Anda di halaman 1dari 7

Halaqoh Fiqih Peradaban

FIQIH SIYASAH NU DAN HAK-HAK KAUM MINORITAS

Oleh : KH. Abu Yazid AM, MA


(Katib Syuriah PBNU dan Wakil Sekjen Pimpinan Pusat MDS Rijalul Ansor)

Negara bangsa (Nation State) dan problem bagi umat Islam


Sistem negara-bangsa (nation-state) merupakan kenyataan sejarah modern yang tidak
bisa dihindari oleh bangsa dan manusia manapun di muka bumi saat ini, termasuk Indonesia.
Selain merupakan tuntutan global pasca kolonialisme barat atas dunia timur, karena nation state
merupakan konsep teritorial kekusaan politik yang menjanjikan penyelesaian bagi setiap bangsa
dalam menghadapi realita pluralisme, hajatan ekonomi serta hak-hak bagi setiap warga bangsa-
nya; nation state juga merupakan jawaban bagi bangsa manapun di dunia untuk menentukan
batas-batas teritorial wilayah kekuasaan politik bagi bangsa dan kekuasan mereka.
Nation state sendiri bagi umat Islam secara global juga merupakan problem sekaligus
tuntutan baru dalam fiqih siyasah pasca runtuhnya kekuasaan khilafah Turki Usmani untuk
menentukan formulasi konsep siyasah apa yang pas dan sesuai bagi setiap bangsa yang ada di
komunitas umat Islam, serta relasi sosial yang bagaimana harus diterapkan bagi warga negaranya
yang heterogen dan plural itu.
Sehingga harus disadari bahwa kolonialisme dan runtuhnya kekuasaan Turki Usmani
itulah yang menjadi salah satu faktor penting yang melatar belakangi para ulama dan Kyai di
nusantara yang memiliki visi agama dan kultur keagamaan yang sama untuk mendirikan jam’iyah
Nahdlatul Ulama (NU). Meski tema utama yang melatarbelakangi berdirinya NU ketika itu adalah
upaya Inggris untuk mensupport Muhammad b. Saud yang bekerjasama dengan ulama
kharismatik dari Najd, Muhammad b. Abdul Wahab untuk memberontak kepada penguasa Turki
Usmani dalam rangka mendirikan kerajaan Saudi Arabia dengan Wahabi sebagai madhab resmi
negaranya. Puncaknya Wahabi ingin memberangus makam Rasulullah dengan tanah karena
dianggap bid’ah dan khurofat, hingga dibentuklah komite Hijaz sebagai cikal bakal berdirinya NU.
Kyai Hasyim Asyari dan Kyai Wahab Hasbullah serta para ulama dan Kyai NU saat itu
sangat menyadari betul bahwa mereka harus menyiapkan infrastruktur ide dan gagasan bagi
negara bangsa (nation state) yang akan muncul kelak untuk mewadai dan menghimpun seluruh
elemen bangsa di Nusantara yang plural dan heterogen ketika para penjajah sudah enyah dan
meninggalkan rumah besar mereka di nusantara.
Sehingga ketika kemerdekaan Indonesia akhirnya diproklamirkan oleh Soekarno Hatta
bersama para tokoh pendiri bangsa pada 17 Agustus 1945, sangat wajar jika para Kyai NU
memiliki peran besar dalam mengawal proses pendirian NKRI (Negara Kesatuan Republik
Indonesia) dan pembentukan pilar-pilar negara.

Persoalan umat Islam dalam Nation State


Tidak dapat dipungkiri bahwa pergeseran secara revolusioner dari sistem khilafah pasca
runtuhnya khilafah Turki Usmani menjadi sistem negara bangsa (nation state) benar-benar
memunculkan persoalan-persoalan baru bagi umat Islam hingga sekarang. Persoalan besar itu
muncul akibat kegamangan umat Islam dalam menghadapi perubahan kondisi sosial politik yang
begitu dahsyat di tengah-tengah kehidupan mereka.
Pada sisi lain, kegamangan itu juga muncul akibat ketidak-siapan umat Islam untuk
melakukan ijtihad keagamaan dengan mereview dan mentransformasi doktrin-doktrin agama
yang sudah ‘out of date’ agar menjadi ‘up to date’, bahkan juga mereformasi doktrin-doktrin yang
anggap ‘suci’ namung kenyataannya sudah ‘usang’.

1
Ada empat persoalan besar yang dihadapi oleh umat Islam secara global pasca
terbentuknya negara bangsa (nation state) yang tidak jarang banyak negara muslim belum
mampu menyelesaikannya hingga sekarang. Empat problem besar tersebut adalah:
1. Formalisasi Islam dan pentingnya menggagas ‘fiqih siyasah baru’ bagi umat Islam yang
mendamaikan serta diterima oleh semua elemen bangsa dalam wadah nation state.
2. Cara pandang umat Islam terhadap syari’ah serta penerapannya dalam konstitusi negara
dan sosial dalam bingkai negara bangsa (nation state).
3. Hubungan sosial yang lebih humanis antar warga negara yang plural dan beragam suku,
ras, bangsa dan agama untuk menjamin dan melindungi atas hak-hak sipil mereka.
4. Instrumen konstitusi yang disepakati bersama oleh seluruh elemen bangsa dalam rangka
untuk mengatasi berbagai konflik dan pelanggaran atas konsensus yang dilakukan untuk
mencapai perdamaian dan meminimalisir benturan-benturan antar kelompok.
Empat persoalan di atas menjadi keniscayaan untuk dijawab karena kegagalan umat Islam dalam
mengatasi empat persoalan besar tersebut jelas akan memunculkan masalah lain yang lebih rumit.
Bahkan tak jarang banyak negara muslim hingga saat ini masih berkutat dengan persoalan-
persoalan dan kemelut internal yang tak kunjung terselesaikan akibat muncul persoalan lain yang
lebih rumit dan membuat persoalan umat semakin pelik, seperti :
1. Arogansi supremasi negara adi daya pada negara lain;
2. Warisan relasi agama yang belum terselesaikan hingga sekarang;
3. Munculnya kelompok anti agama yang berkembang di berbagai kawasan di dunia.
Munculnya kelompok radikal yang melakukan kejahatan dengan atas nama Islam serta
menyelewengkan doktrin agama dalam aksi terorisme akhir-akhir ini hakikatnya juga merupakan
persoalan fiqih siyasah yang tak terselesaikan atas kegamangan umat Islam dalam menghadapi
pergeseran sosial politik di internal bangsa mereka, serta ditambah dengan persoalan eksternal
lainnya yang lebih rumit.
Sebab, segala apapun bentuk perbuatan jahat jika dibungkus dengan agama akan dianggap
sebagai kemuliaan bagi mereka yang dangkal terhadap agama. Melawan negara dan pemerintahan
yang sah pun dikatakan sebagai bentuk amar ma’ruf nahi munkar, memusuhi sesama umat Islam
yang dianggap sesat dianggap dakwah, bahkan membunuh mereka yang kafir (red; berbeda
agama) atau dianggap menolong pada pada orang kafir pun disebut Jihad, dan merampok harta
benda mereka disebut ghonimah.

Konsensus Indonesia sebagai negara bangsa (NKRI dan Pancasila)


Sejak awal berdiri, ada empat pilar yang dijadikan konsensus oleh para pendiri bangsa dan
seluruh elemen bangsa sebagai pondasi negara kesatuan Republik Indonesia dalam kapasitasnya
sebagai nation state (negara bangsa). Empat pilar tersebut diformulasikan oleh KH. Maimoen
Zubair dengan singkatan PBNU, yakni:
1. Pancasila sebagai dasar negara yang sudah dianggap final oleh seluruh elemen bangsa.
2. Bhineka tunggal ika yang dijadikan sebagai identitas bangsa Indonesia adalah keniscayaan
yang harus dihargai dan dijunjung tinggi oleh seluruh rakyat Indonesia.
3. Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai konsep nation state bagi bangsa Indonesia
adalah harga mati, karena ia merupakan konsensus yang sudah disepakai oleh seluruh
elemen dan para pendiri bangsa.
4. UUD 45 adalah konstitusi dasar bagi negara yang sudah baik dan final.
Empat pilar inilah yang sebenarnya ditawarkan para ulama dan Kyai NU untuk menjawab
persoalan besar yang dihadapi umat Islam pasca runtuhnya khilafah Turki Usmani di atas.
‘NKRI harga mati’ ala NU adalah jawaban atas issu besar tentang formalisasi Islam dalam
fiqih siyasah umat Islam untuk mewujudkan negara bangsa di era modern. Bahwa identitas negara
Republik Indonesia tidak harus berbentuk Islam formal. Karena Islam dalam fiqih siyasah baru ala
2
NU hakikatnya lebih berfungsi sebagai konten agama, bukan identitas agama. Karena konten,
maka fiqih siyasah di Indonesia harus mengutamakan pada penerapan materi dan ajaran Islam
daripada sekedar formalisasi Islam sebagai identitas negara.
‘Pancasila sudah final’ ala NU juga merupakan jawaban atas issu besar tentang formalisasi
syariah dan cara pandang baru umat Islam terhadap penerapan syari’ah dalam negara. Karena
Pancasila dalam uji materinya sudah merupakan bagian dari penerapan syari’ah dalam negara
meskipun dengan redaksi yang bernuansa lokal untuk menghargai tradisi dan nilai-nilai budaya
bangsa Indonesia.
Pun slogan ‘UUD 1945 adalah konstitusi kita’ juga merupakan jawaban atas persoalan
penting bahwa Indonesia harus memiliki konstitusi dan undang-undang dasar yang menjamin
perlindungan atas hak-hak sipil setiap warga negaranya. UUD 1945 dalam hal ini juga merupakan
instrumen penting negara untuk menyatukan semua elemen bangsa serta aturan dasar yang harus
ditegakkan jika terjadi konflik dan benturan-benturan yang bisa mengganggu keutuhan bangsa.
Sejak awal, gagasan untuk menempatkan empat pilar di atas sebagai kekuatan Indonesia
sebenarnya sudah disepakati oleh para pendiri NU dan penggerak NU. Bukan hanya secara fatwa
saja, namun semua hal yang dilakukan oleh para Kyai NU sejak sebelum diproklamirkannya
kemerdekaan Indonesia, pada pasca terbentuknya negara kesatuan Republik Indonesia hingga
dalam perjalanan NU untuk mengawal negara Indonesia menjadi gambaran tentang iqror dan
konsensus para Kyai NU terhadap empat pilar utama Indonesia tersebut.
Kelahiran Pancasila -sebagai contoh- merupakan hasil mediasi KH. Wahab Hasbullah atas
perintah KH. Hasyim Asyari untuk mengatasi konflik akibat terjadinya pertarungan ide antara
kaum sekuler dan non muslim yang menginginkan negara Indonesia berbentuk negara sekuler,
dengan kaum Islamis yang menginginkan negara Indonesia berbentuk negara Islam. Kompromi
tersebut ditandai dengan persetujuan Hadlrotus Syaikh untuk menghapus beberapa butir ayat
dalam piagam Jakarta yang dianggap berpihak pada kelompok Islamis. Dengan demikian Pancasila
hakikatnya merupakan kompromi atas konsep kerakyatan dan keadilan dalam gagasan kaum
sekuler dengan konsep ketuhanan dan syariat Islam dalam gagasan kaum Islamis.
Begitu juga lahirnya kaidah “hubbul wathon minal iman” dalam fiqih siyasah NU yang
masyhur digagas oleh KH. Abdul Wahab Hasbullah hingga melahirkan mars Syubbanul Wathon
yang diciptakan oleh beliau adalah bentuk iqror dan konsensus para ulama NU terhadap konsep
NKRI yang sudah dianggap sebagai harga mati. Pun UUD 45 yang juga dijadikan konstitusi dan
undang-undang dasar paten bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Kebhinekaan dan Relasi sosial dalam wadah NKRI


Salah satu pilar Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah kebhinekaan dalam semboyan
Bhineka Tunggal Ika. Kata bhinnêka berasal dari dua kata yang mengalami sandi, yaitu bhinna
yang bermakna berbeda' dan ika yang bermakna 'satu'. Sehingga secara harfiah, Bhinneka Tunggal
Ika dapat diartikan meskipun beranekaragam, pada hakikatnya bangsa Indonesia tetap
merupakan satu kesatuan. Semboyan ini digunakan untuk menggambarkan persatuan dan
kesatuan Bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri atas beraneka ragam adat
dan budaya, bahasa daerah, ras, suku bangsa, agama serta kepercayaan.
Kebhinekaan menjadi keniscayaan bagi bangsa Indonesia karena pengalaman sejarah sejak
zaman kerajaan kuno di nusantara telah mengajarkan bahwa keragaman budaya, heteroginitas
masyarakat dalam suku, ras dan agama bukanlah penghalang untuk mewujudkan harmoni sosial
bagi masyarakat di Nusantara. Justru keragaman tersebut akan menjadi kekuatan dan rahmah
besar dari Tuhan jika seluruh elemen bangsa mampu menerima perbedaan itu dalam harmoni
sosial, akulturasi budaya dan toleransi antar umat beragama dan kepercayaan.
Pun dalam kontek agama, kebhinekaan dijadikan pilar utama oleh NU dalam bingkai NKRI
karena sejak awal berdirinya Republik Indonesia para ulama dan Kyai NU sangat menyadari

3
bahwa Indonesia merupakan rumah besar bagi umat Islam. Meski beliau-beliau juga sangat sadar
bahwa Indonesia tidak hanya dimiliki dan dihuni oleh umat Islam saja. Sehingga saling
menghormati dan menghargai perbedaan keyakinan dalam wadah Bhineka Tunggal Ika
merupakan sebuah keniscayaan yang harus dijunjung tinggi oleh semua elemen bangsa untuk
mewujudkan harmoni sosial dan perdamaian antar elemen bangsa.
Karena beragam budaya, berbeda suku, ras, bangsa dan agama maka harmonisasi sosial
dalam heterogenitas masyarakat dan keragaman budaya dalam bingkai NKRI tersebut hanya akan
bisa diwujudkan jika (1) ada perekat yang menyatukan seluruh elemen bangsa, (2) ada konsensus
bersama untuk saling menghormati dan menghargai perbedaan yang ada, (3) ada konstitusi yang
ditegakkan jika terjadi pelanggaran atas konsensus tersebut.
Di Indonesia, pereket segala perbedaan dalam suku, ras, bangsa dan agama tersebut adalah
Pancasila. Manakala konsensus bersama untuk mewadahi seluruh elemen bangsa yang beragam
itu bernama NKRI dengan nasionalisme yang harus dijunjung tinggi oleh setiap warga negara. Dan
konstitusi yang harus ditegakkan agar terwujud harmoni sosial dan menjamin tidak adanya
pelanggaran atas konsensus yang sudah disepakati bersama untuk mewujudkan stabilitas
keamanan negara adalah UUD 1945 yang harus ditaati oleh seluruh warga bangsa dan negara.

Kebhinekaan dan hak-hak kaum minoritas dalam nation state


Istilah ‘kelompok minoritas’ mulai muncul dan diterapkan bersamaan dengan wacana hak
asasi manusia dan hak kolektif yang mengemuka pada abad ke-20. Keanggotaan kelompok
minoritas biasanya didasarkan pada perbedaan karakteristik atau praktik yang dapat diamati,
seperti: etnis (etnis minoritas), ras (minoritas ras) dan agama (minoritas agama), bahkan juga
orientasi seksual (sexual orientation) bagi kelompok HAM liberal.
Terminologi ‘minoritas’ juga sering diasosiasikan dengan istilah ‘kelompok lain’. Istilah itu
muncul karena adanya stigmatisasi dan objektivikasi mayoritas terhadap ‘kelompok lain’
tersebut. Dalam konteks beragama dan berkepercayaan di Indonesia, ‘kelompok lain’ itu
dikonstruksikan sebagai mereka yang beragama atau berkeyakinan non-mayoritas, seperti umat
Kristiani, Hindu, Budha, Konghucu atau mereka yang memiliki latar belakang keyakinan agama
yang berbeda dengan muslim mayoritas, seperti Ahmadiyah, Syi’ah, dll.
Issu tentang kaum minoritas ini muncul karena ada persoalan besar terkait dengan hak-
hak sipil pasca munculnya nation state (negara bangsa) di dunia modern. Persoalan tersebut
adalah relasi antar kaum mayoritas dan minoritas dalam negara manapun, khususnya relasi kaum
mayoritas dan minoritas dalam agama yang merupakan issu paling sensitif di negara bangsa
manapun hingga saat ini, pun di negara barat yang konon sangat mengagungkan HAM (hak asasi
manusia). Tak jarang, persoalan besar ini memunculkan konflik yang berkepanjangan dalam suatu
negara.
Baik secara vertikal maupun horizontal, konflik dan kemelut berkepanjangan selalu terjadi
dalam sebuah negara akibat dominasi politik kaum mayoritas terhadap minoritas. Sebab dalam
doktrin agama, dominasi itu dianggap legal dan sah karena diyakini sebagai bagian dari dakwah
dan amar makruf nahi munkar, sehingga tindakan represip pun dihalalkan. Manakala perlawanan
politik kaum minoritas terhadap masyarakat atau penguasa mayoritas dianggap sebagai tindakan
jihad atas kelaliman kelompok mayoritas maupun rezim penguasa. Konflik berkepanjangan inilah
yang terjadi hingga sekarang di Afghanistan, Iraq, Syria, Yaman, Ethiopia, India dan Xinjiang China.
Di Indonesia, hal yang sama pernah dialami oleh kelompok Syiah di Madura, kelompok Ahmadiyah
di beberapa tempat di Jateng, kaum Kristiani di wilayah Indonesia yang mayoritas muslim untuk
mendirikan rumah ibadah, serta perlakuan kelompok non muslim kepada umat Islam di beberapa
wilayah Indonesia yang mana mayoritas masyarakatnya adalah non muslim.
Namun, sebenarnya jika menilik pada terminologi yang diketengahkan para sosiolog,
bahwa minoritas adalah kelompok sosial yang tidak mencapai mayoritas dalam voting populasi

4
total secara politis dari suatu kelompok masyarakat tertentu, maka mereka yang mayoritas secara
kuantitas belum tentu akan mayoritas secara kualitas dalam segala bidang lainnya.
Seperti di Indonesia yang secara kuantitas populasi masyarakatnya mayoritas pribumi dan
beragama Islam, namun pada aspek bidang ekonomi ternyata justru menjadi minoritas, karena
mayoritas kekuasaan ekonomi justru dipegang oleh kelompok China non muslim. Pun pada zaman
orde baru yang mana masyarakat Indonesia mayoritas merupakan warga NU justru secara politik
hak-hak politiknya menjadi minoritas karena penguasa rezim orde baru yang lebih cenderung
berpihak kepada warga Muhammadiyah yang minoritas, dan tidak memberi peluang sedikitpun
kepada warga NU untuk berperan serta memegang jabatan-jabatan politik di pemerintahan. Kasus
waduk Wadas dan Kedung Ombo yang berakhir pada pengusiran warga yang mayoritas warga NU
juga merupakan gambaran lain dari masyarakat yang mayoritas secara kuantitas belum tentu
akan menjadi mayoritas secara kualitas pada bidang lainnya.
Sehingga pada kondisi ini penting bagi negara untuk hadir dan menegakkan hukum serta
konstitusi negara yang telah disepakati oleh seluruh elemen bangsa sejak berdirinya Republik
Indonesia agar hak-hak sipil dapat dibela, rakyat menemukan keadilan serta relasi kaum
minoritas dan mayoritas tidak menjadi timpang. Karena ketidak adilan hukum dan ketimpangan
dalam relasi sosial dalam negara bangsa yang plural dan heterogen seperti Indonesia jika
dibiarkan bisa berujung pada terjadinya konflik sosial yang bisa mengganggu stabilitas bangsa,
baik konflik secara vertikal maupun secara horisontal.

Ijtihad dalam Fiqih siyasah NU; penghargaan terhadap kebhinekaan dan memberikan hak-
hak bagi kaum minoritas
Patut diakui, sejak awal berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia, sebenarnya para
ulama dan Kyai NU tidak memiliki konsep yang muluk-muluk tentang nasionalisme dan
pentingnya penjagaan terhadap NKRI dengan segala keragaman budaya dan heterogenitas
masyarakat yang berbeda ras, suku dan agama yang dimiliki. Nasionalisme dan penjagaan
terhadap NKRI bagi para ulama NU hanyalah bermula dari satu konsep sederhana, bahwa
Indonesia adalah rumah besar umat Islam. Itu saja..
Karena rumah besar bagi umat Islam namun juga rumah bagi penganut agama lain yang
berbeda, maka untuk menjamin umat Islam yang tersebar di seluruh teritorial Indonesia yang luas
itu bisa aman dan nyaman dalam menjalankan ibadah sesuai syariat Islam maka umat Islam pun
harus bisa menjamin kemanan dan kenyamanan umat lain dalam menjalankan ajaran agama
sesuai keyakinan mereka. Begitu juga kelompok non muslim, agar terjamin keamanan dan
kenyamanan mereka dalam menjalankan ajaran agama sesuai dengan keyakinan mereka, maka
mereka pun harus menjamin keamanan dan kenyamanan sosial bagi umat Islam yang ada
disekitar mereka.
Simbiosis mutulis dan relasi sosial yang mengutamakan kemaslahatan bersama dalam
tatanan sosial yang heterogen dan saling menghargai inilah yang menjadikan para ulama dan Kyai
NU selalu berupaya untuk menghidupkan dan mengembangkan ijtihad baru dalam fiqih sosial dan
fiqih siyasah yang tidak melulu berpusat pada turots klasik yang notabene memiliki setting sosial
yang berbeda dengan latar belakang lingkungan dimana para ulama Nusantara berada. Konstruksi
fiqih sosial dalam tradisi NU pun dibangun agar relasi sosial menjadi lebih setara dan humanis
dimana hak-hak pribadi dan kelompok diberikan secara proporsional dan berkeadilan. Begitu
juga dalam fiqih siyasah yang dikonstruksi oleh para ulama NU agar relasi politik antara kelompok
muslim yang mayoritas dengan kelompok non muslim yang minoritas lainnya menjadi agar lebih
humanis, egaliter dan tidak dominatif serta represip.
Dalam turots klasik (red; kitab kuning), konstruksi fiqih sosial dan fiqih siyasah para ulama
Salaf yang notabene berlatar belakang pemerintahan khilafah yang terpusat dan tanpa batas-batas
teritorial itu pasti didominasi oleh kekuatan politik umat Islam sebagai kekuatan mayoritas
kepada non muslim yang dianggap minoritas serta dengan formalisasi syariah yang kental dalam
5
negara. Konstruksi sosial yang dibangun pun menempatkan non-muslim sebagai kelompok sub-
ordinat yang harus tunduk dan patuh pada aturan dan hegemoni pemerintah pusat yang dominatif
bahkan cenderung represit dimana hak-hak kemanusiaan dan kewarga-negaraan mereka menjadi
terabaikan. Itulah alasan munculnya strata sosial bagi non-muslim yang terbagi dalam status kafir
harbi, kafir dzimmi, kafir mu’ahad, kafir mu’taman, dll dalam fiqih siyasah klasik. Konsep yang
sedemikian rigit seperti inilah yang diperjuangkan hingga sekarang dibanyak negara oleh
kelompok radikal semacam Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir, Thaliban, hingga kelompok teroris
Islam seperti ISIS, al-Qaeda, JI, JAD, JAT, dll.
Dalam konteks ke-Indonesia-an doktrin hal yang demikian tentu tidak bisa diterapkan
karena dasar negara kesatuan Republik Indonesia bukan syariat Islam tapi Pancasila, sistem
pemerintahannya berbentuk demokrasi terpimpin dan sistem sosial negara yang egaliter di
tengah kondisi warga masyarakatnya yang beragam budaya dan berbeda-beda suku, ras, bangsa
dan agama.
Dasar negara Pancasila memberi konsekwensi bahwa Syariat tidak boleh difahami secara
formalistik dalam negara, tapi harus difahami dari konten ajaran dan tujuan syari’ah-nya.
Demokrasi memberi konsekwensi bahwa ‘mayoritas’ itu ditentukan bukan dari kuantitas
penduduknya tapi ditentukan oleh kualitas partisipator dalam sistem politik yang dibangun.
Sehingga kepemimpinan yang berkeadilan dan melindungi seluruh warga negara secara
seimbang, baik kepada mereka yang mayoritas maupun minoritas, itu menjadi kunci. Serta kondisi
sosial masyarakat yang egaliter, memberi konsekwensi bahwa sistem sosial dalam masyarakat di
Indonesia harus dibangun di atas pondasi sikap toleransi, tepo sliro, saling menghormati dan
menghargai perbedaan yang ada. Karena ragam budaya dan kebhinekaan masyarakat dalam
bangsa dan agama merupakan sunnatullah yang akan menjadi rahmat jika dibangun diatas sikap
saling bertoleransi dan saling menghargai.
Inilah yang menjadi landasan para ulama dan Kyai NU membuat formulasi fiqih sosial dan
fiqih siyasah yang unik dan berbeda di Indonesia, dimana fatwa dan ijtihad mereka tidak
bertumpu pada konsepsi fiqih siyasah secara qouli dari ulama salaf semata. Akan tetapi lebih
didasarkan pada konsep istishlah (mengambil mana yang maslahah) dan upaya memahami tujuan
syari’ah (munasib sebagai maqoshid as-syari’ah) dalam penerapan jurisprudensi Islam. Kaidah
dasar dalam metode istislah (mashlahah mursalah) tersebut antara lain adalah sebagai berikut:
َ‫اعيَ إَةَمَنَوَطََ َبإاَلمَصَلَحَ إة‬
َ‫لمَامإَََعََالرَ إ‬ َ‫ تَ ر‬.1
َ‫صفََاَ إ‬
َ‫بَاَلَصَا إَل إح‬
َ ‫اس إَدَمَقَدَمَََعََجَلَ إ‬
َ‫ دَرَءََاَلَفَ إ‬.2
َ َ‫حَاَلَاصَ إة‬
َ‫ اَلَصَا إَلحََالَعَامَةََمَقَدَمَََعََاَلَصَا إَل إ‬.3
Hasilnya dalam fiqih siyasah NU para ulama NU bisa menerima nation state dalam wadah
NKRI sebagai konsep negara bangsa untuk membatasi wilayah teritorial dan memberi
perlindungan terhadap hak-hak warga bangsa. Konsekwensinya, resolusi jihad pun difatwakan
oleh Hadlrotus Syaikh KH. Hasyim Asyari, bahwa membela NKRI dari rongrongan para penjajah
adalah bagian dari jihad fi sabilillah, meskipun NKRI tidak hanya dihuni oleh umat Islam.
Fiqih siyasah NU dan para ulama NU juga menerima asas Pancasila sebagai asas tunggal
dalam berbangsa dan bernegara serta UUD 1945 sebagai konstitusi dasar bagi negara.
Konsekwensinya, KH. Wahab Hasbullah pun mengeluarkan fatwa pada tahun 1949-1952 bahwa
DI/TII wajib ditumpas oleh negara meskipun mereka orang Islam dan mengatas-namakan umat
Islam, karena cita-cita mereka yang ingin mewujudkan negara Islam di Indonesia. Pun yang
demikian juga sama dengan yang dilakukan oleh Presiden Jokowi untuk membubarkan HTI dan
FPI karena keinginan mereka yang hendak mengganti Pancasila dengan syariat Islam.
Dalam fiqih siyasah dan fiqih sosial NU juga ditegaskan bahwa para ulama NU menyatakan
kebhinekaan sebagai keniscayaan yang harus diterima oleh umat Islam dan seluruh elemen
6
bangsa. Dan kata kunci untuk merawat kebhinekaan dan perbedaan tersebut adalah dengan
mengembangkan sikap toleransi yang harus dimiliki oleh umat Islam dan seluruh elemen bangsa.
Inilah alasan kenapa KH. Achmad Shiddiq menyatakan bahwa persaudaran dalam Islam itu
meliputi tiga hal, yaitu ukhuwah Islamiyah (persaudaraan dengan sesama umat Islam), ukhuwah
wathoniyah (persaudaran antar elemen bangsa) dan ukhuwah basyariyah (persaudaraan dalam
kemanusiaan). Dan hal ini pula yang menjadi alasan kenapa Gus Dur membela kelompok
Ahmadiyah sebagai bentuk perlindungan kepada mereka yang minoritas. Serta beliau juga giat
berceramah bukan saja di kalangan umat Islam, tapi juga di gereja-gereja serta tempat ibadah
orang non-muslim. Karena mereka yang berbeda agama dengan kita hakikatnya adalah saudara
kita dalam kemanusiaan.
Dan salah satu bentuk toleransi dan sikap tepo sliro adalah bagaimana umat Islam sebagai
kelompok mayoritas di Indonesia mampu menjaga perasaan mereka yang minoritas dalam
kehidupan bersosial, berbangsa dan bernegara. Sehingga inilah alasan kenapa dalam Munas NU
tahun 2020 difatwakan bahwa dalam kehidupan bersosial, berbangsa dan bernegara, umat Islam
jangan sekali-sekali menyebut mereka yang berbeda dengan sebutan kafir, tapi sebutlah dengan
sebutan non-muslim. Karena menjaga perasaan mereka yang berbeda agama adalah bagian dari
ajaran agama.

Kesimpulan dan rekomendasi


Dapat disimpulkan bahwa perjalanan NU yang begitu panjang hingga menuju satu abad
saat ini telah terbukti mampu mengkonstruksi fiqih sosial dan fiqih siyasah yang ideal untuk
menjawab berbagai persoalan kontemporer yang melanda dunia saat ini sejak terbentuknya
negara bangsa (nation state). Padahal di sisi lain, masih banyak negara yang belum mampu untuk
menjawabnya, bahkan menyelesaikan persoalan bangsa mereka sendiri.
NU juga telah terbukti menjawab persoalan antara relasi antara negara dengan agama
secara baik dan selaras di abad modern ini, hingga tak sedikit negara-negara lain patut untuk
belajar dari NU dan Indonesia dalam rangka untuk menyelesaikan persoalan di internal negeri
dan bangsa mereka yang mengalami konflik dan kemelut berkepanjangan.
Persoalan lain terkait relasi antara kelompok muslim dengan non muslim yang justru
menjadi issu sensitif di negara-negara maju sekalipun nyatanya masih menjadi problem utama.
Terlebih bagi negara yang konsevatif dan masih mengadopsi formalisasi syariat Islam sebagai
dasar tentu menjadi persoalan tersendiri yang rumit untuk diselesaikan. Sebab keragaman budaya
dan perbedaan ras, suku, bangsa serta agama sudah menjadi keniscayaan bagi negara manapun di
dunia saat ini. Namun nyatanya Indonesia dengan NU sebagai ‘shadow of state’-nya telah berhasil
mengaplikasikan ide-ide besar tentang toleransi untuk menyelesaikan persoalan hubungan
muslim dengan non-muslim yang menjadi issu sensitif di luar sana.
Sehingga inilah alasan penting NU menjelang satu abad umurnya ini perlu mengenalkan
sekaligus mempromosikan ide dan gagasan besarnya dalam menyelesaikan persoalan-persoalan
kontemporer tersebut kepada dunia jika kita ingin mewujudkan peradaban dunia yang lebih
damai, berkeadilan dan berkemanusiaan. Forum R20 yang diadakan di Bali beberapa waktu yang
lalu adalah salah satu upaya PBNU untuk melakukan upaya pengenalan tersebut kepada dunia.
Dan halaqoh fiqih peradaban yang saat ini digagas dan digulirkan adalah bagian dari upaya untuk
mempromosikan ide dan gagasan NU yang brillian itu kepada khalayak luas.

Wallahu a’lam bis Showab


(Tom’s)

Anda mungkin juga menyukai