Kelompok Mapel : Fiqih Judul Modul : Konsep Pemerintahan Dalam Islam Judul Masalah : Ancaman ideologi khilafah terhadap Pancasila dan UUD 45 sebagai dasar Negara Kesatuan Repubilk Indonesia
No Jadwal Rencana Kegiatan
1. Identifikasi masalah Maraknya branding sistem pemerintah (berbasis masalah yang ditemukan berbentuk khilafah sebagai satu-satunya di lapangan) pemertintahan menurut Islam menjadi problematika yang dipandang dibutuhkan perhatian yang serius. Merujuk kepada pendapat para Ahli, tidak ada kewajiban bagi umat islam untuk mendirikan negara Islam berdasarkan Khilafah. Disisi lain karakter negara beserta manusia yang tinggal didalamnya menjadi alasan dibentuknya sebuah sistem dalam Negara. Pada hakikatnya Negara Kesatuan Republik Indonesia telah menerapkan nilai-nilai ke Islaman sebagai dasar negara. Ketuhanan yang Maha Esa menjadi dasar utama, dan dalam pembukaan UUD 1945 secara tegas menyatakan kemerdekaannya karena berkat dan rahmat Tuhan yang maha kuasa dan didorong oleh keinginan luhur Indonesia. Selain itu, peraturan- peraturan pemerintah yang telah dibuat telah memberikan kebebasan kepada penganut agama untuk melaksanakan ibadah sesuai dengan keyakinannya. Merujuk kepada cuplikan dasar negara diatas, umat Islam di Indonesia juga diberikan kebebasan dalam menyempurnakan iman islam dan ihsannya.
2. Penyebab masalah 1. Pemahaman yang terlalu sempit dengan
(dianalisis apa yang menjadi akar menyimpulkan bahwa khilafah satu-satunya masalah serta menjadi pilihan sistem negara yang sesuai syari’at Islam masalah) 2. Anggapan bahwa Pancasila dan UUD 45 berbenturan dengan Syariat Islam Solusi Adanya banyak variasi bentuk dan sistem negara a. Dikaitkan dengan teori/dalil ini merupakan sinyalemen bahwa tidak ada konsep yang relevan tata negara yang bersifat baku di dunia ini. b. Sesuaikan dengan Seluruhnya merupakan konsep ijtihadi, dengan langkah/prosedur yang sesuai kekuatan hukum yang bersifat dhanni (relatif). dengan masalah yang akan dipecahkan Dalam catatan sejarah Islam, pasca-wafatnya Nabi Muhammad SAW, konsep kekhalifahan beberapa kali mengalami perubahan. Pengangkatan Khalifah Abu Bakar al-Shiddiq merupakan representasi dari pemerintahan yang dibentuk atas dasar musyawarah mufakat (al-syura) sebagai cikal bakal demokrasi. Sementara itu pengangkatan khalifah kedua, yakni khalifah Umar ibn Khathab, merupakan representasi dari sistem monarki absolut, karena dilakukan melalui penunjukan dan penobatan. Saat khalifah ketiga hendak diangkat, mulai muncul istilah ahl al-halli wa al-'aqdi (AHWA) yang ditunjuk oleh sahabat Umar ibn Khathab agar melakukan persiapan guna melangsungkan suksesi kepemimpinan. Majelis AHWA yang berjumlah 6 orang sahabat, merupakan representasi dari upaya kompromi politik agar tidak lahir friksi di kalangan umat Islam, sehingga terpilihnya Sayyidina Utsman ibn Affan sebagai pemegang tampuk pimpinan kekhalifahan umat Islam, bergelar Amîr alMukminin, sebuah gelar yang disandang untuk pertama kali oleh Sayyidina Umar ibn Khathab dan dilanjutkan pada periode Utsman ibn Affan.
Jika ditelusuri lebih jauh, bahwa terpilihnya
Sayyidina Utsman ibn Affan ini, secara tidak langsung telah terjadi pergeseran kembali pada sistem kekhalifahan yang asalnya dari Syura, berubah menjadi monarki, lalu ke sistem perwakilan (Ahlul Halli wal Aqdi). Saat Sayyidina Ali ibn Abi Thalib diangkat menjadi khalifah, sistem pemerintahan kembali berubah menyerupai sistem teokrasi. Bahkan kemudian pasca terjadinya perjanjian Daumatu al-Jandal, yang berakhir dengan terbunuhnya Khalifah Ali Ibn Abi Thalib, sistem pemerintahan dalam Islam berubah drastis menjadi sistem mamlakah (Monarki Absolut) dengan tampilnya sosok Muawiyah ibn Abi Sufyan sebagai Khalifah dari Dinasti Ummayyah untuk yang pertama kalinya system pemerintahan saat itu dengan ciri khas kekuasaan berlangsung turun- temurun ini bertahan hingga abad ke-19.
Dengan melihat pasang surut sejarah kekhalifahan
ini, tidak ada satu pun sistem ketatanegaraan di dunia ini yang bersifat baku, khususnya dalam dunia Islam. Orientasi para sahabat dalam mendirikan pemerintahan adalah semata karena memandang unsur kemaslkhatan atau kebaikan bagi masyarakat. Demikian pula setelah generasi para sahabat hingga kemudian kemunculan wacana nation-state.
Menurut Abu A’la al-Maududi, terdapat tiga
tujuan utama pemerintahan dalam Islam. Pertama, menegakkan keadilan dalam kehidupan manusia dan menghentikan kezaliman serta menghancurkan kesewenang-wenangan. Kedua, menegakkan sistem yang Islami melalui cara yang dimiliki oleh pemerintah. Pemerintah berkuasa untuk menyebarkan kebaikan serta memerintahkannya (amar ma’ruf) sejalan dengan misi utama kedatangan Islam ke dunia. Ketiga, menumpas akar-akar kejahatan dan kemungkaran yang merupakan perkara yang paling dibenci oleh Allah swt.
# Dalam konteks Indonesia, pemerintahan dalam
Islam telah sesuai dengan nilainilai yang telah diterapkan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, hal ini terbukti dari dasar negara yang menempatkan Ketuhanan yang Maha Esa menjadi dasar utama, dan dalam pembukaan UUD 1945 secara tegas menyatakan kemerdekaannya karena berkat dan rahmat Tuhan yang maha kuasa dan didorong oleh keinginan luhur Indonesia. Selain itu, peraturan-peraturan pemerintah yang telah dibuat telah memberikan kebebasan kepada penganut agama untuk melaksanakan ibadah sesuai dengan keyakinannya. Menurut Abdurrahman Wahid bahwa konsep negara Islam sebenarnya tidak pernah ada tetapi yang ada adalah tawaran- tawaran Islam tentang nilai-nilai luhur untuk mengisi setiap sendi perpolitikan, perekonomian, kebudayaan, seni, dan lain-lain dalam kehidupan bangsa dan negara.
Senada dengan pemikiran di atas, Nurkhalis
Majid mengungkapkan bahwa konsep bentuk negara yang ditawarkan Islam adalah bentuk negara yang mengayomi. Dengan kata lain, dasar negara dari sebuah negara haruslah disepakati dan dapat diterima oleh semua rakyat negara tersebut. Adapun untuk konteks Indonesia yang plural, tidak ada masa depan Indonesia yang menggunakan dasar negara agama tertentu. Apabila dipaksakan akan terjadi benturan dalam pluralitas tersebut. Maka mencari titik temu yang dapat diterima oleh semua golongan menjadi sebuah keharusan. Titik temu untuk Indonesia yaitu Pancasila.
Dengan demikian, Pancasila itulah representasi
negara berdasarkan nilai-nilai Islam karena sila Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan prinsip Tauhid dalam Islam. Karena Islam hanya menawarkan nilai-nilai luhurnya untuk mengisi setiap sendi perpolitikan, perekonomian, kebudayaan, seni, dan lain-lain dalam aktivitas masyarakat dan bangsa.