Anda di halaman 1dari 15

POLITIK IDENTITAS DAN LOKALITAS

Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Kajian Globalisasi


Dosen Pengampu : Rival Hanip S,Pd., M,Pd

Oleh
Kelompok 6
Hana Safitri (180611100139)
Karimah (180611100142)
Luthfi Abdul Aziz (180611100143)

PROGRAM STUDI S1 PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS TRUNOJOYO MADURA

2020
Kata Pengantar
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan
sehingga makalah ini dapat terselesaikan tepat waktu dengan judul “Politik
Identitas dan Lokalitas”.
Shalawat serta salam tak lupa kami haturkan untuk junjungan kita Nabi
Muhammad SAW yang telah menyampaikan petunjuk dari Allah SWT, yang
merupakan petunjuk yang paling benar yakni syariah islam yang sempurna dan
merupakan satu – satunya karunia yang paling besar bagi seluruh alam semesta.
Tak lupa kami ucapkan banyak terima kasih kepada setiap pihak yang telah
mendukung serta membantu kami selama proses penyelesaian makalah ini.
Selanjutnya dengan kerendahan hati kami meminta kritik dan saran dari
pembaca untuk makalah ini supaya selanjutnya dapat kami revisi kembali. Karena
kami sangat menyadari bahwa, makalaah yang telah kami buat ini masih banyak
kekurangan. Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi setiap pembaca.

Bangkalan, 17 Maret 2020

Penyusun
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ......................................................................................... ii
KATA PENGANTAR .......................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................... 1
A. Latar belakang ............................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ...................................................................... 1
C. Tujuan Penulisan ........................................................................ 1
BAB II PEMBAHASAN ...................................................................... 2
A. Pengertian Politik Identitas dan Lokalitas .................................. 2
B. Ciri – ciri Politik Identitas .......................................................... 4
C. Kajian Politik Identitas ............................................................... 4
D. Politik Identitas Sebagai Konsep dan Praktik ........................... 8
E. Sejarah Politik Identitas dan Prinsipnya ..................................... 9
BAB III PENUTUP .............................................................................. 10
Kesimpulan ........................................................................................... 10
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................... 11
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam kehidupan baru dan modern dewasa ini, identitas suatu Negara
secara tidak langsung juga menjadi identitas ideology, politik, ekonomi, budaya,
dan pertahanan keamanan.hal tersebut oleh organisasi kekuasaan Negara, telah
diejawantahkan dalam sistem nilai, norma dan hukum, serta pola-pola tindakan
kolektif yang mengatur tata laku kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara.
Tidak ada bangsa di dunia ini yang tidak memiliki identitas nasional,
termasuk bangsa Indonesia. Setiap bangsa memiliki kepentingannya untuk
mengembangkan identitas nasionalnya. Hal ini bersumber dari hakikat
kemanusiaan sebagai makhluk sosial yang memiliki kecenderungan bersatu,
karena adanya kesamaan-kesamaan yang melandasi pembentukan bangsa tersebut.
Identitas nasional menunjukkan karakteristik unik dari satu kelompok bangsa
yang membedakannya dengan karakteristik atau ciri-ciri kelompok bangsa
lainnya. bangsa Indonesia misalnya, memiliki karakteristik unik yang
membedakannya dari bangsa-bangsa lain di dunia.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari politik identitas dan lokalitas?
2. Apa saja ciri – ciri dari politik identitas?
3. Mencakup apa saja kajian dari politik identitas?
4. Bagaimana Politik Identitas sebagai Konsep dan Praktik?
5. Bagaimana sejarah dan prinsip lokalitas?
C. Tujuan Penulisan
1. Agar dapat memahami pengertian dari politik identitas dan lokalitas.
2. Agar dapat mengetahui ciri – ciri dari politik identitas.
3. Agar mengetahui kajian dari politik identitas.
4. Agar mengetahui Politik Identitas sebagai Konsep dan Praktik.
5. Agar mengetahui sejarah dan prinsip lokalitas.

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Politik Identitas dan Lokalitas
Dimulai dari pengertian politik. Kata politik sendiri berasal dari Bahasa
Yunani, politeia, yang mengacu pada pengertian bahwa para individu dalam
sebuah komunitas dalam batas geografis tertentu berkehendak untuk melakukan
pengelolaan wilayahnya. Misalnya, dengan membuat hukum-hukum, kebijakan-
kebijakan, serta lembaga kebijakan politik. Jadi, setiap langkah yang diambil
dalam rangka mengelola sebuah wilayah dalam ranah formal bisa disebut sebagai
kegiatan berpolitik.
Kemudian, kata identitas yang diambil dari Bahasa Inggris Identity
memiliki arti ciri-ciri atau tanda yang khas. Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia, identitas merupakan ciri-ciri atau keadaan khusus seseorang atau jati
diri. Bisa dikatakan, manusia yang memiliki identitas adalah mereka yang mampu
menyadari tanda khusus atau ciri-ciri yang melekat pada dirinya.
Berdasarkan dua pengertian di atas, bisa disimpulkan bahwa politik
identitas adalah politik yang menekanan pada perbedaan-perbedaan yang
didasarkan pada asumsi fisik tubuh, kepercayaan, dan Bahasa yang menjadi ciri
atau tanda khas dari seseorang. Contoh terkenal adalah Politik Apertheid di Afrika
yang membagi warganya menjadi dua golongan masyarakat berdasarkan ciri fisik,
yakni mereka yang berkulit hitam dan mereka yang berkulit putih. Di Indonesia
sendiri, politik identitas sering didasarkan pada kepercayaan dan suku bangsa.
Contohnya adalah ujaran kebencian yang bersifat SARA yang digunakan sebagai
alat untuk menjegal pihak lawan politik seperti yang marak terjadi saat pemilihan
gubernur Jakarta kemarin. Selain itu, politik identitas juga digunakan sebagai
salah satu strategi kampanye untuk para kandidat dalam pemilu dan juga menjadi
alasan beberapa orang untuk memilih.
Politik identitas merupakan politik yang didasari atas kesamaan
keanekaragaman bentuk sosial dalam masyarakat. Politik sosial ini dimanfaatkan
untuk mendulang suara – suara dalam pemilihan demokrasi diberbagai belahan
negara di dunia. Adapun pengertian politik identitas menurut beberapa para ahli
diantaranya :

2
1. Abdillah (2002), dalam pendangannya definisi politik identitas adalah
politik yang dasar utama kajiannya dilakukan untuk merangkul kesamaan
atas dasar persamaan – persamaan tertentu, baik persamaan agama, etnis,
dan juga persamaan dalam jenis kelamin.
2. Cressida |Heyes, politik identitas dalam definisinya adalah suatu jenis
aktivitas politik yang dikaji secara teoritik berdasarkan pada pengalaman –
pengalaman persamaan dan ketidakadilan yang dirasakan oleh golongan –
golongan tertentu, sehingga menghimpun kesatuan untuk menaikkan
derajat dan martabatnya.
3. Stuart Hall, politik identitas dimaknai sebagai suatu proses yang dibentuk
melalui sistem bawah sadar manusia, sistem ini rejadi karena adanya
ketidakpuasaan dalam menghadapi berbagai macam masalah-masalah
sosial yang terjadi.
Dari pengertian para ahli di atas, mengenai pengertian politik identitas dapat
disimpulkan secara umum bahwa politik identitas adalah politik yang di dasari
pada kesamaan masyarakat yang terpnggirkan atau yang mencoba menghimpun
kekuatan untuk meniakan kelompok-kelompok tertentu.
Sedangkan pengertian dari Lokalitas adalah Lokalitas berasal dari kata
lokal. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia(KBBI), lokal dimaknai dengan
“terjadi atau berlaku di suatu tempat” dan “tidak merata” atau “bersifat setempat”.
Lokalitas merupakan sebuah wilayah tempat masyarakatnya secara mandiri dan
arbitrer bertindak sebagai pelaku dari pendukung kebudayaan tersebut. Lokalitas
dalam bahasa menunjukkan lokalitas budaya yang dipakai dalam konteks sebuah
komunitas. Lebih lanjut Abrams menyatakan bahwa manisfestasi corak atau
dimensi lokal dapat diartikan sebagai suatu gambaran yang cermat mengenai latar,
dialek, adat istiadat, cara berpakaian, cara merasa, dan lain sebagainya yang khas
dari suatu daerah.

3
B. Ciri – Ciri Politik Identitas
Adapun beberapa ciri – ciri yang mendasari adanya politik identitas
diantara adalah sebagai berikut :
1. Memiliki kesamaan dan tujuan untuk membentuk kekuatan berdasarkan
peta politiknya.
2. Ketidakpuasan yang muncul dari dalam masyarakat yang merasa
terpinggirkan.
3. Memberikan jalur politik sebagai alternatif untuk menyatukan kekuatan
dalam rangkaian agenda demokrasinya.
C. Bahan Kajian Politik Identitas
Beberapa wacana yang biasanya menjadi bahan kajian politik identitas
adalah gender dan alam, agama dan bahasa termasuk ras / etnis. Wacana-wacana
tersebut, seperti diketahui memiliki basis pembedaan yang jelas sekaligus
memiliki kecenderungan yang besar juga untuk dimanfaatkan oleh kelompok
kepentingan atau wacana dominan.
1) Gender dan Alam
Konstruksi sosial atas ‘tubuh’ bukan saja secara wacana melainkan secara
material mengena langsung pada subjek individu manusia laki-laki dan manusia
perempuan. Disini pelekatan sosial menegaskan asumsi-asumsi pembeda yang
diandaikan secara biologis. Man from Mars and woman from Venus meneguhkan
pernyataan laki-laki haruslah jantan, gagah, kuat, bertanggung-jawab, cerdas,
dapat melindungi dan memimpin berbanding lurus dengan asumsi perempuan
haruslah lemah lembut, nrimo: sabar, ikhlas, dan penurut. Asumsi yang secara
general ditafsir berdasar kategorial fisik (citra atas tubuh) dan mental itu berimbas
ke ruang publik yang secara sepihak kemudian mengartikan bahwa perempuan
‘secara definitif’ tidak layak dan tidak pantas untuk berada di satu ruang yang
sama dengan laki-laki.
Dalam kondisi tertentu hal itu dapat diartikan bahwa perempuan tidak
layak menjadi pemimpin dan hal ini berimbas pada minimnya keterlibatan
perempuan dalam ruang-ruang publik khususnya dalam wilayah politik praktis.
Karena diangap merugikan, dalam arti tidak membawa aspirasi perempuan dalam
koridor kesejajaran hak, selain kenyataan rentannya perempuan oleh tindak

4
kekerasan dan diskriminatif lainnya, penolakan atas ide tersebut dan tafsir atas
pembedaan jenis kelamin itu mengerucut pada apa yang dikenal dengan gerakan
feminisme. Bahwa “anatomi bukanlah nasib”. Berangkat dari hal tersebut, sudah
tentu dalam kamus kaum feminis, gender dan sex atau jenis kelamin memiliki arti
yang berbeda. Menurut Julia Cleve Mosse (dalam Damastuti, 2001: 38) gender
harus dipahami sebagai “seperangkat peran, yang seperti halnya kostum dan
topeng di teater menyampaikan kepada orang lain, kita adalah feminin atau
maskulin”. Pernyataan tersebut secara umum diamini kelompok feminis untuk
mengkritik sistem patriarkat yang mendominasi dan mensubordininasi peran
perempuan, meskipun diketahui bersama bahwa gerakan feminis sendiri terpecah
ke dalam beberapa kelompok besar seperti kelompok feminis liberal, feminis
radikal, feminis sosialis, eksistensialis, postmo maupun eko feminisme. Kelompok
ini bekerja sesuai ideologi yang mendasarinya dan masing-masing jelas memiliki
kepentingan yang berbeda. Namun demikian mereka disatukan oleh sebuah
adagigum “what is personal is political”. Term politik inilah yang akhirnya
membawa gerakan feminisme terus berani memperjuangkan hak personalnya.
Terhadap alam, politisasi jelas telah terjadi begitu lama. Alih-alih
developmentalism telah mengorbankan kepentingan ekologis yang lebih besar:
revolusi hijau, pestisida, program bibit unggul, hibridisasi dan berbagai paket lain
menyebabkan keseimbangan alam—sebagai mata rantai dasar dalam kehidupan
menjadi goyah. Pada akibatnya, paket-paket regulasi itu memperburuk kondisi
tanah, pencemaran lingkungan, perluasan lubang ozon, dan mempertinggi
kemungkinan terciptanya bencana alam yang diakibatkan olehnya.
2) Agama dan Bahasa
Agama merupakan satu bentuk kepercayaan yang hampir-hampir dianggap
asali atau bersifat taken from granted. Pada kenyataannya, walau dianggap
sebagai sesuatu yang terberi, agama sebenarnya tidaklah demikian. Agama adalah
tradisi. Agama adalah produk yang secara berkala dan masif diturunkan. Agama
hanya akan bersifat taken from granted apabila semenjak dilahirkan seseorang itu
berada dalam lingkungan sosial yang mendukung – atau sudah memiliki
keyakinan tertentu, walaupun kasus-kasus tertentu hal tersebut dapat saja tidak
terjadi.

5
Agama sendiri dapat didefinisikan menurut dua pandangan, yakni
pandangan inklusif dan ekslusif. Menurut Sanderson (2000: 518) pandangan
inklusif adalah pandangan yang merumuskan agama dalam arti yang seluas-
luasnya, yang memandang bahwa tiap sistem kepercayaan dan ritual selalu
memiliki sifat kesucian. Pandangan ini selain menempatkan agama secara teistik
dalam kaitannya dengan kekuatan supranatural juga menerima berbagai konsep
nonteistik yang dianggap memiliki nilai (tujuan) kesucian secara general, dalam
term-term yang cenderung berisi isme, misalkan saja komunisme, nasionalisme,
atau humanisme. Sementara definisi ekslusif membatasi istilah agama pada sistem
“kepercayaan yang mempostulatkan eksistensi mahluk, kekuasaan atau kekuatan
supernatural.”
Dalam posisi yang demikian, sebuah definisi yang dikutip Peter L. Berger
dari Thomas Luckmann tampaknya cukup menjembatani fungsi yang diemban
agama berdasar masing-masing pendapat di atas,“esensi dari konsepsi agama
Luckmann adalah kapasitas organisme manusia untuk memuliakan hakikat
biologisnya melalui pembangunan semesta-semesta makna yang obyektif,
mengikat secara moral, dan meliputi segalanya. Karena itu, agama bukan saja
adalah fenomena sosial, tetapi bahkan adalah fenomena antropologis par
excellence. Teristimewa, agama itu disamakan dengan transedensi-diri simbolik.
Maka segala sesuatu yang benar-benar manusiawi itu dengan begitu adalah
religius dan fenomena-fenomena yang nonreligius dalam lingkungan manusia
adalah fenomena -fenomena yang didasarkan pada hakikat kebinatangan manusia,
atau lebih tepat, bagian dari konstruk biologisnya yang dimilikinya bersama
dengan binatang-binatang lain.” (1991: 205)
‘Pembangunan semesta makna’, ‘konsep moral’, ‘fenomena sosial dan
antropologis’, ‘manusiawi’ dan ‘religius’ adalah serakan kata yang memiliki
makna sejalan dengan konsepsi agama yang secara tradisional di sebut Sanderson
(2000: 519) sebagai “Suatu sistem kepercayaan dan praktek yang terorganisis,
yang didasarkan pada keyakinan yang tak terbukti, yang mempostulatkan adanya
mahluk-mahluk, kekuasaan, atau kekuatan supernatural yang menguasai dunia
fisik dan sosial.”

6
Pada konsep ini ikatan sebagai dasar hubungan manusia dengan Sesuatu
menjadi suatu gambaran khas yang coba ditampilkan. Mengikuti perkembangan
filsafat yang ada, fungsi deskriptif bahasa dalam logika modern yang begitu
positivistik telah dikritik oleh postmodernisme dan dianggap sebagai biang keladi
dari berbagai masalah, baik dalam kedudukannya sebagai metode pengetahuan
hingga imbasnya bagi terbentuknya kesadaran yang bersarang, tubuh yang beku-
kaku, atau ‘tubuh yang patuh’ dalam bahasa Foucault.
Bahasa dengan karakteristiknya yang demikian jelas merupakan unsur
pembeda yang melekatkan kedudukan penanda dan petanda dalam ruang denotatif
maupun konotatif. Dan ketika dikaitkan dengan faktor budaya yang di dalamnya
ideologi terus-terusan berusaha mengejawantahkan dirinya, bahasa dengan
demikian bukanlah ruang yang netral, bersih atau tidak berpihak. Sebaliknya,
sebagaimana budaya, bahasa menjadi ruang tempur bagi kelompok-kelompok
kepentingan. Salah satu indikasi penolakan bahasa tersebut adalah lahirnya bahasa
prokem, atau slank.
3) Ras / etnis.
Etnis atau ethnic (dalam kamus Inggris-Indonesia diartikan sebagai
kesukuan atau grup suku bangsa) berasal dari bahasa Yunani, ethnos turunan kata
ethnikos, yang berarti penyembah berhala (heathen) atau agama penyembah
berhala (pagan). Dikaitkan dengan kasus Yunani, sudah barang tentu penyebutan
etnis ini ditujukan bagi mereka ‘yang lain’, mereka yang berada di luar polis atau
mereka yang di sebut barbaros.
Ras dan etnis dalam beberapa kitaran telah menjadi problem krusial yang
mendorong terciptanya kekerasan di tingkat massa. Problem ini cenderung
menunjuk ‘suku asli’ (native) dan mereka yang pendatang. Penggolongan ini
dilegitimasi oleh perbedaan fisik serta konstruk sosial yang ada di masyarakat,
termasuk adanya anggapan bahwa ada satu kelompok atau ras yang lebih superior
dibanding kelompok atau ras lain. Kerap yang superior ini menganggap dirinya
memiliki hak lebih untuk menentukan garis hidup kelompok yang dianggap
inferior. Tindakan ini dikenal dengan sebuatan rasisme. Rasisme sebenarnya
banyak ditentang, Ubed Abdilah (2002: 62) misalkan, menganggap rasisme,
“Tidak mempunyai nilai ilmiah dan dari segi manapun rasisme tidak benar.

7
Pelariannya kepada ilmu pengetahuan adalah sebuah percobaan untuk mendapat
pengesahan…” Namun sebagai pengetahuan harus dipahami bahwa konsep ras
sebagai bagian dari kajian genetik memang menurunkan pembedaan yang secara
taken for granted harus diterima. Untuk tidak mencampur-adukkan konsep ras dan
etnik, Sanderson (2000: 355) menjelaskan pengertian ras menurut kajian sosiologi
dan antropologi fisik sebagai,“Suatu kelompok atau kategori orang -orang yang
mengidentifikasikan diri mereka sendiri, dan diidentifikasikan oleh orang-orang
lain, sebagai perbedaan sosial yang dilandasi oleh ciri-ciri fisik atau biologis
(sementara) kelompok etnis digunakan untuk mengacu suatu kelompok atau
kategori sosial yang perbedaannya terletak pada kriteria kebudayaan, bukan
biologis.”
D. Politik Identitas sebagai Konsep dan Praktik
Sebagai sebuah definisi umum, politik identitas merujuk pada praktik
politik yang berbasiskan identitas kelompok— sering atas dasar etnis, agama, atau
denominasi sosial-kultural lainnya—yang merupakan kontras terhadap praktik
politik yang berbasiskan kepentingan (interest). Walaupun sesungguh-nya ini
bukan merupakan fenomena yang sepenuhnya baru, politik identitas merupakan
sebuah tema yang menarik perhatian para ahli ilmu sosial belakangan ini,
terutama setelah terjadinya konflik yang melibatkan kekerasan di antara berbagai
kelompok etnis yang berbeda. Konflik di antara kelompok etnis Tutsi dan Hutu di
Afrika, Bosnia dan Serbia di Balkan, adalah dua contoh fenomenal yang
memperlihatkan dengan jelas keterlibatan praktek politik identitas dalam
wajahnya yang paling jelas, brutal, dan destruktif.
Kecenderungan akan berkembangnya politik identitas sama sekali tidak
berkait dengan sistem politik tertentu. Politik identitas bahkan dapat berkembang
subur dalam sistem demokrasi sekalipun. Di Indonesia, kecenderungan itu terlihat
lebih jelas justru ketika terdapat ruang untuk meng-ekspresikan kebebasan.
Praktik politik identitas di negeri ini dapat dikenali melalui berbagai bentuk, dari
yang samar-samar hingga agak jelas. Sebagian orang berpendapat bahwa pem-
bentukan partai nasional yang berbasis agama dan daerah administratif setingkat
provinsi dan kabupaten atas dasar ikatan etnis di beberapa wilayah di luar Jawa
merupakan indikasi akan terjadinya kecenderungan itu.

8
Dalam kasus yang terakhir, pembentukan daerah-daerah administratif di
beberapa wilayah memperlihatkan sekaligus terjadinya teritorialisasi identitas
sebuah konsep yang dipakai untuk merujuk berkembangnya fenomena politisasi
identitas etnik (kadang bercampur dengan agama atau yang lainnya) untuk tujuan
pembentukan daerah pemerintahan baru. Teritorialisasi identitas sering
merupakan awal dari re-grouping kultural atas dasar wilayah yang dalam
praktiknya dapat mengambil wajah terbentuknya daerah otonom, bahkan negara
baru. Dalam kasus yang terakhir, terbentuknya Pakistan dari India dan Bangladesh
dari Pakistan adalah contoh-contoh yang cukup jelas untuk menggambarkan
teritorialisasi identitas yang berakhir dengan pemisahan diri secara politik dari
kelompok dominan.
E. Sejarah Lokalitas Dan Prinsip Lokalitas
Sejarah lokalitas merupakan penulisan sejarah yang dibatasi oleh ruang
lingkup dan berkaitan dengan lokalitas . Terbatasnya ruang lingkup berhubungan
dengan unsur wilayah. Sejarah lokal di indonesia sering disebut dengan sejarah
daerah akan tetapi, beberapa orang tidak sependapat bahwa sejarah lokal serupa
dengan sejarah daerah misalnya Taufik Abdullah. Ia tidak menyetujui kalau
sejarah lokal dipersepsikan sama dengan sejarah daerah. Alasannya adalah daerah
cenderung diliputi dengan politik, bahkan tidak mengedepankan etnis budaya
yang mencerminkan lokalitas perkembangan sejarah.  
Berdasarkan definisi tersebut, kita dapat mengetahui ciri sejarah lokal yaitu
berkaitan dengan aspek wilayah. Contohnya adalah karya yang diciptakan oleh
Sartono Kartodirjo tentang "Permberontakan Petani di Banten". Pemberontakan
yang dilakukan oleh rakyat cenderung berlangsung dalam waktu singkat dan
tradisional. Peristiwa pemberontakan tersebut berkaitan dengan kondisi sosial
budaya yang berkembang dalam masyarakat. Inilah yang menjadikan pendorong
utama sejarah lokal.  
Prinsip-prinsip sejarah lokalitas:
1. menceritakan wilayah tertentu contohnya sejarah kota-kota di Jawa Tengah  
2. mengutamakan struktur sejarah daripada proses.
3. Menceritakan suatu  peristiwa yang populer pada uatu daerah  
4. pembahasan sejarah lokal hanya tebatas pada aspek tertentu.

9
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan pada bab sebelumnya, maka
dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu, Politik identitas dapat dikatakan sebagai
salah satu eksternalitas dari kebhinnekaan Indonesia. Isu politik identitas menjadi
warna tersendiri pada aktivitas politik di beberapa daerah di Indonesia, terutama
pada masa-masa pesta demokrasi rakyat. Terdapat peserta (calon) yang cenderung
tertarik menggunakan isu-isu identitas sebagai daya tariknya untuk mencapai
kepentingan politis.

10
DAFTAR PUSTAKA

Afala, Laode Machdani. 2018. Politik Identitas di Indonesia. Malang : UB Press.

Eko, Prasetyo. 2018. Ciri – ciri dan Prinsip Sejarah Lokalitas. Online

Jales Jales Dede Afremon. 2016. Ilmu Politik Tentang Identitas Politik. Padang

Sukamto. 2010. Politik Identitas. Jurnal Sejarah dan Budaya. Universitas Negeri
Malang, 3 (2) 9 – 11.

11

Anda mungkin juga menyukai