Anda di halaman 1dari 7

KONTRIBUSI BOUNDED RATIONALITY PADA PERSONALISASI POLITIK

DI INDONESIA

Ditulis Untuk Memenuhi Tugas Ujian Akhir Semester


Mata Kuliah Psikologi Ekonomi

Dosen Pengampu :
Rahmat Hidayat, S.Psi., M.Sc., Ph.D.

Ditulis Oleh :

Muhammad Mazdo Prakoso


22/502271/PPS/04291

PROGRAM STUDI MAGISTER PSIKOLOGI


FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS GADJAH MADA
2022
1. PENDAHULUAN

Indonesia sebagai negara hukum secara konstitusional telah termaktub pada


Undang-Undang Dasar 1945. Diksi negara hukum di Indonesia memiliki aksentuasi
yang berbeda pada saat sebelum dan setelah amendemen. Pra amendemen UUD 1945
disebutkan bahwa Indonesia adalah negara yang berbentuk negara hukum, sedangkan
pasca amendemen UUD 1945 disebutkan bahwa Negara Indonesia adalah negara
hukum, istilah negara dimuat secara jelas di dalam UUD 1945 pasal 1 ayat 3 (Alfina
Fajrin, 2019)
Negara hukum dan demokrasi adalah dua konsepsi mekanisme kekuasan
dalam menjalankan roda pemerintahan negara. Kedua konsepsi tersebut saling terikat,
berkaitan dan tidak bisa dipisahkan karena pada satu sisi demokrasi memberikan
legitimasi kepada kekuasaan berdasarkan prinsip moralitas manusia dan sisi lain nya
negara hukum memberikan patokan bahwa yang mempunyai kekuasaan dalam negara
bukan individu atau kelompok, tetapi hukum.
Berbicara tentang demokrasi hal tersebut bisa kita tinjau secara epistemologis
dan juga terminologis. Secara epistemologis kata ‘demokrasi’ terdiri dari dua kata
yang berasal dari bahasa Yunani Kuno yaitu demos yang berarti rakyat atau penduduk
suatu wilayah dan cretein atau cratos yang berarti kekuasaan atau kedaulatan. Jadi
kata demos-cratein ataupun demos-cratos adalah keadaan negara di mana dalam
sistem pemerintahannya kedaulatan berada di tangan rakyat, kekuasaan tertinggi
berada dalam keputusan bersama rakyat, rakyat berkuasa, pemerintah rakyat dan oleh
rakyat.
Representasi dari demokrasi di Indonesia terlihat dari terselenggarakannya
pemilihan umum (Pemilu). Indonesia sudah menyelenggarakan pemilu untuk memilih
presiden dan wakil presiden secara tidak langsung dan langsung (Ari Welianto, 2019)
Sejak awal pemilihan umum (Pemilu) dilaksanakan di Indonesia pada tahun 1955,
sudah dipenuhi dengan politik ketokohan yang pada tahun 1955 Soekarno menjadi
episentrum dari kontestasi politik tersebut. Sejak tahun 1955 yang notabene
merupakan pemilu pertama di Indonesia, personalisasi politik sudah terasa,
personalisasi politik dapat didefinisikan sebagai kondisi dimana elit politik memiliki
posisi lebih penting dibandingkan organisasi partainya atau identitas kolektif lainnya
(Lauri Karvonen, 2010). Dalam bentuk ikatan pribadi antara individu dengan tokoh
politik dianggap sebagai salah satu ciri penting perilaku politik dalam demokrasi
kontemporer (Garzia, 2011, 2013; Lobo & Curtice, 2014; Schneider, 1994).
Kehidupan demokrasi di Indonesia mengalami pasang surut, setiap akan
mengalami kontestasi politik sangat kental terasa politik ketokohan dan loyalisme
pendukungnya. Personalisasi politik bisa diwakilkan oleh frasa ‘penyanyi lebih
penting daripada lagu’, dalam keputusan politik masyarakat lebih melihat siapa
tokohnya daripada substansi dan nilai-nilai yang dijual oleh tokoh tersebut. Dalam
sudut pandang individu-individu tersebut pilihan mereka adalah pilihan yang rasional,
tetapi secara teoritik tidak sepenuhnya benar karena adanya bounded rationality dari
masing-masing individu tersebut.
Bounded rationality adalah kenyataan sehari hari kehidupan manusia. Sistem
kognitif bekerja dengan baik dengan bahan-baku terbatas (mis.informasi terbatas),
berbasis teori pertaruhan (game theory), memperdiksi sesuatu yang sifatnya ‘masa
depan’ dapat dilakukan secara tepat berbasis satu atau dua informasi saja dan
lumrahnya bersifat heuristic (Simon, 1982; Tversky & Kahneman, 1974). Apakah
setiap individu dalam memutuskan pilihan politiknya terhadap partai ataupun tokoh
politik sudah rasional? Apakah mereka mendapatkan informasi yang cukup perihal
partai dan tokoh politik sebelum mereka memutuskan untuk membuat keputusan
politik?
Berdasarkan latar belakang yang telah penulis jelaskan diatas, penulis
membedah kontribusi bounded rationality pada masyarakat dalam memilih tokoh
politik dan personalisasi politik di Indonesia. Penulis berharap dengan menggunakan
teori bounded rationality mampu menjelaskan fenomena personalisasi politik dalam
kaitannya dengan pilihan tokoh politik masyarakat Indonesia.
2. PEMBAHASAN

Rasionalitas merupakan entitas yang mandiri dari intelegensi (Hidayat, 2016),


itu sebabnya masyarakat dalam mengambil keputusan terhadap tokoh politik tingkat
intelegensi mungkin bahkan tidak berlaku seutuhnya. Banyak fenomena bahwa
tingkat pendidikan yang tinggi pada seseorang tetap membuatnya masuk kedalam
ranah loyalisme populis, tingkat pendidikan dan tingkat intelegensi seperti tidak
berlaku ketika kita sudah memantapkan diri untuk memilih seseorang tokoh ataupun
partai politik tertentu dan cenderung mengambil keputusan itu berasal dari aspek-
aspek yang sangat tidak rasional seperti janji-janji para tokoh dan partai politik yang
terlalu awang-awang.
Pada kontestasi politik tahun 2019 kemarin contohnya, ada salah satu tokoh
politik yang secara jelas terafiliasi dengan satu partai politik yang memproklamirkan
bahwa ketika terpilih nanti dia dan partainya akan membuat kebijakan bahwa
meniadakan pajak untuk kendaraan bermotor demi meringankan beban masyarakat.
Ya memang sangat tidak masuk akal mengingat aspek pajak kendaraan bermotor
cukup signifikan dalam pendapatan negara melalui pajak seperti yang dikatakan oleh
anggota Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Refrizal, pada
tahun 2019 pada saat rapat Komisi di Kompleks DPR/MPR Republik Indonesia di
Jakarta. Namun fenomena dan janji politik yang tidak rasional tersebut bahkan di
dukung oleh sebagian masyrakat dan bahkan diantaranya terdapat orang-orang yang
memiliki latar belakang pendidikan yang mentereng. Rasionalitas merupakan entitas
mental yang secara teoritis dan praktis berbeda atau terpisah dari intelegensi. Dengan
demikian perbedaan individual dalam hal IQ tidak sama dan sebangun dengan
perbedaan individual dalam rasionalitas (Stanovich & West, 2014).
Fenomena lain, yaitu pada pemilihan kepala daerah Provinsi DKI Jakarta pada
tahun 2017, salah satu kandidat penantang petahana yang memiliki janji politik ketika
nanti diamanahkan sebagai Gubernur DKI Jakarta akan membuat skema DP 0% untuk
rumah tapak di wilayah DKI Jakarta bagi masyarakat kelas menengah kebawah yang
notabene di DKI Jakarta akan sangat sulit kita jumpai tanah kosong untuk mendirikan
rumah tapak bahkan untuk beberapa rumah saja, apalagi itu berbentuk janji politik
yang hendak mendirikan banyak rumah tapak pada kampanye tersebut. Setali tiga
uang dengan fenomena sebelumnya, janji politik tersebut sangat tidak rasional
melihat dinamika wilayah DKI Jakarta yang sudah sangat padat penduduk dan sangat
sulit dijumpai tanah kosong, tetapi tetap saja ada individu yang bahkan secara
intelegensi termasuk kedalam kalangan terpelajar dan juga ada vlogger yang cukup
berpengaruh secara eksplisit mendukung janji politik yang tidak rasional tersebut.
Masyarakat pada umumnya terlena dengan janji politik pada fenomena-
fenomena diatas karena adanya anchoring effect yang secara teoritikal merupakan
bentuk penyimpangan dalam judgment, di mana individu cenderung untuk
mendasarkan judgment-nya pada informasi apapun yang tersedia, sekalipun tidak
relevan karena informasi yang relevan tidak tersedia. Pada fenomena achoring and
adjustment, individu membuat judgment mengacu pada anchor apapun yang tersedia.
Dengan bertambahnya informasi, individu melakukan penyesuaian atas judgment
awal ini (Tversky & Kahmeman, 1974). Jika hal tersebut dikorelasikan dengan
personalisasi politik akan membuat masyarakat ‘tertipu’ karena permainan politik
yang dijalankan oleh aktor-aktor politik tersebut.
Hal lain yang perlu dipertimbangkan berdasarkan fenomena diatas dan
pelbagai fenomena lain yang tidak penulis sebutkan di artikel ini adalah beragam
penelitian empirik telah menunjukkan adanya perbedaan yang sistematik antar
individu dalam hal kecenderungan untuk membuat kekeliruan dalam judgment dan
pengambilan keputusan. Sebagai gambaran kecenderungan dalam pengolahan
informasi yang sangat dipengaruhi oleh egosentrisme (myside bias) ditemukan dalam
berbagai penelitian sebagai tidak memiliki kaitan sama sekali dengan intelegensi.
Individu dengan IQ rendah tidak lebih cenderung melakukan myside bias
dibandingkan dengan indvidu yang memiliki IQ yang lebih tinggi (Stanovich & West,
2007; Stanovich, West, & Toplak, 2013).
Setiap masyarakat sebelum mengambil keputusan politik untuk memilih tokoh
dan partai politik, sudah seharusnya berpikir dan bertindak secara rasional.
Ketidakpatuhan atas norma ini akan menyebabkan seseorang akan menanggung
kerugian dalam satu dan lain bentuk (Hidayat, 2016). Salah dalam memilih tokoh
politik dan juga partai politik akan membuat masyarakat semakin berat menjalani
kehidupan selama periode kepemimpinan itu berlangsung.
3. PENUTUP

Personalisasi politik dijadikan jurus jitu yang sangat efektif dan efisien oleh
tokoh politik untuk dapat menduduki jabatan politik dan melunaskan syahwat
politiknya. Bounded rationality dan personalisasi politik dapat menjadi bahan baku
yang sangat menawan bagi aktor-aktor politik untuk memuluskan nafsu politiknya.
Fenomena tersebut dapat dijadikan aktor politik sebagai instrumen konstruktif
ataupun destruktif dalam rangka pemenangannya.
Dalam paradigma ilmu politik, personalisasi politik bisa digambarkan dengan
frasa the singer is more important than the song. Sebagai singer yang setiap kata dan
kalimatnya didengar oleh pendukung dan loyalisnya alangkah tidak etis jika nafsu
politik bisa mengalahkan moralitas dengan mengumbar janji-janji politik yang tidak
rasional kepada masyarakat.
Hemat penulis, mengedepankan moral kompas dengan memberikan janji-janji
politik rasional sangat diperlukan masyarakat yang hanya mendengar informasi
terbatas perihal janji-janji dari aktor politik. Mengedepankan moral kompas sembari
memuaskan nafsu politik seharusnya sudah menjadi suatu kewajiban aktor-aktor
politik di Indonesia agar terjadinya pembelajaran politik bagi masyarakat Indonesia
dan kontestasi politik harusnya menjadi ajang belajar mendewasakan diri secara
demokrasi bagi setiap warga negara termasuk aktor politik itu sendiri.
REFRENSI

Abdul Mukthie Fadjar, Sejarah, Elemen Dan Tipe Negara Hukum (Malang: Setara Press,
2016).
Garzia, D. (2011). The personalization of politics in Western democracies: Causes and
consequences on leader-follower relationships. The Leadership Quarterly, 22(4), 697–
709. https:// doi.org/10.1016/j.leaqua.2011.05.010
Hidayat, Rahmat. (2016). Rasionalitas: Overview terhadap Pemikiran dalam 50 Tahun
Terakhir., Buletin Psikologi., Vol. 24, No. 2, 101 – 122., DOI:
10.22146/buletinpsikologi.26772.
Simon, H. A. (1982). From substantive to procedural rationality. In H. A. Simon (editor).
Model of Bouded Rationality. 2. Cambridge: The MIT Press
Stanovich, K. E., & West, R. F. (2007). Natural myside bias is independent of cognitive
ability. Thinking and Reasoning, 13(3), 225-247.
Stanovich, K. E., & West, R. F. (2014). The assessment of rational thinking: IQ ≠ RQ.
Teaching of Psychology, 41, 265-271.
Stanovich, K. E., West, R., & Toplak, M. (2013). Myside bias, rational thinking, and
intelligence. Current Direction in Psychological Science, 22, 259-264
Tversky, A., Kahneman, D. (1974). Judgment under uncertainty: Heuristics and biases.
Science. 185, 1124 – 1131.

Anda mungkin juga menyukai