Anda di halaman 1dari 3

Nama : Adelia Zabrina Rosni

NPM : 2006584610
Kelas : MPK Agama K

Islam dan kebangsaan

Acuan dalil fatwa fiqih yang dikeluarkan ulama adalah prinsip kemaslahatan. Keragaman
pendapat di kalangan ulama terutama terhadap bentuk negara terlihat dari beragamnya bentuk
negara, ada kerajaan, kesultanan, republik,dll. Qur’an dan hadits sendiri tidak membahas
masalah kenegaraan dan hanya membahas konsep umum umum, seperti syurodan ulil amri,
tanpa ada penjelasan detail operasionalnya, sehingga perbedaan ini menjadi wajar adanya.
Untuk saat ini terdapat 4 tipe negara muslim menurut pengakuan terhadap konstitusinya (posisi
agama itu ada di mana) ; yang pertama , negara-negara yang menyatakan diri sebagai negara
Islam, seperti Saudi Arabia, Brunei, Iran, Afganistan, Iran, Pakistan, dan Maladewa; yang kedua,
negara yang menyatakan islam sebagai agama resmi negara, seperti Mesir,Malaysia, dan
Bangladesh ; yang ketiga, negara yang tidak memiliki penegasan konstitusi tentang agama
negara, seperti Indonesia, Syria, dan Uzbekistan; yang kempat yaitu negara muslim yang
menyatakan diri sebagai negara sekuler, seperti Turki, Senegal, dan Azerbaijan.
Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, Qur’an sendiri tidak menjelaskan masalah
kenegaraan secara jelas dan rinci dan hanya memuat petunjuk umum saja. Selain itu, hadits-
hadits juga tidak menjelaskan mengenai sistem negara dan bagaimana pelaksanaannya.Suksesi
kekuasaan setelah Rasulullah wafat itu tidak diatur, Rasulullah tidak menentukan secara pasti
siapa yang menggantikan beliau, Rasul juga tidak menjelaskan mengenai pergantian jabatan
kepemimpinannya itu bagaimana. Inilah yang menjadi sebab sahabat nabi, zaman Khulafaur
Rasyidin sekalipun, menetapkan cara penetapan iman yang berbeda-beda. Ada yang pemilihan
dengan cara representasi kelompok pada era diangkatnya Abu Bakar as-Siddiq; ada model
penunjukaan yaitu ketika Abu Bakar as-Siddiq menunjuk Umar bin Khattab; ada juga yang
dengan cara dibentuk tim musyawarah atau ahli syuro ketika Umar bin Khattab digantikan oleh
Usman bin Affan; dan yang terakhi model pemilihan langsung atau pemilihan umum, yaitu
masyarakat muslim menyatakan dukungannya terhadap Ali bin Abi Thalib. Para sabahat setelah
Khulafaur Rasyidin juga mempratekkan konsep politik yang berbeda-beda pula, ada yang khilaf
meniru Khulafaur Rasyidin, dan ada pula yang berganti menjadi imperium atau kerajaan.Umat
Islam pada era selanjutnya lebih mengarah pada kerajaan atau kesultanan dan republik.
Allah membiarkan masalah politik ini tidak diatur detail di al-Qur’an dan hadits
mengandung beberapa hikmah. Yang pertama, dengan tidak diaturnya secara detail itu ada
kewenangan luas bagi umat Islam untuk menentukan format dan detail-detail sistem
pemerintahan, sehingga terbuka ruang bagi ulama untuk berijtihad dan membuka ruang bagi
aspirasi umat Islam. Yang kedua, terbukanya lapangan bagi ulama berijtihad untuk menjawab
perkembangan yang terus terjadi dan menyesuaikan dengan situasi dan kondisi setempat. Yang
ketiga, umat Islam menjadi bisa menggunakan alam dan pikirannya untuk menciptakan sistem
politiknya dan kemaslahatan sesuai dengan perubahan kebutuhan dan kemaslahatannya.
Mengenai masalah ketundukan umat islam pada satu otoritas pemerintahan melahirkan
perbedaan pendapat. Sebagian pendapat mengatakan bahwa kepemimpinan umat Islam
haruslah tunggal, seperti yang disampaikan oleh Imam Nawawi yang mengatakan bahwa
kepemimpinan umat Islam haruslah tunggal. Sebagian ulama lainnya mengatakan kebolehan
dualisme kepemimpinan, seperti yang terjadi pada masa Ali bin Abi Thalib, yaitu Ali bin Abin
Thalib memimpin Madinah dan Muawiyah memimpin Damaskus,Syria. Alasan lain ulama
memperbolehkan dualisme kepemimpinan adalah ketika dalam waktu yang sama Allah
menurunkan 2 nabi sekaligus dan tidak saling menghalangi misi yang ada.
Alasan para pimpinan kita memilih bentuk negara kebangsaan karena mereka melihat
hal-hal positif yang sesuai dengan misi Islam, yaitu kemaslahatan. Jadi, negara kebangsaan lebih
mudah untuk mencapai kemaslahatan umat. Negara kebangsaan juga tidak anti agama
sehingga tidak sekuler, tetapi juga mementingkan religiulitas. Selain itu, nation state juga
berlandaskan kedaulatan rakyat, sehingga mayoritaslah yang akan didahului kepentingannya,
dengan demikian aspirasi masyarakat sebagai mayoritas dapat terakomodasi dalam kebijakan
negara. Di sisi lain, karena menganut negara kebangsaan, kelompok minoritas juga tetap dijaga
hak-haknya.
Pancasila sebagai dasar negara harus diletakkan sebagai prinsip-prinsip pokok dalam
hubungan berbangsa dan bernegara. Dengan dasar lima sila ini Indonesia adalah negara yang
religius, nation-state (bukan satu kultur, satu agama, ataupun satu ras), menjunjung tinggi
perikemanusiaan (humanisme), menganut demokrasi dan menegakkan social justice. Pancasila
juga bisa dimaknai sebagai kontrak sosial. Pancasila adalah norma-norma yang disepakati
bersama sebagai dasar kehidupan sosial dan kenegaraan Indonesia merdeka. Sebagai kontrak
sosial, Pancasila tidak mungkin diubah. Jadi, mengubah Pancasila berarti mengubah negara.
Pancasila juga dilihat sebagai konsepsi politis atau ideologi negara. Pancasila berlaku di
ruang publik dan atau di dalam domain politik. Sebagai ideologi negara Pancasila berlaku pada
struktur dasar dari kehidupan kenegaraan, yaitu lembaga-lembaga politik, ekonomi dan sosial
sebagai kesatuan skema kerja sama dalam hidup bernegara. Dengan skema itu, ideologi-
ideologi yang berada di dalam domain privat, golongan, atau asosiasi terbatas diperbolehkan
hidup serta harus diakui dan dihormati negara. Ideologi yang bersumber dari agama, misalnya,
boleh berlaku hanya untuk pendukungnya saja. Hal yang sama berlaku bagi ideologi berbasis
sekuler seperti sosialisme atau kapitalisme. Namun demikian, dalam kehidupan kenegaraan dan
kebangsaan yang bersifat plural, tetap harus menggunakan ideologi Pancasila.
Pancasila adalah dasar negara yang rumusannya disusun oleh Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Sebagaimana tercatat dalam lembaran sejarah, tokoh-tokoh
Islam baik dari NU, Muhammadiyah, maupun dari Syarikat Islam berkontribusi besar dalam
perumusan dasar dan filsafat negara ini melalui wakilnya KH. Wachid Hasyim, Mas Mansyur, Ki
Bagus Hadikusumo, Abdul Kahar Muzakkir, Agus Salim dan Abikusno. Panitia kecil ini akhirnya
berhasil merumuskan Mukaddimah UUD 1945 yang didalamnya terdapat rumusan Pancalisa
yang disebut Piagam Jakarta yang sila pertamanya ada kata ”dengan kewajiban menjalankan
syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” setelah kata ”Ketuhanan”.
Namun, tanpa diduga, pada malam menjelang proklamasi kemerdekaan, masyarakat
non-muslim Indonesia timur keberatan dengan disertakannya Piagam Jakarta tersebut dalam
Pembukaan/Mukaddimah UUD RI. Melalui diskusi yang berlangsung alot dan kebesaran hati
tokoh-tokoh Islam tersebut, penghapusan Piagam Jakarta disetujui demi mewujudkan
persatuan Indonesia dan menyelamatkan Negara Republik Indonesia yang baru lahir. Saat itu
juga usul Wachid Hasyim untuk menambah kalimat ”Yang Maha Esa” di belakang kata
”Ketuhanan” diterima baik oleh semua aliran kelompok.
Kenyataan itu secara jelas memperlihatkan bahwa ummat Islam terlibat aktif dalam
membidani lahirnya Pancasila sebagai dasar negara. Fakta ini sekaligus membuktikan bahwa
ummat Islam siap hidup bersama dengan komponen-komponen bangsa lain yang berbeda-
beda, serta siap mengutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan kelompok, golongan
dan agama sendiri. Kendati demikian harus diakui pula bahwa kesepakatan tersebut masih
meninggalkan beberapa masalah politik yang belum tuntas mengenai tempat Islam dalam
kehidupan bernegara. Tarik menarik antara mereka yang menginginkan ”dasar negara Islam”
dan di lain pihak mereka yang menghendaki ”dasar negara Pancasila” terus mewarnai sidang-
sidang Konstituante, hingga akhirnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 menetapkan Pancasila sebagai
dasar dan falsafah negara, dan ulama pesantren menjadi salah satu barisan pendukungnya.
Dengan demikian, tokoh Islam menyutujui bahkan berkontribusi besar dalam
perumusan dasar negara. Bukti sejarah juga memperlihatkan bahwa terlibat aktif dalam
lahirnya pancasila sebagai dasar negara. Jadi menurut umat Islam sepakat jika pancasila tidak
bertentangan dengan syariat umat Islam.

Anda mungkin juga menyukai