NIM/Kelas : 21.3670/6A Mata Kuliah : Etika II Dosen Pengampu : Pdt. Mixon A. Simarmata M.Th
Etika dalam Tatanan Politik Negara
1. Nilai dan Prinsip Etika Politik dalam Konteks Masyarakat Indonesia
- Politik Keadilan dan Kebaikan: yaitu susunanan masyarakat yang adil dan negara yang melakukan fungsinya apabi;a orang-orang yang mengaturnya memiliki pengetahuan dan kemmapuan dan semua hal untuk kepentingan bersama. Adanya supremasi hukum yang mengatur/mengorganisasikan rakyat dan mengedukati rakyat dengan keputusan bersama. Politik di Indonesia mempertimbangkan pemisahan kekuasaan berlandaskan Trias Politika agar semua lembaga dapat melaksanakan tugasnya dengan baik.1 - Politik Perjanjian dan Kekerasan: penguasa tidak melanggar perjanjian dengan rakyat dan negara serta condong pada strategi politik dengan meminta pengertian semua orang apabila penguasa melakukan pelanggaran terhadap prinsip-prinsip universal, kemanusiaan, persahabatan bahkan agama, untuk mempertahankan negara.2 - Pembagian Kekuasaan dan Tertib Hukum: dimana di Indonesia dibagi 3 kekuasaan yang disebut Trias Politica yaitu kekuasaan legislatif sebagai pembuat undang-undang, kekuasaan eksekutif yang menjalankan roda pemerintahan sehari-hari terutama hal administrative dan pelaksanaan keputusan-keputusan, dan kekuasaan yudikatif yaitu badan peradilan yang melakukan pengawasan terhadap penguasa atau aparatur negara.3 - Kebijakan Politik untuk Peningkatan Kesejahteraan: di Indonesia politik etis menjadi sumber dukungan kepada rakyat dalam peningkatan taraf hidup baik dalam bidang sosial, dan ekonomi. Tujuan utamanya adalah peningkatan kesejahteraan material rakyat, peningkatan pendidikan, kekuatan militer, kualiatas hidup, pemantapan tata sosial dan persatuan.4
2. Kelahiran dan Bentuk negara
1 Saut Hamonangan Sirait, Politik Kristen Indonesia, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011), 46-55. 2 Sirait, Politik Kristen Indonesia, 56-62. 3 Sirait, Politik Kristen Indonesia, 63-65. 4 Elsbeth Locher-Scholten, Etika yang Berkeping-keping, (Jakarta: Djambatan, 1996), 250-256. Menurut Aristoteles, ada 3 bentuk negara yang masing-masing memiliki kemungkinan perubahan bentuk, baik ke arah yang positif maupun ke arah negatif,5 yaitu:
a. One man rule aiming at the common good – Kingship
Bentuk ini dapat menjadi tirani, ketika penguasa hanya dikuasai nafsu kekuasaan dan pemuasan terhadap nafsunya saja. Kingship cenderung mengarah pada sistem monarki dimana pada diri penguasa menggumpal supremasi kekuasaan dan kewenangan dalam embuatan undang-undang (perkataan raja adalah hukum), pengaturan administrasi dan kekuasaan pengadilan karena ia sangat berkuasa mutlak (absolutist monarchy). b. Rule of more than man but only a few – Aristocracy Aristokrasi akan berubah menjadi oligarki ketika penguasa muulai mementingkan diri dan berubah lalim (despot). Prinsip yang mendasari aristokrasi adalah kesadaran tentang adanya kecakapan yang berbeda dan keyakinannya bahwa tidak semua orang dapat memerintah. Berangkat dari pemahaman itu, proses yang terjadi pada suatu negara tidak akan tergantung pada sistem, tetapi pada kecakapan, kejujuran, kapasitas atau kemampuan padı pemimpin. Dengan demikian, aristokrasi sangat percaya dan menggantungkan diri pada figur dan bukan pada sistem. c. Rule exercised by bulk of the citizen for good of the whole community – Polity Polity akan bergerak ke arah demokrasi, berhubung di dalam polity itu partisipasi politik rakyat (citizens) sudah cukup kuat memainkan peranan. Demokrasi bermakna pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Penekanan utama dalam demokrasi adalah persetujuan dari rakyat. Prinsip lain yang mendasar dalam demikrasi adalah pengakuan terhadap kesetaraan (equality).