1
Ada empat persoalan besar yang dihadapi oleh umat Islam secara global pasca
terbentuknya negara bangsa (nation state) yang tidak jarang banyak negara muslim belum
mampu menyelesaikannya hingga sekarang. Empat problem besar tersebut adalah:
1. Formalisasi Islam dan pentingnya menggagas ‘fiqih siyasah baru’ bagi umat Islam yang
mendamaikan serta diterima oleh semua elemen bangsa dalam wadah nation state.
2. Cara pandang umat Islam terhadap syari’ah serta penerapannya dalam konstitusi negara
dan sosial dalam bingkai negara bangsa (nation state).
3. Hubungan sosial yang lebih humanis antar warga negara yang plural dan beragam suku,
ras, bangsa dan agama untuk menjamin dan melindungi atas hak-hak sipil mereka.
4. Instrumen konstitusi yang disepakati bersama oleh seluruh elemen bangsa dalam rangka
untuk mengatasi berbagai konflik dan pelanggaran atas konsensus yang dilakukan untuk
mencapai perdamaian dan meminimalisir benturan-benturan antar kelompok.
Empat persoalan di atas menjadi keniscayaan untuk dijawab karena kegagalan umat Islam dalam
mengatasi empat persoalan besar tersebut jelas akan memunculkan masalah lain yang lebih rumit.
Bahkan tak jarang banyak negara muslim hingga saat ini masih berkutat dengan persoalan-
persoalan dan kemelut internal yang tak kunjung terselesaikan akibat muncul persoalan lain yang
lebih rumit dan membuat persoalan umat semakin pelik, seperti :
1. Arogansi supremasi negara adi daya pada negara lain;
2. Warisan relasi agama yang belum terselesaikan hingga sekarang;
3. Munculnya kelompok anti agama yang berkembang di berbagai kawasan di dunia.
Munculnya kelompok radikal yang melakukan kejahatan dengan atas nama Islam serta
menyelewengkan doktrin agama dalam aksi terorisme akhir-akhir ini hakikatnya juga merupakan
persoalan fiqih siyasah yang tak terselesaikan atas kegamangan umat Islam dalam menghadapi
pergeseran sosial politik di internal bangsa mereka, serta ditambah dengan persoalan eksternal
lainnya yang lebih rumit.
Sebab, segala apapun bentuk perbuatan jahat jika dibungkus dengan agama akan dianggap
sebagai kemuliaan bagi mereka yang dangkal terhadap agama. Melawan negara dan pemerintahan
yang sah pun dikatakan sebagai bentuk amar ma’ruf nahi munkar, memusuhi sesama umat Islam
yang dianggap sesat dianggap dakwah, bahkan membunuh mereka yang kafir (red; berbeda
agama) atau dianggap menolong pada pada orang kafir pun disebut Jihad, dan merampok harta
benda mereka disebut ghonimah.
3
bahwa Indonesia merupakan rumah besar bagi umat Islam. Meski beliau-beliau juga sangat sadar
bahwa Indonesia tidak hanya dimiliki dan dihuni oleh umat Islam saja. Sehingga saling
menghormati dan menghargai perbedaan keyakinan dalam wadah Bhineka Tunggal Ika
merupakan sebuah keniscayaan yang harus dijunjung tinggi oleh semua elemen bangsa untuk
mewujudkan harmoni sosial dan perdamaian antar elemen bangsa.
Karena beragam budaya, berbeda suku, ras, bangsa dan agama maka harmonisasi sosial
dalam heterogenitas masyarakat dan keragaman budaya dalam bingkai NKRI tersebut hanya akan
bisa diwujudkan jika (1) ada perekat yang menyatukan seluruh elemen bangsa, (2) ada konsensus
bersama untuk saling menghormati dan menghargai perbedaan yang ada, (3) ada konstitusi yang
ditegakkan jika terjadi pelanggaran atas konsensus tersebut.
Di Indonesia, pereket segala perbedaan dalam suku, ras, bangsa dan agama tersebut adalah
Pancasila. Manakala konsensus bersama untuk mewadahi seluruh elemen bangsa yang beragam
itu bernama NKRI dengan nasionalisme yang harus dijunjung tinggi oleh setiap warga negara. Dan
konstitusi yang harus ditegakkan agar terwujud harmoni sosial dan menjamin tidak adanya
pelanggaran atas konsensus yang sudah disepakati bersama untuk mewujudkan stabilitas
keamanan negara adalah UUD 1945 yang harus ditaati oleh seluruh warga bangsa dan negara.
4
total secara politis dari suatu kelompok masyarakat tertentu, maka mereka yang mayoritas secara
kuantitas belum tentu akan mayoritas secara kualitas dalam segala bidang lainnya.
Seperti di Indonesia yang secara kuantitas populasi masyarakatnya mayoritas pribumi dan
beragama Islam, namun pada aspek bidang ekonomi ternyata justru menjadi minoritas, karena
mayoritas kekuasaan ekonomi justru dipegang oleh kelompok China non muslim. Pun pada zaman
orde baru yang mana masyarakat Indonesia mayoritas merupakan warga NU justru secara politik
hak-hak politiknya menjadi minoritas karena penguasa rezim orde baru yang lebih cenderung
berpihak kepada warga Muhammadiyah yang minoritas, dan tidak memberi peluang sedikitpun
kepada warga NU untuk berperan serta memegang jabatan-jabatan politik di pemerintahan. Kasus
waduk Wadas dan Kedung Ombo yang berakhir pada pengusiran warga yang mayoritas warga NU
juga merupakan gambaran lain dari masyarakat yang mayoritas secara kuantitas belum tentu
akan menjadi mayoritas secara kualitas pada bidang lainnya.
Sehingga pada kondisi ini penting bagi negara untuk hadir dan menegakkan hukum serta
konstitusi negara yang telah disepakati oleh seluruh elemen bangsa sejak berdirinya Republik
Indonesia agar hak-hak sipil dapat dibela, rakyat menemukan keadilan serta relasi kaum
minoritas dan mayoritas tidak menjadi timpang. Karena ketidak adilan hukum dan ketimpangan
dalam relasi sosial dalam negara bangsa yang plural dan heterogen seperti Indonesia jika
dibiarkan bisa berujung pada terjadinya konflik sosial yang bisa mengganggu stabilitas bangsa,
baik konflik secara vertikal maupun secara horisontal.
Ijtihad dalam Fiqih siyasah NU; penghargaan terhadap kebhinekaan dan memberikan hak-
hak bagi kaum minoritas
Patut diakui, sejak awal berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia, sebenarnya para
ulama dan Kyai NU tidak memiliki konsep yang muluk-muluk tentang nasionalisme dan
pentingnya penjagaan terhadap NKRI dengan segala keragaman budaya dan heterogenitas
masyarakat yang berbeda ras, suku dan agama yang dimiliki. Nasionalisme dan penjagaan
terhadap NKRI bagi para ulama NU hanyalah bermula dari satu konsep sederhana, bahwa
Indonesia adalah rumah besar umat Islam. Itu saja..
Karena rumah besar bagi umat Islam namun juga rumah bagi penganut agama lain yang
berbeda, maka untuk menjamin umat Islam yang tersebar di seluruh teritorial Indonesia yang luas
itu bisa aman dan nyaman dalam menjalankan ibadah sesuai syariat Islam maka umat Islam pun
harus bisa menjamin kemanan dan kenyamanan umat lain dalam menjalankan ajaran agama
sesuai keyakinan mereka. Begitu juga kelompok non muslim, agar terjamin keamanan dan
kenyamanan mereka dalam menjalankan ajaran agama sesuai dengan keyakinan mereka, maka
mereka pun harus menjamin keamanan dan kenyamanan sosial bagi umat Islam yang ada
disekitar mereka.
Simbiosis mutulis dan relasi sosial yang mengutamakan kemaslahatan bersama dalam
tatanan sosial yang heterogen dan saling menghargai inilah yang menjadikan para ulama dan Kyai
NU selalu berupaya untuk menghidupkan dan mengembangkan ijtihad baru dalam fiqih sosial dan
fiqih siyasah yang tidak melulu berpusat pada turots klasik yang notabene memiliki setting sosial
yang berbeda dengan latar belakang lingkungan dimana para ulama Nusantara berada. Konstruksi
fiqih sosial dalam tradisi NU pun dibangun agar relasi sosial menjadi lebih setara dan humanis
dimana hak-hak pribadi dan kelompok diberikan secara proporsional dan berkeadilan. Begitu
juga dalam fiqih siyasah yang dikonstruksi oleh para ulama NU agar relasi politik antara kelompok
muslim yang mayoritas dengan kelompok non muslim yang minoritas lainnya menjadi agar lebih
humanis, egaliter dan tidak dominatif serta represip.
Dalam turots klasik (red; kitab kuning), konstruksi fiqih sosial dan fiqih siyasah para ulama
Salaf yang notabene berlatar belakang pemerintahan khilafah yang terpusat dan tanpa batas-batas
teritorial itu pasti didominasi oleh kekuatan politik umat Islam sebagai kekuatan mayoritas
kepada non muslim yang dianggap minoritas serta dengan formalisasi syariah yang kental dalam
5
negara. Konstruksi sosial yang dibangun pun menempatkan non-muslim sebagai kelompok sub-
ordinat yang harus tunduk dan patuh pada aturan dan hegemoni pemerintah pusat yang dominatif
bahkan cenderung represit dimana hak-hak kemanusiaan dan kewarga-negaraan mereka menjadi
terabaikan. Itulah alasan munculnya strata sosial bagi non-muslim yang terbagi dalam status kafir
harbi, kafir dzimmi, kafir mu’ahad, kafir mu’taman, dll dalam fiqih siyasah klasik. Konsep yang
sedemikian rigit seperti inilah yang diperjuangkan hingga sekarang dibanyak negara oleh
kelompok radikal semacam Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir, Thaliban, hingga kelompok teroris
Islam seperti ISIS, al-Qaeda, JI, JAD, JAT, dll.
Dalam konteks ke-Indonesia-an doktrin hal yang demikian tentu tidak bisa diterapkan
karena dasar negara kesatuan Republik Indonesia bukan syariat Islam tapi Pancasila, sistem
pemerintahannya berbentuk demokrasi terpimpin dan sistem sosial negara yang egaliter di
tengah kondisi warga masyarakatnya yang beragam budaya dan berbeda-beda suku, ras, bangsa
dan agama.
Dasar negara Pancasila memberi konsekwensi bahwa Syariat tidak boleh difahami secara
formalistik dalam negara, tapi harus difahami dari konten ajaran dan tujuan syari’ah-nya.
Demokrasi memberi konsekwensi bahwa ‘mayoritas’ itu ditentukan bukan dari kuantitas
penduduknya tapi ditentukan oleh kualitas partisipator dalam sistem politik yang dibangun.
Sehingga kepemimpinan yang berkeadilan dan melindungi seluruh warga negara secara
seimbang, baik kepada mereka yang mayoritas maupun minoritas, itu menjadi kunci. Serta kondisi
sosial masyarakat yang egaliter, memberi konsekwensi bahwa sistem sosial dalam masyarakat di
Indonesia harus dibangun di atas pondasi sikap toleransi, tepo sliro, saling menghormati dan
menghargai perbedaan yang ada. Karena ragam budaya dan kebhinekaan masyarakat dalam
bangsa dan agama merupakan sunnatullah yang akan menjadi rahmat jika dibangun diatas sikap
saling bertoleransi dan saling menghargai.
Inilah yang menjadi landasan para ulama dan Kyai NU membuat formulasi fiqih sosial dan
fiqih siyasah yang unik dan berbeda di Indonesia, dimana fatwa dan ijtihad mereka tidak
bertumpu pada konsepsi fiqih siyasah secara qouli dari ulama salaf semata. Akan tetapi lebih
didasarkan pada konsep istishlah (mengambil mana yang maslahah) dan upaya memahami tujuan
syari’ah (munasib sebagai maqoshid as-syari’ah) dalam penerapan jurisprudensi Islam. Kaidah
dasar dalam metode istislah (mashlahah mursalah) tersebut antara lain adalah sebagai berikut:
َاعيَ إَةَمَنَوَطََ َبإاَلمَصَلَحَ إة
َلمَامإَََعََالرَ إ َ تَ ر.1
َصفََاَ إ
َبَاَلَصَا إَل إح
َ اس إَدَمَقَدَمَََعََجَلَ إ
َ دَرَءََاَلَفَ إ.2
َ َحَاَلَاصَ إة
َ اَلَصَا إَلحََالَعَامَةََمَقَدَمَََعََاَلَصَا إَل إ.3
Hasilnya dalam fiqih siyasah NU para ulama NU bisa menerima nation state dalam wadah
NKRI sebagai konsep negara bangsa untuk membatasi wilayah teritorial dan memberi
perlindungan terhadap hak-hak warga bangsa. Konsekwensinya, resolusi jihad pun difatwakan
oleh Hadlrotus Syaikh KH. Hasyim Asyari, bahwa membela NKRI dari rongrongan para penjajah
adalah bagian dari jihad fi sabilillah, meskipun NKRI tidak hanya dihuni oleh umat Islam.
Fiqih siyasah NU dan para ulama NU juga menerima asas Pancasila sebagai asas tunggal
dalam berbangsa dan bernegara serta UUD 1945 sebagai konstitusi dasar bagi negara.
Konsekwensinya, KH. Wahab Hasbullah pun mengeluarkan fatwa pada tahun 1949-1952 bahwa
DI/TII wajib ditumpas oleh negara meskipun mereka orang Islam dan mengatas-namakan umat
Islam, karena cita-cita mereka yang ingin mewujudkan negara Islam di Indonesia. Pun yang
demikian juga sama dengan yang dilakukan oleh Presiden Jokowi untuk membubarkan HTI dan
FPI karena keinginan mereka yang hendak mengganti Pancasila dengan syariat Islam.
Dalam fiqih siyasah dan fiqih sosial NU juga ditegaskan bahwa para ulama NU menyatakan
kebhinekaan sebagai keniscayaan yang harus diterima oleh umat Islam dan seluruh elemen
6
bangsa. Dan kata kunci untuk merawat kebhinekaan dan perbedaan tersebut adalah dengan
mengembangkan sikap toleransi yang harus dimiliki oleh umat Islam dan seluruh elemen bangsa.
Inilah alasan kenapa KH. Achmad Shiddiq menyatakan bahwa persaudaran dalam Islam itu
meliputi tiga hal, yaitu ukhuwah Islamiyah (persaudaraan dengan sesama umat Islam), ukhuwah
wathoniyah (persaudaran antar elemen bangsa) dan ukhuwah basyariyah (persaudaraan dalam
kemanusiaan). Dan hal ini pula yang menjadi alasan kenapa Gus Dur membela kelompok
Ahmadiyah sebagai bentuk perlindungan kepada mereka yang minoritas. Serta beliau juga giat
berceramah bukan saja di kalangan umat Islam, tapi juga di gereja-gereja serta tempat ibadah
orang non-muslim. Karena mereka yang berbeda agama dengan kita hakikatnya adalah saudara
kita dalam kemanusiaan.
Dan salah satu bentuk toleransi dan sikap tepo sliro adalah bagaimana umat Islam sebagai
kelompok mayoritas di Indonesia mampu menjaga perasaan mereka yang minoritas dalam
kehidupan bersosial, berbangsa dan bernegara. Sehingga inilah alasan kenapa dalam Munas NU
tahun 2020 difatwakan bahwa dalam kehidupan bersosial, berbangsa dan bernegara, umat Islam
jangan sekali-sekali menyebut mereka yang berbeda dengan sebutan kafir, tapi sebutlah dengan
sebutan non-muslim. Karena menjaga perasaan mereka yang berbeda agama adalah bagian dari
ajaran agama.