Anda di halaman 1dari 7

Legitimasi Kekuasaan

Posted: November 22, 2011 in partai politik, pemilihan presiden

Legitimasi Kekuasaan.[1]

Kekuasaan dapat diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk mempengaruhi tingkah laku orang
lain sehingga orang lain menjadi sesuai dengan yang diinginkan oleh orang yang memiliki kekuasaan
tersebut.[2] Namun dalam mempelajari kehidupan politik, kekuasaan tidak hanya sebagai
kemampuan untuk mempengaruhi orang lain akan tetapi juga dipandang sebagai kemampuan untuk
mempengaruhi proses pembuatan kebijaksanaan yang mengikat seluruh anggota masyarakat. Suatu
kekuasaan akan memunculkan sebuah kewenangan. Laswell dan Kaplan menyatakan bahwa
wewenang (authority) merupakan sebuah kekuasaan formal, atau dengan kata lain wewenang
merupakan kekuasaan yang memiliki keabsahan atau legitimasi.

Kewenangan seseorang belum lengkap jika seseorang belum mendapatkan legitimasi. Legitimasi
merupakan penerimaan dan pengakuan masyarakat terhadap hak moral pemimpin untuk
memerintah, membuat, dan melaksanakan keputusan politik. Secara garis besar legitimasi
merupakan hubungan antara pemimpin dengan yang dipimpin, hubungan itu lebih ditentukan oleh
yang dipimpin karena penerimaan dan pengakuan atas kewenangan hanya berasal dari yang
diperintah.

Secara umum alasan utama mengapa legitimasi menjadi penting bagi pemimpin pemerintahan.[3]
Pertama, legitimasi akan mendatangkan kestabilan politik dari kemungkinan-kemungkinan untuk
perubahan sosial. Pengakuan dan dukungan masyarakat terhadap pihak yang berwenang akan
menciptakan pemerintahan yang stabil sehingga pemerintah dapat membuat dan melaksanakan
keputusan yang menguntungkan masyarakat umum. Pemerintah yang memiliki legitimasi akan lebih
mudah mengatasi permasalahan daripada pemerintah yang kurang mendapatkan legitimasi.

Adanya pengakuan seseorang terhadap keunggulan orang lain pada hakekatnya menunjukkan
adanya keabsahan atas keunggulan yang dimiliki fihak yang disebut belakangan. Pengakuan tersebut
murni diperlukan karena tanpa adanya pengakuan tersebut, maka keunggulan yang dimiliki
seseorang tidak mempunyai makna apapun. Menurut Gaetano Mosca, pengakuan terhadap
keberadaan elit yang dapat dinyatakan sebagai suatu legitimasi ini diistilahkan sebagai suatu
‘political formula’ yang maksudnya adalah terdapatnya suatu keyakinan yang menunjukkan
mengapa ‘the rullers’ dipatuhi kepemimpinannya.[4]
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, Max Weber menyatakan pendapatnya bahwa terdapat tiga
macam ‘legitimate domination’ yang menunjukkan dalam kondisi seperti apa sehingga seseorang
atau sekelompok orang mampu mendominasi sejumlah besar orang lainnya.[5] Ketiga macam
legitimate domination tersebut adalah: (a) traditional domination, (b) charismatic domination, dan
(c) legal-rational domination.

a. Traditional Domination (Dominasi Tradisional)

Dominasi ini mendasarkan pada tradisi yang ada dan berlaku di tengah-tengah masyarakat yang
bersangkutan. Dengan demikian legitimasi yang diperoleh elit tentu saja didasarkan pada tradisi
yang ada dan berlaku. Dalam dominasi tradisional dapat diketemukan massa dengan kepercayaan
yang mapan terhadap kesucian tradisi yang ada. Sehingga pada gilirannya individu-individu yang
terpilih sebagai pemimpin yang berkuasa bukan dilihat dari kharisma atau kemampuan yang
dimilikinya, tetapi semata-mata atas dasar kesepakatan bersama anggota-anggota masyarakat yang
sudah mentradisi.

Dalam dominasi tradisional ini hubungan yang terjadi antara elit dan massa tidak jarang merupakan
sebuah hubungan yang lebih bernuansa personal. Kesempatan massa untuk direkrut sebagai staf
administrasi dilihat berdasarkan pada pertimbangan loyalitas pribadi bukan berdasarkan
kemampuan yang dimiliki. Hal ini menunjukkan bahwa massa mempunyai kesetian yang tinggi
terhadap penguasa, dan sebaliknya penguasa juga mempunyai kewajiban untuk memenuhi segala
kebutuhan massa. Akan tetapi walaupun terdapat ikatan yang sangat kuat antara massa dan elit
penguasa, masih saja terdapat keleluasaan bagi penguasa secara pribadi mempergunakan
otoritasnya sesuai dengan kehendaknya.

b. Charismatic Domination (Dominasi Karismatik)

Merupakan dominasi yang mendasarkan pada kharisma yang melekat pada diri seseorang. Perihal
kharisma, Weber memberi pengertian sebagai “suatu sifat tertentu dari suatu kepribadian seorang
individu berdasarkan mana orang itu dianggap luar biasa dan diperlakukan sebagai seseorang yang
mempunyai sifat unggul atau paling sedikit dengan kekuatan-kekuatan yang khas dan luar biasa”.[6]
Elit atau penguasa yang kemunculannya didasarkan pada kharisma yang dimiliki, pada umumnya
akan berupaya menunjukkan bukti tentang keelitannya dengan cara menunjukkan kemampuannya
untuk melakukan hal-hal yang tidak mampu dilakukan oleh orang awam, pada umumnya merupakan
hal-hal yang bersifat ajaib. Semakin mampu seorang individu menunjukkan bukti-bukti yang hebat
dan relatif langka, maka akan semakin tinggi pula legitimasi yang akan diperolehnya sebagai elit yang
berkuasa.

c. Legal-Rational Domination
Dominasi ini pada hakekatnya didasarkan pada kesepakatan anggota masyarakat terhadap
seperangkat peraturan yang diundangkan secara resmi. Individu yang berperan sebagai elit di
masyarakat yang memberlakukan dominasi tipe ini diakui keberadaanya atas kemampuan yang
dimilikinya dan persyaratan menurut peraturan yang berlaku. Demikian pula dengan seleksi bagi
individu-individu yang dapat menduduki posisi elit ini juga diatur secara tegas oleh peraturan yang
secara resmi berlaku. Persyaratan-persyaratan yang diajukan untuk menduduki posisi tertentu
belum tentu sama dengan posisi lain yang dibutuhkan, karena semakin tinggi posisi yang dituju,
persyaratan yang harus dipenuhi juga semakin tinggi pula begitu pula dengan kemampuan yang
dimiliki juga harus semakin besar. Sebagai akibat dari kesepakatan-kesepakatan tersebut, maka
individu-individu yang tidak memiliki kemampuan akan sulit untuk dapat menduduki posisi tertentu
sebagai elit. Hanya individu-individu yang mempunyai kemampuan dan dipandang telah memenuhi
persyaratan yang bisa mendapatkan legitimasi.

Tipe-tipe legitimasi sebagaimana dipaparkan diatas, pada tataran realita masyarakat biasanya tidak
berjalan sendiri-sendiri, artinya dimungkinkan lebih dari satu tipe legitimasi diterapkan di suatu
masyarakat.

Menurut Charles Andrain terdapat lima obyek dalam sistem politik yang memerlukan legitimasi agar
suatu sistem politik tetap berlangsung dan fungsional,[7] yaitu : masyarakat (komunitas) politik,
hukum, lembaga politik, pemimpin politik, dan kebijakan.

Yang dimaksud dengan legitimasi terhadap komunitas politik adalah kesediaan para anggota
masyarakat dari berbagai kelompok yang berbeda latar belakang untuk membentuk suatu
komunitas. Apabila komunitas tersebut melakukan berbagai perlawanan dan ingin membentuk
masyarakat baru (separatisme) maka legitimasi terhadap komunitas politik dianggap masih sangat
rendah. Sehingga legitimasi terhadap hukum, lembaga politik, pemimpin politik dan kebijakan politik
juga dianggap rendah.

Kurangnya dukungan terhadap komunitas politik akan menyebabkan masalah dalam penciptaan
identitas masyarakat atau disebut juga krisis identitas. Sedangkan kurangnya dukungan terhadap
hukum yang berlaku maka masyarakat akan mengalami krisis konstitusi. Manakala dukungan
terhadap lembaga politik semakin menurun maka akan terjadi krisis kelembagaan. Krisis
kepemimpinan akan terjadi pada masyarakat yang tidak mempercayai legitimasi para pemimpin
politik, sehingga mempengaruhi kebijakan pemimpin yang menimbulkan krisis kebijakan. Dengan
demikian sistem politik akan menghadapi krisis legitimasi.

Krisis legitimasi dapat terjadi karena beberapa prinsip,[8] yaitu :


kewenangan beralih pada prinsip yang lain, artinya kewenangan yang selama ini digunakan tidak lagi
diakui oleh masyarakat, masyarakat telah menemukan prinsip kewenangan yang dianggap lebih
baik, sehingga pemimpin yang mendasari diri dengan kewenangan yang lama tidak akan
mendapatkan dukungan lagi dari masyarakat.

Terjadi persaingan yang tajam dan tidak sehat diantara elit yang berkuasa, sehingga terjadi
perpecahan dalam tubuh pemerintahan.

Pemerintah tidak dapat memenuhi janjinya sehingga menimbulkan keresahan dan kekecewaan di
masyarakat dan berimbas pada memudarnya dukungan kepada pemerintah.

Sosialisasi kewenangan mengalami perubahan.

engertian Kepemimpinan adalah sebuah kemampuan atau kekuatan dalam


diri seseorang untuk mempengaruhi orang lain dalam hal bekerja, dimana
tujuannya adalah untuk mencapai target (goal) organisasi yang telah ditentukan.

Sedangkan pengertian pemimpin adalah seseorang yang diberi kepercayaan


sebagai ketua (kepala) dalam sistem di sebuah organisasi/ perusahaan.

Dalam berbagai aspek, pengertian kepemimpinan dalam organisasi


(baca: Pengertian Organisasi) menjadi hal yang krusial. Dua orang konsultan
pengembangan diri, Jack Zenger dan Joseph Folkman menerbitkan hasil sebuah
penelitian yang mereka hubungkan dengan skill yang wajib dimiliki oleh
pemimpin. Skill ini nantinya yang akan membuat para leader sukses dalam
semua bidang organisasi, termasuk bisnis.

Pengertian kepemimpinan dalam hal ini bisa bermacam-macam. Umumnya kita


cenderung menginginkan seorang leader yang karismatik.

MIMPIN DAN LEGITIMASI KEKUASAAN

04.17.00

Oleh : Dharma Setyawan

Aktivis Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI)

Legitimasi menurut Wikipedia adalah kualitas hukum yang berbasis pada penerimaan putusan dalam
peradilan, dapat pula diartikan seberapa jauh masyarakat mau menerima dan mengakui
kewenangan, keputusan atau kebijakan yang diambil oleh seorang pemimpin. Dalam konteks
legitimasi, maka hubungan antara pemimpin dan masyarakat yang dipimpin lebih ditentukan adalah
keputusan masyarakat untuk menerima atau menolak kebijakan yang diambil oleh sang pemimpin.
sedangkan Legitimasi tradisional mengenai seberapa jauh masyarakat mau menerima kewenangan,
keputusan atau kebijaksaan yang diambil pemimpin dalam lingkup tradisional, seperti dalam
kehidupan keraton yang seluruh masyarakatnya terikat akan kewenagan yang dipegang oleh
pimpinan mereka dan juga karena hal tersebut dapat menimbulkan gejolak dalam nurani mereka
bahwa mereka adalah bawahan yang selalu menjadi alas dari pemimpinnya.

Wilayah kekuasaan semestinya adalah tempat pijakan pasti dalam konsep perbaikan kenegaraan.
Maka kekuasaan menjadi penting untuk membentuk aturan-aturan dalam fungsinya memberi
pelayanan kepada masyarakat umum. Kekuasaan yang didukung oleh kelompok mayoritas tentu
akan lebih signifikan dan terlegetimasi dalam menjalankan kekuasaan. Sebaliknya kekuasaan yang
tidak mendapat dukungan mayoritas kekuasaan akan mengalami hambatan dalam menjalankan
kekuasaan. Kemudian muncullah gagasan-gagasan kekuasaan sebagai alasan nyata dalam
mempertahankan kekuasaan baik itu secara individu atau kelompok, sehingga menjawab
pertanyaan kenapa seseorang layak untuk diberi kekuasaan oleh rakyat.

Logika yang seharusnya diambil adalah, rakyat tetap menjadi yang paling berdaulat dan berhak
menentukan siapa yang akan menjadi pemimpin. Masalah mekanisme yang akan di jalankan bisa
sangat beragam mulai dari demokrasi langsung atau tidak langsung. Bahkan musyawarah dengan
mempercayakan orang terbaik menjadi wakil kelompok dan kemudian memilih pemimpin untuk
menjalankan kekuasaan. Dalam era modern ini, teori tentang demokrasi dan musyawarah masih
lebih rasional untuk digunakan dalam menentukan legetimasi kekuasaan dari pada konsep Kerajaan
yang lebih mengarah pada dinasti hingga terjadi oligarki kekuasaan. Bahkan Pancasila pada sila ke
empat berbunyi “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan
perwakilan”. Menurut penulis demokrasi pun tidak akan terlepas dari musyawarah untuk
menentukan sebuah keputusan dalam setiap kebijakan yang ada. Ketika demokrasi melepaskan
musyawarah maka prinsip-prinsip kearifan hilang dari makna demokrasi.

Kekuasaan yang mengedepankan rakyat menjadi kekuatan yang berdaulat akan menjadi pilihan
rasional dalam menilai kekuasaan tersebut legetimasi atau tidak. Namun jika kekuasaan tidak diakui
oleh rakyat maka ada indikasi telah terjadi otoritarianisme, diktatorisme dan hegemoni elit dalam
sebuah kekuasaan. Sehingga sangat jelas legetimasi kekuasaan sangat penting dalam roda
kekuasaan yang akan dijalankan karena tidak ada kendala yang menghalangi berjalannya program
kecuali pihak partai opisisi dan media yang layaknya melakukan chek and balances.

Max Weber membagi tiga legitimasi kekuasaan yaitu: pertama otoritas tradisional, dimana legitimasi
didapat dari pengakuan masa lalu atau sumber dan tradisi yang sudah turun menurun ada dalam
masyarakat dan lebih jelasnya sudah membudaya dan melekat dalam tatanan masyarakat. Kedua
otoritas karismatik, dimana legitimasi kekuasaan diberikan kepada karakter pribadi baik pemimpin
yang dicintai mayoritas rakyat dan tindakannya mampu memberi solusi dan inspirasi bagi bangsa.
Ketiga otoritas legal rasional, dimana legetimasi kekuasaan didasarkan pada legalitas aturan
normatif yang dibuat oleh wakil rakyat. Legetimasi kekuasaan itu berbentuk undang-undang yang
mengatur tata kelola negara dalam memberikan pelayanan kepada rakyat.
Tiga legitimasi kekuasaan yang dijelaskan oleh Weber adalah sebagian kecil dari pendapat tentang
legitimasi kekuasaan dari sekian banyak pendapat. Maka yang menjadi pertanyaan adalah seberapa
efektifkan legitimasi kekuasaan itu dapat membangun sebuah pemerintahan yang baik. Cita-cita
kekuasaan yang sering disebut sebagai clean and good goverment sepertinya belum dapat tercapai
jika pola kekuasaan didapati dari hal-hal yang kotor, dan mencederai legitimasi kekuasaan ini terjadi
sejak awal pemimpin akan dipilih. Jika kita membandingkan dengan konsep Weber maka kita akan
mendapati fakta di lapangan cara-cara yang tidak bersih dalam pemimpin mencapai kekuasaan.

DR. Khalid Ibrahim Jindan dalam buku Teori Politik Islam, Telaah Kritis Ibnu Taimiyah tentang
Pemerintahan Islam, beliau mengutip gagasan Ibnu Taimiyah yang menyatakan bahwa manusia
mesti membangun sebuah organisasi pemerintahan yang memungkinkannya terhindar dari situasi
yang kacau. Kesejahteraan dan kebahagiaan manusia juga bakal tergayuh jika ia tergabung dalam
sebuah komunitas itu. Ia memiliki peluang dan kesempatan membangun kehidupan dan interaksi
sosial yang ditandai dengan tolong menolong dan gotong royong. Dalam konteks inilah manusia
ibarat makhluk politik (homo politicus) yang terbentuk secara alamiah.

Ibnu Taimiyah menyadari bahwa dengan membangun sebuah organisasi maka manusia akan
menemukan sebuah komunitas yang akan memberi efek untuk memiliki kekuasaan. Dengan begitu
cita-cita, visi, misi atau tujuan mereka dapat tersampaikan lewat komunitas organisasi tersebut yang
akan diwujudkan dengan kekuasaan. Maka kemudian tinggal bagaimana organisasi tersebut di
jalankan dengan prinsip egaliter dan satu tujuan. Kekuasaan pada akhirnya mesti dibedakan mulai
dari wilayah kecil sampai kekuasaan pada wilayah yang lebih besar. Pada wilayah kecil tentu
pengorbanan antar individu seharusnya lebih kecil dan pada wilayah kekuasaan yang lebih luas
pengorbanan individu yang lebih besar. Kepentingan daerah dan nasional dalam skala individu
pemimpin akan memiliki porsi berbeda. Pemimpin daerah hanya akan memberi manfaat untuk
daerah yang dipimpinnya, namun pemimpin negara akan memberi manfaat pada seluruh wilayah
negara yang tentu lebih luas dari daerah.

Jika sebuah kepemimpinan diraih dengan cara-cara kotor maka teori Weber akan terbalik menjadi
fenomena unlegetimasi kekuasaan. Hal seperti ini dapat terjadi jika kepemimpinan didapat dengan
merusak nilai-nilai tradisi masyarakat seperti kejujuran, keterbukaan, gotong royong dikotori dengan
money politik, janji palsu dan adu domba akan menimbulkan resistensi masyarakat yang kacau
akibat rusaknya nilai tradisi masyarakat. Dalam hal ini otoritas tradisional sebagai legitimasi
kekuasaan pertama dalam pandangan Weber telah dilanggar. Sehingga tidak heran jika tatanan
masyarakat semakin rusak, gampang marah, frustasi, amuk massa, mudah terpecah dan mudah di
adu domba oleh segelintir kepentingan.

Kedua jika kepemimpinan diraih dengan cara hiperbola citra bukan sebuah kinerja, maka di
kemudian hari akan menimbulkan kekecewaan terhadap rakyat bahwa kepemimpinan tersebut
adalah kamuflase semata. Dalam hal ini ongkos politik akan semakin lebih mahal karena harus
menghabiskan anggaran untuk media pencitraan. Akhirnya substansi demokrasi tidak terpenuhi
akibat demokrasi memerlukan biaya tinggi.

Ketiga kepemimpinan tidak berfungsi dalam memperbaiki tata aturan (regulasi) yang dapat merubah
kondisi rakyat. Konstitusi yang dibangun lebih pada pesanan-pesanan segelintir elit yang ingin terus
mengeksploitasi sumber daya alam negara. Kekuasaan seperti ini jelas menghianati aspirasi rakyat
karena lebih tunduk kepada tata aturan yang pro terhadap kepentingan asing dan segelintir elit.
Kondisi ini terjadi akibat faktor sebelumnya dimana demokrasi harus harus diraih dengan biaya
mahal untuk sebuah citra. Demokrasi pada akhirnya harus melibatkan pengusaha untuk membiayai
ongkos citra dan jika kondosi ini terjadi terus-menerus maka kita patut pesimis terhadap adanya
legitimasi kekuasaan yang kuat dari sebuah kepemimpinan. Dan pada waktunya legetimasi
kekuasaan itu akan hancur seiring waktu dan logika rasional yang terus berjalan dan melawan. Mari
kita kampanyekan legitimasi kekuasaan yang harus diraih dengan cara jujur dan adil, kekuasaan
bukan untuk segelintir orang tapi kekuasaan untuk seluruh rakyat!

Anda mungkin juga menyukai