Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

PENGANTAR SOSIOLOGI

“KEKUASAAN DAN WEWENANG (AUTHORITY)”

Desen Pengampu Vivi Tamia, S.Sos., M.Sos.

Disusun Oleh:

Nama Kelompok Nim


Muhammad Azmul Warid 1238030214
Denia Multi Ramadhani 1238030203
Sri Niar Rahayu 1238030177
Neng Maya Sholihat 1238030209

PROGRAM STUDI SOSIOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS ISLAM NEGRI SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG

1
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kekuasaan dan wewenang adalah dua konsep yang erat kaitannya dalam konteks
sosial, politik, dan organisasi. Latar belakang kedua konsep ini mencakup aspek historis,
budaya, dan struktural yang memainkan peran penting dalam membentuk dinamika
kekuasaan di berbagai tingkatan.

Kekuasaan adalah kemampuan atau kapasitas seseorang atau kelompok untuk


mempengaruhi perilaku orang lain, baik melalui pemaksaan, insentif, atau otoritas. Latar
belakang kekuasaan sering kali terkait dengan sejarah suatu masyarakat, di mana
kekuasaan bisa menjadi hasil dari faktor warisan, penaklukan, atau perkembangan
institusi politik. Selain itu, teori-teori seperti teori kekuasaan Michel Foucault menyoroti
bahwa kekuasaan tidak hanya terkait dengan struktur formal, tetapi juga tercermin dalam
relasi sosial dan kontrol atas pengetahuan.

Wewenang mencakup hak atau izin untuk mengambil keputusan atau melakukan
tindakan tertentu. Latar belakang wewenang dapat ditemukan dalam sistem hukum dan
politik suatu negara. Sejarah pembentukan lembaga-lembaga pemerintahan dan undang-
undang memainkan peran penting dalam menentukan wewenang siapa yang memiliki
kontrol atas berbagai aspek kehidupan masyarakat. Faktor budaya juga dapat
memengaruhi persepsi terhadap wewenang, misalnya, dalam masyarakat yang
menghargai otoritas tradisional.

Dengan demikian, latar belakang kekuasaan dan wewenang mencakup dimensi


sejarah, budaya, dan struktural yang saling terkait. Pemahaman terhadap aspek-aspek ini
dapat memberikan wawasan mendalam tentang cara kekuasaan dan wewenang
berkembang dan dijalankan dalam suatu masyarakat.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Kekuasaan

Roderick martin (1990), mengatakan bahwa dalam pengertian yang paling umum,
kekuasaan tampaknya mengacu pada suatu jenis pengaruh yang dimanfaatkan oleh si
objek, individu atau kelompok terhadap yang lainnya. Martin kemudian mengutip
pendapat R.A Dahl yang mengatakan “istilah kekuasaan dalam ilmu sosial modern
mengacu pada bagian perangkat hubungan di antara satuan-satuan sosial seperti pada
perilaku satu atau lebih satuan yang dalam keadaan tertentu, tergantung pada perilaku
satu-satuan yang lain. Secara tegas H.A Simon menggambarkan kekuasaan seperti, “A”
mempunyai kekusasaan terhadap “B” atau dengan pernyataan lain bahwa “peilaku A
menyebabkan perilaku B”.1

2.2 Pengertian Kekuasaan Menurut Para Ahli

Ada beberapa ahli sosiologi yang sejak lama telah mencoba mendefinisikan
kekuasaan, di antaranya adalah sebagai berikut:

1) Max Weber; kekuasaan adalah kemungkinan seorang pelaku mewujudkan


keinginannya di dalam suatu hubungan sosial yang ada termasuk dengan kekuatan
atau tanpa mengiraukan landasan yang menjadi pijakan kemungkinan itu.
2) Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi; menjelaskan bahwa adanya kekuasaan
tergantung dari yang berkuasa dan yang dikuasai, atau dengan kata lain antara pihak
yang memiliki kemampuan untuk melancarkan pengaruh dan pihak yang menerima
pengaruh ini dengan rela atau terpaksa.
3) J.R.P. French dan B. Raven; Kekuasaan adalah kemampuan potensial dari seseorang
atau sekelompok orang untuk mempengaruhi yang lainnya di dalam sistem yang ada.
4) Ralf. Dahrendorf mengemukakan, bahwa kekuasaan adalah milik kelompok, miliki
individu-individu daripada milik struktur sosial.
5) Peter M. Blau, mendefinisikan kekuasaan sebagai "kemampuan seseorang atau
sekelompok orang untuk memaksakan keinginan- nya pada yang lain meski dengan

1
Prof. Dr. Soerjono Soekanto, S.H., M.A. , SOSIOLOGI SUATU PENGANTAR (Hak cipta 1982, pada
Soerjono Soekanto) hal.135

3
kekuatan penangkal, baik dalam bentuk pengurangan secara tetap ganjaran-ganjaran
yang disediakan maupun dalam bentuk hukuman, keduanya sama bersifat negatif".
6) Parsons; la menyodorkan suatu konseptualisasi yang amat berbeda, yakni dengan
memandang kekuasaan sebagai suatu sumber sistem. "Kekuasaan merupakan suatu
kemampuan untuk menjamin pelaksanaan kewajiban yang mengikat (terhadap tujuan-
tujuan kolektif yang telah disepakati) dari satuan-satuan yang ada di dalam suatu
sistem organisasi kolektif, dan kalau ada perlawanan, maka lembaga yang berkuasa
perlu menegak- kannya dengan sanksi-sanksi situasional yang bersifat negatif".
7) Soerjono Soekanto; kekuasaan diartikan sebagai suatu kemam- puan untuk
mempengaruhi pihak lain menurut kehendak yang ada pada pemegang kekuasaan
tersebut.
2.3 Hakikat Kekuasaan Dan Sumbernya

Dalam setiap hubungan antar manusia maupun antar kelompok sosial selalu tersimpul
pengertian-pengertian kekuasaan dan wewenang. 2 Untuk sementara pembahasan akan
dibatasi pada kekuasaan, yang diartikan sebagai kemampuan untuk mempengaruhi pihak
lain menurut kehendak yang ada pada pemegang kekuasaan tersebut. Kekuasaan terdapat
di semua bidang kehidupan dan dijalankan. Kekuasaan mencakup kemampuan untuk
memerintah (agar yang diperintah patuh) dan juga untuk memberi keputusan-keputusan
yang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi tindakan- tindakan pihak-
pihak lainnya.

2.4 Sumber-Sumber Kekuasaan

Pada saat kekuasaan dikaitkan dengan struktur dalam suatu kehidupan kelompok atau
suatu organisasi, maka pemegang kekuasaaan dapat disamakan dengan penguasa atau
pemimpin. Sedangkan kemampuan untuk menjalankan kekuasaan seseorang pemimpin
dapat disebut dengan istilah kepemimpinan atau kemampuan dalam memimpin. Dalam
penerapannyam, proses kepemimpinan sama dengan praktek kekuasaan.

Jika kekuasaan dikaitkan dengan struktur dalam suatu kehi- dupan kelompok atau
suatu organisasi, maka pemegang kekuasaan dapat disamakan dengan penguasa atau
pemimpin. Sedangkan kemampuan untuk menjalankan kekuasaan seseorang pemimpin

2
Ely Chinoy,Society,an introduction to Sociology,cetakan pertama ,Random House,New
York,1961,halaman 246 dan seterusnya.

4
dapat disebut dengan istilah kepemimpinan atau kemampuan dalam memimpin. Dalam
penerapannya, proses kepemimpinan sama dengan praktek kekuasaan.

Sumber-sumber kekuasaan yang pada umumnya dimiliki oleh para penguasa atau
pemimpin, baik dalam kehidupan masyarakat informal maupun dalam kehidupan
organisasi formal, adalah sebagai berikut:

1. Pertama; seseorang yang mempunyai harta benda (kekayaan) yang lebih banyak,
dapat memberikan keleluasaan untuk bergerak dan mempengaruhi pihak lain dengan
kelebihan harta bendanya itu. Dengan harta benda, segala sesuatu dapat dikuasai
dengan jalan menukar atau membelinya. Secara implisit tenaga manusiapun dapat
ditukar dengan uang, sama halnya dengan barang; pihak lain rela memberikan
tenaganya lantaran membutuhkan uang yang dimiliki pihak penguasa tersebut. Harta
benda atau kekayaan dapat memberikan kekuasaan pada seseorang secara kumulatif;
seseorang tidak hanya dapat memaksakan kehendaknya terhadap orang lain yang
lemah ekonominya, juga dapat meraih sumber-sumber kekua- saan lainnya, seperti
pendidikan, status, jabatan dan lain-lain.
2. Kedua; dengan status tertentu, seseorang dapat memberikan penga- ruhnya atau
memaksa pihak lain supaya dapat melakukan sesuatu sesuai dengan kehendaknya;
apakah sebagai pejabat tertentu secara formal, sebagai tokoh masyarakat, sebagai ahli
bidang teknis terten- tu dan sebagainya; kesemuanya itu merupakan sumber
kekuasaan.
3 Ketiga: wewenang legal atas dasar peraturan-peraturan formal (hukum) yang dimiliki
seseorang, dapat memberikan kekuasaan pada seseorang untuk mempengaruhi pihak
lain sesuai dengan hak dan kewajibannya sebagaimana ditetapkan dalam peraturan
tadi.
4 Keempat; kekuasaan dapat pula tumbuh dari adanya kepercayaan khalayak terhadap
seseorang yang didasarkan pada tradisi, kesucian atau atas dasar adat istiadat
masyarakat. Misalnya, pada suatu perusahaan, di mana kekuasaan untuk mengatur
dipercayakan pada karyawan yang lebih tua umurnya. Kepercayaan tradisional,
menganggap orang yang lebih tua mempunyai banyak pengalaman, pengetahuan, dan
seterusnya.
5 Kelima; masih erat kaitannya dengan sumber kepercayaan, kekua saan yang tumbuh
dari kharisma atau wibawa seseorang, yang didasarkan atas tradisi dan tidak diatur
oleh kaidah-kaidah tertentu. Dengan kharisma (wibawa), seseorang dapat

5
menjalankan kekuasa- annya dengan efektif; oleh karena golongan-golongan
masyarakat tradisional pada umumnya rela mematuhi perintahnya, lantaran ada
anggapan bahwa pemimpin kharismatik tersebut mempunyai kekuatan dan kecakapan
tertentu yang tidak ada tandingnya di dalam masyarakat yang bersangkutan.
6 Keenam; kekuasaan yang didasarkan pada pendelegasian wewenang yaitu kekuasaan
atas dasar wewenang yang diberikan dari pihak atasan.
7 Ketujuh; sumber kekuasaan yang tumbuh dari pemilikan atas keahlian, pendidikan
atau pengetahuan tertentu; artinya dengan adanya keahlian dan pengetahuan
seseorang, dapat menyebabkan orang lain tunduk dan tergantung padanya. Misalnya
seorang Dosen terhadap mahasiswanya, Dokter dengan fasiennya, majikan dengan
buruhnya, dan sebagainya.

2.5 Unsur-Unsur Saluran Kekuasaan Dan Dimensinya

Kekuasaan yang dapat dijumpai pada interaksi sosial antara manusia maupun
antarkelompok mempunyai beberapa unsur pokok, yaitu sebagai berikut.

 Rasa Takut

Perasaan takut pada seseorang (yang merupakan penguasa, misalnya) menimbulkan


suatu kepatuhan terhadap segala kemauan dan tindakan orang yang ditakuti tadi. Rasa
takut merupakan perasaan negatif karena seseorang tunduk kepada orang lain dalam
keadaan terpaksa. Orang yang mempunyai rasa takut akan berbuat segala sesuatu yang
sesuai dengan keinginan orang yang ditakutinya agar terhindar dari kesukaran- kesukaran
yang akan menimpa dirinya, seandainya dia tidak patuh. Rasa takut juga menyebabkan
orang yang bersangkutan meniru tindakan- tindakan orang yang ditakutinya. Gejala ini
yang dinamakan matched dependent behavior, yang tak mempunyai tujuan kongkret bagi
yang melakukannya. Rasa takut merupakan gejala universal yang terdapat di mana-mana
dan biasanya dipergunakan sebaik-baiknya dalam masyarakat yang mempunyai
pemerintahan otoriter.

 Rasa Cinta

Rasa cinta menghasilkan perbuatan-perbuatan yang pada umumnya positif. Orang-


orang lain bertindak sesuai dengan kehendak pihak yang berkuasa untuk menyenangkan
semua pihak. Artinya ada titik-titik pertemuan antara pihak-pihak yang bersangkutan,

6
Rasa cinta biasanya telah mendarah daging (internalized) dalam diri seseorang atau seke-
lompok orang. Rasa cinta yang efisien seharusnya dimulai dari pihak penguasa. Apabila
ada suatu reaksi positif dari masyarakat yang dikuasai, kekuasaan akan dapat berjalan
dengan baik dan teratur.

 Kepercayaan

Kepercayaan dapat timbul sebagai hasil hubungan langsung antara dua orang atau
lebih yang bersifat asosiatif. Misalnya, B sebagai orang yang dikuasai mengadakan
hubungan langsung dengan A sebagai pemegang.

2.6 Usaha-Usaha Mempertahankan Kekuasaan

Soerjono Soekanto menyebutkan empat macam usaha untuk mempertahankan


kekuasaan, sebagai berikut:

1. Dengan jalan menghilangkan segenap peraturan-peraturan lama terutama dalam


bidang politik, yang merugikan kedudukan penguasa. Peraturan-peraturan tersebut
akan digantikannya dengan peraturan-peraturan baru yang akan menguntungkan
penguasa. Keadaan tersebut biasanya terjadi pada waktu ada pergantian kekuasaan
dari seorang penguasa kepada penguasa lain (yang baru).
2. Mengadakan sistem-sistem kepercayaan (bilief-system) yang akan dapat
memperkokoh kedudukan penguasa atau golongan- nya, sistem-sistem kepercayaan
tersebut meliputi agama, ideo- logi dan seterusnya.
3. Pelaksanaan administrasi dan birokrasi yang baik.
4. Mengadakan konsolidasi secara horizontal dan secara vertikal.

2.7 Pengertian Wewenang

Sebagaimana halnya dengan kekuasaan, maka wewenang juga pasti bisa dijumpai
dimana-mana, walaupun tidak selamanya kekuasaan dan wewenang berada di satu
tangan. Dengan wewenang dimaksudkan sebagai suatu hak yang telah ditetapkan dalam
tata tertib sosial untuk menetapkan kebijaksanaan, menentukan keputusan-keputusan
mengenai masalah-masalah penting dan untuk menyelesaikan pertentangan-
3
pertentangan .

3
Ibid,halaman 83 dan seterusnya

7
Wewenang sangat erat hubungannya dengan kekuasaan, dengan wewenang berarti
seseorang mempunyai hak untuk melakukan dan menetapkan sesuatu. Jadi wewenang
menekankan pada unsur hak, bukan pada kekuasaannya, meskipun kekuasaan dan
wewenang tidak bisa dipisahkan. Secara sosiologis wewenang merupakan suatu kekuatan
yang sah untuk menjalankan kekuasaan. Artinya kekuasaan baru dapat diterima oleh
masyarakat apabila dilengkapi oleh adanya wewenang yang sah, baik berdasarkan hukum
formal, maupun berdasarkan norma-norma sosial dan adat istiadat kelompok hukum yang
berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Wewenang formal biasanya berkaitan erat
dengan pengakuan atau organisasi-organisasi formal yang didasarkan pada yang berlaku.
Sedangkan wewenang yang didasarkan pengakuan masyarakat menurut adat istiadat,
disebut sebagai wewenang non-formal. Wewenang dapat diterapkan dan berlaku bagi
masyarakat, sepanjang dalam prakteknya senantiasa memper- juangkan sebanyak
mungkin kepentingan masyarakat secara luas.

2.8 Bentuk-Bentuk Wewenang

Perkembangan suatu wewenang terletak pada arah serta tujuannya untuk sebanyak
mungkin memenuhi bentuk yang diidam-idamkan masyarakat. Wewewnang ada beberapa
bentuk, yaitu sebagai berikut:

A. Wewenang Kharismati, Tradisional, dan Rasional (Legal)

Wewenang kharismatis merupakan wewenang yang didasarkan pada kharisma, yaitu


suatu kemampuan khusus (wahyu, pulung) yang ada pada diri seseorang. Kemampuan
khusus tadi melekat pada orang tersebut karena anugerah dari Tuhan Yang Maha Kuasa.
Orang-orang di sekitarnya mengakui akan adanya kemampuan tersebut atas dasar
kepercayaan dan pemujaan, karena mereka menganggap bahwa sumber kemampuan
tersebut adalah sesuatu yang berada di atas kekuasaan dan kemampuan manusia
umumnya. Sumber kepercayaan dan pemujaan karena kemampuan khusus tadi pernah
terbukti manfaat serta kegunaannya bagi masyarakat. Wewenang kharismatis tersebut
akan dapat tetap bertahan selama dapat dibuktikan keampuhannya bagi seluruh
masyarakat.4

Wewenang tradisional dapat dipunyai oleh seseorang maupun sekelompok orang.


Dengan kata lain, wewenang tersebut dimiliki oleh orang-orang yang menjadi anggota
4
Max Weber, Types of Authority, dalam Sociological Theory, diedit oleh Lewis A Coser dan
Bernard Rosenberg, edisi ke-2, The Macmillan Company, New York, 1964, halaman 129-134.

8
kelompok. Kelompok mana sudah lama sekali mempunyai kekuasaan di dalam suatu
masyarakat. Wewenang tadi dipunyai oleh seseorang atau sekelompok orang bukan
karena mereka mempunyai kemampuan-kemampuan khusus seperti pada wewenang
kharismatis. Akan tetapi karena kelompok tadi mempunyai kekuasaan dan wewenang
yang telah melembaga dan bahkan menjiwai masyarakat. Demikian lamanya go- longan
tersebut memegang tampuk kekuasaan, masyarakat percaya mengakui kekuasaannya.

Ciri-ciri utama wewenang tradisional adalah:

 Adanya ketentuan-ketentuan tradisional yang mengikat penguasa yang mempunyai


wewenang, serta orang-orang lainnya dalam masyarakat
 Adanya wewenang yang lebih tinggi ketimbang kedudukan seseorang yang hadir
secara pribadi.
 Selama tak ada pertentangan dengan ketentuan-ketentuan tradisional, orang-orang
dapat bertindak secara bebas.

Wewenang rasional atau legal adalah wewenang yang disandarkan pada sistem
hukum yang berlaku dalam masyarakat. Sistem hukum disini diartikan sebagai kaidah-
kaidah yang telah diakui serta ditaati oleh masyarakat, dan bahkan yang telah diperkuat
oleh negara. Pada wewenang yang didasarkan pada sistem hukum harus dilihat juga
apakah sistem hukumnya bersandar pada tradisi, agama atau lain-lain faktor. Kemudian
harus ditelaah pula hubungannya dengan sistem kekuasaan serta diuji pula apakah sistem
hukum tadi cocok atau tidak dengan sistem kebudayaan masyarakat, supaya kehidupan
dapat berjalan dengan tenang.

B. Wewenang Resmi Dan Tidak Resmi5

Wewenang resmi sifatnya sistematis, diperhitungkan dan rasional. Biasanya


wewenang tersebut dapat dijumpai pada kelompok-kelompok besar yang memerlukan
aturan-aturan tata tertib yang tegas dan bersifat tetap. Di dalam kelompok tadi, karena
banyaknya anggota, biasanya hak serta kewajiban para anggotanya, kedudukan serta
peranan, siapa-siapa yang menetapkan kebijaksanaan dan siapa pelaksananya, dan
seterusnya ditentukan dengan tegas. Walau demikian, dalam kelompok-kelompok besar
dengan wewenang resmi tersebut, mungkin saja ada wewenang yang tidak resmi. Tidak

5
“Robert A.Nisbet,The Social Band,An Introduction to the Study of Society Alfred A.Knopf,New
York,1970,halaman 199 dan seterusnya.

9
semuanya dijalankan atas dasar peraturan-peraturan resmi yang sengaja dibentuk, bahkan
demi lancarnya suatu perusahaan besar, misalnya, kadangkala prosesnya didasarkan pada
kebiasaan atau aturan-aturan yang tidak resmi Contohnya dapat dilihat pada seorang
sekretaris direktur. la punya wewenang tidak resmi yang besar. Demikian pula dapat di
dalam suatu lembaga pema syarakatan, seorang narapidana tertentu lebih ditakuti oleh
rekan-rekannya daripada pegawai lembaga pemasyarakatan yang mempunyai wewenang
resmi. Sebaliknya di dalam kelompok-kelompok kecil mungkin saja ada usaha-usaha
untuk menjadikan wewenang tidak resmi menjadi resmi, karena terlalu seringnya terjadi
pertikaian antar anggota.

C. Wewenang Pribadi dan Teritorial

Pembedaan antara wewenang pribadi dengan teritorial sebenarnya timbul dari sifat
dan dasar kelompok-kelompok sosial tertentu. Kelompok-kelompok tersebut mungkin
timbul karena faktor ikatan darah, atau mungkin juga karena faktor ikatan tempat tinggal,
atau karena gabungan kedua faktor tersebut. Di Indonesia dikenal kelompok-kelompok
atas dasar ikatan darah, misalnya marga, belah, dan seterusnya. Sebaliknya dikenal pula
nama desa, yang lebih didasarkan pada faktor teritorial.6

Wewenang pribadi sangat tergantung pada solidaritas antara anggota-anggota


kelompok, dan disini unsur kebersamaan sangat memegang peranan. Para individu
dianggap lebih banyak memiliki kewajiban ketimbang hak.

Struktur wewenang bersifat konsentris, yaitu dari satu titik pusat lalu meluas melalui
lingkaran-lingkaran wewenang tertentu. Setiap lingkaran wewenang dianggap
mempunyai kekuasaan penuh di wilayahnya masing- masing. Apabila bentuk wewenang
ini dihubungkan dengan ajaran Max Weber, maka wewenang pribadi lebih didasarkan
pada tradisi daripada peraturan-peraturan. Juga mungkin didasarkan pada kharisma
seseorang.

D. Wewenang Terbatas dan Menyeluruh

Suatu dimensi lain dari wewenang adalah pembedaan antara wewenang terbatas
dengan wewenang menyeluruh. Apabila dibicarakan tentang wewenang terbatas, maka
maksudnya adalah wewenang tidak mencakup semua sektor atau bidang kehidupan. Akan

6
Soerjono Soekanto “Inheritance Adat Law in Indonesia Peasant Society ,14 Malaya Law Review
2,1972,halaman 244 sampai 258.

10
tetapi hanya terbatas pada salah-satu sektor atau bidang saja. Misalnya, seorang jaksa di
Indonesia, mempunyai wewenang atas nama negara dan mewakili masyarakat menuntut
seorang warga masyarakat yang melakukan tindak pidana. Namun jaksa tidak berwenang
mengadilinya. Contoh lain adalah seorang menteri dalam Negeri tidak mempunyai
wewenang untuk mencampuri urusan-urusan yang menjadi wewenang menteri Luar
Negeri. Wewenang semacam ini sebenarnya lazim, terutama dalam masyarakat yang
sudah rumit susunan dan organisasinya. Namun demikian, wewenang yang menyeluruh
juga suatu ciri dari suatu negara.

Suatu wewenang menyeluruh berarti suatu wewenang yang tidak dibatasi oleh
bidang-bidang kehidupan tertentu. Contohnya ialah, misalnya, bahwa setiap negara
mempunyai wewenang yang menyeluruh atau mutlak untuk mempertahankan kedaulatan
wilayahnya. Jadi, apakah suatu wewenang bersifat terbatas atau menyeluruh, tergantung
dari sudut penglihatan seseorang.

2.9 Konsep Wewenang Yang Sah

Perilaku manusia, khususnya perilaku sosial teristimewa hu bungan sosial, dari sudut
para individu dapat berorientasi pada gagasan mengenai eksistensi suatu wewenang yang
sah. Kemung kinan terjadinya orientasi itu secara aktual akan dinamakan validitas
wewenang yang dipermasalahkan.

Wewenang tidak hanya berarti suatu perilaku sosial teratur yang ditentukan oleh adat-
istiadat atau kepentingan diri. Fakta bahwa seorang pengusaha mengiklankan hasil-hasil
perusahaannya secara teratur, disebabkan keinginannya untuk memanfaatkan ke-
sempatan demi kepentingan dirinya

Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa isi suatu hubungan sosial mencerminkan
wewenang, apabila perilaku tersebut dapat di orientasikan pada aksioma-aksioma tertentu
yang dikenal. Baru dalam keadaan demikian suatu wewenang mendapatkan validitas
kalau orientasi terhadap aksioma-aksioma itu mencakup paling sedikit suatu pengakuan
bahwa hal itu mengikat pribadi atau bahwa perilaku itu pantas untuk ditiru. Memang
benar bahwa orientasi tersebut di landaskan pada aneka motif. Namun, fakta bahwa
wewenang juga dilandaskan pada anggapan bahwa hal itu mengikat atau pantas untuk
ditiru meningkatkan kemungkinan bahwa perilaku-perilaku faktual akan menyesuaikan
diri atau mentaatinya. Suatu wewenang yang ditaati semata-mata karena kebiasaan,

11
biasanya tidak begitu stabil apabila dibandingkan dengan wewenang yang pentaatannya
didasarkan pada adat-istiadat murni. Sikap yang terakhir merupakan hal yang paling
umum. Namun, kestabilan akan meningkat kalau wewenang tersebut mengikat karena
dipandang sah. Perkembangan gradual menandai proses transisi dari perilaku yang
berorientasi pada tujuan atau tradisi menuju ke orientasi kepercayaan akan sahnya
wewenang tersebut.

12
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Kekuasaan dan wewenang merupakan elemen penting dalam struktur


pemerintahan dan organisasi. Kekuasaan cenderung mencerminkan kemampuan
seseorang atau kelompok untuk memengaruhi atau mengontrol orang lain, sementara
wewenang berkaitan dengan hak dan kewajiban yang diberikan secara resmi. Penting
untuk menjaga keseimbangan antara keduanya agar tidak terjadi penyalahgunaan atau
ketidakseimbangan kekuasaan. Kesimpulannya, pemahaman dan pengelolaan yang bijak
terhadap kekuasaan dan wewenang menjadi kunci dalam membangun sistem yang adil
dan efektif.

3.2 Saran

1) Pertahankan struktur kekuasaan yang sederhana dan efisien, untuk menghindari


birokrasi yang berlebihan dan meningkatkan responsivitas.
2) Selalu pertimbangkan dampak sosial dari keputusan yang diambil, dan pastikan
bahwa kekuasaan digunakan untuk mendukung kesejahteraan masyarakat.
3) Pastikan terdapat komunikasi yang terbuka dan jelas mengenai penggunaan
kekuasaan dan pemberian wewenang, sehingga semua pihak memahami proses dan
keputusan yang diambil.

13
DAFTAR PUSTAKA

Soekanto, Soerjono. Sosiologi Suatu Pengantar. 1982 PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Abdulsyani, Sosiologi Skematika, Teori, Dan Terapan. PT Bumi Aksara, Jakarta.

Soekanto, Soerjono. Mengenal Tujuh tokoh sosiologi. 2011 Jakarta Rajawali Pers.

Suryono, Soekanto. Sosiologi Suatu Pengantar . 1982 PT RajaGrafindo Persada 1999,


Jakarta

Soerjono, Soekanto. Sosiologi Suatu Pengantar. 2013 PT RajaGrafindo Persada, Jakarta

Moels, Syarif. Kekuasaan Wewenang dan Kepemimpinan. 2008 Bandung.

Asriani. Kekuasaan Kewenangan Tanggung Jawab dan Degelasi, Universitas Islam


Negeri Alauddin Makassar.

Marbun, Bella. Kekuasaan Wewenang Peran, Universitas Islam Negeri Alauddin,


Makassar 2021.

Attamimi, Faris. Pembagian Kerja dan Wewenang Karyawan, Sekolah Tinggi Ilmu
Ekonomi Perbanas Surabaya, 2012

Ardila, ira. Penyalah gunaan kekuasaan dalam tindakan korupsi bantuan sosial oleh
pejabat publik perspektif max weber.

14

Anda mungkin juga menyukai