Anda di halaman 1dari 10

TUGAS MATA KULIAH PENGEMBANGAN MANAJEMEN PENDIDIKAN

ANALISIS TEORI & PRAKTIK KEPEMIMPINAN (POWER & AUTHORITY)


DALAM PENDIDIKAN ORANG DEWASA

Rahmad Nasir
NIM. 21104261013

Dosen Pengasuh : Dr. Cepi Safrudiin Abd Jabbar, M.Pd.

PROGRAM STUDI MANAJEMEN PENDIDIKAN


PROGRAM PASCASARJANA
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2022

1
Pendahuluan
Dalam suatu lembaga/organisasi/institusi selalu saja kepemimpinan memegang pernanan yang
sangat penting bagi maju mundur serta efektivitas dan efisiensi pencapaaian tujuan
organisasi/lembaga tersebut. inti sari dari kepemimpinan adalah pengaruh/kepengaruhan
terhadap bergeraknya segala sumber daya (resources) yang dimiliki organisasi/lembaga.
Sebagai penanggungjawab utama organisasi, pemimpin (leader) memainkan peran sebagai
penguasa (power) dan secara otomatis memiliki wewenang (authority) yang bersumber dari
jenis kepemimpinan yang melekat dalam diri dan ciri khas organisasi/lembaga. Kekuasaan yang
dijalankan pemimpin bisa melalui pemaksaan maupun melalui penanaman kesadaran pengikut
(follower) untuk mengikuti segala komando/perintah maupun koordinasi yang dijalankan
pemimpin. Kebijakan/keputusan pemimpin didasarkan pada sumber kekuasaan dan
kewenangan yang dimilikinya. Demikian halnya pemimpin dalam bidang pendidikan, khususnya
pengajar baik itu guru/dosen atau professor yang mengajar para mahasiswa sebagai
pembelajar orang dewasa. Sikap pendidik dalam memainkan peran kekuasaan dan
kewenangannya dalam pembelajaran di setiap level pendidikan sangat berbeda jauh. Pendidik
saat berhadapan dengan pembelajar di level sekolah dasar dan menengah cenderung melalui
pemaksaan/intervensi, sementara saat berhadapan dengan pembelajar orang dewasa lebih
pada pendekatan kesadaran dan kemandirian/otonomi demi pencapaian kreativitas dalam
belajar. Kekuasaan dan kewenangan dijalankan melalui sebuah relasi yang didasarkan pada
“dominasi”. Dominasi yang dimaksud adalah pendidik sebagai pihak pemimpin dan
mahasiswa/murid sebagai yang dipimpin. Artikel ini membahas bagaimana kepemimpinan
melalui kekuasaan dan kewenangan dijalankan dalam dunia pendidikan khususnya
pembelajaran bagi orang dewasa yang juga ditunjukkan dalam beberapa jurnal yang disajikan.

Tinjauan Pustaka
Kepemimpinan (Leadership)
Bennet et all dalam Bolden (2011) mengidentifikasi 3 premis dari banyak penulis terkait
kepemimpinan yakni (1) Sesuatu yang muncul dari suatu kelompok atau jaringan individu yang
berinteraksi; (2) ada keterbukaan; (3) Jenis keahlian yang didistribusikan.
Hartman dalam Fredrick Muyia Nafukho, Nelson H. Were Wawire (2011) menjelaskan istilah
‘pemimpin’ dengan tepat mencakup tidak hanya orang-orang yang menduduki posisi formal di
tingkat atas lembaga-lembaga besar, tetapi juga mereka yang kemampuannya untuk
mempengaruhi dan menggerakan orang telah ditunjukkan melalui pengajaran, penulisan, atau
menjadi aktor yang efektif di berbagai panggung terkemuka, komunitas lingkungan, bahkan
dalam rumah tangga.
Kepemimpinan adalah proses untuk mempengaruhi orang lain untuk memahami dan setuju
dengan apa yang perlu dilakukan dan bagaimana tugas itu dilakukan secara efektif, serta proses
untuk memfasilitasi upaya individu dan kolektif untuk mecapai tujuan bersama. Pengaruh yang
diberikan yakni (1) interpretasi peristiwa eksternal oleh para anggota; (2) pilihan tujuan dan
strategi yang ingin dicapai; (3) motivasi anggota untuk mencapai tujuan; (4) rasa saling percaya
dan bekerja sama antar anggota; (5) Organisasi aktivitas kerja; (6) Pengembangan kepercayaan
dan keterampilan anggota; (7) Pembelajaran dan pembagian pengetahuan baru antar anggota;
(8) Pembuatan daftar dukungan dan kerja sama dari orang luar. (Gary Yulk, 2010: 8-9)

2
Kekuasaan (Power)
Kekuasaan sebagai kemampuan untuk mendapatkan apa yang diinginkan bahkwan ketika orang
lain menolak. (Kelley et al., 2017).
Beberapa sarjana mengidentifikasi kekuasaan sebagai pelaksanaanya, dominasi, disposisi
subjek, kebebasan atau pemberdayaan. Di antara konsep-konsep ini yang paling primitif namun
tetap berlaku adalah pelestarian yang kuat dengan dominasi atau kekuasaan atas mereka yang
tak berdaya atau memiliki kekuatan lebih kecil. Misalnya seorang teolog menggunakan konsep
kekuasaan legitimasinya atau konsep hak politik memerlukan defenisi agama yang jelas tentang
suatu struktur kekuasaan. Seorang sosialis memiliki pandangan agama yang berbeda tentang
kekuasaan yang menekankan setiap aspek sosial, sementara defenisi kekuasaan liberal dibatasi
secara ketat pada pembedaan ruang publik dan ruang privat. Sementara seorang teolog
mungkin mengabaikan variabel ruang sosial, seorang sosialis mengabaikan efek agama dalam
pembentukan atau transisi kekuasaan. Relativitas seperti ini antara ahli teori dan konsep-
konsep sebenarnya adalah konsekuensi dari ketegangan antara konsep evaluasi normatif dan
konsep evaluasi empiris. Bentuk konflik ini menyebabkan para sarjana mengimplikasikan bahwa
tidak mungkin ada kesepakatan tentang suatu bentuk konsep tunggal yang dapat
mendefenisikan kekuatan politik.
Penyelidikan rinci secara klasik kekuasaan menunjukkan keberadaan tunggal konsep kekuasaan
yakni “dominasi”. Dalam Republik Plato, kekuasaan adalah kebajikan di tangan segelintir orang
demi kepentingan semua (publik). Kekuatan ini adalah penjamin bagi masyarakat dan karya
yang baik dan ideal di bawah relasi kekuasaan yang hirarkis dan dominatif. Untuk waktu yang
lama setelah Aristoteles, kekuasaan tetap seperti itu bagi Aristoteles; gerakan kekuasaan dalam
sistem untuk kelangsungan hidup dalam dominasi Negara. Dalam the Prince karya Machiavelli,
kekuasaan disajikan sebagai paksaan dan imperium militer yang menggunakan sebagian besar
pergerakan kekuasaan untuk mendominasi dan mengontrol. Meskipun pergerakan kekuasaan
dan menahan kekuasaan Negara dari individu cukup besar dukungan utama untuk kekuasaan
adalah paksaan dan kekerasan. Dia berasumsi bahwa konsep dominasi seperti itu adalah satu-
satunya obat/solusi untuk mengatasi masalah politik. Dalam Nietzsche, kekuasaan adalah
realitas dan defenisi nasib manusia. Teorinya tentang penolakan nilai-nilai budaya dan moral
adalah kritik terhadap totalitas sosial. Proyeknya tentang teori keinginan untuk berkuasa
mempromosikan gagasan bahwa kekuasaan adalah prinsip ontologis; kekuatan memiliki
kehidupannya sendiri yang mungkin cocok untuk deskripsi tidak hanya dari jenis tertentu dari
proses intersubjektif, tetapi juga dari semua ekspresi kehidupan. Oleh karena itu untuk
melengkapi tradisi filosofis dimulai dari Aristoteles yang mengisyaratkan bahwa kekuasaan
harus mendefenisikan yang nyata dan moral untuk menciptakan kondisi legitimasi. (Shokri,
2018).
Kamahi (2017) menjelaskan kekuasaan mesti dipahami sebagai bentuk relasi kekuatan yang
imanen dalam ruang dimana kekuasaan itu beroperasi. Kekuasaan mesti dipahami sebagai
sesuatu yang melanggengkan relasi kekuatan itu, yang membentuk rantai atau sistem dari relasi
itu, atau justru yang mengisolasi mereka dari yang lain dari suatu relasi kekuatan. Oleh karena
itu, kekuasaan merupakan strategi di mana relasi kekuatan adalah efeknya. Persoalan
kekuasaan bukanlah persoalan pemilikan, dalam konteks siapa menguasai siapa atau siapa yang
powerful sementara yang lain powerless. Kekuasaan itu tersebar, berada di mana-mana
(omnipresent), imanen terdapat dalam setiap relasi sosial. Hal ini bukan karena kekuasaan itu

3
memiliki kemampuan mengkonsolidasikan segala sesuatu di bawah kondisi
ketidaknampakannya, melainkan karena kekuasaan selalu diproduksi dalam setiap momen dan
setiap relasi. Kekuasaan itu ada di mana-mana bukan karena ia merengkuh segala sesuatu
melainkan karena ia datang dari manapun. Selanjutnya Kamahi (2017) mengutip bukunya The
History of Sexuality, Foucault menunjukkan ada lima proposisi mengenai apa yang dimaksudnya
dengan kekuasaan, yakni:
a) Kekuasaan bukan sesuatu yang didapat, diraih, digunakan, atau dibagikan sebagai
sesuatu yang dapat digenggam atau bahkan dapat juga punah; tetapi kekuasaan
dijalankan dari berbagai tempat dari relasi yang terus bergerak.
b) Relasi kekuasaan bukanlah relasi struktural hirarkhis yang mengandaikan ada yang
menguasai dan yang dikuasai.
c) Kekuasaan itu datang dari bawah.
d) Relasi kekuasaan itu bersifat intensional dan non-subjektif.
e) Di mana ada kekuasaan, di situ pula ada anti kekuasaan (resistance).

Lebih lanjut Munir (2019) mengungkapkan kekuasaan dapat dipahami sebagai kesempatan bagi
individu atau sekelompok manusia untuk menyadarkan individu lainnya atau kelompok lainnya
terhadap kemauan yang diinginkannya sekaligus pada saat yang bersamaan menerapkannya
pada orang-orang yang sedang atau akan melakukan perlawanan kepadanya. Atau dengan kata
lain, kekuasaan merupakan kemampuan untuk membuat orang lain patuh dan menjalankan
terhadap apa yang dikehendaki; bisa pula bermakna kecenderungan seseorang untuk
berperilaku sesuai dengan kehendaknya. Hal ini bersifat alamiah karena pada hakekatnya
manusia sebagai makhluk sosial tidak bisa dilepaskan dari kepentingan dirinya dari orang lain.
Konsep kekuasaan bisa timbul karena adanya perbedaan makna meskipun tujuannya sama.
Penjelamaan atau bentuk kekuasaan dapat mengejewantah dalam hal, seperti: pengaruh,
persuasi, manipulasi, kekuatan (force), dan koersi (memaksa).
Mencermati pemikiran Freire (2007) tentang kekuasaan yang dipandang sebagai kekuatan yang
negatif dan juga positif; sifatnya dialektis tetapi mode of operation-nya selalu represif.
Kekuasaan bekerja pada dan melalui masyarakat. Di satu sisi, ini berarti bahwa dominasi tidak
pernah sepenuhnya mutlak, yang dalam hal ini kekuasaan bersifat eksklusif dan sebagai
kekuatan negatif. Di sisi lain, kekuasaan merupakan daya dorong dari semua perilaku manusia
dimana masyarakat mempertahankan hidupnya, berjuang dan berusaha mewujudkan cita-cita
kehidupannya yang lebih baik. Kekuasaan tidak hanya dipahami dalam wilayah publik dan
pribadi dimana pemerintah, kelas-kelas yang dominan dan kelompok-kelompok lainnya
memainkan peran. Kekuasaan itu ada di tangan siapa saja dan menemukan bentuknya dalam
ruang publik yang saling beroposisi yang secara tradisional telah kehilangan kekuasaannya dan
bentuk-bentuk resistensinya. Kekuasaan selalu diikuti dengan pertentangan, ketegangan, dan
kontradiksi dalam berbagai institusi sosial, seperti sekolah dimana kekuasaan seringkali
dianggap sebagai kekuatan positif yang resisten. Kekuasaan sebagai sebuah bentuk dominasi
tidak dipaksakan pemerintah secara sederhana melalui tangan-tanganya, seperti polisi, tentara,
departemen kehakiman. Dominasi dipraktikkan lewat kekuasaan, teknologi dan ideologi yang
secara bersama-sama menghasilkan pengetahuan, hubungan sosial dan ekspresi budaya yang
berfungsi secara aktif untuk membuat masyarakat diam. Pembicaraan dominasi tidak hanya
mengacu pada ekspresi budaya yang mempengaruhi kaum tertindas dalam kesehariannya,

4
namun juga menyangkut bagaimana kaum tertindas ini menginternalisasi pengaruh dan turut
melestarikan penindasan tersebut. Gary Yukl (2010) menyatakan istilah kekuasaan digunakan
untuk menjelaskan kapasitas absolut seorang agen untuk mempengaruhi perilaku atau sikap
seseorang atau lebih yang ditunjuk sebagai target pada satu waktu tertentu.

Kewenangan (Otority)
Max Weber menunjuk 3 otoritas yang berbeda yakni (1) Rasional-Birokratis berasal dari hukum
dan keyakinan atas legitimasi hukum dan aturan masyarakat dan hak atas pemimpin untuk
bertindak di bawah aturan ini untuk membuat keputusan dan menetapkan kebijakan, bentuk
wewenang ini adalah ciri demokrasi modern dimana kekuasaan diberikan kepada orang-orang
yang dipilih oleh pemilih dan aturan untuk menggunakan kekuasaan itu biasanya diatur dalam
konstitusi, piagam atau dokumen tertulis lainnya. Legal-rasional berada di kantor yang diisi oleh
individu (bukan individu itu sendiri contohnya kewenangan Presiden Amerika Serikat berada di
kantor kepresidenan, bukan pada individu yang kebetulan menjadi presiden); (2) Tradisional
yang berasal dari adat dan tradisi, berada pada diri seseorang karena pewarisan atau
penunjukkan ilahi; (3) Karismatik berasal dari kualitas pribadi yang luar biasa. Individu
karismatik seperti ini mungkin menjalankan otoritas atas masyarakat atau kelompok tertentu
dalam masyarakat yang lebih besar. Mereka dapat menjalankan kebaikan dan keburukan
seperti beberapa contoh yakni Joan of Arc, Adolf Hitler, Mahatma Gandhi, Martin Luther King
Jr, Yesus Kristus, Muhammad dan Budha. Masing-masih dari mereka memiliki kualitas pribadi
yang luar biasa yang pengikutnya sangat mengagumi dan mengikuti perintah mereka. (SINGH,
2021).
Mufti (2013) menjelaskan Kekuasaan dibedakan dengan kewenangan. Hal ini karena
kewenangan adalah kekuasaan, tetapi kekuasaan tidak selalu berupa kewenangan.
Kewenangan merupakan kekuasaan yang memiliki keabsahan, sedangkan kekuasaan tidak
selalu memiliki keabsahan. Kekuasaan merupakan gejala yang lumrah dan terdapat dalam
setiap masyarakat, dalam semua bentuk hidup bersama. Hal ini karena setiap manusia
mempunyai bermacam-macam keinginan dan tujuan yang ingin sekali dicapainya. Untuk itu,
diperlukan pemaksaan kemauan atas orang atau kelompok lain. Di sinilah muncul kekuasaan.
Mufti (2013) mengutip Charles F. Andrain terkait sumber kewenangan seseorang atau
kelompok untuk memerintah dapat berasal dari hal berikut.
1) Hak memerintah berdasarkan tradisi, yaitu kepercayaan yang telah berakar dan
dipelihara terus-menerus dalam masyarakat.
2) Hak memerintah berasal dari Tuhan, dewa atau wahyu. Kewenangan memerintah
berasal dari kekuatan yang sacral.
3) Hak memerintah berasal dari kualitas pribadi sang pemimpin, baik penampilannya yang
agung dan dirinya yang popular maupun karena ia memiliki karisma.
4) Hak memerintah berasal dari sumber yang bersifat instrumental. Seperti keahlian dan
kekayaan.
5) Hak memerintah berasal dari peraturan perundang-undangan yang mengatur prosedur
dan syarat-syarat menjadi pemimpin pemerintahan.
Otoritas merupakan wewenang yang diberikan kepada seseorang atau komunitas atau instansi
secara sah agar patuh terhadapnya karena didukung oleh norma dan peraturan yang dibuat.
Hal ini bersifat alamiah karena pada hakekatnya manusia sebagai makhluk sosial tidak bisa

5
dilepaskan dari kepentingan dirinya dari orang lain. Otoritas berkaitan dengan proses
pengambilan keputusan dan tidak terkait dengan kekuatan sebagaimana halnya kekuasaan.
Kekuasaan terkait dengan kemampuan, sedangkan otoritas merupakan hak untuk mengambil
tindakan yang diperlukan agar tugas dan tanggung jawab dapat dilaksanakan dengan baik.
Otoritas dapat dirumuskan sebagai suatu tipe khusus dari kekuasaan yang secara asli melekat
pada jabatan yang dimliki seorang pemimpin. Otoritas (authority) atau wewenang dapat
dirumuskan sebagai suatu tipe khusus dari kekuasaan yang secara asli melekat pada jabatan
yang diduduki oleh pemimpin. Dengan demikian, otoritas adalah kekuasaan yang disahkan
(legitimatized) oleh suatu peranan formal seseorang dalam suatu organisasi. (Husaini Usman
dalam Munir, 2019). Gary Yukl (2010) juga menjelaskan hal senada bahwa otoritas melibatkan
hak, prerogatif, kewajiban, dan tugas yang berkaitan dengan posisi khusus dalam organisasi
atau sistem sosial. Otoritas pemimpin biasanya meliputi hak untuk membuat keputusan khusus
untuk organisasi. Pemimpin yang memiliki wewenang langsung terhadap seorang yang
mempunyai hak untuk membuat permintaan yang konsisten dengan otoritasnya, seseorang itu
memiliki kewajiban untuk mematuhinya. Reed (2017) mendeskripsikan hubungan kekuasan dan
wewenang melalui beberapa teori yakni yang sering dilakukan dalam sosiologi adalah (secara
konseptual) memisahkan kekuasaan dari otoritas atau pengaruh. Biasanya, kekuasaan ("keras")
mengacu pada sesuatu yang eksternal, material, sedangkan otoritas dan pengaruh ("lunak")
mengacu pada kehidupan internal orang, persetujuan dari yang diperintah, dan kepercayaan
pada legitimasi.

Penerapan Power & Authority dalam Pendidikan Orang Dewasa


Orang dewasa dalam belajar mempunyai ciri atau karakteristik berbeda dengan anak-anak
antara lain karakteristiknya sebagai berikut: 1. Pembelajaran lebih mengarah ke suatu proses
pendewasaan, seseorang akan berubah dari bersifat tergantung menuju ke arah memiliki
kemampuan mengarahkan diri sendiri, dan memerlukan pengarahan diri walaupun dalam
keadaan tertentu mereka bersifat tergantung. 2. Karena prinsip utama adalah memperoleh
pemahaman dan kematangan diri untuk bisa survive, maka pembelajaran yang lebih utama
menggunakan eksperimen, diskusi, pemecahan masalah, latihan, simulasi dan praktek
lapangan. 3. Orang dewasa akan siap belajar jika materi latihanya sesuai dengan apa yang ia
rasakan sangat penting dalam memecahkan masalah kehidupanya, oleh karena itu menciptakan
kondisi belajar, alat-alat, serta prosedur akan menjadikan orang dewasa siap belajar. Dengan
kata lain program belajar harus disusun sesuai dengan kebutuhan kehidupan mereka yang
sebenarnya dan urutan penyajian harus disesuaikan dengan kesiapan peserta didik 4.
Pengembangan kemampuan diorientasikan belajar terpusat kepada kegiatanya. Dengan kata
lain cara menyusun pelajaran berdasarkan kemampuan-kemampuan apa atau penampilan yang
bagaimana yang diharapkan ada pada peserta didik. (Tisnowati Tamat, 1985)
Sally-Anne Barnes, Deirdre Hughes OBE et al., (2016) mendefenisikan pendidikan orang dewasa
yang terbaik menghubungkan orang, membantu mengurangi kesepian atau perasaan terisolasi
dalam komunitas; hal itu dapat menanamkan rasa pemberdayaan melalui kegembiraan belajar
dan/atau membantu orang kembali bekerja atau mengubah arah secara positif. Alsobaie (2015)
menyimpulkan dalam satu studi penelitiannya bahwa pendidikan orang dewasa jauh berbeda
dari pendidikan dasar dan menengah, dengan demikian mengharuskan guru untuk mengambil
alih peran yang kurang intervensionis dan dimana guru lebih bersedia memberikan otonomi

6
kepada siswa/pelajarnya. Dewasa ini siswa membutuhkan panduan karena mereka ingin bisa
mengekspresikan diri mereka sendiri dengan cara mereka sendiri dan tidak perlu mencari
sesorang untuk ditiru dengan cara yang sama persis yang dilakukan guru. Dengan demikian,
rekomendasinya bahwa guru dalam pendidikan orang dewasa menggunakan kekuasaan yang
berbasis penghargaan serta otoritas yang non intervensionis, berorientasi pada tujuan.
Dalam penjelasannya, Marzhall, Kiffin-Petersen & Souter dalam Alsobaie (2015) bahwa
meskipun banyak literatur tentang kekuasaan dan otoritas di ruang kelas dalam konteks
sekolah dasar dan menengah, masih ada beberapa pelajaran yang dikontekskan dalam
pendidikan bagi lingkungan orang dewasa. Perlu dicatat bahwa pendidikan orang dewasa tidak
sama dengan pendidikan dasar dan menengah. Mereka memiliki tanggung jawab penuh secara
otonom di bawah hukum dan masyarakat. Merriam dalam Alsobaie (2015) juga
mengungkapkan seseorang tidak dapat menerapkan jenis kekuasaan dan otoritas yang sama
terhadap orang dewasa sebagaimana yang dilakukan pada pendidikan dasar dan menengah
sebagaimana di Amerika kekuasaan diterapkan pada anak-anak bergantung pada undang-
undang hukuman fisik di beberapa Negara bagian. Orang dewasa memiliki pilihan apakah
mereka berada di kelas tertentu atau tidak, pada anak-anak dibutuhkan energi yang lebih untuk
mendisiplinkan mereka, sementara orang dewasa lebih pada kesukarelaan/kesadaran.
Ringer dalam Alsobaie (2015) cenderung sama pendapatnya yakni orang dewasa cenderung
belajar mandiri, artinya mereka tidak memerlukan struktur pendidikan yang sama dimana anak-
anak remaja mungkin merasa nyaman. Orang dewasa mengarahkan diri mereka sendiri, karena
akan berkinerja baik jika berada di sebuah sistem yang memberi mereka otonomi dan
kebebasan yang lebih besar. Kelas Universitas sebagai contoh dapat dilihat kurikulum yang
sangat terstruktur, tetapi siswa mengejar materi secara mandiri. Professor dapat
merekomendasikan teks-teks yang diperlukan untuk kelulusan kelas, dan mereka juga
menyelesaikan tugas, jika gagal mengerjakan tugas siswa tidak dihukum secara disiplin fisik.
Professor dan guru dalam konteks ini memiliki otoritas dari kekuasaan berbasis penghargaan
dan keahlian (keilmuan). Orang dewasa cenderung memiliki kontrol diri yang besar sehingga
tidak perlu diarahkan berlebih oleh otoritas tertentu dan karena itu dapat menciptakan
kreativitas.
Jika dilihat pendidikan orang dewasa di Turki dapat dilihat dalam riset yang dilakukan oleh
Kayman et al., (2012) bahwa pendidikan orang dewasa adalah dalam hal pembelajaran seumur
hidup dimulai dari lembaga-lembaga yang bertujuan menjadikan individu lebih bebas,
transformatif dan egaliter. Pendidikan orang dewasa bervariasi di seluruh dunia. Namun,
memiliki beberapa tujuan universal seperti mengatur kehidupan individu, kemandirian, belajar
sambil melakukan dan berlatih.
Dalam hubungannya dengan relasi kuasa dan wewenang dalam pembelajaran orang dewasa,
Juanita Johnson‐Bailey & Ronald M. Cervero (2006) melakukan riset terkait relasi kuasa yang
ada dalam konteks sosial yang lebih luas dimainkan dalam dinamika belajar mengajar di kelas
pendidikan orang dewasa yang didesain dalam bentuk studi kasus komparatif kualitatif dari dua
mata kuliah yang diajarkan di lingkungan universitas yang hasilnya menunjukkan banyak cara
kompleks dimana hubungan kekuasaan berdasarkan ras, kelas, gender, disabilitas dan orientasi
seksual dimainkan di keempat tema (penguasaan, suara, otoritas dan posisi) dan bagaimana
dinamika ini secara langsung mempengaruhi proses belajar mengajar. Posisi guru dan siswa,
khususnya kategori ras kulit putih, muncul sebagai kekuatan kunci yang memediasi dinamika

7
kelas. Hubungan kekuasaan masyarakat mempengaruhi upaya pengajaran dan pembelajaran di
kelas.
KEWENANGAN MENJADI SEBAB, TANGGUNG JAWAB JADI AKIBAT
Pembahasan
Melalui beberapa teori di atas dapat dilihat bagaimana berkelindan antara kepemimpinan,
kekuasaan dan kewenangan. Kekuasaan dalam konteks bernegara diperoleh melalui jalan
demokrasi dan menghasilkan pemimpin yang ujungnya memiliki kewenangan untuk membuat
keputusan/kebijakan penting untuk hajat hidup orang banyak. Ketiga konsep ini bisa terjadi
dimana saja dalam skala makro, meso maupun mikro serta dalam nuansa formal maupun non
formal. Contohnya dalam skala rumah tangga tentang kekuasaan dan kewenangan kepala
rumah tangga sebagai pemimpin. Hal itu lalu bukan sekedar jabatan tertentu yang melekat
pada orang tertentu melainkan status yang melekat dalam kepribadian individu tertentu.
Sesuai dengan tema maka bagaimanakah peran guru/professor/dosen dalam memainkan
perannya sebagai pemimpin yang memiliki kekuasaan dan kewenangan terhadap
murid/mahasiswanya sebagai orang dewasa. Tentu saja penerapan kekuasaan dan kewenangan
pembelajaran/pendidikan untuk orang dewasa berbeda dengan pendidikan dasar dan level
menengah yakni dengan pendekatan non intervensionis. Hal ini karena watak orang dewasa
yang cenderung mandiri dan penuh kesadaran sehingga pemberian otonomi dan kebebasan
yang lebih luas lebih cocok dan diharapkan mampu menghadirkan kreativitas dan inovasi.
Pembelajaran kelas dasar dan menengah cenderung menggunakan pedagogis, sementara
pembelajaran orang dewasa lebih bersifat andragogis dan hautagogik.
Sebagaimana yang dikemukakan Mufti (2013) ketika mengutip Charles F. Andrain tentang
sumber kewenangan maka posisi guru/professor/dosen bagi mahasiswa atau muridnya adalah
dikarenakan kewenangan/kekuasaanya berasal dari kekuatan instrumental seperti
keilmuan/keahlian sehingga membuat mahasiswa/murid memberikan
penghargaan/taat/tunduk/hormat kepada dosen sebagai penguasa/pemimpin dalam
pembelajaran/pendidikan. Berkenaan dengan ini sudah dapat dilihat dalam pasal 46 ayat 3 UU
No. 14 Tahun 2005 bahwa setiap orang yang memiliki keahlian dengan prestasi luar biasa dapat
diangkat menjadi dosen. Kendati demikian, kewenangan dosen juga bisa berasal dari kualitas
pribadi yang menginspirasi para murid-mahasiswanya, sama seperti defenisi guru dan dosen
yang tertuang dalam pasal 1 ayat 1 dan 2 dalam Undang-undang ini. Kepemipinan dalam
pembelajaran orang dewasa juga sangat konteks dengan apa yang digagas Gary Yulk (2010)
bahwa kepemimpinan guru/dosen mempengaruhi orang (murid) untuk setuju dengan metode
atau pola pembelajaran yang diterapkan demi tujuan pembelajaran bersama. Delapan (8) point
yang dipengaruhi kepemimpinan pendidikan cocok dengan konteks atau kondisi pendidikan
orang dewasa.
Kendati begitu, agaknya agak berbeda dengan gagasan Paulo Freire (2013) dalam naskah
Pendidikan Kaum Tertindas maupun Politik Pendidiqkan bahwa dominasi guru-dosen terhadap
siswa adalah bentuk pendidikan yang tertindas atau l dalam penjajahan yang dikenal dengan
nama “pendidikan gaya Bank”, seharusnya proses pendidikan bersifat kritis dan dialogis bukan
pada perkara siapa mendominasi siapa dalam satu proses belajar mengajar. Senada dengan itu,
Dwi Sulisworo (2019) juga memberikan penegasan bahwa saat ini dalam belajar bukan hanya
memberikan penekanan pada content of the subject matter tapi pada sesuatu yang kadang
sebagai nurturant effect of learning. Untuk itu maka perlu dipahami bahwa pembelajar bukan

8
lagi sebagai sesuatu yang pasif atau sebagai obyek yang orang lain memegang kendali sehingga
pembelajar perlu dibantu untuk ini dan itu. Kendali yang dimaksud tentu saja adalah kekuasaan
dan kewenangan guru/dosen terhadap para murid-mahasiswa.
Kewenangan guru/dosen/pendidik salah satunya ada pada pemberian nilai berdasarkan
kompetensi dan berbagai variabel penilaian yang cocok dengan performance para siswa.
Terkadang siswa patuh dan takut juga karena kewenangan pemberian nilai yang melekat erat
dalam profesi guru/dosen. Meski hal itu bukanlah tujuan substansi dari pembelajaran namun
secara empiric turut mempengaruhi pembelajaran tidak hanya bagi pendidikan di level anak-
anak namun juga pada orang dewasa. Selain itu, Kewenangan membuat RPS yang menjadi
panduan bagi siswa untuk mengikuti semua desain yang telah dibuat guru sebagai pemimpin
pembelajaran. Tentu saja masih ada contoh lainnya yang bisa dirasakan dalam pengalaman
belajar orang-orang dewasa.

Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan maka dapat disimpulkan sebagaimana berikut.
1. Kepemimpinan adalah terkait keterpengaruhan seseorang terhadap orang-orang di
sekitarnya untuk menggerakan suatu lembaga/organisasi dalam mencapai tujuannya.
Kepemimpian memiliki keterkaitan dengan kekuasaan dan kewenangan.
2. Kekuasaan adalah relasi yang berkaitan erat dengan “dominasi” atas yang menguasai
dan yang dikuasi dalam satu dinamika sosial tertentu.
3. Kewenangan adalah hak diberikan kepada seseorang atau komunitas atau instansi
secara sah agar patuh terhadapnya karena didukung oleh norma dan peraturan yang
dibuat. Hak memerintah berdasarkan tradisi, berasal dari Tuhan/dewa/wahyu, berasal
dari kualitas pribadi pemimpin, sumber yang bersifat instrumental (keahlian/keilmuan
dan kekayaan) serta berasal dari peraturan perundang-undangan yang berlaku.
4. Peran Kekuasaan dan kewenangan dalam pendidikan/pembelajaran orang dewasa
ditunjukkan pada relasi guru-siswa/dosen-mahasiswa yang lebih memberikan otonomi
kepada pelajar-mahasiswa untuk secara mandiri dan sukarela/kesadaran
belajar/mengerjakan berbagai tugas yang diberikan yang secara penerapan berbeda
dengan pendidikan dasar dan menengah dan konsekuensinya adalah timbulnya
kesadaran untuk belajar sepanjang hayat. Kekuasaan dan kewenangan
guru/dosen/professor terletak pada status sebagai ilmuan/ahli (sumber yang bersifat
instrumental) dan bisa juga berasal dari kualitas pribadi dosen/professor.
5. Pendekatan pemimpin pembelajaran/pendidikan terhadap orang dewasa adalah
pendekatan non intervensionis.

Daftar pustaka
Alsobaie, M. F. (2015). Power and Authority in Adult Education. Journal of Education and
Practice, 6(15), 155–159.
http://search.proquest.com/docview/1773219303?accountid=17215
Bolden, R. (2011). Distributed leadership in organizations: A review of theory and research.
International Journal of Management Reviews, 13(3), 251–269.
https://doi.org/10.1111/j.1468-2370.2011.00306.x

9
Fredrick Muyia Nafukho, Nelson H. Were Wawire, P. M. K. L. (2011). Management of Adult
Education Organisations in Africa. UNESCO, University of Bostwana, Institute for
International Cooperation of the German Adult Education Association.

Freire Pulo. (2013). Pendidikan Kaum Tertindas. LP3ES. Jakarta.

Freire Pulo. (2007). Politik Pendidikan, Kebudayaan, Kekuasaan dan Pembebasan. Read &
Pustaka Pelajar. Yogyakarta.

Juanita Johnson‐Bailey & Ronald M. Cervero. (2006). Power dynamics in teaching and learning
practices: an examination of two adult education classrooms. International Journa; of
Lifelong Education. Volume 17- issue 6. https://doi.org/10.1080/0260137980170605

Kamahi, U. (2017). Teori Kekuasaan Michel Foucault: Tantangan bagi Sosiologi Politik. Jurnal Al-
Khitabah, 3(1), 117–133. https://doi.org/10.7454/mjs.v18i1.3734
Kayman, E. A., Ilbars, Z., & Artuner, G. (2012). Adult Education in Turkey: In Terms of Lifelong
Learning. Procedia - Social and Behavioral Sciences, 46, 5858–5861.
https://doi.org/10.1016/j.sbspro.2012.06.528
Kelley, C. P., Dobbs, J. M., Lucas, J. W., & Lovaglia, M. J. (2017). Power and status: The building
blocks of effective leadership. The Journal of Character & Leadership Integration, 1992.
Mufti, M. (2013). MUSLIM MUFTI TEORI-TEORI POLITIK.pdf. Pustaka Setia.
Munir, A. (2019). Power and Authority di Pondok Pesantren: Potret Kepemimpinan Kiai dalam
Lingkungan Multikultural. JIEMAN: Journal of Islamic Educational Management, 1(1), 107–
120. https://doi.org/10.35719/jieman.v1i1.11
Reed, I. A. (2017). Chains of Power and Their Representation. Sociological Theory, 35(2), 87–
117. https://doi.org/10.1177/0735275117709296
Sally-Anne Barnes, Deirdre Hughes OBE, K. A., Hughes, D., Adriaanse, K., Sally-Anne, B., Sally-
Anne Barnes, Deirdre Hughes OBE, K. A., Hughes, D., Adriaanse, K., Sally-Anne, B., Sally-
Anne Barnes, Deirdre Hughes OBE, K. A., Hughes, D., Adriaanse, K., & Sally-Anne, B. (2016).
Adult Education Too important to be left to chance. 64.
Shokri, M. (2018). a T Heory of Political Power and Rights: A Secret Exchange for Legitimacy.
111(2012), 2012.
SINGH, V. (2021). INTERNATIONAL JOURNAL OF LAW Concept of Power and Authority.
International Journal of Law Management & Humanities, 4(4), 2333–2339.

Sulisworo Dwi. (2019). Teori dan Praktek Mobile Collaborative Learning. CV Markumi.
Yogyakarta.

Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005. Guru dan Dosen.

Tisnowati Tamat. (1985). Dari Pedagogik Ke Andragogik. Jakarta. Pustaka Dian

Yukl Gary. (2010). Leadership in Organization. Prentice-Hall, State University of New York at
Albany.

10

Anda mungkin juga menyukai