Anda di halaman 1dari 6

Nama : Gitavia Yowanda Bhellaniecha Ade

Nim : 22.13021.41478
UNFINISHED INDONESIA

Indonesia dengan negara penduduk terbesar ke-4 di dunia negara negara dengan
penduduk muslim terbesar di dunia, negara demokrasi terbesar ke- 3 di dunia. Negara yang
memiliki lebih dari 17.00 pulau ini menjadi rumah bagi ribuan kelompok etnis, meskipun
sekitar 83% penduduk Indonesia muslim tetapi jumlah pemeluk agama – agama yang lain
signifikan. Di Indonesia Islam tidak di pertentangkan dengan nasionalisme dan demokrasi,
ideologi nasional yang inklusif Bernama Pancasila di terima secara luas. Belakangan ujian
terhadap kemapanan ideologi kebangsaan yang inklusif ini menguat kembali di tengah
guncangan politik identitas.
02 Desember 2016 kawasan Monas Jakarta di padati ratusan ribu umat Islam, mereka
datang tak hanya dari Jakarta tapi juga dari berbagai daerah. Teriakan takdir silih berganti
dengan hujatan terhadap gubenur DKI Jakarta Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok. Hujatan
terhadap Ahok juga di tuangkan dalam bentuk poster dan spanduk yang dibawa para
pengunjukrasa termasuk yang ada tulisan tolak pemimpin kafir. Ahok di tuding sudah
menyingung umat Islam dalam pidatonya di kepulau Seribu. Masa menuntut Ahok di adili
sebagai penista agama Islam.
Pengerak aksi adalah Habib Rizieq Shihab pemimpin organisasi Islam Front Pembela
Islam juga Bachtiar Nasir yang membentuk Gerakan nasional pengawal Fatwa MUI. Aksi
212 yang masih ini di nilai menunjukkan menguatnya identitas supremasi Islam di Indonesia,
identitas keislaman it uterus menguat bahkan hingga dua tahun sesudah aksi 212. Bulan
November 2018 acara Hijrah Fest di Jakarta di hadiri puluhan ribu anak muda, pengunjung
Fest berasal dari latar organisasi keagaman dan orientasi politik beragam tetapi nuansa
identitas keislaman kegiatan ini cukup kuat dengan pembicara yang mengusung narasi
supremasi Islam.
Sukses di Jakarta acara serupa di gelar di Surabaya selama tiga bulan kemudian
“Faktanya kita lihat apakah kehidupan sekarang lebih baik apakah ketika diatur oleh selain
sistem Islam Indonesia menjadi negara maju tidak, jangan – jangan memang karena
sistemnya berati apa ayo kita rubah menjadi negeri yang merindukan tegaknya sistem Islam
secara Kaffah” Fatih Karim Ustad HTI. Hijrah Fest dan Islamic menjadi ruang pertemuan
pasar budaya pop dan transmisi gagasan kebangkitan Islam.
Aksi 212 menumbuhkan kesadaran kebangkitan Islam tidak hanya di ranah politik
tetapi juga di ranah sosial dan ekonomi yang bersifat ekslusif. Bermunculah gerai dan tokoh
yang menonjolkan identitas Islam seperti halal Mart , Mart 212, dan dikotomi antara bisnis
muslim atau atau pribumi melawan bisnis asing atau kafir. Kampaye kebangktan Islam ini
tumbuh dengan memanfaatkan isu ketidakadilan dan kesenjangan ekonomi. Dosen
Universitas Indonesia Inayah Rahmani melakukan penelitian tentang motif para peserta aksi
212 ia menemukan motif aksi tak semata – mata urusan politik agama. “ Artinya secara
alamiah orang kelas menengah itu akan mulai merasa gamang karena ke kesempatan di masa
depan sulit untuk dia control dan perang negara semakin lemah perasaan gamang itu keluar
dalam narasi – narasi keagaman ketika orang itu merasa cemas merasa gamang ada
kecenderungan di antara kelas menengah muslim Indonesia di dalam kasus DKI Jakarta
untuk Kembali ke agama untuk mendapatkan sebuah kepastian sehingga ketika ada situasi
politik tekanan tinggi dimana ada musuh bersama yang menunjukkan sosok yang bukan
muslim bukan ras melayu menimbulkan persepsi bahwa seseorang yang merupakan musuh
kita akan mengambil pegangan kita yang menambahkan ketidakpastian lagi “ Inayah
Rakhmani.
Musuh Bersama yang dimaksud Inayah adalah Ahok gubernur DKI Jakarta kala itu
Ahok adalah sosok beretnis Tionghoa dan beragama non muslim. Isu penista agama yang di
sematkan ke Ahok berkembang menjadi kampaye penolakan pemimpin kafir dan bisnis
asing, sebagai dasar argumentasi mereka menyindir surat Al-Maidah ayat 51.

Banyak ulama yang menafsirkan ayat ini tidak dalam pengertian larangan memilih
pemimpin non politik tetapi bagi sebagaian larangan kata al-maidah ayat 51 digunakan
sebagai symbol aspirasi supremasi Islam.
Salah satu tokoh utama pengusung narasi ini adalah Bactiar Nasir adalah salah satu
tokoh utama pengerak aksi 212 yang tidak berhenti dengan ke berhasilan menggulingkan
Ahok mulai dalam ceramahnya di masjid jogokariyan jogyakarta pada februari 2019 Bactiar
Nasir menegaskan jasa besar umat Islam Indonesia dalam sejarah Indonesia, karena itu sudah
selayaknya umat Islam Indonesia mendapatkan posisi istimewah dalam kepemimpian politik.
“Islam adalah yang paling besar kontribusinya dalam proses lahirnya negara kesatuan
republik Indonesia ini sebagaimana kita ketahuai kerajan – kerjaaan islam bukan Cuma
menyerahkan aset yang mereka miliki tetapi ia kekuasannya bersatu Indonesia melawan
invasi serangan dunia atau kolonialisme barat pada saat itu sampai pada akhirnya tokoh –
tokoh islam pula yang menjadi founding fathers berdirinya negeri ini tidak bisa di pungkiri
dan bahkan sejarah tidak pernah bisa di hapus peran besar umat islam pada negeri.
Orang Islam di pimpin orang – orang Islam yang non muslim orang kafir di pimpin
oleh mereka background Aulia uang dan kita tidak boleh jungkit terbolak – balik, jadi umat
Islam harus di pimpin oleh umat Islam jika mau jujur Indonesia adalah mayoritas muslim dan
anda penganut demokrasi proporsional jika umat islam yang mayoritas ini di pimpin oleh
umat islam, bahkan lebih dari itu ada satuan – satuan terkecil umat islam rela kalau pemimpin
di bali itu bukan orang islam karena mayoritas hindu sebagiama mestinya, tidak ada yang
salah jika aceh kemudian menerapkan perda syariah yang haya diberlakukan hanya untuk
masyarakat muslim saja” Bactiar Nasir Ustad. Ustad Zain an-najah sering satu panggunh
dengan Bactiar Nasir.
Ustad Zainal adalah akademis dan Dai yang aktif di Lembaga yang dengan Bachtiar
Nasir miumi majelis intelektual dan ulama muda Indonesia. Sebuah lembaga yang mewaris
pemikiran tokoh – tokoh politik islam seperti M Nasir yang pada masa – masa awal
kemerdekaan menuntut agar Indonesia menjadi negara islam. Zain menjelaskan mengapa
umat islam harus menolak pemimpin kafir. “Diprekdiksi kalau pemimpin kafir dalam
pandagan islam orang kafir tidak amanat karena tidak mau bersyukur kepada sang pencipta
Allah SWT menciptakan orang ini seharusnya bersyukur kepada sang pencipta membalas
budi baiknya karena sudah di berika rezeki dan di berikan kehidupan, syukurnya itu dalam
bentuk menyembahnya masuk islam dan melaksanakan ketentuannya, orang kafir ini tidak
bersyukur terhadap tuhannya tidak Amanah terhadap nikmat yang di berikan, kalau dia tidak
Amanah terhadap tuhanya biasanya tidak Amanah kepada rakyatnya, semua dari pandangan
islam
Tetapi dalam sejarah islam aspirasi negara islam tidak menjadi kekuatan utama. Arus
besar organisasi keagamaan islam menerima bentuk negara saat ini sejalan dengan cita – cita
politik islam, saat nasari penolakan pemimpin kafir menguat Nahdlatul Ulama organisasi
muslim terbesar di Indonesia mempunyai sikap berbeda. Istilah kafir menjadi salah satu tema
dalam Munas alim ulama dan konfresi besar Nahlatul Ulama Januari 2019 di kabupaten
Banjar Jawa Barat.
Salah satu pertemuan para ulama NU merekemondasikan istilah kafir tidak di
gunakan dalam kehidupan bernegara sebab baik orang muslim maupun non muslim
mempunyai hal yang sama dalam komstusi. Islam memiliki posisi penting dalam lanskap
politik Indonesia bahkan sejak berdirinya republic ini, dalam berbagai kesempatan Bung
Karno menyetir Islam dalam pidatonya. “Dan kepercayaan tuhan yang satu ini tauhid inilah
yang menjadi api bekobar – kobar menyala – nyala di dalam Qur’an itu jadi kalau api ini
telah berkobar – kobar dan menyala – nyala pula di dada manusia, manusia yang lebih yaitu
manusia yang manusia kata meyatukan”
Dengan jumlah pemeluk mayoritas islam menjadi factor penting dalam pembentukan
ideologi bangsa, karena sebagai pendiri bangsa islam menuntut agar Indonesia menjadi
negara islam. Diskusi keras terjadi pada panitia persiapan kemerdekaan Indonesia PPKI
jelang proklamasi 17 Agustus 1945, yang paling kencang debat seputar piagam Jakarta dalam
pembukaan Undang – Undang Dasar 1945 yakni tujuh kata negara berdasarkan ketuhanan
dengan kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluk – pemeluknya. Piagam Jakarta
dianggap sebagai perwujud gagassan negara islam, meskipun anggota PPKI mayoritas
beragama muslim mereka menyadari realitas bahwa negara non muslim juga cukup
signifikan.
KH. Wahid Hasyim anggota PPKI dari Nahdlatul Ulama termasuk yang setuju tujuh
kata dalam Piagam Jakarta di hapus, di mata inteletual muda Nahdlatul Ulama Ahmad Saidi
sikap KH. Wahid Hasyim itu adalah refleksi dari ideologi Islam inklusif NU “misalnya dalam
perdebatan di awal – awal kemerdekaan pasca PPKI itu memang ada pernah munculnya
berbagai ide bentuk negara islam itu seperti ada yang mengusulkan kerajaan – kerajaan islam
raja yang berati ada yang republic ada yang Negara sekruler yang kemudian Soekarno
menawarkan Pancasila tetapi Pancasila yang bagaimana.
Wahid Hasyim dengan terbuka dan ikhlas dengan menghapus itu dengan
pertimbangan kesatuan Republik Indonesia karena itu terancam pecah yang kemudia juga
dari perwakilan Muhammadiyah”
Selain Nadhatul Ulama organisasi besar Islam Muhammadiyah juga memiliki wakil di
PPKI yakni KI Bagus Hadikusumo, awalnya Ki bagus adalah salah satu tokoh yang berkeras
agar naskah asli Piagam Jakarta di pertahankan namun setelah di sepakati tanggal 18 Agustus
1945 Muhammdiyah menerima kesepakatan itu. Secara keagaman Muhammadiyah
membingkai penerimaan atas sistem politik yang ada saat ini dalam konsep Darul Ahdi wa
Syahadah atau negara kesepakatan dan persaksian.
Najib Burhani intelektual muda Muhammdiyah menyebutkan konsep ini menyiratkan
bentuk negara Indonesia sudah sesuai dengan substansi perintah untuk menerapkan syariah
sebagaimana Nabi Muhammad membangun negara yang multicultural melalui Piagam
Madinah.
Maumere kota di kabupaten Sikka Nusa Tenggara Timur, Maumere adalah wajah lain
Indonesia karena di sini umat islam hidup di tengah mayoritas umat katolik. Maumere adalah
gambaran bahwa tidak semua wilayah Indonesia mayoritas beragama islam ini menjadi salah
satu alasan kenapa gagasan Negera islam dianggap tidak sesuai bagi Indonesia.

Hari minggu adalah waktu beribadah bagi warga Maumere yang mayoritas beragama
katolik, diantara umat katolik yang pergi ke gereja, Abdul Rashid Wahab berkunjung ke
gereja untuk bersilatuhrahmi. Abdul Wahab yang di panggil Abah Rashid juga kerap
mengunjungi uskup Manggarai Moncur Edward Martinus, Abah Rashid adalah tokoh forum
kerukunan umat beragama forum ini berperan penting dalam relasi antara agama.
Di sini kearifan bapak bangsa yang menjadikan Pancasila sebagai dasar negara dan
bukan negara agama menemukan relevansi yang nyata. Di Maumere penyebutan kafir tidak
di gunakan dalam pergaulan antar agama.
Tanggak 22 Oktober ditetapkan sebagai hari santri nasional sebagian besar warga
Nahdliyin memperingati hari santri nasional, peringatan ini menjadi momentum pengesan
komitmen santri terhadap sistem politik dan penolakan terhadap gagasan pendirian Khilafah
para santri menolak penggunaan lafadz tauhid sebagai symbol kampaye Khilafah, tulisan
tauhid memang kerap di gunakan dalam bendera Hizbut Tharir Indonesia Ormas yang
mengusung konsep Khalifah.
Khilafah adalah gugatan terhadap sistem demokrasi dan bentuk negara kesatuan
Indonesia. Banser secara organisasi kepemudaan NU tidak jarang terlibat dalam konfrontasi
melawan kampaye Khilafah. Sikap kenegaraan seperti ini tak hanya muncul saat ini tapi
sudah ditegaskan sejak berdirinya NU oleh Kyai Wahab Hasbullah dan Kyai Hasyim Asy’ari
1926 lalu, isu agama dan nasionalisme kebangsaan tak pernah menjadi persoalan dalam NU.
Lagu yalal wahton yang di maksud Ahmad suaedy ini belakangan di nyanyikan pada
Nadlatul Ulama mengelar acara lagu ini di ciptakan oleh pendiri NU Kyai Hasbullah tahun
1935, lagu yalal wathon membangun semangat warga NU untuk mengikuti prinsip para
ulama NU bahwa Islam dan nasionalisme atau rasa cinta tanah air tidak dapat di pisahkan,
saat gagasan Khilafah menjadi kontroversi sebagai tokoh politik islam menawarkan istilah –
istilah lain dalam semagat supremasi islam.
Ustadz Zain an-najah Bersama Bacthtiar Nasir menolaj asosiasi politik islam dengan
ide Khilafah semata, di mata Ustadz Zain isu Khilafah muncul karena peran umat islam saat
ini masih lemah namun formalisme khilafah tak harus di wujudkan dalam sistem kenegaraan.
Bagi Ustadz Zain Khilafah mungkin hanya soal istilah namun cita – cita supremasi islam tak
redup dalam konteks negara demokrasi seperti saat ini
Formalisme politik dari ide supremasi islam itu terasa dalam kontestasi pemilu 2019,
melalui forum Ijtima ulama kelompok dan tokoh yang mendukung supremasi islam seperti
FPI, GNPF Ulama , Ikhwanul Muslimin, FUI, HTI, dan kelompok Salafi mendukung
Prabowo sandi pada saat yang sama arus NU mendukung Joko Widodo sementara dukungan
massa Muhammdiyah terbelah kedua kubu situasi ini mempertegas ideologis anatara NU dan
kekuatan – kekuatan politik islam, dua kutub itu bisa di sebut sebagai islam inklusif dan islam
ekslusif, hasil pemilu 27 April 2019 mengantarkan joko yang di dukung NU terpilih menjadi
presiden.
Namanya Ahmad muwafiq tapi dia lebih dikenal dengan sebutan Gus Muwafiq, kyai
NU yang sedang naik daun saat. Ini rumahnya di Sleman tidak pernah sepi pengunjung,
tamunya berasal dari kalangan NU masyarakat umum, pejabat negara dan juga aparat
keamanan, meski beragam tapi tema yang di bahas sama bagiamana peran islam dan umat
islam dalam konteks kebangsaan Indonesia.
Gus Muafiq berkeliling Indonesia menebar pesan tentang karakter islam dan
Indonesia yang tidak cocok untuk ideologi negara islam yang ekstrim akhlak. Kyai muwafiq
adalah contoh konsolidasi basis – basis islam moderat dalam respon menguatnya gagasan
supremasi islam. Di kalangan NU konsolidasi ini mengangkat Kembali komitmen terhadap
Pancasila yang pernah di tegaskan dalam Munas tahun 1983 di Situbondo.
Muhammdiyah adalah ormas Islam terbesar kedua di Indonesia setelah Nahdlatul
Ulama jumlah anggota dan simpatisannya mencapai 57 juta orang. Para tokoh islam moderat
khawatir menguatnya narasi supremasi islam akan memicu konflik komunal Indonesia punya
pengalaman pahit konflik komunal yang di picu oleh sentimental perang agama diantaranya
terjadi di kota Maumere tahun 1995 dan 2002 kota Maumere di guncang kerusuhan antara
umat beragama islam dan katolik.
Abah Rashid berusaha keras meredam konflik itu, abah Rasyid adalah tokoh
Muhammadiyah yang teguh menuaikan salah satu bidang pengabdian Muhammdiyah yakni
Pendidikan mulai tingkat dasar hingga perguruan tinggi juga mendirikan Lembaga
Pendidikan yang Sebagian siswa dan gurunya beragama katolik.
Pesan tentang islami inklusif di tebarkan abah rashid di tangkap generasi muda
Maumere tanpa membedakan akidah dan penampilan mereka akrab berdiskusi. Di usia 81
tahun abah Rasyid tak Lelah berkeliling Maumere menyambangi pulau – pulau terpencil
untuk berdakwah kepada umat islam dan bersilahturahmi dengan komunitas – komunitas non
muslim.
Di saat sentimental politik identitas mengemukakan upaya potensi konflik komunal
tidak hanya bergantung pada narasi – narasi besar di tingkat nasional tetapi juga peran tokoh
– tokoh lokal dalam mempertahankan semangat toleransi, di maumere abah rashid
mengambil peran ia menjadi pelopor dalam menciptkan ruang – ruang perjumpaan lintas
agama melalui Lembaga Pendidikan dan kemanusiaan islam yaitu ekslusif terhadap warga
non muslim.
Sosok seperti abah rashid dan umat islam moyoritas di maumere adalah satu wajah
islam di Indonesia sementara ide supremasi islam juga tidak surut. Kyai muwafiq terus
berkeliling Indonesia mengkonsolidasi peran mereka untuk mempertahankan gagasan
nasionalisme islam yang inklusif, islam di Indonesia masih akan berkembang dalam
pergulatan narasi kebangsaan tidak hanya selesai di sini.

Anda mungkin juga menyukai