Anda di halaman 1dari 2

Politik 

Dinasti
In Pojok Jurnalisme on 25/07/2010 at 7:14 pm

alam percaturan politik, fenomena politik dinasti bukan hal baru. Dari politik kelas internasional
seperti dinasti Kennedy, Bush, Gandhi, dan lain-lain, hingga kelas nasional dinasti Soekarno,
Soeharto, hingga SBY, bahkan lokal daerah, kini sudah mulai kentara terjadinya. Pengalihan arus
politik dari kekuasaan banyak orang kepada status quo dinasti keluarga sangat terasa bergaung.

Indonesianis asal Jerman, Marcus Mietzner, dalam paper yang berjudul Indonesia’s 2009
Elections: Populisme, Dynasties and the Consolidation of the Party System, menilai bahwa
kecenderungan politik dinasti cukup menguat dalam politik kontemporer Indonesia.

Praktik politik dinasti menurutnya tidak sehat bagi demokrasi. Antara lain karena kontrol
terhadap pemerintah yang diperlukan dalam demokrasi, misalnya checks and balances, menjadi
lemah.

Bahkan, bahaya otoritarianisme dapat saja terjadi ketika semua kekuatan politik dirangkul dan
tunduk pada satu pucuk pimpinan saja. Sebagaimana terjadi pada era Demokrasi Terpimpin
Soekarno dan era Orde Baru Soeharto.

Ibarat pepatah, buah apel jatuh tak akan jauh dari pohonnya. Ketika masa kekuasaan atau jabatan
hendak berakhir, banyak anak politikus/tokoh senior parpol maupun pengurus parpol
“diarahkan” terjun meneruskan dinasti politik yang telah dibangun generasi sebelumnya.

Memang oligarki kepemimpinan partai politik maupun pimpinan daerah dengan membangun
dinasti wajar-wajar saja. Dan hal ini bukan hanya terjadi di Indonesia. Mendiang mantan Perdana
Menteri Pakistan Benazir Bhutto adalah politikus yang mewarisi bakat ayahnya, Ali Bhutto.
Selanjutnya, Bilawal pun terjun ke dunia politik. Bahkan, suami Benazir, Asif Ali Zardari, kini
menjadi Presiden Pakistan.

Tapi, hadirnya caleg atau calon pemimpin daerah dari anak atau kerabat politikus/pengurus
parpol, sejatinya dilakukan dengan prosedur dan mekanisme perekutan yang objektif. Calon
pemimpin harus mempunyai kapabilitas politik dan kepemimpinan. Dan anak politikus ataupun
pengurus partai tak boleh menjadi “anak emas” mengalahkan kader atau calon lain yang lebih
kapabel.

Kian maraknya politik dinasti, karena dikuasai oleh hanya beberapa elemen dan individu ini akan
melahirkan pragmatisme politik. Yang menurut beberapa pakar, ironisnya terlahir karena unsur
uang.

Untuk menguatkan sebuah dinasti politik pasti butuh dana besar guna sosialisasi, menjaga imeg,
hingga mencari dukungan dari partai agar calon dari dinastinya lolos atau diterima.

Bahayanya, bibit nepotisme dari politik dinasti sangat rentan terjadi. Banyak sekali kasus di
daerah, misalnya sang kakak menjabat kepala daerah, tak lama kemudiansanak saudaranya turut
diangkat memangku jabatan lurah, kepala desa atau elemen terkecil lainnya yang menyentuh
langsung konstituen dan masyarakat.

Belum lagi, bahaya kekuasaan yang berlangsung dalam lingkaran dinasti ini akan melahirkan
kekuasaan tanpa koreksi. Dan kehendak untuk memajukan handai-taulan sangat berpotensi
memunculkan konflik kepentingan.

Mental masyarakat pun akan kembali pada stadium sejarah, atau kembali terpuruk ke dalam
mentalitas masa lalu yang selalu pasrah “dikuasai” oleh segelintir kalangan dalam kekuasaan.
Padahal sesungguhnya, masyarakat adalah stakeholder demokrasi, pemegang kuasa yang
menentukan pilihan. Bukan objek yang terus diperas untuk dibodohi oleh kepetingan nepotistik.
(taufiq)

Serambi edisi 11

Anda mungkin juga menyukai