PENDAHULUAN
Kekuasaan tidak terbatas dimiliki oleh pemerintahan diktator saja, tetapi telah
memasuki dunia kebudayaan dan pendidikan. Proses pendidikan ternyata seringkali
digunakan untuk memperkuat dan memperlemah resistensi demi kelanggengan struktur
kekuasaan dengan mempertahankan ideologi dan hegemoni negara. Dalam kerangka
pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia, batas-batas kekuasaan pemerintah pusat dan
daerah perlu dirumuskan agar pendidikan tetap merupakan upaya pengembangan potensi
manusia untuk mewujudkan individualitasnya.1
Dari kacamata pendidikan dan melihat proses pendidikan yang menyeluruh disana
terdapat suatu gerakan yang membawa kekuatan dan menggerakkan kebutuhan yang
diminta masyarakat guna peningkatan taraf hidupnya. Tidak jarang kekuasaan-kekuasaan
menyelimuti pendidikan di dalam berbagai bentuknya. Kekuasaan tersebut dapat berwujud
objektif atau terang-terangan atau juga dapat berwujud subjektif atau secara tidak disadari
telah mengarahkan kegiatan-kegiatan pendidikan yang dikenal sebagai “hidden
curriculum”.
1
https://www.academia.edu/8145609/Kekuasaan_dan_Politik_di_Sekolah
1
BAB II
KEKUASAAN DAN POLITIK
A. Kekuasaan Pendidikan
Pengertian kekuasaan dalam pendidikan rupanya mempunyai konotasi yang berbeda
dengan pengertian kekuasaan sebagaimana yang kita lihat dari kehidupan sehari-hari.
Kekuasaan diperlukan untuk membimbing kegiatan-kegiatan setiap satuan menuju tujuan
tertentu. 2
Kekuasaan dalam pendidikan adalah bentuk kekuasaan yang transformative. Tujuannya
adalah dalam proses terjadinya hubungan kekuasaan tidak ada bentuk subordinasi antara
subjek dengan subjek yang lainnya. Kekuasaan yang transformative bahkan
membangkitkan refleksi, dan refleksi tersebut menimbulkan aksi orientasi yang terjadi
dalam aksi tersebut merupakan aksi orientasi yang advokatif.
Di dalam kekuasaan sebagai transmitif terjadi proses transmisi yang diinginkan oleh
subjek yang memegang kekuasaan terhadapat subjek yang terkena kekuasaan itu sendiri.
Orientasi kekuasaan disini bersifat orientasi kekuasaan legitimatif. Dengan demikian, yang
terjadi dalam proses pelaksanaan kekuasaan adalah suatu aksi dari subjek yang bersifat
robotic karena sekedar menerima atau dituangkan sesuatu ke dalam bejana subjek yang
bersangkutan. Inilah yang disebut oleh Paulo freire sebagai proses system banking
(banking system). Perbedaan selanjutnya dari orientasi advokatif dan orientasi legitimatif
ialah soal proses perubahan dari refleksi kepada aksi yang meminta waktu. Apalagi
apabila proses tersebut berkenaan dengan perubahan kelakuan manusia maka diperlukan
waktu yang cukup untuk beradaptasi dengan lingkungan yang berubah.
Sekarang kita lihat praksis pendidikan dilaksanakan berdasarkan kekuasaan seperti
yang telah dirumuskan sebelumnya. Ada empat masalah yang berkenaan erat dengan
pelaksanaan pendidikan berdasarkan kekuasaan : 1) Demostifikasi dan stupidifikasi
pendidikan; 2) Indoktrinasi; 3) Demokrasi dalam Pendidikan; 4) Integrasi social.
1. Proses Demostifikasi dan Stupidifikasi
Jika kita bayangkan suatu kelas dalam sekolah tradisional dengan berjalan aman
dan tertib. Suasana kelas yang penuh dengan disiplin itu biasanya menjadi contoh
dari keberhasilan suatu proses pendidikan. Semua proses pendidikan berjalan dengan
2
George R. Terry dan Leslie W. Rue. Dasar-dasar Manajemen. Jakarta : Bumi Aksara, 2019. Hlm. 89
2
lancar sesuai dengan petunjuk-petunjuk , baik yang digariskan oleh penguasa atau
yang telah di buat oleh lembaga pendidikan itu sendiri. Baik guru maupun peserta
didik mengikuti peraturan yang telah dirumuskan. Mempelajari buku pelajaran
memngikuti buku teks yang telah tersedia, melaksankan ujian-ujian dan penilaian-
penilaian dari kelas-kelas atau jenjang pendidikan yang sudah ditentukan.
Demikianlah seorang peserta didik melaju dari kelas ke kelas selanjutnya, dari
tingkatan sampai pada tingkatan yang paling tinggi. Inilah suasana belajar yang ideal
dalam suatu lembaga pendidikan yang ideal. Tetapi apakah yang terjadi dalam
suasana proses pendidikan yang terjadi tersebut? Teryata proses yang terjadi adalah
proses domestifikasi atau penjinakan, yaitu membunuh kreatifitas dan menjadikan
manusia atau peserta didik sebagai robot-robot yang sekedar menerima transmisi
nilai-nilai kebudayaan yang ada. Sebagaimana halnya dengan penjinakan binatang
yang semula merupakan binatang liar menjadi binatang yang tunduk pada perintah
tuannya, demikianlah praksis pendidikan di lembaga-lembaga pendidikan menjadi
tempat menjinakkan pribadi-pribadi agar patuh kepada kemauan tuannya. Proses
pendidikan menjadi proses domestifikasi anak manusia. Hasilnya ialah bukan
pembebasan tetapi pembodohan (stupidifikasi). Proses domestifikasi dalam
pendidikan disebut juga imperialism pendidikan dan kekuasaan. Artinya, peserta
didik menjadi subjek eksploitasi oleh suatu kekuasaan diluar pendidikan dan
menjadikan peserta didik sebagai budak-budak dan alat-alat dari penjajahan mental
oleh yang memiliki kekuasaan. Memang proses stupidifikasi ini kita lihat di dalam
praktik-praktik pendidikan colonial yang menghasilkan peserta didik sebagai
pegawai-pegawai untuk mencapai tujuan tujuan eksploitasi si penjajah terhadap
jajahannya.
Proses domestifikasi dalam pendidikan kita lihat juga dalam perlakuan yang salah
mengenai ijazah atau pemujaan ijazah. Ijazah menjadi alat ukur untuk naik pada
tangga social, terlepas apakah ijazah tersebut merupakan hasil jerih payah untuk
mengasah kemampuan diri. Dengan segala cara orang ingin mengapai ijazah, baik
diperoleh secara legal maupun illegal dengan jalan membeli. Ijazah telah menjadi
penyakit terutama di Negara-negara berkembang. Pandangan terhadap ijazah yang
keliru tersebut merupakan sisa-sisa masa colonial yang mencari legitimasi
kemampuan seseorang dari ijazah yang sifatnya diformalkan oleh pemerintah dan
bukan sebagai tanda yang menyatakan kemampuan seseorang. Dampak dari
pemujaan ijazah ini sangatlah luas antara lain dengan sikap seorang yang ingin
3
memperoleh ijazah atau lulus dari suatu tingkat sekolah tanpa melihat kualitas
kelulusannya itu. Memang benar proses demostifikasi ini menyebabkan suatu
kebodohan terhadap rakyat banyak. Dengan berbagai cara untuk mendapatkan ijazah
atau kearah yang tidak diketahui tingkat kualitasnya maka hasilnya ialah suatu
masyarakat yang diperbodohkan.
Proses pembodohan di lembaga-lembaga formal juga terlihat di dalam evaluasi
pendidikan. Pengaruh tes objektif merupakan suatu proses demostifikasi karena
tidak mengajak manusia berpikir tetapi menjadi manusia yang menghadapi
kehidupan sebagai menghadapi teka teki silang saja. Kemampuan analitis dan
mencari alternative yang terbaik dalam situasi yang dihadapi tentunya tidak dapat
dikembangkan melalui tes objektiv ini. Tes objektif tidak mengembangkan rasio
manusia bahkan melumpuhkan kemampuan berfikir manusia. Tes objektif se akan-
akan mengarah kepada epistemology mengenai kebenaran mutlak tanpa adanya
alternative.
2. Indoktrinasi
4
Menurut Apple, pengetahuan adalah suatu capital. Sebagaimana banyak orang
berjuang untuk mengumpulkan capital, maka demikian juga orang berjuang
mengumpulkan ilmu pengetahuan sebagai capital. Dan capital itu sumber dari
kekuasaan. Tidak heran apabila pemerintah mempunyai kepentingan untuk
menguasai pendidikan dan khsuusnya kurikulum. Melalui kurikulum inilah terjadi
proses indoktrinasi, yaitu proses untuk mengekalkan struktur kekuasaan yang ada.
Menguasai pendidikan berarti menguasai kurikulum.
3. Demokrasi
5
dari umat manusia. Apabila kita lihat sejarah dari lahirnya program wajib belajar
yang dimulai di Negara-negara industry pada abad 19 menunjukkan dengan jelas
bahwa belajar dalam pengertian penguasaan ilmu pengetahuan merupakan syarat
dari pembebasan seseorang di dalam mengambil keputusan dalam dunia pertanian
yang statis dan membuka sedikit kesempatan bagi perkembangan manusia.
4. Integrasi Sosial
Integrasi social teryata tidak dapat diciptakan dengan pemaksaan melalui
kekuasaan dari atas. Inilah makna dari desentralisasi dan otonomi. Baik otonomi
pendidikan ataupun pemerintah. Suatu pendidikan yang otoriter atau uniform akan
mematikan kemampuan untuk mengembangkan budaya local yang merupakan batu
bata penyusunan budaya nasional. Mengembangkan budaya local dan kemudian
dikembangkan ke tingkat nasional.untuk mengembangkan tingkat solidaritas
nasional.
6
Sedangkan politik pendidikan menurut Dale adalah relasi antara produksi tujuan-tujuan
dan bentuk-bentuk pencapainya. Fokusnya ada pada kekuatan yang
menggerakkan machinary, bagaimana dan dimana machinary tersebut diarahkan.
Konsentrasi kajian politik pendidikan bagi Dale ada pada peranan negara. Ia yakin dengan
melalui studi tentang politik pendidikan dapat menerangkan pola-pola, kebijakan, dan
proses pendidikan dalam masyarakat secara memadai, disamping memungkinkan kita
untuk mempertanyakan persoalan-persoalan diseputar asumsi, maksud
dan outcome berbagai strategi perubahan pendidikan.
Istilah politik pendidikan merupakan proses pembuatan keputusan-keputusan penting
dan mendasar dalam bidang pendidikan baik ditingkat lokal maupun nasional. Definisi ini
dikemukakan Kimbroug dengan meminjam pengertian politik yang disampaikan
Kammerer sebagai proses pembuatan keputusan-keputusan penting yang melibatkan
masyarakat luas. Kimbroug lalu menyatakan bahwa pendidikan publik bersifat politis.
Mereka yang terlibat dalam manajemen pendidikan publik adalah para politisi, manakala
mereka menuntut keputusan, harus melalui proses politik. Dari pernyataan Kimbrough ini
kita dapat menyatakan bahwa proyek-proyek penting dalam bidang pendidikan terkait
dengan konsep ekonomi, sistem sosial, keuangan, fungsi pemerintah, dan bisinis yang
kesemuanya melahirkan aktivitas politik dan bersifat partisan. Oleh sebab itu para
pimpinan lembaga pendidikan akan berhasil, jika memahami elemen-elemen penting dari
struktur kekuasaan dan menggunakan pengetahuan ini dalam melaksanakan politik
sekolah. Ketidaktahuan atas proses politik, pimpinan lembaga pendidikan akan mengalami
disinformasi tentang sejauhmana prsedur demokratis terlibat dalam pembuatan keputusan.
Para administrator pendidikan saatnya harus melihat aktor-aktor lain dalam sistem
pengambilan keputusan. Pada konteks berfikir seperti inilah wawasan tentang politik
pendidikan penting bagi siapapun yang konsern dengan persoalan pendidikan.
Berdasarkan pemikiran yang telah disampaikan di atas politik pendidikan, dapat
dimaknai sebagai penggunaan kekuasaan untuk mendesakkan kebijakan pendidikan.
Sifatnya, bisa keras dan bisa lunak. Politik pendidikan dikategorikan keras apabila
melibatkan kekuatan (fisik) untuk mendesakkan implementasi kebijakan tertentu.
Sebaliknya, politik pendidikan lunak menekankan implementasi kekuasaan secara halus
(subtle) lewat strategi taktis. Aksi pemogokan guru, unjuk rasa para guru, merupakan
wujud politik pendidikan yang keras. Dalam aksi itu, para pendidikan mengolah potensi
kekuasaan kolektif—mogok—untuk menghasilkan kekuatan nyata guna memengaruhi
tatanan keseharian masyarakat (menghentikan kegiatan belajar-mengajar). Strategi politik
7
seperti itu digunakan untuk melawan politik ”lunak” pemerintah terkait anggaran
pendidikan dan tunjangan kesejahteraan guru dan sebagainya. Sementara upaya yang
dilakukan oleh kalangan Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia dengan jalan memberi
masukan kepada pemerintah tentang kebijakan pendidikan merupakan bagian dari strategi
politik lunak. Pencantuman pasal tentang besaran anggaran pendidikan yang harus
dilaksanakan pemerintah dan pemerintah daerah dalam UUD 1945 merupakan
keberhasilan dalam menjalankan strategi lunak para pendidik.
Kalangan pendidik saatnya mencoba menyelami dunia politik. Maksudnya, masyarakat
pendidikan harus aktif mempengaruhi para pengambil keputusan di bidang pendidikan.
Dengan begitu kaum pendidik tidak lagi terkungkung dalam dunianya, melainkan
memiliki ruang gerak yang lebih leluasa dan signifikan. Jangan sampai ada apriori
berlebihan yang menganggap politik itu selalu bermuka dua dan berkubang kemunafikan,
sehingga dengan mempolitikkan pendidikan berarti melakukan perbuatan tercela. Paling
tidak kaum pendidik harus berani memberikan pencerahan kepada para politisi
bahwasanya pendidikan itu bersifat antisipatoris dan prepatoris, yaitu selalu mengacu ke
masa depan dan selalu mempersiapkan generasi muda untuk menghadapi kehidupan
mendatang. Kalau kemudian ada kesan bahwa pendidikan tak dapat berbuat apa-apa saat
ini, harus dimaklumi namun ke depan, ia akan punya andil yang sangat besar dalam
membentuk tata kehidupan ekonomi dan politik.
Inilah yang disebut dengan keberanian kaum pendidik meluruskan arah pemikiran
politisi tentang pendidikan sudah barang tentu merupakan terobosan besar, yang pada
saatnya nanti diharapkan akan mampu melahirkan suatu budaya politik baru, budaya
politik yang akan mendorong pelaku politik kita bertindak jujur dan cerdas, atau paling
tidak bersedia meredusir unsur-unsur hedonistis dan mengoptimalkan watak humanistik-
patriotik. Inilah alasan belakangan disebut sebagai pendidikan politik.3
3
Elly M. Setiadi dan Usman Kolip, Pengantar Sosiologi Pemahaman Fakta dan Gejala Permasalahan Sosial:
Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), hlm.361
8
membuktikan secara singkat sebagai agen sosial politik. Eliot mendemonstrasikan aspek-
aspek politik di tingkat lokal. Ia mengatakan bahwa suka atau tidak suka, para pengelola
sekolah terlibat dalam politik, karena sekolah-sekolah lokal adalah unit-unit pemerintahan.
Eliot menegaskan bahwa politik mencakup pembuatan keputusan-keputusan pemerintah,
dan upaya atau perjuangan untuk mendapatkan atau mempertahankan kekuasaan untuk
membuat keputusan-keputusan tersebut. Sekolah-sekolah publik adalah bagian dari
pemerintah. Maka dari itu lembaga ini merupakan entitas politik.
Dari pendekatan yang dikemukakan Eliot dan Easton, kita dapat menyelami nilai
manfaat kajian politik pendidikan. Tugas utama kajian ini mengungkapkan cara-cara yang
digunakan kelompok-kelompok kependidikan dalam upaya mereka untuk menciptakan
lingkungan kondusif bagi pertumbuhan dan perkembangan mereka dan untuk
memaksimalkan alokasi dana pemerintah untuk mereka. Dalam kaitan ini, maka studi
politik pendidikan mengungkapkan cara-cara yang ditempuh pemerintah dalam
menggunakan pendidikan sebagai alat untuk memperkuat posisinya dan menutup peran-
peran aktivitas subversif terhadapnya. Contohnya, bagaimana rezim otoriter memperkuat
posisinya dengan ketat mengontrol pendidikan dan bagaimana semua rezim menggunakan
pendidikan memperkuat sentimen kebangsaan dalam rangka memaksimalkan kekuasaan
negara. Pertanyaanya adalah bagaimana hal itu dilakukan? Tentu dalam hal dimana
institusi pendidikan memiliki ketergantungan terhadap rejim berkuasa (pemerintah).
Sekolah-sekolah dan Perguruan Tingi memiliki kepentingan yang sangat tinggi pada
pemerintah, terutama dalam hal akses pendanaan, penempatan lulusan dan sebagainya.
Sekolah dan Perguruan Tingi tentu tidak bisa berjalan sendiri, tanpa input dari pemerintah,
dan dalam konteks itulah maka pemerintah yang dipimpin oleh rezim berkuasa memiliki
ikatan bersama dengan lembaga-lembaga pendidikan. Dengan begitu, pendidikan menjadi
alat yang dapat dimanfaatkan untuk mengungkap persaingan kekuasaan baik secara
internal maupun eksternal. Diantara berbagai institusi dan praktek yang secara signifikan
mempengaruhi stabilitas dan transformasi sistem politik adalah pendidikan.
Melalui pendekatan filosofis, fungsi politik dalam pendidikan mengungkap jenis-jenis
penyelenggaraan pendidikan, pengembagan kurikulum maupun pengembangan organisasi,
dalam rangka menanamkan konsep-konsep filosofis tentang masyarakat politik yang baik
atau tatanan sosial yang baik. Berkenaan dengan fungsi ini, maka Easton kemudian
mengajukan pertanyaan, apa peran yang harus dimainkan oleh pendidikan dalam rangka
membangun warga negara yang baik? Kajian tentang hal ini telah banyak dijawab dalam
beberapa karya Reisner (1992), McCully (1959), Talmon (1952), dan Cobban (1938). Dari
9
mereka para pendidik mendapatkan pernyataan bahwa sekolah atau lembaga-lembaga
pendidikan mempersiapkan generasi muda untuk menjadi warga negara yang aktif. Para
insan pendidikan telah memusatkan tugas-tugas mereka pada pengembangan program-
program pelatihan kewarganegaraan dengan mempromosikan kesetiaan kepada gagasan
pemerintahan demokrasi.
Dale dan Apple, (1989) melihat fungsi politik pendidikan dari sudut pandang relasi
negara dan pendidikan. Keduanya menemukan bahwa sekolah menjadi salah satu objek
politik modern dimana kita dapat menyaksikan bagaimana kesadaran (consent) dan
hegemoni tertentu terbangun dan mengalami kehancuran.Perubahan kurikulum disetiap
periodesasi kepemimpinan di departemen pendidikan nasional adalah salah satu bukti
tentang kesadaran hegemoni terbangun dan hancur.
Berbagai persoalan yang muncul belakangan dalam dunia pendidikan seperti unjuk rasa
para guru, mahasiswa, depat publik tentang isu-isu pendidikan, terutama alokasi anggaran
pendidikan dalam APBN dan APBD, otonomi lembaga pendidikan, tidak hanya
membutuhkan pemahaman superficial tentang konteks politik dimana sekolah
diselenggarakan, tetapi juga membutuhkan pemahaman tentang proses-proses yang
menghasilkan berbagai keputusan mendasar tentang pendidikan disemua jenjang
administratif. Disinilah fungsi politik pendidikan menjadi sangat diperlukan.4
Kebijakan pendidikan harus memiliki tujuan, namun lebih khusus, bahwa ia harus
memiliki tujuan pendidikan yang jelas dan terarah untuk memberikan kontribusi pada
pendidikan.
4
https://ilmucerdaspendidikan.wordpress.com/2011/03/25/130/
5
http://samplingkuliah.blogspot.com/2017/04/power-and-politics-in-school.html
10
konstitusional sesuai dengan hirarki konstitusi yang berlaku di sebuah wilayah hingga
ia dapat dinyatakan sah dan resmi.
Kebijakan pendidikan sebagai sebuah panduan yang bersifat umum, tentunya harus
mempunyai manfaat operasional agar dapat diimplementasikan dan ini adalah sebuah
keharusan untuk memperjelas pencapaian tujuan pendidikan yang ingin dicapai.
Apalagi kebutuhan akan kebijakan pendidikan adalah fungsi pendukung pengambilan
keputusan.
Kebijakan pendidikan itu harus dibuat oleh para ahli di bidangnya yang memiliki
kewenangan untuk itu, sehingga tak sampai menimbulkan kerusakan pada pendidikan
dan lingkungan di luar pendidikan. Para administrator pendidikan, pengelola lembaga
pendidikan dan para politisi yang berkaitan langsung dengan pendidikan adalah unsur
minimal pembuat kebijakan pendidikan.
5. Dapat dievaluasi
Kebijakan pendidikan itu pun tentunya tak luput dari keadaan yang sesungguhnya
untuk ditindaklanjuti. Jika baik, maka dipertahankan atau dikembangkan, sedangkan
jika mengandung kesalahan, maka harus bisa diperbaiki. Sehingga, kebijakan
pendidikan memiliki karakter dapat memungkinkan adanya evaluasi terhadapnya secara
mudah dan efektif.
6. Memiliki sistematika
11
tidak menimbulkan kecacatan hukum secara internal. Kemudian, secara eksternal pun
kebijakan pendidikan harus bersepadu dengan kebijakan lainnya; kebijakan politik;
kebijakan moneter; bahkan kebijakan pendidikan di atasnya atau disamping dan
dibawahnya.
12
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
politik pendidikan merupakan proses pembuatan keputusan-keputusan penting dan
mendasar dalam bidang pendidikan baik ditingkat lokal maupun nasional. Definisi ini
dikemukakan Kimbroug dengan meminjam pengertian politik yang disampaikan
Kammerer sebagai proses pembuatan keputusan-keputusan penting yang melibatkan
masyarakat luas.
Dale dan Apple, (1989) melihat fungsi politik pendidikan dari sudut pandang relasi
negara dan pendidikan. Keduanya menemukan bahwa sekolah menjadi salah satu objek
politik modern dimana kita dapat menyaksikan bagaimana kesadaran (consent) dan
hegemoni tertentu terbangun dan mengalami kehancuran.Perubahan kurikulum disetiap
periodesasi kepemimpinan di departemen pendidikan nasional adalah salah satu bukti
tentang kesadaran hegemoni terbangun dan hancur.
Maka dari itu proses pendidikan yang sebenarnya adalah proses pembebasan dengan
jalan memberikan kepada peserta didik suatu kesadaran akan kemampuan kemandirian
atau memberikan kekuasaan kepadanya untuk menjadi individu.
13
DAFTAR PUSTAKA
https://ilmucerdaspendidikan.wordpress.com/2011/03/25/130/
http://samplingkuliah.blogspot.com/2017/04/power-and-politics-in-school.html
https://www.academia.edu/8145609/Kekuasaan_dan_Politik_di_Sekolah
R. Terry George dan W Rue Leslie. Dasar-dasar manajemen. 2019. Bumi
Aksara. Jakarta
Setiadi Elly M.dan Kolip Usman. Pengantar Sosiologi Pemahaman Fakta dan
Gejala Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya. 2011.Kencana Prenada
Media Group. Jakarta.
14