Dalam hubungan ini, dikatakan oleh David Easton bahwa legitimasi/keabsahan adalah
“keyakinan dari pihak anggota masyarakat bahwa sudah wajar baginya untuk menerima baik dan
mentaati penguasa dan memenuhu tuntutan –tuntutan dari rezim itu.
“The conviction on the part of the member that it is right and proper for him to accept and obey
the authorities and to abide by the requirement of the regime”.
Dilihat dari sudut penguasa, menurut A.M.Lipset, ”Legitimacy includes the capacity to produce
and maintain a belief, that the existing political institutions of froms are the most appropiate for
the society”. Legitimasi mencakup kemampuan untuk membentuk dan mempertahan
kepercayaan bahwa lembaga-lembaga atau bentuk-bentuk politik yang ada adalah yang paling
wajar untuk masyarakat itu.
Dengan adanya legitimasi yang dimiliki oleh seorang pemimpin dapat menimbulkan kestabilan
politik dan memungkinkan terjadinya perubahan sosial dan membuka kesempatan yang semakin
besar bagi pemerintah untuk tidak hanya memperluas bidang-bidang kesejahteraan yang hendak
ditangani, tetapi juga untuk meningkatkan kualitas kesejahteraan. Seperti halnya konsep
kekuasaan dan kewenangan, legitimasi juga merupakan konsep yang menimbulkan hubungan
antara pemimpin dan yang dipimpin. Legitimasi dapat diartikan dalam arti luas dan arti sempit,
dalam arti luas adalah dukungan masyarakat terhadap sistem politik, sedangkan dalam arti sempit
merupakan dukungan masyarakat terhadap pemerintah yang berwenang. Antara kekuasaan
normatif dan kualitas pribadi berkaitan erat dengan legitimasi.
Legitimasi juga merupakan suatu tindakan perbuatan hukum yang berlaku, atau peraturan yang
ada, baik peraturan hukum formal, etnis, adat-istiadat, maupun hukum kemasyarakatan yang sudah
lama tercipta secara sah. Jadi, dalam legitimasi kekuasaan, bila seorang pemimpin menduduki
jabatan dan memiliki kekuasaan secara legitimasi (legitimate power) adalah bila yang
bersangkutan dianggap absah memangku jabatannya dan menjalankan kekuasaannya.
Adapun cara-cara yang digunakan untuk mendapatkan dan mempertahankan legitimasi dapat
dikelompokkan menjadi tiga yaitu:
1. Simbolis yaitu dengan cara menumbuhkan kepercayaan terhadap masyarakat dalam bentuk
simbol-simbol seperti kepribadian yang baik, menjunjung tinggi nilai- budaya dan tradisi.
2. Prosedural yaitu menjanjikan kesejahteraan materiil kepada rakyat, seperti fasilitas
pendidikan dan kesehatan lebih baik, kesempatan kerja lebih besar, dan menjamin
tersedianya pangan yang dibutuhkan rakyat.
3. Materiil yaitu dengan cara mengadakan pemilihan umum untuk menentukan para wakil
rakyat, perdana menteri, presiden, dan sebagainya. Para anggota lembaga tinggi negara
atau referendum untuk mengesahkan suatu kebijakan umum. [3]
Berdasarkan prinsip pengakuan dan dukungan masyarakat terhadap pemerintah maka legitimasi
dikelompokkan menjadi lima tipe yaitu:
Dalam kehidupan nyata biasanya para pemimpin pemerintahan tidak hanya menggunakan satu
tipe, tetapi juga mengkombinasikan dari dua tipe atau lebih sesuai dengan struktur dan tingkat
perkembangan masyarakatnya.
Dewasa ini wacana politik membagi tegas antara sektor publik (yang diwakili negara) dengan
sektor privat/swasta (yang diwakili kekuatan pasar). Di dalam negara kapitalis (di mana
mekanisme pasar berfungsi dengan baik) tampak bahwa mekanisme sosial-ekonomi
didominasi inisiatif sektor privat sebagai kekuatan yang paling dominan. Sementara itu, negara
(selaku sektor publik) berperan hanya sebatas memformulasi kebijakan yang diupayakan untuk
mampu menciptakan situasi yang kondusif bagi perkembangan sektor swasta, watch-dog state.
Dalam jangka panjang situasi semacam ini akan makin memperkuat hegemoni kaum borjuis
yang makin mendominasi konstruksi sistem ekonomi. Begitu kuatnya hegemoni kaum borjuis
ini hingga pada suatu saat negara akan kehilangan kekuatan kontrolnya.
Kedua, struktur kelas menjadi makin terpolitisasi, sehingga membuat negara semakin rentan
terhadap konflik kelas. Dalam sistem ekonomi kapitalis yang penuh dengan kompetisi, pihak
yang kuat menjadi semakin kuat dan yang lemah menjadi semakin lemah (dan bahkan hancur),
natural selection akibat ketiadaan kemampuan dalam survival of the fittest dalam istilah
Darwinisme-Sosial.
Akibatnya, struktur kelas akan mengalami proses politisasi yang luar biasa dahsyatnya
sehingga meningkatkan potensi terjadinya konflik kelas. Dalam situasi tertentu, di mana
tingkat eksploitasi antarkelas makin meningkat, kaum marjinal berpotensi untuk menyulut api
revolusi sosial menjungkirbalikkan segala tatanan sosial-politik yang ada. Kegagalan negara
untuk mengantisipasi revolusi sosial merupakan awal dari ketidakstabilan dan munculnya
berbagai konflik dengan kekerasan di dalam masyarakat.
Ketiga, negara makin kehilangan basis legitimasinya. Pertanyaan paling mendasar bagi negara
kapitalis yang mengalami politisasi struktur kelas(nya), adalah: mampukah negara
mempertahankan basis legitimasinya untuk menciptakan stabilitas sosial-politik?
Jawaban Habermas terhadap pertanyaan tersebut dapat dikatakan sangat pesimistis. Dia
meragukan bahwa dasar legitimasi negara masih kompatibel terhadap berbagai struktur sosial-
politik kapitalis kontemporer yang berubah secara cepat. Sekurang-kurangnya ada dua macam
krisis legitimasi yang sedang dialami negara, menurut Habermas lebih lanjut, pertama, akibat
makin dominannya peran sektor privat dalam proses akumulasi modal, maka negara tidak lagi
dapat mengklaim sebagai satu-satunya penjamin kesejahteraan masyarakat (welfare-state
making). Kedua, karena negara tidak mampu melindungi kaum tertindas dari proses
eksploitasi, dia tidak lagi dapat mengklaim sebagai agen distribusi sosial berdasarkan prinsip
keadilan dan pemerataan.
Sejalan dengan pemikiran Habermas, James O'Connor dalam bukunya the Fiscal Crisis of the
State (1973), menyatakan bahwa negara yang tengah mengalami sekaligus menghadapi krisis
legitimasi, sering kali disebabkan tiga premis di bawah ini, yakni: pertama, negara
mengandung unsur kontradiksi. Dengan merujuk pada pemikiran Karl Marx, O'Connor
menyatakan bahwa negara kapitalistik pada dasarnya mengemban dua macam fungsi yang
paling berlawanan, yakni 'akumulasi' dan 'legitimasi'.
Artinya, negara harus senantiasa menciptakan dan memelihara suasana kondusif bagi
akumulasi modal. Di lain pihak, negara juga dituntut untuk menciptakan dan memelihara
suasana tertib-politik demi terciptanya harmonisasi sosial. Sebuah negara kapitalistik yang
menggunakan segala cara untuk membantu kelas tertentu dalam mengakumulasi modal (yang
menyebabkan kerugian bagi kelas lainnya) dapat kehilangan legitimasinya, yang pada
gilirannya merusak loyalitas dan dukungan masyarakat kepadanya. Di lain pihak, jika negara
tersebut mengabaikan tugasnya untuk membantu proses akumulasi modal, dia akan kehilangan
sumber-sumber pendapatan yang dapat juga menghancurkan eksistensinya. Kontradiksi inilah
yang dapat memicu instabilitas dan konflik sosial.
Premis kedua, posisi negara yang ambigu. Negara kapitalistik pada umumnya mengemban dua
macam tugas: (1) menyediakan social capital (terselip di dalamnya modal-sosial) dan (2)
menyediakan social expenses (pengeluaran sosial). Modal sosial ialah berbagai pengeluaran
yang harus dialokasikan dalam rangka akumulasi modal, sedangkan pengeluaran sosial ialah
berbagai pengeluaran yang harus dialokasikan negara untuk menciptakan harmonisasi sosial
dalam rangka mendongkrak legitimasi negara.
Ketika aktivitas sosial menjadi semakin kompleks, semakin sulit juga bagi negara untuk
membedakan hal-hal mana yang termasuk modal sosial dan mana yang termasuk pengeluaran
sosial. Akibatnya, jika negara tanpa sadar terperangkap pada salah satu tugas, dengan tidak
memerhatikan tugas yang lainnya, maka ketidakpuasan publik akan timbul dan bukan mustahil
diikuti berbagai konflik kepentingan.
Premis ketiga, problematika negara sebagai pemegang monopoli kapital. Menurut O'Connor
lebih lanjut, ia meragukan pertumbuhan sektor negara sejalan dengan pertumbuhan akumulasi
modal: makin besar ukuran suatu negara, makin besar pula proses akumulasi modal yang
terjadi di negara tersebut.
Dia lebih melihat proses akumulasi modal dalam suatu negara berkarakter kontradiktif.
Kewajiban negara untuk mempertahankan legitimasinya dengan cara melakukan berbagai
pengeluaran sosial dalam jangka panjang dapat menciptakan sebuah krisis fiskal, yakni
pendapatan negara yang dapat mencukupi kebutuhannya. Makin besar kebutuhan suatu negara
untuk mempertahankan legitimasinya, makin besar pula dana yang dibutuhkan untuk
menciptakan harmonisasi sosial. Sehingga, ketika negara tidak mampu lagi meningkatkan
pendapatannya, maka berbagai gerakan yang dipelopori rakyat kelas bawah (pengusaha kecil,
pegawai rendahan, buruh, kaum marginal, dll.) dapat muncul ke permukaan menyebarkan
berbagai konflik sosial.
Berbagai krisis yang dihadapi negara pada gilirannya dapat menciptakan instabilitas sosial-
politik berkepanjangan. Dalam keadaan seperti itu, konflik kepentingan dengan disertai
kekerasan sering kali muncul sebagai cara pemecahan persoalan. Ketika negara menghadapi
berbagai krisis legitimasi, kelompok-kelompok antinegara akan bangkit menentang eksistensi
negara dengan mengungkit-ungkit berbagai inkonsistensi, kontradiksi, dan bahkan kegagalan
fungsi yang ada.
Krisis legitimasi kepemerintahan lokal dalam proses menuju demokratisnya Indonesia melalui
pemilihan kepala daerah secara langsung, jangan sampai terjadi oleh sebab-sebab yang
dihipotesiskan/dipremiskan
4. Apakah demokrasi demokrasi pada kondisi muda saat ini dapat diterapkan?
Jawab :
Demokrasi sebagai sebuah sistem politik yang diterapkan di Indonesia menjadi topik
tersendiri yang dibahas di berbagai kalangan, baik masyarakat, politisi dan anak muda. Anak
muda menjadi salah satu kalangan yang menjadi sasaran demokrasi, dan peran anak muda
sangat penting karena anak muda merupakan generasi penerus bangsa.Seharusnya
demokrasi dapat diterapkan karena dari demokrasi tersebut seharusnya dapat memecahkan
masalah yang ada namun jika di indonesia Keterlibatan kaum muda berpolitik biasanya
dipandang sebelah mata. Kaum tua menilai pemuda belum banyak pengalaman, belum
mapan secara ekonomi, dan masih dalam pencarian jati diri sehingga labil. Pandangan
sebelah mata ini menyertakan gambaran politik yang amat kompleks, tak jelas, bahkan
cenderung buruk, sehingga pemuda tak akan mampu aktif berpolitik.