Artikel Politik Identitas Jihad
Artikel Politik Identitas Jihad
Abstrak
Pemilu 2024 diidentifikasi sebagai momen krusial dalam perjalanan demokrasi, namun juga disertai oleh
ancaman yang signifikan, yaitu politik identitas. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis ancaman
politik identitas yang mungkin muncul selama periode pemilu 2024, dengan menggunakan pendekatan
kualitatif untuk memahami dinamika masyarakat yang terlibat. Temuan penelitian ini menekankan
betapa rumitnya politik identitas, yang mencakup pertanyaan tentang gender, agama, dan etnis.
Ketegangan di masyarakat meningkat selama kampanye politik karena penggunaan bahasa yang
memecah-belah dan diskriminatif. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bagaimana narasi politik
identitas disebarluaskan melalui media sosial, sehingga meningkatkan kemungkinan terjadinya konflik
dan ketidakstabilan politik. Penelitian kami berkontribusi pada pemahaman yang lebih baik tentang
risiko yang terkait dengan politik identitas yang mungkin muncul pada pemilu 2024. Implikasi dari
temuan ini menunjukkan bahwa, untuk mengurangi dampak buruk politik identitas dan menjaga
demokrasi yang kuat, beberapa pihak termasuk pemerintah, lembaga pemilu, dan masyarakat sipil harus
bekerja sama dalam upaya mengurangi munculnya politik identitas.
Kata kunci
Politik identitas; Polarisasi; Pemilu;
Abstract
The 2024 election is identified as a crucial moment in the journey of democracy, but it is also accompanied by a
significant threat, namely identity politics. This research aims to analyze the threat of identity politics that may
emerge during the 2024 election period, using a qualitative approach to understand the dynamics of the
communities involved. The research findings emphasize how complex identity politics can be, encompassing
questions of gender, religion and ethnicity. Tensions in society increase during political campaigns due to the use of
divisive and discriminatory language. The results of this research also show how identity politics narratives are
disseminated through social media, thereby increasing the possibility of conflict and political instability. Our
research contributes to a better understanding of the risks associated with identity politics that may emerge in the
2024 elections. The implications of these findings suggest that, to reduce the adverse impacts of identity politics and
maintain a strong democracy, several parties including the government, electoral institutions, and civil society must
work together in an effort to reduce the emergence of identity politics.
Keywords
Political Identity; polarization ; Election.
Politicos: Jurnal Politik dan Pemerintahan, X (X), Year, pp. X-X
ISSN xxxx-xxxx (print), ISSN xxxx-xxxx (online)
DOI: xxxxxxxxxx
atau akrab disapa Ahok pada Pilkada signifikan terhadap polemik ini
DKI Jakarta 2017. Semua ini bermula (Candra et al., 2023).
pada tanggal 27 September 2016, ketika Pembentukan politik identitas pada
Ahok, dalam kapasitasnya sebagai Pilkada DKI Jakarta 2017 pada saat itu
Gubernur DKI, mengunjungi Pulau disebabkan oleh beberapa faktor
Pramuka di Kepulauan Seribu untuk sebagai berikut :
urusan bisnis (BBC News, 2016). Saat 1. Terdapat salah satu pasangan
Ahok menyinggung Surat Al-Maidah calon yang berasal dari dua
51 dalam pidatonya di depan warga, minoritas, yaitu Cina (Tionghoa)
masyarakat bereaksi negatif. Majelis dan Kristen.
hakim dan mayoritas umat Islam 2. Pidato Ahok di Pulau Pramuka
menilai Ahok tidak menghormati Surat Kepulauan Seribu yang
Al-Maidah dalam pernyataan tersebut. menyinggung Surat Al Maidah
Saat melakukan kunjungan kerja ke 51 yang memicu reaksi pro
Kepulauan Seribu pada 27 September kontra dalam masyarakat.
2017, pakar bahasa Indonesia 3. Media sosial berperan sangat
Universitas Mataram, Mahyuni, juga besar dalam proses
mengungkapkan, Basuki Tjahaja pembentukan politik identitas
Purnama alias Ahok berbicara di luar masyarakat Muslim di Jakarta,
kerangka program budidaya ikan. terutama ketika Buni Yani
Selain reaksi lisan, argumen ini bahkan mengunggah video pidato Ahok
memicu protes besar-besaran dengan di Kepulauan Seribu yang
sekitar 50.000 peserta di Jakarta pada menjadi viral dan memancing
tanggal 4 November 2016. Namun, kemarahan sebagian besar umat
sejumlah besar orang juga tidak setuju Muslim.
dengan putusan terhadap Ahok dan 4. Aksi bela Islam yang dimotori
prosedur hukumnya. Banyak individu oleh Gerakan Nasional
dan kelompok percaya bahwa standar Pengawal Fatwa Majelis Ulama
yang sewenang-wenang dan campur Indonesia (GNPF-MUI), berhasil
tangan yang meluas menjadi pedoman memobilisasi massa umat Islam
proses pengambilan keputusan yang merasa marah atas
pengadilan terhadap Ahok. penghinaan Al-Quran oleh Ahok
Berdasarkan hasil survei lembaga untuk menuntut agak segera
survei Saiful Mujani Research and diproses secara hukum.
Consulting (SRMC), sebanyak 21,5% Hasil pilkada DKI Jakarta 2017
responden tidak setuju dengan memunculkan debat sejauhmana
pernyataan Ahok yang menghina rasionalitas pemilih bekerja dalam
Islam. Topik politik identitas dan menjelaskan perilaku pemilih. Menurut
keadaan di sekitar era post-truth data longitudinal Indikator Politik
nampaknya mempunyai pengaruh Indonesia, rata-rata kepuasan publik
terhadap Ahok mencapai 73,4 persen.
286
Politicos: Jurnal Politik dan Pemerintahan, X (X), Year, pp. XX-XX
langsung dengan kebutuhan utama dan sebuah teori kepemilikan isu dalam
permasalahan aktual yang dihadapi pemungutan suara yang menyoroti
masyarakat. Kekhawatiran berbiaya bagaimana kampanye memengaruhi
rendah ini secara halus menunjukkan standar yang digunakan pemilih dalam
kaliber dan kemampuan para calon memilih kandidat. Politisi menekankan
presiden. Kedua calon presiden isu-isu yang penting bagi mereka dan
tersebut tampaknya belum yakin meremehkan isu-isu lawan mereka. Hal
bagaimana menjelaskan kepada ini menjelaskan mengapa kandidat
pemilih mengenai program, tujuan, dan menyoroti permasalahan secara
visi aktual yang akan ditawarkan. Pada berbeda karena unsur struktural dan
akhirnya, keadaan ini menimbulkan sistem kepartaian. Menempatkan fokus
kecurigaan; mungkin calon presiden pada “masalah” yang unik bagi
memiliki kemampuan yang diperlukan kandidat; pemilih cenderung memilih
untuk membahas isu-isu yang lebih politisi yang memiliki reputasi dan
penting. rekam jejak partai yang menunjukkan
didukung oleh bukti, baik langsung tingkat kemahiran lebih tinggi dalam
maupun tidak langsung, dari penelitian menangani isu-isu yang penting bagi
lain. Lebih buruk lagi, tim sukses dan mereka.
juru bicaranya terkena dampaknya. Demi memenangkan Pilpres 2019,
Kelompok-kelompok yang efektif politik identitas menjadi narasi
nampaknya lebih menyukai pembelaan sehingga menimbulkan perpecahan
diri yang keras dibandingkan masyarakat yang merugikan tatanan
memberikan saran dan komentar yang negara. Sangat berisiko untuk
lebih perseptif dan bermanfaat kepada mempolarisasikan isu-isu dengan
kandidat mereka. melakukan menyimpang ke dalam politik identitas,
pertahanan buta dan kadang-kadang karena hal ini terbukti mampu
bahkan melakukan kesalahan yang menyebabkan perpecahan sosial yang
tidak pantas terlihat di depan umum. sangat parah. Politik identitas adalah
Pelecehan verbal dapat berkisar dari taktik umum yang digunakan oleh para
pilihan kata hingga serangan pribadi calon presiden untuk melemahkan dan
terhadap kepribadian dan karakter meremehkan pesaing mereka.
seseorang. "Penyakit" politisi itu juga “Masalah identitas” dimonetisasi dan
menimpa masyarakat secara dieksploitasi sebagai alat politik untuk
keseluruhan demi tiga uang. Paparan meningkatkan dukungan terhadap
terhadap tontonan ini tidak mendidik basis dukungan bagi setiap kelompok
para politisi atau mereka yang tidak pemilih yang mencalonkan diri sebagai
mempunyai kemampuan dialektika presiden. Dengan menempatkan
dan pemikiran yang masuk akal. Belum “masalah agama” sebagai serangan
mampu mengendalikan diri dan terhadap kampanye politik lawan,
menggunakan kebijaksanaan ketika maka tujuan promosi opini melalui
menghadapi berbagai persoalan. “masalah agama” adalah untuk
289
Author(s) | Manuscript title