Anda di halaman 1dari 6

Menagih Pancasila Sebagai Etika Sosial-Politik Indonesia

Layaknya seperti tradisi tahunan, setiap tanggal 1 Juni para pimpinan lembaga negara,
pimpinan organisasi bahkan kita sendiri berbondong-bondong meng-upload ucapan “Selamat
Hari Lahir Pancasila” pada laman media sosial. Entah untuk membuktikan seberapa Pancasialis
diri kita atau hanya ikut rame. Fenomena pembuktian diri atau ikut-ikutan, jargon tanpa makna
ini mesti dihentikan dari sekarang.

Sudah saatnya untuk bersungguh-sungguh berpikir apa sebenarnya guna Pancasila bagi bangsa
Indonesia. Hanya sekedar dibacakan pada saaat upacara bendera? atau menjadi alat “gebuk”
lawan politik yang tak sejalan dengan Pemerintah serta untuk mengukur seberapa luas
wawasan kebangsaan beberapa pegawai KPK? Agar sedikit lebih berguna, yang harus kita
dilakukan ialah mengkukuhkan Pancasila sebagai landasan etika sosial-politik bangsa
Indonesia.

Sebagai etika sosial-politik, Pancasila butuh ditafsirkan lebih detil agar ia menjadi mungkin
untuk diimplementasikan bukan hanya pada lingkup pemegang kekuasaan sebagai pedoman
dalam mengeluarkan kebijakan atau peraturan perundang-undangan tetapi sampai pada level
terkecil seperti gang-gang, Rukun Tetangga (RT) bahkan setiap diri warga.

Keadilan Sosial Sebagai Tujuan Terakhir

Untuk itu kita akan memulai menafsir sila per sila dimulai dengan sila ke lima; Keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia. Kata kunci dalam sila ini ialah keadilan sosial; adil dan sosial.
Kata adil tidak bisa direduksi hanya menjadi persoalan adil dalam arti materil saja. Sebab, bila
kita menelisik kata adil dalam Bahasa Yunani yaitu; dikaioni, padanan dalam bahasa
Indonesianya ialah benar. Adil juga merupakan serapan dari bahasa Arab; ‘adl yang artinya
sama, lurus. Dari sini adil berarti tidak berpihak (lurus) karena bersikap sama pada setiap
kenyataan, kalaupun harus berpihak maka hanya berpihak kepada kebenaran.

Dari sini saya menyimpulkan bahwa adil adalah suatu sikap atau tindakan yang berlandaskan
pada yang benar (kebenaran). Sedangkan sosial, berasal dari kata latin socius yang artinya
teman. Saya terjemahkan sebagai sesuatu yang berhubungan dengan masyarakat/interaksi yang
dihasilkan antar individu hingga kelompok. Dengan demikian saya menafsirkan keadilan sosial
sebagai sebuah sikap atau tindakan yang melahirkan interaksi antar individu, kelompok serta
masyarakat yang berlandaskan pada apa yang benar (kebenaran).

Apa maksud dari yang benar atau kebenaran di sini? Kita sering membolak-balikan antara yang
benar dan yang baik. Yang baik kita anggap yang benar, sehingga apabila kita melakukan
korupsi karena itu baik bagi kita hingga kita bisa hidup mewah, bisa memastikan kebutuhan
keluarga, maka tindakan korupsi menjadi tindakan yang benar bagi kita. Yang baik belum tentu
yang benar tetapi yang benar pasti adalah yang baik. Korupsi adalah tidak benar sehingga sudah
pasti merusak keadilan (tidak adil).

Kenapa keadilan dan kebenaran hal yang sama? Mari kita ambil contoh; sebuah pelanggaran
HAM berat; kejahatan terhadap kemanusiaan. Mengapa sebuah pelanggaran HAM disebut
merusak rasa keadilan seseorang atau orang banyak? Karena melanggar HAM dengan
menghilangkan nyawa orang lain, misalnya, adalah tindakan yang tidak benar. Karena itu
tindakan tidak benar dan berhubungan dengan individu dan kelompok lain (sosial) maka
tindakan tersebut akan merusak keadilan sosial.
Bila kita refleksikan lebih dalam lagi dan bertanya kenapa menghilangkan nyawa orang lain
dikategorikan sebagai tindakan yang tidak benar sehingga tentu juga tidak adil? Tidak perlu
jauh merujuk sampai kepada perintah Tuhan atau mencari referensi aturan kovenan
internasional. Sebab, jawabannya ada pada diri kita sendiri. Kenapa membunuh itu dilarang
karena diri kita sendiri tidak mau dibunuh. Kenapa mencuri dilarang karena diri kita tidak mau
dicuri. Kenapa menyakiti manusia lain dilarang? Karena diri kita tidak mau disakiti dan
sebaliknya ingin dikasihi. Karena pada dasarnya kita mau perbuatan adil (benar) itu pada diri
kita sendiri. Sehingga kita berharap manusia lain atau hingga makhluk hidup lain bersama-
sama melakukan hal sebagaimana diri kita ingin diperlakukan. Diri kita semua ingin
diperlakulan secara adil (benar) dan begitu ada ketidakbenaran (ketidakadilan) maka kita tidak
akan terima.

Selanjutnya, bagaimana kita bisa melakukan suatu tindakan berlandaskan pada kebenaran?
Sehingga menghasilkan keadilan? Pancasila sendiri memberikan cara untuk mencapai kondisi
keadilan sosial ini melalui sila keempat; Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawartan perwakilan. Ada dua kata kunci yang penting untuk kita elaborasi
untuk mengerti apa maksud dari sila keempat yaitu hikmat dan bijaksana. Keduanya memang
kerap kali diidentikan namun ada sedikit perbedaan.

Hikmat dalam bahasa Arab hakama yang berarti menghalangi, dalam konteks sila ke-4 karena
ia disandingkan dengan kata kebijaksanaan maka mengutip Quraish Shihab, bermakna juga
kendali. Fungsinya agar kita mengetahui apa yang baik dan menjalankannya tetapi dibutuhkan
juga pengetahuan untuk menerapkannya. Hal ini sesuai dengan arti dari Al-Syahrastani yang
menyebut hikmat sebagai ilmu yang berkaitan dengan pemikiran, perkataan dan perbuatan
(ilmu filsafat). Perkataan itu menurut Thabathaba’i sebagai sesuatu yang memuat kebenaran
dan tidak terkaburkan.

Saya Pancasila, Saya Yunani Kuna!

Menurut saya, hikmat merupakan tujuan yang hendak dicapai sedangkan bijaksana adalah
‘jalan’nya. Artinya, hikmat adalah kondisi di mana manusia sudah mengetahaui kebenaran dan
mengimplemntasikannya; di mana hal tersebut dapat ditempuh manusia dengan ‘jalan’ selalu
mengaktifkan akal dan budi dalam setiap tindakannya. Manusia bijaksana merupakan manusia
yang memaksimalkan akal dan budinya. Kata hikmat dan bijaksana ini yang dapat kita lekatkan
dengan kata filsafat; philo dan Sophia, cinta akan kebijaksanaan.

Dengan demikian, cara mencapai keadilan sosial ialah di mana dalam diri tiap manusia/warga
Indonesia harus ‘dipandu’ dengan sikap yang selalu mencintai kebijaksanaan sehingga
tindakannya akan selalu mengarah pada dikaion. Setiap individu warga harus dipimpin oleh
sifat sebagai pecinta kebijaksanaan (philosophos, turunan dari philosophia)ii. Dengan terus-
menerus mencintai kebijaksanaan maka manusia dipaksa untuk terus mengaktifkan akal dan
budi.

Lalu apa itu akal dan budi? Keduanya adalah keutamaan manusia yang membedakan manusia
dengan makhluk lain. Akal merupakan alat batin di mana tempat untuk menimbang benar dan
salah, sedangkan budi adalah alat batin untuk menimbang baik dan buruk atas dasar kebenaran,
maka budi selalu bersanding dengan akal. Lawan dari budi ialah ego. Keduanya adalah alat
batin, bedanya ego tidak bersandar pada kebenaran tetapi pada pemuasan indra/diri pribadi.
Proses maksimalisasi akal budi pada diri manusia akan mengantarkan tindakan manusia selalu
berorientasi pada kebenaran sehingga akan terciptanya keadilan sosial pada sila kelima.

Masih terkait akal dan budi sebagai mana dituliskan oleh Romo Magnis, dengan meminjam
istilah Aristoteles, bahwa hal itu kekhasan dari manusia yang membedakan manusia dengan
binatang. Saya menyebutnya alat batin, sedangkan dalam bahasa Aristoteles, ia menyebutnya
sebagai; unsur rohaninya manusia. Lebih lanjut Aristoteles menyatakan bahwa kegiatan akal
budi dilaksanakan dalam dua pola kehidupan manusia; kehidupan politis dan kontemplasi atau
praxis dan theoria. Praxis adalah aktualisasi kehidupan manusia melalui partisipasinya dalam
kehidupan masyarakat, sedangkan theoria terkait jiwa manusia yang dekat kepada hal-hal ilahi;
sebuah kegiatan murni akal budi. iii

Namun apa yang dimaksud tindakan praxis oleh Aristoteles? Praxis ialah tindakan ikut andil
dalam kehidupan bersama komunitas baik pada level keluarga maupun pada level negara-
kota (polis). Melalui praxis, manusia dapat merealisasikan kekhasan dirinya sebagai makhluk
sosial (zoon politikon), di mana hal ini yang membedakan manusia dengan dewa maupun
binatang. Terdapat unsur kerohanian dan unsur kejasmanian dalam diri manusia dan jelas
manusia bukan hanya salah satunya. Sebagai zoon politikon, setiap manusia akan berusaha
mewujudkan; eudaimonia atau kebahagiaan dalam kehidupannya secara bersama-sama.iv

Dengan demikian, praxis berarti kesibukan dalam kerangka pelbagai struktur komunitas demi
kehidupan bersama yang baik. Kebahagian, eudaimonia itu sendirilah yang hendak
diwujudkan oleh tiap orang dan seluruh komunitas yang sama. Struktur yang dimaksud ada
pada level keluarga dan kampung, hingga tingkat tertingginya dalam polis, dalam negara-kota.
Oleh sebab itu, manusia adalah zoon politikon. Arti politikon menurut Aristoteles ialah
kesosialan manusia yang mencapai realisasi utuh melalui partisipasi dalam kehidupan negara.

Hal ini sejalan dengan sila keempat Pancasila, di mana individu-individu rakyat yang dipimpin
oleh hikmat sehingga melahirkan kebijaksanaan yang kemudian bermusyawarah mewaliki
urusan-urusan komunitasnya (tingkat desa, kelurahan, kecamatan, provinsi). Bila dikaitkan
dengan sistem perwakilan yang dianut oleh Indonesia, di mana rakyat memilih wakilnya untuk
dikirim ke kekuasaan legislatif (DPR) agar dapat bermusyawarah dan mewakili urusan
dapilnya masing-masing. Lebih dari itu, seharusnya setiap individu dapat secara langsung
berpartisipasi dalam kehidupan komunitasnya ataupun daerahnya, yang dengan demikian akan
terealisasikan sifat sosial manusia.

Dari uraian sila keempat dan kelima ini, telah jelas bahwa setiap warga Indonesia dalam
interaksinya bersama individu dan kelompok lain (sosial) harus terus mengutamakan
keutamaan yang dimilikinya yakni akal dan budi, sehingga ia dapat terus mendekati
kebenaran/kebijaksanaan. Terlebih lagi, apabila individu tersebut adalah seorang wakil rakyat,
presiden, hakim, tentara, polisi atau pejabat publik maka tindakan-tindakannya dalam urusan
politik, praxis  yang terewajantahkan dalam produk hukum/kebijakan, haruslah dilandasi
oleh keutamaannya sebagai manusia sehingga keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
dapat tercapai.

Sebagaimana yang ditulis Romo Magnis, mengutip dialog antara Sokrates dan tokoh Sofis
bernama Thrasymachos; tindakan pejabat publik/penguasa yang berorientasi demi
mewujudkan keadilan sosial, mensyaratkan pengetahuan yang benar mengenai fungsi dari
penguasa itu sendiri, Pendeknya, Sokrates menekankan bahwa sebagai seorang penguasa, ia
tidak akan mengeluarkan sebuah perintah (hukum) atau kebijakan yang akan menguntungkan
kepentingan pribadinya atau golongan saja tetapi kepentingan warga sebagai subjek utama.
Seperti halnya seorang dokter yang hanya mempelajari kepentingan pasien dan bukan
kepentingannya sendiri. v

Menurut Franz Magnis, dari dialog tersebut Sokrates memaksa Thrasymachos untuk mengaku
bahwa tidak benar penguasa yang baik hanya mengejar kepentingannya sendiri. Sebagai
penguasa yang menguasai ilmu kekuasaan, maka ia seharusnya mengusahakan kepentingan
para bawahannya.

Kembali kepada sila-sila dalam Pancasila, upaya apa yang harus dilakukan untuk
memaksimalkan keutamaan manusia yaitu; akal budi? Pancasila menyediakan cara yang dapat
ditempuh melalui sila pertama; KeTuhanan Yang Maha Esa. Sebenarnya frasa asli dari
Sukarno sebagaimana waktu ia menyampaikan pada sidang BPUPKI pada tanggal 1 Juni 1945
yang berbunyi; “…prinsip kelima yang hendaknya: menyusun Indonesia Merdeka dengan
bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.” Lanjutnya Bung Karno menghimbau bahwa
masing-masing orang Indonesia untuk menjalankan setiap agamanya “…marilah kita
amalkan, jalankan agama, baik Islam, maupun Kristen, dengan cara berkeadaban…”

Hal ini yang saya terjemahkan bahwa agar setiap manusia dapat berhikmat dan bijaksana maka
tiap-tiap manusia Indonesia harus mendengarkan apa yang Tuhan perintah dan larang. Lebih
luas lagi harus berkesesuaian dengan kehendak Tuhan, sesuai ajaran dan kata-kata Tuhan baik
yang tertulis dalam kitab-kitabnya maupun ajaran yang disampaikan melalui orang
pilihannya. Dengan menghubungkan apa yang diungkapkan Aristoteles bahwa tindakan
theoria yaitu berhubungan dengan jiwa manusia yang dekat kepada hal-hal ilahi; sebuah
kegitaan murni akal budi. Maka salah satu sumber kita untuk ber-theoria sebagai umat
beragama ialah dengan membuka ulang kitab-kitab ajaran Tuhan dan mempraktikan apa ya
Tuhan katakan.

Kesimpulan

Bila setiap manusia Indonesia, mengupayakan yang telah dijabarkan pada sila kelima,
keempat lalu pertama, maka kesempatan terciptanya sila kedua akan semakin terbuka lebar,
yakni; Kemanusiaan yang adil dan beradab. Adab ialah kehalusan budi pekerti, ia akan
semakin jernih untuk menilai baik dan buruk. Jika manusia sudah adil dan beradab apakah
dimungkinkan suatu perpecahan, pertikaian, serta peperangan? Bukankah hanya persatuan
yang kita tuai? Sila ketiga; Persatuan Indonesia

Terkait soal persatuan, sebagaimana saya tafsirkan dari dialog antara Sokrates dan
Thrasymachos hal itu dapat terjadi dengan mengandaikan adanya keadilan, oleh karena itu
persatuan akan tercipta bila ada keadilan. Dengan kata lain, persatuan ialah sahabat dari
keadilan, di mana ada keadilan di sana akan ada persatuan. Sebaliknya, ketidakadilan akan
membuat lemah karena merusak kesatuan dan persatuan. Mengutip ungkapan pikiran Plato
yang diungkapkan oleh Sokrates: “bahwa keadilan adalah keteraturan dan keselarasan
bagian-bagian, baik dalam kelompok sosial, maupun di antara kekuatan-kekuatan jiwa
masing-masing orang.”vi

Kunci untuk terus bertindak sesuai dengan sila keempat dan kelima ialah dengan metode
latihan dan praktis. Metode ini yang digunakan oleh Aristoteles dalam menjelaskan etika
keutamaan. Keutamaan dalam bahasa Yunani disebut sebagai arètè yang artinya untuk
menunjukkan bahwa seseorang dapat melaksanakan fungsi pokoknya (ergon) dengan baik.
Sebagai manusia, akal budi yang menjadi kekhasan manusia apabila dijalankan dengan
maksimal maka disanalah letak arètè-nya manusia. Rakyat yang dipimpin oleh hikmat dan
kebijaksanaan, mensyaratkan ‘adanya kebiasaan dan dilatih’ agar keutamaan itu dapat
dimiliki oleh setiap warga Indonesia. vii

Dengan tawaran penafsiran ulang terhadap Pancasila yang demikian, sebagaimana telah
diuraikan di atas, memungkinkan Pancasila sebagai etika sosial politik dapat diaplikasikan
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan penafsiran ini semoga dapat memenuhi
diskursus publik mengenai etika sosial-politik kita yang cenderung kebablasan tanpa
melibatkan Pancasila sedikitpun. Daripada Pancasila hanya sekedar dijadikan “alat gebuk”
lawan politik atau untuk mengukur “Ke-NKRI-an” warga, lebih baik mari kita berpikir ulang
dan menagih pengewajantahan hakikat fungsi Pancasila dalam kehidupan negara.

i
Dalam bahasa Indonesia lebih tepat diartikan dengan ‘benar’ atau ‘betul’. Lihat Franz Magnis Suseno
dalam 13 Model Pendekatan Etika, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1998), h. 16.

ii
A. Setyo Wibowo, Arete: Hidup Sukses Menurut Platon, (Yogtakarta: Penerbit Kanisius, 2010), h. 25.
iii
Franz Magnis Suseno, 13 Tokoh Etika Sejak Zaman Yunani Kuno Sampai Abad ke-19, (Yogyakarta:
Penerbit PT Kanisius, 1997), h. 33. Di sini kata Theoria tidak sama dengan kata modern “teori”. Theoria
bukan pemikiran, melainkan perenungan, artinya bahwa jiwa memandang realitas-realitas rohani,
memandang sedalam-dalamnya, dengan mata jiwa. Renungan itu merupakan kegiatan manusia yang
paling luhur karena meralisasikan bagian jiwa manusia paling luhur, bahkan yang ilahi, logos atau roh.
Objek renungan adalah realitas yang tidak berubah, yang abadi, yang ilahi. Renungan inilah kegiatan
dari sang filsuf, orang yang mencintai kebijaksanaan. Tidak ada yang lebih membahagiakan dari
perenungan itu, yakni; perenungan hal-hal ilahi dan abadi.
iv
Ibid, h. 34.
v
Jadi si dokter, sebagai dokter, hanya mempelajari kepentingan pasien dan bukan
kepentingannya sendiri. Karena kita sudah sepakat bahwa tugas dokter dalam arti
sebenarnya bukan mencari uang untuk dirinya sendiri, melainkan untuk menerapkan
ilmunya pada tubuh pasien; dan lagi, nakhoda kapal, dilihat bukan sebagai sekadar pelaut,
melainkan sebagai yang memerintah atas regu, akan mempelajari dan memerintahkan apa
yang menjadi kepentingan para bawahannya, bukan kepentingannya
sendiri.”Lanjutnya,“Dan, Thrasymachos, begitu halnya segenap macam penguasa, sejauh
ia bertindak sebagai penguasa, tidak akan mempelajari atau memerintahkan apa yang
merupakan kepentingannya sendiri. Segala apa yang dikatakan dan dilakukan dengan
memeperhatikan apa yang baik dan tepat bagi si subjek baginya ia mempraktekkan
kecakapannya.” Franz Magnis Suseno, Op.cit., 13 Model Pendekatan Etika… h. 23. Dialog
ini mengenai keadilan yang didiskusikan oleh Sokrates dengan Thrasymachos dalam
buku Politea, di mana hendak menunjukkan fungsi dari penguasa.
vi
Hal ini saya tafsirkan dari dialog antara Sokrates dengan Thrasymachos dalam Franz Magnis Suseno,
Loc.cit, 13 Model Pendekatan Etika...; “Dan begitu selalu dengan dua orang; ketidakadilan akan memecah
mereka dan menjadikan mereka menjadi musuh satu sama yang lain dan membeci apapun yang adil.
Lanjutnya, Sokrates mengatakan bahwa rupa-rupanya di mana mana, dalam negara, atau dalam keluarga
atau dalam tantara, atau di mana pun, ketidakadilan mempunyai akibat bahwa bertindak bersama menjadi
tidak mungkin, karena terjadi perpecahan-perpecahan dan pertengkaran, dan di mana mana ketidakadilan
menyebabkan bahwa apapun akan bermusuhan dengan dirinya senidri dan dengan segenap lawan dan
dengan semua yang adil? Maka, menurut hematku, ketidakadilan akan mempunyai akibat-akibat alami
yang sama dalam sebuah individu. Individu akan mempunyai budi yang terpecah-belah dan tidak akan
mampu untuk bertindak karena tidak bertekad satu; dan ia akan bermusuhan dengan semua yang adil dan
dengan dirinya sendiri?”
vii
Ibid., h. 158

Kepustakaan:

Suseno, Franz Magnis. 13 Model Pendekatan Etika. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1998.
___________. 13 Tokoh Etika: Sejak Zaman Yunani Sampai Abad Ke-19. Penerbit Kanisius,
1997.
Wibowo, A. Setyo. Arete: Hidup Sukses Menurut Platon, Yogtakarta: Penerbit Kanisius,
2010.

Anda mungkin juga menyukai