Anda di halaman 1dari 9

TUGAS 3 KEWARGANEGARAAN

MAKALAH
DISINTEGRASI

“PAPUA DAN ANCAMAN DISINTEGRASI”

NAMA : NURFADILA

NIM : 201801027

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN

WIDYA NUSANTARA PALU

TAHUN 2018/2019
A. KASUS
Dalam beberapa hari terakhir ini kasus Papua, atau tepatnya kekisruhan
bahkan kekerasan yang terjadi karena isu Papua menjadi isu yang hangat di
tanah air. Konon kabarnya kekerasan-kekerasan yang terjadi, khususnya di tanah
Papua, telah menelan korban bahkan dari kalangan TNI dan Polri sendiri.
Dikabarkan bahwa pemicu awal dari kekisruhan dan kekerasan itu adalah
insiden yang diyakini sebagai perlakukan rasisme beberapa warga atau pejabat
daerah di Surabaya. Tuduhan tindakan rasisme itu pun merambat ke beberapa
daerah, dan puncaknya ke tanah Papua sendiri.
Isu Papua sesungguhnya bukan isu baru. Bahkan sejujurnya adalah sebuah
isu tersensitif bangsa, sekaligus ancaman terbesar dalam konteks NKRI dan
disintegrarsi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sensitifitas isu Papua karena Papua memang punya latar belakang sejarah
tersendiri dalam tatanan sejarah perjalanan negeri. Selain itu karena Papua
memilki inklinasi mentalitas yang mungkin saja berbeda dari daerah-daerah lain
di negeri ini.
Ancaman terbesar disintegrasi karena Papua memang sejarahnya diincar
oleh beberapa bangsa besar lain yang punya kepentingan. Selain karena
kekayaan alamnya, juga Papua bisa menjadi sebuah lokasi strategi bagi mereka
yang berada dalam lingkaran pertarungan global.
Kesemua itu seharusnya menjadikan bangsa ini, terlebih lagi mereka yang
memiliki otoritas pemerintahan, untuk meresponnya secara Sungguh-Sungguh
dan sepenuh hati. Faktor pertama adalah faktor internal. Yaitu adanya asumsi
yang dikembangkan bahwa Indonesia semakin terancam oleh bangkitnya
kekuatan siapa yang disebut oleh dunia Barat sebagai kaum islamis.papua
dengan sendirinya yang juga dipersepsikan sebagai daerah yang secara otonomi
memiliki hak klaim sebagai “daerah Kristen” semakin merasa terancam pula.
Maka tidak heran jika ada negara-negara yang memilki perasaan yang sama atau
terancam kaum islamis membangun solidaritas dengan Papua, benderanya tidak
malu-malu ditampilkan di bumi Indonesia itu yang anti penjajahan. Faktor
internal ini justeru disebabkan oleh politisasi isu-isu Islam, termasuk isu
berdirinya khilafah yang berlebihan. Sehingga tidak mengejutkan respon yang
diberikan kepada “so called” ancaman khilafah jauh lebih serius ketimbang
ancaman lepasnya Papua yang tidak lagi malu-malu mendengunkan “Papua
Merdeka”.Faktor kedua adalah faktor eksternal. Yaitu adanya kekuatan-kekuatan
luar yang punya kepentingan.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Kaitannya dengan integrasi


Jenis –jenis integrasi terbagi menjadi:
1.) Integrasi kebudayaan
Integrasi ini adalah suatu penyusaian antara unsur-unsur kebudayaan yang
saling berbeda sehingga mencapai suatu keserasian fungsi dalam kehidupan
bermasyarakat.
2.) Integrasi sosial
Merupakan integrasi penyesuaian antara kelompok-kelompok yang berbeda
dalam suatu kehidupan sosial sehingga menghasilkan pola kehidupan yang
serasi bagi masyarakat itu sendiri.
3.) Integrasi nasional
Integrasi nasional adalah suatu proses penyusaian antara unsur-unsur yang
saling berbeda dalam kehidupan dimasyarakat secara nasional sehingga
menghasilkan suatu pola kehidupan yang serasi sehingga dapat memberikan
fungsi tersendiri bagi masyarakat tersebut.

Hubungan Integrasi nasional dengan kasus papua dan ancaman disintegrasi.


Disinilah indeks integrasi nasional menjadi penting sebagai alat ukur untuk
mendeteksi seberapa besar potensi konflik mengancam integrasi nasional. Sekaligus
menantang kapasitas negara dalam berdemokrasi yang sehat dan mewujudkan
pembangunan ekonomi yang berkeadilan.Merujuk hasil public talks yang
dikemukakan oleh The Indonesian Democracy Initiative (TIDI) mengenai perlunya
Indeks Integrasi Nasional, memang sudah tepat, namun parameternya harus diperluas
dan dipertajam. Terutama soal kesenjangan atau ketimpangan sosial ekonomi.
Ketimpangan dalam kepemilikan aset, terutama faktor faktor produksi seperti tanah.
Ketimpangan pribumi dan non pribumi.
B. FAKTOR PENYEBAB DISINTEGRASI

Disintegrasi nasional dapat terjadi karena berbagai faktor penyebab. Dengan


mengetahui penyebab dari disintegrasi nasional tersebut, kita dapat memahami
lebih baik bagaimana cara menghindarinya agar tidak terjadi perpecahan
sehingga persatuan dan kesatuan tetap terjaga. Di bawah ini merupakan uraian
lebih lanjut dari penyebab terjadinya disintegrasi nasional:

1. Maraknya Penyebaran Ideologi Selain Pancasila


Ideologi atau pandangan hidup rakyat Indonesia adalah Pancasila. Namun,
banyak ideologi selain Pancasila yang berkembang di tengah masyarakat.
Keberadaan ideologi selain Pancasila tersebut dapat mengancam persatuan
karena selain mengikis pengamalan Pancasila dari rakyat Indonesia, ia juga
dapat menyebabkan kehancuran pada suatu tatanan hidup masyarakat. Contoh
dari ideologi selain Pancasila yang tengah diperangi perkembangannya yaitu
komunisme, leninisme, marxisme, dan neoliberalisme.
2. Ketimpangan di Bidang Demografi
Jumlah penduduk Indonesia sangatlah besar. 261.6 Juta jiwa tinggal di
Indonesia. ratusan juta jiwa penduduk Indonesia ini penyebarannya tidak
selalu merata. Ada daerah dengan tingkat kepadatan penduduk yang tinggi
dan ada daerah yang mengalami hal sebaliknya. Perbedaan kondisi ini akan
melahirkan perbedaan kebutuhan. Namun, ketika pemenuhan kebutuhan tidak
seimbang dengan banyaknya kebutuhan yang ada, maka rakyat akan
berlomba-lomba memenuhi kebutuhannya dan perpecahan bukanlah hal yang
mustahil untuk terjadi.
3. Kesenjangan Kekayaan Alam di Antara Daerah
Rasanya hampir seluruh rakyat Indonesia menyadari bahwa dari 34 provinsi
yang ada di Indonesia tentunya memiliki kekayaan alam yang berbeda. Hal ini
menyebabkan terjadinya perbedaan dalam pemasukan ke dalam kas daerah
dan mungkin saja dapat menimbulkan rasa iri hati dari daerah lain. Banyaknya
kekayaan alam di daerah dapat mengakibatkan suatu daerah ingin melepaskan
diri baik dari wilayah provinsi atau wilayah negara Indonesia. hal ini tentu
saja harus dihindari dengan cara memberlakukan otonomi daerah di Indonesia
secara berimbang.
4. Iklim Politik yang Kurang Sehat
Saban hari kita dapat menemui berita yang kurang mengenakkan dari dunia
perpolitikan di Indonesia. hal ini mengakibatkan rakyat menjadi antipati
terhadap politik dan pemerintahan. Kita tidak dapat memungkiri bahwa
banyak partai politik yang berkuasa ternyata kurang memperhatikan
kepentingan rakyat dan mempermainkan politik untuk kepentingannya
sendiri. Akibatnya, banyak terjadi demonstrasi dan perpecahan di tengah
masyarakat ketika membahas masalah politik ini.
5. Lambannya Kemajuan Ekonomi
Dunia perekonomian Indonesia banyak diwarnai oleh investor asing yang
memiliki modal besar. Meskipun usaha kerakyatan berupa UMKM (Usaha
Mikro, Kecil, dan Menengah) terus digalakkan, nyatanya kemajuan ekonomi
di Indonesia maju secara lambat. Akibatnya, terjadi kesenjangan yang besar di
antara si kaya dengan si miskin di tengah masyarakat. Tingginya tingkat
pengangguran juga merupakan akibat dari lambannya kemajuan ekonomi.
Hal-hal tersebut dapat meningkatkan kriminalitas dan perpecahan di antara
penduduk Indonesia.
6. Menurunnya Tingkat Toleransi di Tengah Masyarakat
Dahulu kita diajarkan untuk saling hormat menghormati segala perbedaan,
tidak membedakan perlakuan kita terhadap orang lain hanya karena suku, ras,
agama, adat, kondisi ekonomi, kondisi fisik, tingkat pendidikan ataupun hal-
hal lainnya. Namun, seiring berlangsungnya era globalisasi, nyatanya tingkat
toleransi di tengah masyarakat malah semakin menurun. Perbedaan dijadikan
faktor untuk beradu pendapat. Mungkin hal ini sering kita temui di dunia
media sosial. Namun, banyak juga perpecahan yang disebabkan oleh konflik
antar etnis, konflik antar agama, maupun konflik adat.

Menentukan strategi yang paling tepat untuk mengatasi masalah keamanan di


Tanah Papua dengan mengakhiri aksi-aksi kekerasan oleh siapa pun dan
dengan motif apa pun tidak mudah. Di dalam buku Papua Road Map yang
diterbitkan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia pada 2009 telah dituliskan
akar masalah Papua yang meliputi:

peminggiran, diskriminasi, termasuk minimnya pengakuan atas kontribusi


dan jasa Papua bagi Indonesia,
 tidak optimalnya pembangunan infrastruktur sosial di Papua, khususnya
pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi rakyat dan rendahnya
keterlibatan pelaku ekonomi asli Papua,
 proses integrasi politik, ekonomi, dan sosial budaya yang belum tuntas,
 siklus kekerasan politik yang belum tertangani, bahkan meluas,
 pelanggaran HAM yang belum dapat diselesaikan, khususnya kasus Wasior,
Wamena, dan Paniai.

C. ALTERNATIF PENYELESAIAN
Cara Mengatasi Disintegrasi Sosial
Disintegrasi memang akan tetap ada seiring adanya perubahan. Maka dari itu
jika disintegrasi terjadi, maka kita harus mengetahui bagaimana cara mengatasi
disintegrasi sosial tersebut. Berikut cara yang bisa kita lakukan untuk
mengatasinya :

1. Masyarakat harus menanamkan nilai – nilai cinta tanah air, pancasila, jiwa
sebangsa dan setanah air, rasa persaudaraan yang kuat. Ini dilakukan agar
masyarakat kita tetap sadar bahwa Indonesia harus bersatu dan agar tercipta
kekuatan juga kebersamaan dikalangan masyarakat Indonesia.
2. Menghilangkan segala macam hal yang menimbulan primodialisme sempit
pada setiap kebijaksanaan dan juga kegiatan agar mencegah terjadinya
KKN.
3. Rakyat harus meningkatkan ketahanan dalam menghadapi segala macam
usaha – usaha pemecahbelahan dari anasir luar dan kaki tangannya.
4. Melarang namun dengan melengkapi dasar juga aturan hukum setiap usaha
untuk menggunakan kekuatan yang ada pada massa.
5. Dalam memerangi separatis, maka dibutuhkan pembentukan suatu sukarela
yang terdiri atas unsur TNI, Polri, dan keikut sertaan masyarakat.
6. Dalam rangka menanamkan kesetiaan ideologi pancasila (ideologi yang
digunakan bangsa Indonesia) dan mengimplementasikan setiap butir – butir
pancasila.
7. Menumpas segala macam gerakan separatism secara tegas dan tidak pernah
mengenal kata kompromi dalam hal ini.

Alternatif penyelesaian kasus papua dan ancaman disintegrasi:


Propaganda rasis yang dilakukan kelompok massa dari aliansi ormas di Surabaya
saat mengepung Asrama Mahasiswa Papua telah memantik aksi protes berujung
kerusuhan di beberapa kota di Papua serta Papua Barat. Kerusuhan yang terjadi
di Manokwari, Fakfak, Jayapura, dan sebagainya menimbulkan korban jiwa dari
kubu demonstran dan aparat keamanan.
Isu referendum Papua pun kembali menguat. Isu ini tak lain langkah taktis menuju isu
kemerdekaan Papua senantiasa menjadi "bara" dalam sekam hubungan masyarakat
Papua dengan pemerintah pusat. Gagasan referendum sendiri merupakan "residu
politik" dari politisasi Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat) pada 1969. Dimana
proses politik pengintegrasian Irian Barat ke pangkuan NKRI tidak menggunakan
cara-cara demokratis yang menghormati hak asasi masyarakat Papua.
Pepera adalah pemaksaan masuknya Papua (Irian Barat) ke Republik Indonesia yang
lebih didominasi kepentingan modal asing dan elite kekuasaan Jakarta. Pasca-Pepera
sumber daya alam Papua dikuras habis oleh kepentingan eksploitasi modal korporasi
asing semacam Freeport yang masuk melalui regulasi UU No 1 tahun 1967 tentang
Penanaman Modal Asing (PMA).Kelompok anti-Pepera melakukan perjuangan
politik melalui gerakan politis di luar negeri melalui Organisasi Papua Merdeka
dengan memanfaatkan momentum isu pelanggaran HAM berat di Papua dan tindakan
represif-militeris pemerintah pusat Pada era Orde Baru (Orba), penggunaan
pendekatan keamanan melalui kebijakan Daerah Operasi Militer (DOM) gagal
menyelesaikan resistensi masyarakat Papua yang dimiskinkan oleh kebijakan pusat
yang anti-HAM dan mengabaikan hak sosial dasar masyarakat papua. Ratusan
bahkan ribuan korban jiwa masyarakat Papua selama DOM hampir 19 tahun
menyisakan luka perih bagi martabat masyarakat Papua. Kebijakan politik keamanan
terhadap masyarakat Papua sangat paradoks dengan kebijakan pemerintah pusat pada
era Orba yang menguras kekayaan dan sumber daya alam papua untuk kepentingan
korporasi asing. Demikian kekuatan politis dan faksi kepentingan militer di Papua
selama Orba menjadi kekuatan-kekuatan rakus yang mengambil untung dari
tereksploitasinya sumber daya alam papua. Masyarakat Papua sampai tahun 90-an
dipaksa tunduk kepada kepentingan Jakarta yang berwatak sentralis-otoritarian
kapitalistik. Namun masyarakat Papua dimiskinkan tanpa diberikan secuil hak
mengelola sumber daya alam yang tersisa. Masyarakat dan banyak suku di Papua
yang hidup dalam pemiskinan kolektif tanpa uluran kebijakan yang pro-rakyat.
Runtuhnya kediktatoran Orba, di bawah kepemimpinan Presiden ke-3 yakni
Abdurrahman Wahid (Gus Dur), masyarakat Papua mendapatkan "obat penawar"
luka politik yang mereka alami puluhan tahun. Gus Dur yang memahami betul
perasaan emosional masyarakat Papua dan juga tokoh aktivis HAM yang paham betul
cara menghormati hak asasi sebuah bangsa (masyarakat) melakukan langkah
"radikal" terhadap masyarakat Papua.Nama Irian Jaya yang beraroma "kolonialistik"
diganti menjadi Papua untuk menghormati identitas kolektif masyarakat yang
mengalami kolonialisasi hampir 25 tahun. Gus Dur juga mengesahkan pembentukan
Majelis Rakyat Papua dan mempersilakan pengibaran bendera Bintang Kejora
sebagai identitas sosio-kultural masyarakat Papua. Gus Dur menginisiasi gagasan
otonomi khusus Papua dengan konsekuensi pada pemberian dana khusus yang
seharusnya digunakan untuk pembangunan Papua dan bagi kesejahteraan masyarakat
Papua.
Kedua, melanggengkan ideologi pro-kemerdekaan Papua yang diorganisasi oleh
OPM di luar negeri, dan meningkatkan militansi jaringan gerakan masyarakat dan
mahasiswa anti-Jakarta seperti jaringan KNPB dan AMP. Ketiga, mendorong kondisi
pemiskinan struktural dan kultural masyarakat Papua, yang akhirnya menjadi pemicu
ketidakpuasan atas kebijakan pemerintahpusat. Demikian pula pembangunan jalan
trans Papua tidak menyentuh aspek kepentingan dasar masyarakat Papua, dan justru
semakin mendegradasi lingkungan dan konservasi hutan. Padahal masyarakat papua
membutuhkan pelayanan di bidang pendidikan dan kesehatan yang merupakan wujud
layanan sosial dasar yang paling dibutuhkan. Protes dan reaksi atas politik
pembangunanisme di era pemerintahan Joko Widodo ditunjukkan kelompok-
kelompok perjuangan bersenjata yang selalu "mengganggu" prosesi pembangunan
sarana dan prasarana transportasi serta komunikasi di Papua. Masyarakat Papua
sebenarnya banyak yang mendukung kebijakan pembangunan pemerintah pusat dan
kebijakan non infrastruktur. Meskipun banyak kekuatan politik anti-Jakarta berupaya
penuh menyabotase langkah pemajuan Papua. Mereka menolak pembangunan dan
kebijakan program pro-Papua karena memang tujuan politisnya adalah kemerdekaan
Papua --Papua dan Papua Barat harus lepas dari pangkuan NKRI.
DAFTAR PUSTAKA

https://www.kanigoro.com/featured/papua-dan-ancaman-disintegrasi/

https://www.academia.edu/31873520/KASUS_KASUS_DISINTEGRASI_BANGSA

http://theconversation.com/memahami-akar-masalah-papua-dan-penyelesaiannya-
jangan-gegabah-87785

https://guruppkn.com/penyebab-terjadinya-disintegrasi-nasional

https://materiips.com/cara-mengatasi-disintegrasi-sosial

https://news.detik.com/kolom/d-4690109/solusi-taktis-konflik-papua

Anda mungkin juga menyukai