Anda di halaman 1dari 26

LAPORAN PENDAHULUAN DENGAN KASUS ARDS (Acute Respiratory

Distress Syndrome) DI RUANGAN PICU RSUD TORABELO


KABUPATEN SIGI

DI SUSUN OLEH :
IMROATUR ROSIDAH, S.Kep
2022032017

CI LAHAN CI INSTITUSI

Andi Ulfiana, S.Kep.,Ns Ns. Agnes Erlita Distriani Patade, S.Kep.,M.Kep


NIP : 199103212019082001 NIK :

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


UNIVERSITAS WIDYA NUSANTARA
2023
A. KONSEP DASAR PENYAKIT
1. Definisi
Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) merupakan
kerusakanparu total akibat berbagai etiologi. Keadaan ini dapat dipicu oleh
berbagai hal,misalnya sepsis, pneumonia viral atau bakterial, aspirasi isi
lambung, trauma dada,syok yang berkepanjangan, terbakar, embolilemak,
tenggelam, transfusi darahmasif, bypass kardiopulmonal, keracunan O2
, perdarahan pankreatitis akut, inhalasi gas beracun, serta konsumsi
obat-obatan tertentu. ADRS merupakankeadaan darurat medis yang
dipicu oleh berbagai proses akut yangberhubungan langsung ataupun
tidak langsung dengan kerusakan paru.
ARDS atau Sindroma Distres Pernafasan Dewasa ( SDPD ) adalah
kondisikedaruratan paru yang tiba-tiba dan bentuk kegagalan nafas
berat,biasanya terjadi pada orang yangsebelumnya sehat yang telah
terpajanpada berbagai penyebab pulmonal atau non-pulmonal.
ARDS adalah Penyakit akut dan progressive dari kegagalanpernafasan
disebabkan terhambatnya proses difusi oksigen dari alveolar ke kapiler(a-c
block) yang disebabkan oleh karena terdapatnya edema yang terdiri dari
cairankoloid protein baik interseluler maupun intraalveolar.
2. Epidemiologi
Epidemiologi ARDS di Indonesia sebesar 10,4% dari total pasien ICU.
Di Indonesia, data di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM)
mendapatkan 101 pasien ARDS dalam 10 bulan.
Data epidemiologi Sindrom Distres Pernapasan Akut/Acute Respiratory
Distress Syndrome (ARDS) pada tahun 2016 dari 50 negara menunjukkan
bahwa prevalensi ARDS sebesar 10,4% dari total pasien rawat di unit
perawatan intensif (intensive care unit/ICU). ARDS dapat terjadi pada seluruh
usia, tetapi lebih sering terjadi pada pasien dewasa dan wanita. Di Amerika
Serikat, insidensi ARDS pada pasien pediatrik tercatat sebanyak 9.5 kasus per
100,000 populasi per tahun, 16 kasus per 100.000 populasi per tahun pada
usia 15-19 tahun dan 306 kasus per 100.000 populasi per tahun pada usia 75-
84 tahun. Kasus ARDS juga semakin meningkat, di Taiwan, terdapat kenaikan
kasus ARDS sebanyak 50% dari tahun 1997 hingga 2011.
3. Etiologi
ARDS berkembang sebagai akibat kerusakan pada epitelalveolar
danendotel mikrovaskular yang diakibatkan trauma jaringan paru baik secara
langsung maupun secara tidak langsung. Faktor resiko yang berhubungan
dengan ARDS:
a. Trauma langsung pada paru
1) Emboli karena pembekuan darah,lemak,udara,atau cairan amnion
2) Aspirasi asam lambung
3) Terhisap gas beracun
4) TBC miliar
5) Radang paru divus(sars)
6) Obstruksi saluran nafas atas
7) Asap roko yang mengandung kokain
8) Keracunan oksigen
9) Trauma paru
10) Ekspos radiasi
b. Trauma tidak langsung
1) Sepsis
2) Shock
3) DIC (Dissemineted Intra Vaskuler Coagulation)
4) Pankreatitis
5) Uremia
6) Overdosis obat
7) IdiopahaticI (tidak dikethui)
8) Bedah cardiobaipas yang lama

9) Tranfusi berulang
10) PIH (Pregnan Inducet Hipertencion)
11) Peningkatan tik
12) Terapi radiasi
13) Luka bakar dan luka berat
4. Patofisiologi
ARDS terjadi akibat cedera atau trauma pada membran alveolar kapiler
yang mengakibatkan kebocoran cairan kedalam ruang interstisiel alveolar dan
perubahandalam jaring-jaring kapiler, terdapat ketidakseimbangan ventilasi dan
perfusi yangjelas akibat kerusakan pertukaran pertukaran gas dan
pengalihan pengalihanekstansif ekstansif darah dalam paru-paru. paru-
paru. ARDS menyebabkan penurunan dalam pembentukan surfaktan, yang
mengarah pada kolaps alveolar.alveolar. Komplians Komplians paru menjadi
menjadi sangat menurun atau paru - paru menjadi menjadi kaku akibatnya
akibatnya adalah penurunan karakteristikdalam kapasitas residual fungsional,
hipoksia berat dan hipokapnia. Ada 3 fase dalam patogenesis ARDS :
a. Fase Eksudatif : Fase permulaan, dengan cedera pada
endotheliumdan epitelium, inflamasi, dan eksudasi cairan. Terjadi 2-4 hari
sejak serangan akut.
b. Fase Proliferatif : Terjadi setelah fase eksudatif, ditandai dengan influks
danproliferasi fibroblast, sel tipe II, dan miofibroblast, menyebabkan
penebalan dinding alveolus dan perubahan eksudat perdarahan
menjadi jaringangranulasi seluler/membran seluler/membran hialin.
Fase proliferatif merupakan fase menentukan yaitu cedera bisa mulai
sembuh atau menjadimenetap, ada resiko terjadi lung rupture
(pneumothorax).
c. Fase Fibrotik/Recovery : Jika pasien bertahan sampai 3 minggu, paru akan
mengalami remodeling dan fibrosis. Fungsi paru berangsur angsur membaik
dalam waktu 6 – 12 bulan, dan sangat bervariasi antar individu, tergantung
keparahan cederanya.
Perubahan patofisiologi berikut ini mengakibatkan sindrom klinis
yang dikenalsebagai ARDS:
a. Sebagai konsekuensi dari serangan pencetus, complement cascade
menjadiaktif yang selanjutnya meningkatkan permeabilitas dinding kapiler.
b. lekosit, granular, eritrosit, makrofag, sel debris, dan protein bocorkedalam
ruang interstisiel interstisiel antar kapiler dan alveoli, padaakhirnya
kedalam ruang alveolar.
c. Karena terdapat cairan dan debris dalam interstisium dan alveoli maka
areapermukaan untuk pertukaran oksigen dan CO menurun
sehingga₂mengakibatkan rendahnyan rasio ventilasi-perfusi dan hipoksemia.
d. Terjadi hiperventilasi kompensasi dari alveoli fungsional,
sehinggamengakibatkan hipokapnea dan alkalosis resiratorik.
e. Sel-sel yang normalnya melaisi alveoli menjadi rusak dan diganti oleh sel-sel
yang tidak menghasilkan surfaktan ,dengan demikian
meningkatkantekanan pembukaan alveolar.
ARDS biasanya terjadi pada individu yang sudah pernah
mengalamitrauma fisik, meskipun dapat juga terjadi pada individu yang
terlihat sangatsehat segera sebelum awitan, misalnya awitan mendadak
seperti infeksiakut. Biasanya terdapat periode laten sekitar 18-24 jam dari
waktu cederaparu sampai berkembang menjadi gejala. gejala. Durasi
sindrom dapat beragam dari beberapa hari sampai beberapa minggu.
minggu. Pasienyang tampak sehat akan pulih dari ARDS. Sedangkan secara
mendadakrelaps kedalam penyakit pulmonary akut akibat serangan sekunder
sepertipneumotorak atau infeksi berat . Sebenarnya sistim vaskuler paru
sanggupmenampung penambahan volume darah sampai 3 kali normalnya,
namunpada tekanan tertentu, cairan bocor keluar masuk ke jaringan
jaringaninterstisiel interstisiel dan terjadi terjadi edema paru.

5. Klasifikasi
Kriteria Berlin mengklasifikasikan ARDS menjadi tiga kelompok berdasarkan
nilai PaO2/ FiO2 . Tidak ada istilah Acute Lung Injury (ALI) dalam kriteria ini.
Berikut merupakan definisi ARDS berdasarkan kriteria Berlin (Schreiber,
2019):
a. ringan (mild), yaitu PaO2 /FiO2 lebih dari 200 mmHg, tetapi kurang dari
dan sama dengan 300 mmHg dengan positive-end expiratory pressure
(PEEP) atau continuous positive airway pressure (CPAP) ≥5 cmH2O.
b. sedang, yaitu PaO2 /FiO2 lebih dari 100 mmHg, tetapi kurang dari dan sama
dengan 200 mmHg dengan PEEP ≥5 cmH2O.
c. berat, yaitu jika PaO2 /FiO2 ≤ 100 mmHg dengan PEEP ≥5 cmH2O
6. Manifestasi klinis
a. Pirauintravulmonal yang nyata
b. Hipoksimia
c. Keregangan paru yang berkurang secara progresif yang
berakibatbertambahnya kerja pernafasand.
d. Dispnea serta takipnea yang berat akibat hipoksimiae.
e. Rongkibasah
f. Kapasitas berkurang
g. Peningkatan p(A-a)O2 ,penurunan Pa2O2 dan penurunan PaCO₂.
h. Sinar kurang X dada menunjukan paru yang putih(keputihan)
ateleksiskongestif yang difusi.
i. Gambaran klinis lengkap dapat bermanivestasi 1-2 hari setelah cidera
7. pemeriksaan fisik
a. Airway : look (pengembangan dada), listen ( suara pernapasan), feel
( hembusan udara saat Klien melakukan ekspirasi dapat dirasakan
b. Breathing : inspeksi ( adanya sesak napas, adanya penggunaan otot bantu
dalam pernapasan, frekuensi napas), palpasi ( adanya pengembangan
dinding dada), auskultasi (adanya suara tambahan).
c. B1 (Breath) (Breath) : sesak nafas, : sesak nafas, nafas cepat dan nafas
cepatdan dangkal, batuk dangkal, batuk kering, ronkh kering,
ronkhi basah,krekels halus di seluruh bidang paru, stridor, wheezing.
eezing.
d. B2 (Blood) : pucat, sianosis (stadium lanjut), tekanan lanjut), tekanan
darahbisa normal atau meningkat (terjadinya hipoksemia), hipotensi terjadi
pada stadium lanjut (shock), takikardi biasa terjadi, bunyi jantung normal
tanpa murmur atau gallop.
e. B3 (Brain) : kesadaran menurun (seperti bingung atau agitasi), tremor.
f. B4 (Bowel : -
g. B5 (Bladder) : -
h. B6 (bone) : pemeriksaan kulit punggung selama perawatan tirah baring
8. pemeriksaan penunjang
a. Laboratorium
AGDA: hipoksemia, hipokapnia (sekunder karena hiperventilasi),
hiperkapnia (pada emfisema atau keadaan lanjut), bisa terjadi alkalosis
respiratorik pada proses awal dan kemudian berkembang menjadi asidosis
respiratorik. Pada darah perifer bisa dijumpai gambaran leukositosis (pada
sepsis), anemia, trombositopenia (refleksi inflamasi sistemik dan kerusakan
endotel, peningkatan kadar amylase (pada kasus pancreatitis sebagai
penyebab ARDSnya). Gangguan fungsi ginjal dan hati, gambaran
koagulasi intravascular disseminata yang merupakan bagian dari MODS.
b. Radiologi
Pada awal proses, dari foto thoraks bisa ditemukan lapangan paru yang
relatif jernih, namun pada foto serial berikutnya tampak bayangan
radioopak yang difus atau patchy bilateral dan diikuti pada foto serial
berikutnya tampak gambaran confluent tanpa gambaran kongesti atau
pembesaran jantung. Dari CT scan tampak pola heterogen, predominan
limfosit pada area dorsal paru (foto supine).
c. USG Paru untuk mengetahui adanya kelainan serta adanya gambaran lesi
pada kedua lapang paru
d. Foto Thoraks ditujukan untuk menegakan diagnosa apabila terdapat
gambaran lesi
e. Bronkoskopi dapat dipertimbangkan untuk mengevaluasi kemungkinan
infeksi pada pasien akut dengan infiltrat paru bilateral. sampel dapat
diperoleh dengan bronkoskop bronkus subsegmental dalam dan
mengumpulkan cairan yang dihisap setelah meberikan cairan garam
nonbacteriostatic (bronchoalveolar lavage; UUPA). Cairan dianalisis untuk
diferensial sel, sitologi, perak noda, dan Gram stain dan pemeriksaan
kuantitatif (Muna & Soleha, 2019)
f. BAL (bronchoalveolar lavage)
9. Diagnosis/Kriteria Diagnosis
a. Onset akut umumnya 3-5 hari sejak adanya diagnosis kondisi yang menjadi
faktor resiko ARDS
b. Tanda pertama adalah "takipnea"
c. Pada auskultasi di temukan ronkhi basah
10. Terapi/Tindakan Penanganan
Pendekatan terapi terkini untuk ARDS adalah meliputi perawatan suportif,
bantuan ventilator dan terapi farmakologis. Prinsip umum perawatan suportif
bagi pasien ARDS dengan atau tanpa multiple organ dysfungsi syndrome
(MODS) meliputi.
a. Pengidentifikasian dan terapi penyebab dasar ARDS.
b. Menghindari cedera paru sekunder misalnya aspirasi, barotrauma, infeksi
nosokomial atau toksisitas oksigen dan mencegah terjadinya lesi di paru
secara iatrogenik serta mengurangi adanya cairan di dalam paru.
c. Mempertahankan penghantaran oksigen yang adekuat ke end-organ dengan
cara meminimalkan angka metabolik
d. Mengoptimalkan fungsi kardiovaskuler serta keseimbangan cairan tubuh.
e. Dukungan nutrisi.
1) Terapi Umum
Sedapat mungkin hilangkan penyebab dengan cara misalnya drainase pus,

antibiotika, fiksasi bila ada fraktur tulang panjang. Sedasi dengan


kombinasi opiat benzodiasepin, oleh karena penderita akan memerlukan
bantuan ventilasi mekanik dalam jangka lama. Berikan dosis minimal
yang masih memberikan efek sedasi yang adekuat. Memperbaiki
hemodinamik untuk meningkatkan oksigenasi dengan memberikan
cairan, obat2 vasodilator/konstriktor, inotropik, atau diuretikum. Keadaan
ini dapat dicapai dengan cara meningkatkan curah jantung bila saturasi
darah vena rendah, atau dengan dengan menurunkan curah jantung pada
keadaan high out put state, sehingga pulmonary transit time akan
memanjang. Strategi harus dilaksanakan dengan hati2 sehingga
tidakmengganggu sirkulasi secara keseluruhan.
2) Terapi Ventilasi Respirasi
a) Penggunaan Ventilasi Mekanis Invasif pada ARDS
Kegagalan ventilasi biasanya disertai penurunan Kapasitas residual
fungsional (KRF) yaitu adalah volume udara yang tetap berada di
dalam paru pada akhir ekspirasi tidal normal karena tidak ada otot
pernapasan yang berkontraksi pada saat ekspirasi. 14,15 Kapasitas
residu fungsional berisi 1/3 cadangan total O2 (1-2,3 liter) dan
merupakan penyangga ventilasi alveolar dalam pertukaran gas
sehingga memperkecil fluktuasi komposisi gas alveolar yang terjadi
selama pernapasan. Prinsip pengaturan ventilator pasien ARDS
meliputi volume tidal rendah (4-6 mL/kgBB) dan PEEP yang adekuat,
kedua pengaturan ini dimaksudkan untuk memberikan oksigenasi
adekuat (PaO2 > 60 mmHg) dengan tingkat FiO2 aman, menghindari
barotrauma (tekanan saluran napas <35cmH2O atau di bawah titik
refleksi dari kurva pressure-volume) dan menyesuaikan (I:E) rasio
inspirasi: ekspirasi (lebih tinggi atau kebalikan rasio waktu inspirasi
terhadap ekspirasi dan hiperkapnea yang diperbolehkan).
b) Penggunaan Volume Tidal Rendah
Saat ini telah terbukti bahwa pemberian volume tidal 10 to 15 ml/kg
dapat mengakibatkan kerusakan bagian paru yang masih normal
sehinga terjadi robekan alveolaus, deplesi surfaktan dan lesi alveolar-
capillary interface. Untuk menghindari hal ini maka dipergunakan
volume tidal 6-7ml/kg dengan tekanan puncak inspirasi < 35 cmH2O,
plateu inspiratory pressure yaitu < 30cmH2O dan pemberian positive
end expiratory pressure (PEEP) antara 8 sampai 14 cm H2O untuk
mencegah atelektase dan kolaps dari alveolus. Secara luas dianut
batasan pemakaian volume tidal yang rendah yaitu 6-7 ml/kgBB.
Sedangkan untuk penggunaan PEEPdan FiO2 tidak ada ketentuan
mengenai batas maksimal. Secara umum dapat diterima bahwa PEEP
yang lebih tinggi boleh dipakai supaya tercapai SaO2 yang diinginkan
yaitu (> 90-95%) dengan FiO2 < 0.60. Akan tetapi penelitian akhir-
akhir ini menunjukkan bahwa PEEP yang tinggi tidak memberikan
hasil akhir yang menguntungkan.
c) Parameter Pemeriksaan AGD
Pemeriksaan AGD (Analisa Gas Darah) dipakai sebagai parameter
keberhasilan dan panduan terapi. Walaupun demikian hasillnya tidak
harus mencapai nilai normal. Contohnya adalah kadar CO2 diperboleh
kan sedilit melebihi 50 cmH20 atau disebut sebagai permissive
hypercapnia; dan ternyata masih dapat memberikan hasil akhir yang
lebih baik. Demikian juga saturasi O2 cukup bila mencapai 92%.
d) Restriksi Cairan/ Deuresis
Restriksi cairan/diuresis yang cukup akan mengurangi peningkatan
tekanan hidrostatik didalam kapiler paru maupun cairan paru (lung
water). Akan tetapi harus diingat bahwa dehidrasi yang berlebihan
akan menurunkan perfusi jaringan dan mencetuskan gagal ginjal.
e) Prone Position
Prone position akan memperbaiki V/Q karena akan mengalihkan
cairan darah sehingga tidak terjadi atelektasis. Walaupun demikian
tehnik ini tidak mempengaruhi angka mortalitas. Walaupun demikian
pada subgrup pasien yang diseleksi berdasarkan tingkat keparahan
penyakit menunjukkan bahwa mortalitas dalam sepuluh hari pertama
pada kelompok dengan prone position lebih rendah dibandingkankan
dengan kelompok yang berbaring seperti biasa .
f) Inhalasi Nitric Oxide (NO)
Inhalasi nitric oxide/prostasiklin akan menyebabkan dilatasi pembuluh
darah di paru sehingga secara nyata memperbaiki hipertensi pulmonum
dan oksigenasi arteri. Tidak terdapat pengaruh terhadap tekanan darah
sistemik, akan tetapi efek samping subproduk dari NO berupa
peroksinitrit dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan paru.Oleh
karena itu pengunaannya sangat ketat yaitu pada keadaan ekstrem
dimana terjadi hipoksemia akut, gagal jantung kanan serta refrakter
terhadap tindakan suportif yang biasa.
3) Terapi Farmakologis
a) Kortikosteroid
Beberapa studi menyebutkan bahwa kelompok yang diberikan steroid

menunjukkan tingkat mortalitas yang lebih rendah, oksigenasi yang


lebih baik, penurunan disfungsi organ, dan ekstubasi lebih awal. Saat
yang tepat untuk memberikan steroid masih menjadi perdebatan,
namun dinilai masih masuk akal untuk mempertimbangkan
pemberian steroid pada pasien yang tidak membaik dalam 7-14 hari,
karena pada subgrup penelitian didapatkan keuntungan dan tidak
terbukti adanya kerugian.
b) NSAID
Bukti klinis terbaru menyebutkan bahwa terdapat jalur tambahan
yang melibatkan platelet pada onset dan fase resolusi jejas ARDS.
Studi observasional menunjukkan bahwa anti-platelet potensial
memiliki peran preventif pada pasien dengan risiko terjadi ARDS.

c) Novel Terapi
Sebelumnya telah dibahas bahwa klirens cairan alveolar dipengaruhi
oleh katekolamin. Sebuah studi meneliti efek pemberian salbutamol
intravena dibandingkan dengan plasebo terhadap 40 pasien dengan
ARDS. Pasien yang mendapat salbutamol intravena mengalami
pengurangan jumlah cairan di paru, namun mengalami kejadian
aritmia yang lebih tinggi. Studi ini dihentikan lebih awal karena
terdapat peningkatan angka mortalitas pada kelompok pasien yang
mendapatkan salbutamol intravena.2 Studi serupa menggunakan
albuterol aerosol untuk pasien ARDS, namun tidak memberikan hasil
yang memuaskan. Oleh karena itu pemberian ?2 agonis belum
direkomendasikan untuk ARDS. Terapi sel punca (stem cell) untuk
ARDS sedang diteliti lebih lanjut karena didapatkan hasil yang
menguntungkan saat dilakukan pemberian sel punca melalui
endotrakeal maupun intravena pada binatang.
d) Deuretik
Diuretikum lebih ditujukan untuk meminimalkan atau mencegah
kelebihan cairan, dan hanya diberikan bila eksresi cairan oleh ginjal
terganggu, oleh karena itu cara paling baik untuk mencegah
kelebihan cairan adalah dengan mempertahankan pengeluaran cairan
yang adekuat.Dengan demikian penggunaan diuretikum tidak rutin,
karena tidak sesuai dengan patogenesis ARDS.
11. Komplikasi
Komplikasi yang mungkin timbul pada ARDS dan yang berkaitan dalam
tatalaksananya adalah :
a. Barotrauma akibat penggunaan PEEP atau CPAP yang tinggi
b. Komplikasi saluran napas atas akibat ventilasi mekanik jangka panjang
seperti edema laring dan stenosis seperti edema laring dan stenosis
subglotis subglotis
c. Risiko infesi nosokomial yang meningkat : VAP (Ventilator-Associated
Pneumonia), ISK, flebitis. Infeksi nosokomial tersebut terjadi pada 55%
kasus ARDS.
d. Gagal ginjal terutama pada konteks sepsis
e. Multisystem organ failure
f. Miopati yang berkaitan dengan blockade neuromuskular jangka panjang
g. Tromboemboli vena, perdarahan saluran cerna dan anemia.
12. Pathway
B. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
adalah tahap awal dari proses keperawatan dan merupakan proses yang
sistematis dalam pengumpulan data dari berbagai sumber data untuk
mengevaluasi dan mengidentifikasi status kesehatan pasien.
a. Identitas atau Biodata pasien
1) Identitas : Acute Rrespiratory Distress Syndrome (ARDS) umumnya
sering terjadi pada pasien neonatus dan 11 sampai dengan 48 tahun
keatas.
b. Keluhan Utama : Timbulnya rasa nyeri pada dada serta sesak nafas dan
sianosis yang terlihat pada pasien. Adapun yang perlu dikaji pada rasa
nyeri tersebut adalah : Lokasi nyeri, Intensitas nyeri, waktu dan durasi,
kualitas nyeri.
c. Riwayat Kesehatan
1) Riwayat Penyakit Sekarang : Saat dilakukan pengkajian terlihat sesak
nafas serta kesulitan dalam bernafas dan nyeri dada, adakah otot bantu
pernafasan
2) Riwayat Penyakit Dahulu : Tanyakan jenis pengobatan yang pernah
dilakukan, sudah berapa lama mengeluh sesak dan apakah ada
penyakit bawaan yang menyertai seperti TB, Pneumoni dll.
3) Riwayat Penyakit Keluarga : keluarga dengan riwayat penyakit
pernafasan serta pria dengan Ras kulit hitam memiliki 2 kali resiko
lebih tinggi terserang ARDS.
d. Pemeriksaan Fisik
1) Keadaan Umum : Kaji Respirasi, SPO2 dan pantau irama nafas
pasien serta amati apakah ada otot bantu nafas
2) Pemeriksaan Fisik Head To Toe :
a) Kepala dan rambut : lihat kebershan kepala dan rambut
b) Mata : lihat konjungtiva anemis, apakah skelra ikterik atau tidak
serta amati pergerakan bola mata simetris
c) Hidung : Lihat kesimetrisan dan kebersihan serta apakah ada lesi
atau polip
d) Telinga : lihat kebersihan pada telinga dan amati apakah terdapat
lesi atau perdarahan dan kelainan bentuk pada telinga
e) Mulut : Lihatkesimetrisan mulut, kaji mukosa bibir kering atau
lembab, apakah terlihat sianosis pada bibir serta apakah ada
perdarahan dan apakah pasien menggunakan gigi palsu
f) Leher dan tenggorokan : raba dan rasakan adanya pembengkakan

kelenjar getah bening serta amati apakah terdapat lesi pada leher
atau tidak
g) Dada/torax : paru-paru, jantung, sirkulasi. Inspeksi kesimetrisan
paru dan apakah terdapat lesi atau tidak, Auskultasi apakah
terdapat suara nafas tambahan, Perkusi dan palpasi apakah
terdapat krepitasi dan bentuk abnormal
h) Abdomen
Inpeksi : bentuk, adanya lesi, terlihat menonjol
Palpasi : terdapat nyeri tekan pada abdomen.
Perkusi : timpani, pekak
Auskultasi : bagaimana bising usus
i) Ekstremitas : apakah terdapat pembengkakan pada ekstremitas
atas dan bawah serta apakah terdapat lesi atau tidak
j) Genetaalia dan anus : perhatikan kebersihan, serta apakah
terdapat lesi atau perdarahan.
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosis keperawatan adalah suatu penilaian klinis terhadap adanya
pengalaman dan respon individu, keluarga ataupun komunitas terhadap
masalah kesehatan, pada risiko masalah kesehatan atau pada proses
kehidupan. Diagnosis keperawatan adalah bagian vital dalam menentukan
proses asuhan keperawatan yang sesuai dalam membantu pasien mencapai
kesehatan yang optimal. Mengingat diagnosis keperawatan sangat penting
maka dibutuhkan standar diagnose keperawatan yang bisa diterapkan secara
nasional di Indonesia dengan mengacu pada standar diagnosa yang telah
dibakukan sebelumnya (PPNI, 2019). Diagnosa keperawatan yang muncul
pada Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS), (SDKI, 2020)
diantaranya :
a. Bersihan Jalan Nafas Tak Efektif berhubungan dengan Spasme jalan
nafas (edema interstisisial). D.0001
b. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan hambatan jalan napas
D.0005
c. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membran
Alveolus kapiler menyebabkan kolaps alveoli D.0003
d. Intoleransi Aktivitas berhubungan dengan ketidak seimbangan antara
suplai dan kebutuhan oksigen D.0056
3. Intervensi

No Diagnosa Keperawatan Kriteria Hasil Intervensi Rasional

1. Bersihan Jalan Nafas Tak Efektif Setelah dilakulakan 1. Monitor pola napas 1. mengetahui pola
berhubungan dengan Spasme jalan intervensi (frekuensi, napas klien
nafas (edema interstisisial). D.0001 selama …..x24 jam kedalaman, usaha 2. mengetahui adanya
bersihan jalan napas) suara napas
napas Meningkat 2. Monitor bunyi napas tambahan dan
dengan kriteria tambahan (mis. keefektifan jalan
hasil : gurgling,mengi, napas untuk
a. Batuk efektif wheezing, memenuhi O2 pada
meningkat ronchikering) klien
b. Produksi sputum 3. Berikan minum 3. untuk memobilisasi
menurun hangat dan mengeluarkan
c. Wheezing menurun 4. Lakukan fisioterapi secret
d. Dispnea menurun dada,jika perlu 4. meningkatkan
e. Gelisah menurun 5. Ajarkan tehnik batuk mobilisasi sekresi
f. Frekuensi napas efektif yang mengganggu
membaik 6. Kolaborasi oksigenasi
pemberian 5. agar klien dapat
g. Pola napas membaik bronkodilator, melakukan mandiri
ekspektoran,mukolit dalam mengeluarkan
ik, jika perlu secret
6. mengurangi atau
mencegah
pembentukan
sumbatan pada jalan
napas

2. Pola napas tidak efektif berhubungan Setelah dilakukan 1. Monitor pernapasan 1. Mengetahui status
dengan hambatan jalan napas D.0005 tindakan keperawatan 2. Posisikan pasien pernafasan
selama ….x 24 jam semi fowler 2. Untuk
pasien menunjukkan 3. Auskultasi suara memaksimalkan
keefektifan pola nafas, nafas. potensial ventilasi
dengan kriteria hasil: 4. Kolaborasi dalam 3. Memonitor
a. Frekuensi, irama, pemberian oksigen kepatenan jalan
kedalaman terapi napas
pernapasan dalam 4. Meningkatkan
batas normal ventilasi dan
b. Tidak asupan oksigen
menggunakan otot-
otot
bantu pernapasan
c. Tanda Tanda vital
dalam rentang
normal
(TD 120-90/90-60
mmHg,
nadi 80-100
x/menit,
RR : 18-24
x/menit,
suhu 36,5 –  37,5
C)

3. Gangguan pertukaran gas berhubungan Setelah deberikan 1. Monitor kecepatan 1. Untuk melihat ada
dengan perubahan membran Alveolus intervensi aliran Oksigen tidaknya aliran
kapiler menyebabkan kolaps alveoli selama ….x24 jam 2. Monitor posisi alat oksigen yang
D.0003 pertukaran terapi oksigen
pertukaran gas 3. Pertahankan masuk
meningkat dengan kepatenan jalan 2. Untuk mengetahui
kriteria hasil : napas apakah posisi alat
a. Tingkat kesadaran 4. Berikan oksigen terapi tidak sesuai
b. Dispneu tambahan, jika dengan klien
c. Bunyi napas perlu 3. Klien dapat
tambahan 5. Ajarkan pasien dan bertahan dengan
d. Pusing keluarga cara mudah
e. Penglihatan kabur menggunakan 4. Meningkatkan otot-
f. Gelisah (1) oksigen dirumah otot pernapasan
g. Napas cuping hidung 6. Kolaborasi 5. Untuk
h. Takikardia penentuan dosis memudahkan dalam
oksigen penggunaan
oksigen di rumah
6. Menurunkan beban
pernapasan dan
mencegah
terjadinya sianosis

4. Intoleransi Aktivitas berhubungan Tujuan : 1. Identifikasi 1. untuk mengetahui


dengan ketidak seimbangan antara Setelah dilakukan gangguan fungsi pemicu kelelahan
suplai dan kebutuhan oksigen D.0056 intervensi keperawatan tubuh yang pada klien
selama ……. x 24 jam, mengakibatkan
2. untuk mengetahui
maka toleransi aktivitas kelelahan
koping klien
meningkat. 2. Monitor
Kriteria hasil : kelelahan fisik 3. menghindari
1. Keluhan Lelah dan emosional kelelahan akibat kurang
menurun 3. Monitor pola istirahat
2. Dispnea saat dan jam tidur
4. memberikan rasa
aktivitas menurun 4. Sediakan
aman dan nyaman
3. Dispnea setelah lingkungan
kepada klien
aktivitas menurun nyaman dan
Frekuensi nadi rendah stimulus 5. meminimalkan atrofi
membaik (mis: cahaya, otot, meningkat.
suara,
6. istirahat yang lebih
kunjungan)
dan mengurangi
5. Lakukan latihan
aktivitas dapat
rentang gerak
memulihkan energy
pasif dan/atau
kembali
aktif 7. melatih kekuatan
6. Anjurkan tirah otot dan pergerakan
baring klien agar tidak terjadi
7. Anjurkan kekakuan otot maupun
melakukan sensi
aktivitas secara
8. meningkatkan selera
bertahap
makan klien
8. Kolaborasi
dengan ahli gizi
tentang cara
meningkatkan
asupan makanan
4. Implementasi

Implementasi merupakan tahap proses keperawatan dimana perawat


memberikan intervensi keperawatan langsung dan tidak langsung pada pasien.
Pelaksanaan adalah perwujudan atau realisasi dari perencanaan yang telah disusun.
Pelaksanaan rencana keperawatan dilaksanakan secara terkoordinasi dan
terintegrasi. Hal ini karena disesuaikan dengan kondisi pasien.

5. Evaluasi

Evaluasi merupakan tahap akhir proses keperawatan dengan cara menilai


sejauh mana tujuan dari rencana keperawatan tercapai atau tidak. Dalam
mengevaluasi, perawat harus memiliki pengetahuan dan kemampuan untuk
memahami respon terhadap intervensi keperawatan, kemampuan menggambarkan
kesimpulan tentang tujuan yang dicapai serta kemampuan dalam menghubungkan
tindakan keperawatan pada kriteria hasil. Evaluasi disusun menggunakan SOAP
secara operasional dengan tahapan dengan sumatif (dilakukan selama proses
asuhan keperawatan) dan formatif yaitu dengan proses dan evaluasi akhir.
Evaluasi dapat dibagi dalam 2 jenis yaitu evaluasi berjalan (sumatif) dan evaluasi
akhir (formatif). Pada evaluasi belum dapat dilaksanakan secara maksimal karena
kondisi yang tidak berhadapan langsung dengan pasien.
Daftar Pustaka

Bakhtiar, A. dan R.A. Maranatha 2019. Acute Respiratory Distress Syndrome Jurnal
Respirasi : 4

Harman, e, m, 2020 Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS).

Pham, T’ai Dan Gordon D. Rubenfeld 2021 the epidemiology of acute respiratory
distress syndrome a 5o th birthday review. American jornal of respiratory and
critical care medicine. 195

Tim Pokja SDKI DPP PPNI.2019. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia


Definisi dan Indikator Dianostik . Jakarta Selatan : DewanPengurus
Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia (DPP PPNI)

Tim Pokja SLKI DPP PPNI.2019. Standar Luaran Keperawatan Indonesia


Definisi Dan Kriteria Hasil Keperawatan. Jakarta Selatan : Dewan Pengurus
Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia (DPP PPNI)

Tim Pokja SIKI DPP PPNI.2020. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia


Definisi Dan Tindakan Keperawatan Keperawatan. JakartaSelatan :
Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia(DPP
PPNI).

Anda mungkin juga menyukai