakarta selalu menjadi sorotan dan perhatian masyarakat di Indonesia. Komisi Pemilihan
Umum (KPU) tahun 2017 menetapkan sistem Pilkada serentak yaitu ada 101 daerah yang
melaksanakan pemilukada yaitu 7 provinsi, 18 kota, dan 76 kabupaten diseluruh
Indonesia.4
Pemilihan kepala daerah DKI Jakarta mempunyai kedudukan strategis secara nasional
dibandingkan dengan provinsi yang lain, baik dari sisi sosial, budaya dan politik. Jakarta adalah
pusat pemerintahan, memiliki bentuk otonomi yang khusus, jumlah penduduk yang besar,
stratifikasi sosial dan pluralitas yang tinggi dan tingkat pertumbuhan ekonomi juga tinggi
membuat Jakarta memiliki perhatian yang khusus dalam setiap Pilkada.
Secara khusus Pilkada DKI Jakarta merupakan barometer demokrasi nasional dan
diamati banyak pihak, tidak saja masyarakat Indonesia, tetapi juga dunia internasional. Karena
itu, diharapkan Pilkada DKI Jakarta dapat berjalan dengan lancar, aman, tertib, jujur,adil dan
demokratis. Ada Pandangan bahwa pemilih DKI Jakarta memiliki tingkat sadar media yang
lebih tinggi dibandingkan dengan daerah-daerah lain.
Sebelum adanya pidato Ahok di Kepulauan Seribu, terdapat berbagai hasil survei yang
menilai bahwa kecenderungan pilihan warga Jakarta lebih digerakkan faktor figur, integritas,
moralitas, komitmen, konsistensi, rekam jejak, keberpihakannya kepada rakyat dan kemampuan
komunikasi politik. Sehingga warga Jakarta diharapkan dapat menggunakan hak pilihnya
dengan baik agar pilkada DKI Jakarta dapat menjadi contoh bagi daerah-daerah lain.
Pada tanggal 15 februari 2017 dilaksanakan Pilkada serentak diseluruh Indonesia
termasuk provinsi DKI Jakarta. Berdasarkan daftar pemilih tetap terakhir, tercatat 7.218.244
orang yang berhak memberikan suara. Tiga pasangan calon yang mengikuti Pilkada DKI Jakarta
dan hasil perolehan suaranya yaitu:
No Pasangan Calon Partai Pengusung Persentase
Perolehan
Suara
1 Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni Demokrat,PAN, PKB,PPP 17.06%

2 Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful PDI-P,Golkar, Nasdem, 42.96%


Hidyat Hanura
3 Anies Baswedan-Sandiaga Salahuddin Uni Gerindra,PKS 39.97%

4
http://www.kpu.go.id diakses pada tanggal 17/07/2017 pukul 07.37 WIB.

10
Tiga pasangan calon ini dipilih oleh masyarakat DKI Jakarta dan hasil rekapitulasi yang
dilakukan oleh KPUD DKI Jakarta, menghasilkan dua pasangan yang maju ke putaran kedua
yaitu Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat dan Anies Baswedan-Sandiaga Uno.
Pilkada Jakarta tidak berlangsung satu putaran dikarenakan tidak ada pasangan yang
mendapatkan suara 50% plus 1, sehingga harus dilakukan ke putaran kedua. Pada putaran kedua
pasangan Anies Baswedan -Sandiaga Uno dapat mengalahkan Basuki Tjahaja Purnama -Djarot
Saiful Hidayat dengan komposisi 57.95% dan 42.05%. Hasil tersebut menggambarkan bahwa
suara Ahok menurun sekitar 0,91% (6.540) suara, sedangkan suara Anies bertambah menjadi
18,04% (1.046.802) suara. Pada putaran kedua, mayoritas suara Ahok-Djarot didapatkan dari
pemilih non muslim sebesar 82 % , sedangkan Anies hanya sebesar 18%, sedangkan mayoritas
suara Anies-Sandi didapatkan dari suara muslim sebesar 80% dan Ahok-Djarot hanya 20%.
Mengacu pada perolehan pemilih muslim dan non-muslim tersebut, didapati faktor-
faktor yang dapat dianalisis mengenai penentu kemenangan Anies baswedan-Sandiaga Uno
dalam pemilihan pilkada DKI Jakarta yaitu pada putaran kedua Anies-Sandi merupakan satu-
satunya pasangan gubernur muslim, yang bisa menjalin komunikasi yang baik dengan ulama
dan para habaib. Kemudian partai pendukung Agus-Silvy berasal dari partai yang tidak suka
dengan Ahok maka secara otomatis pendukung partai/loyalisnya akan memilih Anis-Sandi.
Faktor korban-korban kebijakan Ahok sebelumnya, seperti korban penggusuran, korban
reklamasi dan sebagainya, termasuk juga para aktifis lingkungan yang merasa kebijakan Ahok
soal reklamasi itu merusak lingkungan dan merugikan nelayan. Semuanya terakumulasi dengan
adanya kasus penistaan agama5.
Pada sisi lain, didapati empat faktor yang mempengaruhi menurunnya suara Ahok yaitu
pertama, efek surat Al Maidah, kasus penistaan agama menjadi perhatian publik Jakarta. Survei
LSI menunjukkan sebanyak 73%, menyatakan Ahok bersalah dan hanya 27% yang meyatakan
pernyataan tersebut bukan sebuah kesalahan. Selain menilai pernyataan Ahok sebagai sebuah
kesalahan, mayoritas publik menyatakan pernyataan Ahok soal Al Maidah 51 itu bentuk
penistaan agama.
Kedua, merosotnya dukungan kepada Ahok dibawah 30%, adalah resistensi atas
pemimpin beda agama. semakin bertambah pemilih muslim yang tidak bersedia mendukung
pemimpin yang beda agama. Pada November 2016, pemilih muslim yang tidak bersedia
dipimpin oleh Gubernur non muslim sebesar 63,4%. Persentase ini naik dari survei Oktober
2016 sebesar 55,6%. Kemudian, peralihan suara pasangan Agus-Silvi ke Anies-Sandi, peralihan
ini terjadi dikarenakan segmen pemilih pasangan Anies dan pasangan Agus mempunyai profil

5
Hasil wawancara dengan Bapak Faisal Arief Kamil, Manager Riset Poltracking Indonesia pada tanggal
20 Oktober 2017 pukul 11.10 WIB bertempat di aula Masjid Jami Tangkuban Perahu.

11
yang sama. Ketika pertarungan tiga pasang, segmen ini terpecah kepada dua kubu, namun di
putaran kedua, ketika hanya dua pasang melawan Ahok, segmen ini menyatu dibelakang Anies-
Sandi.
Ketiga, personaliti dan kebijakan Ahok, turun nya suara Ahok juga dipengaruhi oleh
faktor-faktor lama yang sudah muncul sebelumnya. faktor personaliti adalah terkait persepsi
arogan yang tercermin dari cara bicara dan gaya kepemimpinannya Ahok. faktor kebijakannya
terkait dengan penggusuran dan reklamasi yang dipersepsikan membela pemodal turut
menyumbangkan kemerosotan elektabilitas Ahok6.
Keempat, terpecahnya suara PDIP dikarenakan mundurnya Boy Sadikin dari tim
kampanye Ahok dan mengalihkan suaranya untuk mendukung Anies-Sandi serta adanya video
tim kampanye Ahok–Djarot membagikan sembako di masa tenang, sehingga membuat para
pemilih tidak bersimpati terhadap pasangan Ahok-Djarot.

3.3 Latar Belakang Gerakan Aksi Bela Islam Dalam Pilkada DKI Jakarta 2017

Gerakan aksi bela Islam sesungguhnya merupakan bentuk real dari adanya kebebasan
dalam negara yang menganut sistem demokrasi dalam mengekspresikan identitas keagamaan
(Islam), ketika berhadapan dengan keyakinan religius umat (ajaran agama) sebagai sumber
kekuatan yang telah dilecehkan oleh adanya pidato Ahok di Kepulauan Seribu yang mengatakan
“Jangan mau dibohongi pakai surat Al-maidah ayat 51”. Pidato Ahok ini menjadi viral ketika
video rekamannya diunggah ke media sosial. Akhirnya Video tersebut menimbulkan
kontroversi dikalangan masyarakat yang mengakibatkan munculnya kemarahan masyarakat
yang menganggap bahwa Ahok melecehkan Al-quran.
Peristiwa inilah yang menjadi faktor utama berkembangnya tanggapan umat Islam yang
merasa Ahok telah melecehkan keyakinan religiusnya. Peristiwa ini secara tidak langsung telah
membangkitkan sentimen identitas keagamaan terutama bagi masyarakat Jakarta dan sekitarnya.
Hal ini selaras dengan pandangan Habermas yang berpendapat bahwa iman itu bukan hanya
soal doktrin semata, yakni sesuatu yang dipercayai, melainkan sumber kekuatan yang menuntun
seluruh hidup orang beriman. Orang yang beragama menjalankan seluruh kehidupannya atas
dasar imannya. Iman adalah sesuatu yang inheren dalam diri manusia dan menuntunnya
menjalani hidup baik secara individu maupun sosial (Menoh, 2015)
Menurut Faisal Arief Kamil (Poltracking), pidato Ahok timbul karena adanya keresahan
dari Ahok karena ada pihak yang menggunakan Al-Maidah ayat 51 itu sebagai alat untuk tidak
memilihnya karena perbedaan agama. Menurutnya isi pidato Ahok terdapat penggunaan kata

6
www.Pilarbangsa.com diakses pada tanggal 02 Januari 2017 pada pukul 21.15 WIB

12
“jangan mau dibohongi pakai surat Al-Maidah 51” itu ditujukan untuk oknum yang
menggunakan ayat tersebut, karena tidak mungkin Ahok menyampaikan pidato tersebut kalau
tidak ada maksud tertentu. Lebih jauh ia berpendapat bahwa pidato ahok sebenarnya wujud dari
rasa ketidakadilan Ahok karena orang tidak melihat visi-misi, kinerjanya, mereka hanya melihat
kesamaan identitas keagamaanya saja.7.
Dalam perkembangannya, sebagian umat Islam menganggap bahwa pidato tersebut
menistakan agama Islam, seperti yang diungkapkan oleh Bachtiar Nasir yang berpandangan
bahwa dalam konteks perkataan Ahok, dibohongin pakai surat Al-Maidah 51, dalam kaidah
bahasa sudah bermasalah. Alasannya, dalam kalimat dibohongi pakai Al-Maidah 51, seakan
siapapun yang menggunakan surat Al-Maidah ayat 51 adalah pembohong, termasuk para ulama
yang menggunakan ayat ini untuk berdakwah. Menurutnya, padahal kita hanya menyampaikan
berdasarkan ayat yang ada di dalam surat tersebut dan ayatnya jelas. Jadi walaupun ada yang
mengatakan dibohongin pakai Al-Maidah 51 atau dibohongin Al-Maidah 51 ada yang
mengatakan ini berbeda, secara makna memang ada perbedaan. Jika menggunakan kata pakai
maka Al-maidah ini digunakan sebagai alat kebohongan dan jika tidak ada pakainya hanya
dibohongi Al-Maidah 51, maka Al-Maidahnya bohong bukan hanya dijadikan alat tapi memang
isinya bohong. Bachtiar Nasir berpendapat bahwa walaupun ada kata pakai atau pun tidak,
secara konteks menganggap bahwa ada aktifitas kebohongan yang dilakukan, masalahnya bukan
pada pakai atau tidak tetapi pada kalimatnya8.
Berdasarkan pendapat sebagian tokoh agama termasuk Bachtiar Nasir tersebut,
akhirnya mendorong organisasi Islam dan umat Islam merespon pidato Ahok dengan aksi
demonstrasi secara bergelombang menuntut Ahok segera diproses hukum. Aksi massa Islam
tersebut dilakukan karena belum adanya pemberitaan tentang penyelidikan dan mengesankan
bahwa kepolisian lamban dalam menangani kasus Ahok tersebut.
Aksi sentimen keagamaam yang disebut sebagai aksi bela Islam ini menjadi salah satu
aksi yang terbesar pasca reformasi, khususnya untuk aksi pada tanggal 2 desember 2016 yang
menjadi aksi dengan jumlah massa yang besar. Aksi-aksi yang dilakukan oleh umat Islam ini
dilaksanakan pada 14 oktober 2016, aksi 4 november 2016 (411), 2 desember 2016 (212), 11
februari 2017 (112), 21 februari 2017 (212), 31 maret 2017 (313) dan terakhir aksi 5 mei 2017
(505). Aksi-aksi yang dilakukan tersebut dianggap menjadi awal kebangkitan Islam Politik.

7
Hasil wawancara dengan Faisal Arief Kamil, Manager Riset Poltracking Indonesia pada tanggal 20
Oktober 2017 pukul 11.10 WIB bertempat di aula Masjid Jami Tangkuban Perahu.
8
Hasil wawancara dengan Bachtiar Nasir, Ketua Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) MUI pada
tanggal 15 November 2017 pukul 20.15 WIB bertempat di AQL Islami Center

13
3.4 Gerakan Massa Islam Dalam Pilkada DKI Jakarta
Gerakan massa Islam menjadi salah satu fenomena politik Indonesia modern yang
paling banyak mengundang perhatian. Mulai dari kemampuan memobilisasi massa sehingga
gerakan aksi bela Islam menjadi gerakan yang memiliki basis massa yang besar, terutama aksi 2
desember 2016.
Ada banyak hal yang menyebabkan aksi-aksi bela Islam memiliki basis massa yang
besar. Pertama, karena adanya rasa fanatisme agama yang kuat sehingga mereka merasa
tersinggung jika ada orang atau kelompok yang menyinggung atau bahkan menistakan agama
mereka. Sikap ini pulalah yang biasa disebut oleh kalangan muslim sebagai sikap Ghirah9 yaitu
sikap cemburu yang berakar dari agama atau ketersinggungan karena agamanya dihina atau
dilecehkan. Kedua, adanya faktor figur yang menjadi penggerak aksi yang dilakukan, figur
menjadi bagian terpenting dalam memobilisasi massa dalam kasus aksi bela Islam sosok Habib
Riziq menjadi figur sentral dalam aksi tersebut.
Figur/tokoh merupakan elemen yang penting dalam gerakan massa, seperti yang
dikatakan oleh Eric hoffer menurutnya figur ini lah yang menjadi aktor pemimpin yang
membangkitkan sifat fanatik melalui doktrin yang dia berikan. Sosok pemimpin dalam aksi
merupakan hal yang penting karena aksi tidak mungkin berjalan kalau tidak adanya sosok figur
yang kuat dalam menggerakan aksi tersebut (Hoffer, 1993). faktor-faktor tersebutlah yang
menjadi latar belakang terjadinya gerakan massa termasuk gerakan aksi bela Islam dalam
Pilkada DKI Jakarta 2017.
Figur Habib Rezieq Shihab sebagai aktor penggerak aksi bela Islam menjadikannya
sebagai tokoh yang membangkitkan populisme Islam karena bisa menyatukan dan
mengumpulkan berbagai kelompok Islam, sebelumnya tidak ada tokoh yang bisa
mengumpulkan massa sebanyak aksi bela Islam seperti menjelang dilaksanakannya Pilkada
DKI Jakarta. Pada sisi lain, adanya jumlah massa yang besar, tidak mungkin hanya melibatkan
ormas FPI atau Habib Rizieq saja dalam memobilisasi massa untuk ikut berpartisipasi dalam
aksi bela Islam, tetapi ada fakto lain yaitu pengaruh dari fatwa MUI, yang menyatakan bahwa
Ahok telah melakukan penistaan agama dan penghinaan terhadap ulama dan Islam.
Fatwa MUI inilah yang sukses meyakinkan banyak umat Islam untuk berpartisipasi
dalam gerakan aksi bela Islam jilid I, II, dan III. Terlebih lagi para tokoh agama membentuk
Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF-MUI) yang menjadi
tempat berkumpulnya berbagai tokoh agama untuk mengkordinir aksi bela Islam.

9
Ghirah adalah kecemburuan yang berakar dari agama atau ketersinggungan karena agamanya didurhakai
yang ada dalam hatii seseorang.Ghirah merupakan unsur jiwa untuk menjaga kehidupan dan keshalihan
hati dan Ghirah adalah bagian dari iman.

14
Aksi bela Islam I dilaksanakan pada tanggal 14 Oktober 2016, setelah shalat jum’at,
ribuan ormas Islam yang dikomandoi oleh FPI melakukan aksi di depan Balai Kota DKI
Jakarta. Dalam aksi tersebut mereka menuntut agar dilakukan penyelidikan atas kasus penistaan
agama yang dilakukan oleh Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Para peserta aksi tersebut
mengancam akan melakukan aksi yang lebih besar jika tidak kunjung merespon kasus ini dalam
waktu 3 minggu.
Aksi bela Islam II dilaksanakan pada tanggal 4 November 2016 (411) dimulai setelah
shalat jum’at kemudian massa berkumpul di bundaran patung kuda dan ada yang bergerak
kearah Medan Merdeka menuju depan Istana Negara. Menurut ustadz Abdurrahman Djaelani,
jumlah massa aksi sekitar 2,3 juta orang. Pada saat aksi 4 November (411), massa yang datang
ke DKI Jakarta berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Mereka awalnya berkumpul di Masjid
Istiqlal, setelah itu barulah menuju Istana Negara untuk menyampaikan aspirasi yang
diwakilkan oleh orator aksi.
Massa ingin bertemu dengan Jokowi untuk menyampaikan secara langsung tuntutan
mereka. GNPF-MUI mengutus KH. Bachtiar Nasir dan KH. M. Zaitun Razmin untuk
mendatangi istana. Hasil dari pertemuan itu massa ditemui oleh Menko Polhukam dan beberapa
mentri sebagai utusan Presiden RI. Kemudian Juru Runding mendatangi Istana untuk
ketigakalinya yaitu diwakili oleh KH Misbahul Anam yang ditemui Wapres RI dan petinggi
lainnya. Hasilnya Wapres RI memberikan jaminan akan memproses hukum Basuki Tjahaja
Purnama (Ahok) secara cepat, tegas dan transparan serta minta waktu selama 2 (dua) minggu
untuk merealisasikannya10.
Aksi bela Islam III dilaksanakan pada tanggal 2 Desember 2016 (212), aksi ini dianggap
sebagai aksi terbesar yang pernah ada dengan jumlah massa sekitar 6-7 juta. Aksi dilakukan di
Monas sekaligus melaksanakan shalat jum’at. Dalam aksi ini masih menggunakan narasi yang
sama yaitu penjarakan penista agama. Alasan kenapa aksi bela Islam III dilakukan menurut
Bachtiar Nasir karena ada ketidakseriusan pemerintah dalam menangani kasus ini, ada indikasi
pemerintah melindungi Ahok. Pada aksi 212 Kapolri dan Presiden Jokowi hadir dan Kapolri
berjanji akan memproses kasus penistaan agama yang dilakukan Ahok.
Setelah aksi bela Islam 212, aksipun terus berlanjut dari aksi 11 februari 2017 (112), 21
februari 2017 (212), 31 maret 2017 (313) dan terakhir aksi 5 mei 2017 (505). Tetapi didalam
aksi tersebut ada penurunan jumlah massa, dari aksi-aski yang dilaksanakan setelah 212, aksi
yang paling besar jumlah massa yaitu aksi 11 februari 2017 berkisar 200.000. penurunan jumlah

10
https://news.detik.com/berita/d-3338367/kronologi-demo-4-november-hingga-berujung-rusuh-versi-
gnpf-muidiakses pada tanggal 29 November 2017, Pukul 10.00 WIB.

15
massa aksi bela Islam dikarenakan banyaknya aktor-aktor kunci yang menjadi pelopor aksi bela
Islam terkena kasus hukum.
Faktor utamanya karena kasus Ahok sedang diproses hukum sehingga masyarakat
menganggap sudah tidak diperlukan aksi tersebut. Kemudian, karena faktor muatan politik
dalam aksi bela Islam semakin menguat, hal ini ditandai dengan narasi yang digunakan sudah
mulai ke arah politik seperti menurunkan presiden Jokowi dan sebagainya, faktor-faktor inilah
secara tidak langsung mempengaruhi turunnya jumlah massa11.

4. Analisis

Gerakan Massa Islam dalam kajian gerakan sosial dikenal dengan istilah framing atau
penciptaan makna, bertujuan menggiring orang agar sepaham dengan maksud dan tujuan suatu
gerakan, dalam proses pemaknaan ini seperti yang diungkapkan oleh Eric Hoffer, perlu
mengandung tiga unsur: pertama, gerakan perlu menampilkan ketidakadilan yang jadi
sasarannya, kedua, siapa figure/tokoh yang menggerakan, dan ketiga, harus memiliki sifat
fanatik (Hoffer,1993). Gerakan massa Islam menjadi suatu fenomena baru dalam politik
Indonesia modern pasca reformasi, dimana identitas keagamaan digunakan sebagai penggerak
aksi di dalam ruang publik.
Penggunaan agama dalam ruang publik dalam sistem demokrasi dibenarkan bahkan
Habermas menyerukan agar pendapat-pendapat agama perlu diperhitungkan bukan diabaikan
begitu saja, karena memperlakukan secara baik semua sumber kultural (termasuk agama)
merupakan satu kepentingan sendiri dari setiap negara hukum, karena kesadaran akan norma
dan solidaritas para warga justru dihidupkan oleh sumber-sumber ini (Menoh, 2015).
Berdasarkan pendapat Habermas penggunaan identitas keagamaaan dalam aksi bela
Islam tidak masalah, yang jadi masalah ketika identitas keagamaan tersebut dijadikan alat
politik untuk memperoleh kekuasaan. Dalam kasus Pilkada DKI Jakarta 2017, terjadinya aksi
bela Islam dalam bentuk gerakan massa yang bergelombang dari bulan oktober 2016 sd mei
2017 menunjukkan bahwa Islam menjadi kekuatan politik yang signifikan dalam politik
Indonesia modern. Output dari gerakan kebangkitan Islam yang direpresentasikan dengan aksi
bela Islam sebelum dilaksanakannya Pilkada DKI Jakarta 2017 adalah Ahok mengalami
kekalahan dan harus menjalani proses hukum yaitu masuk penjara karena dinilai bersalah dalam
kasus penodaan agama.

11
Hasil wawancara dengan Bapak Faisal Arief Kamil, Manager Riset Poltracking Indonesia pada tanggal
20 Oktober 2017 pukul 11.10 WIB bertempat di aula Masjid Jami Tangkuban Perahu.

16
5 Penutup
Peristiwa Pilkada DKI Jakarta tahun 2017 dapat merepresentasikan bahwa identitas
(suku/etnis, agama) yang melekat pada seseorang, bahkan kelompok bisa melebur menjadi
identitas tunggal. Masyarakat dengan latar belakang suku yang beragam melebur menjadi
sebuah kesatuan identitas keIslaman. Identitas Islam merupakan satu diantara identitas yang
sangat krusial bagi pemeluknya. Identitas keIslaman merupakan bagian dari apa yang disebut
sebagai “dunia Islam” yang melekat pada penduduk muslim. Pada sisi lain orang yang
beragama Islam juga mempunyai pandangan yang beragam, misalnya dalam nilai-nilai sosial
politik, pendekatan ekonomi, sikap terhadap Barat dan sebagainya.
Dalam kasus aksi bela Islam yang dilatarbelakangi oleh pidato Ahok di Kepulauan
Seribu mengenai surat Al Maidah 51, merupakan adanya kesadaram religius dari umat Islam
yang mendorong solidaritas dalam bentuk gerakan massa dalam jumlah yang besar karena
agama mampu menyatukan seluruh umatnya dari berbagai latar belakang etnis dan bangsa.
Secara empiris kebangkitan sentimen agama erat kaitannya dengan SARA,
kecenderungan ini yang dijadikan sebagai kekuatan politik, penonjolan identitas agama dari
kelompok mayoritas telah menafikan kemajemukan suku, agama, dan ras yang sejatinya
menjadi modal dalam pembangunan peradaban, namun belakangan menjadi isu polarisasi dalam
bernegara. Aksi-aksi bela Islam yang dilakukan secara bergelombang dalam Pilkada DKI
Jakarta 2017, telah dimanfaatkan sebagai sumber daya politik atau kekuatan politik dari
kelompok mayoritas kepada minoritas.
Gerakan aksi bela Islam dalam Pilkada DKI Jakarta 2017, secara empiris dapat
merepresentasikan kebangkitan identitas keagaamaan dan kebangkitan Islam politik sebagai
faktor determinan dalam politik Indonesia modern.

Daftar Pustaka
Brown, Carl.L. 2003. Wajah Islam Politik: Pergulatan Agama dan Negara sepanjang sejarah
Umat. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta

Harrison, Lisa. 2009. Metodologi Penelitian Politik. Jakarta: Kencana.

Hoffer, Eric. 1993. Gerakan Massa. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.

Machmudi, Yon. 2005. Partai Keadilan Sejahtera: Wajah Baru Islam Politik Indonesia.
Bandung: Harakatuna Publishing.
Martono, Nanang. 2015. Metode Penelitian Sosial, Konsep-Konsep Kunci. Jakarta: Raja
Grafindo Persada.

Menoh, Gusti A.B. 2015. Agama Dalam Ruang Publik. Yogyakarta: PT Kanisius.

17
Keith, Punch. 2006. Developing Effective Research Proposals, Second Edition. Sage
Publication.
Kerlinger, Fred N. 2006. Asas-Asas Penelitian Behavioral. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.

Roy, Oliver. 1996. Gagalnya Islam Politik. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta.

Sen, Armatya. 2016. Kekerasan dan Identitas. Tanggerang Selatan: Marjin Kiri.

Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif DAN R&D. Bandung: Alfabeta.

Jurnal

Arie Setyaningrum Pamungkas dan Gita Octaviani, Jurnal Pemikiran Sosiologi “Aksi Bela
Islam dan Ruang Publik Muslim : Dari Representasi Daring Ke Komunitas Luring,
Universitas Gajah Mada, 2017. Yogyakarta

Fikri Adrian, Skripsi “Identitas Etnis Dalam Pemilihan Kepada Daerah, Studi Kasus :
Pemilihan Gubernur DKI Jakarta Tahun 2012. Universitas Islam Negeri Jakarta.

KH . Sahal Mahfud. MA. Jurnal Agama dan Politik, Nuansa Fiqih Sosial, Yogyakarta : LKIS,
2004.

Masykuri Abdillah, Jurnal Hubungan Agama dan Negara Dalam Konteks Modernisasi Politik
di Era Reformasi.graduate.uinjkt.ac.id.

Yulius Suroso. Jurnal Ologarki dan Populisme Islam. Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara. 2017

Ikhwan Arif, Jurnal Urgensi Dalam Konteks Perilaku Memilih Pada Pilkada DKI Jakarta
Putaran Kedua. Indonesia Political Power. 2017

Website
www.dunia-kesenian.co.id
www.faktadki.com
http://www.kpu.go.id
www.Pilarbangsa.com
https://news.detik.com/berita

Wawancara:

1. Faisal Arief Kamil (Manager Riset Poltracking), Jakarta, 20 Oktober 2017


2. Bachtiar Nasir (Ketua GNPF MUI), Jakarta, 15 November 2017
3. Wiliam Yani (Tim Kemenangan Ahok-Djarot) Jakarta, 20 November 2017

18

Anda mungkin juga menyukai