Anda di halaman 1dari 7

Legitimasi Kebijakan Pendidikan

BAB II

PEMBAHASAN

1. A. Definisi Legitimasi Kebijakan Pendidikan

Legitimasi adalah prinsip yang menunjukkan penerimaan keputusan pemimpin pemerintah dan
pejabat oleh (sebagian besar) publik atas dasar bahwa perolehan para pemimpin ‘dan pelaksanaan
kekuasaan telah sesuai dengan prosedur yang berlaku pada masyarakat umum dan nilai-nilai politik
atau moral. Legitimasi mungkin akan diberikan kepada pemegang kekuasaan dalam berbagai cara
dalam masyarakat yang berbeda, biasanya melibatkan ritual formal serius yang bersifat religius atau
non-religius, misalnya kelahiran kerajaan dan penobatan di monarki, pemilihan umum dan

“sumpah” dalam demokrasi dan seterusnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Gray bahwa legitimasi
merupakan sistem pengelolaan perusahaan yang berorientasi pada keberpihakan masyarakat
(society),pemerintah individu dan kelompok masyarakat

Legitimasi dianggap penting bagi pemimpin pemerintahan, karena para pemimpin pemerintahan dari
setiap sistem politik berupaya keras untuk mendapatkan atau mempertahankannya. Dengan adanya
legitimasi yang dimiliki oleh seorang pemimpin dapat menimbulkan kestabilan politik dan
memungkinkan terjadinya perubahan sosial dan membuka kesempatan yang semakin besar bagi
pemerintah untuk tidak hanya memperluas bidang-bidang kesejahteraan yang hendak ditangani,
tetapi juga untuk meningkatkan kualitas kesejahteraan.

Legitimasi juga merupakan konsep yang menimbulkan hubungan antara pemimpin dan yang
dipimpin. Legitimasi dapat diartikan dalam arti luas dan arti sempit, dalam arti luas adalah dukungan
masyarakat terhadap sistem politik, sedangkan dalam arti sempit merupakan dukungan masyarakat
terhadap pemerintah yang berwenang. Antara kekuasaan normatif dan kualitas pribadi berkaitan
erat dengan legitimasi. Legitimasi juga merupakan suatu tindakan perbuatan hukum yang berlaku,
atau peraturan yang ada, baik peraturan hukum formal, etnis, adat-istiadat, maupun hukum
kemasyarakatan yang sudah lama tercipta secara sah. Jadi, dalam legitimasi kekuasaan, bila seorang
pemimpin menduduki jabatan dan memiliki kekuasaan secara legitimasi (legitimate power) adalah
bila yang bersangkutan dianggap absah memangku jabatannya dan menjalankan kekuasaannya.

Kebijakan pendidikan dapat dikategorikan sebagai kebijakan publik di bidang pendidikan yang
ditujukan untuk mencapai tujuan pembangunan negara dan bangsa di bidang pendidikan. Kebijakan
pendidikan pada hakikatnya berupa keputusan yang subtansinya adalah tujuan, prinsip dan aturan-
aturan. Format kebijakan biasanya dicatat dan dituliskan untuk dipedomani oleh pimpinan, staf dan
personel organisasi, serta interaksinya dengan lingkungan eksternal. Wujud dari kebijakan pendidikan
ini biasanya berupa undang-undang pendidikan, intruksi, peraturan pemerintah, keputusan
pengadilan, peraturan menteri, dan sebagainya menyangkut pendidikan. Pelaksanaan kebijaksanaan
itu bertujuan menumbuhkan manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya
sendiri serta bersama bertanggung jawab atas pembangunan bangsa.
1. B. Alasan-Alasan Perlunya Legitimasi

Tujuan legitimasi adalah untuk memberikan otorisasi pada proses dasar pemerintahan. Jika tindakan
legitimasi dalam suatu masyarakat diatur oleh kedaulatan rakyat, warga negara akan mengikuti
arahan pemerintah. Legitimasi dilakukan diantara kegiatan perumusan dan pelaksanaan
kebijaksanaan. Sebelum kebijaksanaan pendidikan yang telah disusun dalam proses perumusan
dilaksanakan, terlebih dulu dilegitimasikan. Hal tersebut dikarenakan hasil rumusan-rumusan
kebijaksanaan tersebut perlu mendapatkan pengakuan dari masyarakat. Dan, pengakuan tersebut
dilakukan oleh masyarakat lazimnya melalui lembaga-lembaga perwakilan masyarakat. Pengakuan
dari masyarakat sangat penting mengingat suatu pelaksanaan kebijaksanaan pendidikan pastilah
melibatkan masyarakat dari berbagai kalangan. Semakin banyak masyarakat yang berpartisipasi
secara aktif dalam pelaksanaannya, maka kebijaksanaan tersebut dinilai semakin sukses.

Bentuk pengakuan masyarakat atas kebijaksanaan, antara lain melalui pengabsahan. Pengabsahan
adalah suatu proses di mana kebijaksanaan-kebijaksanaan pendidikan yang telah dirumuskan
tersebut diabsahkan. Dengan demikian, setelah rumusan kebijaksanaan tersebut absah, berarti
kebijaksanaan tersebut dinyatakan dapat diberlakukan. Otorisasi kebijaksanaan pendidikan adalah
bentuk lain dari legitimasi. Sedangkan yang dimaksud dengan otorisasi adalah memberikan
kewenangan untuk memberlakukan kebijaksanaan. Dari otorisasi atau kewenangan inilah maka
muncul tanggung jawab untuk melaksanakan. Dengan demikian, mereka yang diberi kewenangan
untuk melaksanakan tersebut, sekaligus juga dimintai pertanggungjawaban atas hasil pelaksanaan
kewenangannya.

Manfaat dari legitimasi antara lain:

1. Menciptakan stabilitas politik dan perubahan sosial.

2. Mengatasi masalah lebih cepat.

3. Mengurangi penggunaan saran kekerasan fisik.

4. Memperluas bidang kesejahteraan atau meningkatkan kualitas kesejahteraan.

1. C. Batasan Legitimasi Kebijakan Pendidikan

Legitimasi berasal dari kata legitimacy yang berarti: memberi kuasa atau kewenangan (otorisasi)
pada dasar bekerjanya sistem politik, termasuk proses penyusunan perencanaan, usul untuk
memecahkan problema-problema yang timbul di masyarakat. Menurut Silalahi dalam Ali Imron
(Kebijaksanaan Pendidikan di Indonesia, 2002:53). Legitimasi juga berasal dari kata legitimation yang
berarti: suatu proses spesifik dimana program-program pemerintah diotorisasikan atau diabsahkan.

Legitimasi mengandung dua makna, yang pertama menyangkut pemberian kewenangan untuk
memberikan usulan atas suatu kegiatan (legitimacy) dan yang kedua menyangkut pemberian
kewenangan untuk melaksanakan program-program yang diusulkan (legitimation). Oleh
karena legitimacy memberikan kewenangan untuk usul, dan legitimation memberikan kewenangan
untuk melaksanakan, maka legitimacy dilakukan terlebih dahulu dan baru kemudian legitimation.
Dalam konteks ini legitimasi berperan untuk memberi pengakuan bahwa setiap kebijakan yang
diputuskan nantinya adalah yang terbaik untuk kepentingan masyarakat di mana kebijakan itu
disahkan.

Kadar Legitimasi

a. Pra legitimasi, ada dalam pemerintahan yang baru terbentuk yang meyakini memiliki kewenangan
tapi sebagian kelompok masyarakat belum mengakuinya

b. Berlegitimasi, yaitu ketika pemerintah bisa meyakinkan masyarakat dan masyarakat menerima
dan mengakuinya.

c. Tak berlegitimasi, ketika pemimpin atau pemerintah gagal mendapat pengakuan dari masyarakat
tapi pemimpin tersebut menolak untuk mengundurkan diri, akhirnya muncul tak berlegitimasi. Untuk
mempertahankan kewenangannya biasanya digunakan cara-cara kekerasan.

d. Pasca legitimasi, yaitu ketika dasar legitimasi sudah berubah.

1. D. Proses Legitimasi Kebijakan Pendidikan

Setelah kebijakan berhasil diformulasikan, sebelum diterapkan pada masyarakat, kebijakan tersebut
haruslah memperoleh legitimasi (pengesahan) atau kekuatan hukum yang mengatur penerapan
(implementasi) kebijakan pada masyarakat. Legitimasi sangat penting karena akan membawa
pengaruh terhadap masyarakat banyak, baik yang menguntungkan bagi sebagian masyarakat
maupun yang membawa dampak yang merugikan kelompok lain. Selain itu setiap kebijakan juga
membawa implikasi terhadap anggaran yang harus dikeluarkan pemerintah. Pada umumnya
wewenang melakukan legitimasi dimiliki oleh pemerintah atau badan legislatif. Namun kalau dikaji
lebih mendalam, bahwa proses legitimasi tersebut tidak dapat dipisahkan dari hubungan antara
negara dan rakyat sebagai sumber legitimasi yang paling utama, sebab ukuran legitimasi yang dimiliki
oleh pemerintah sangat tergantung pada tersedianya dukungan bagi pemerintah dan apa yang ingin
diperoleh dari masyarakat.

Adapun cara-cara yang digunakan untuk mendapatkan dan mempertahankan legitimasi dapat
dikelompokkan menjadi tiga yaitu:

1. Simbolis yaitu dengan cara menumbuhkan kepercayaan terhadap masyarakat dalam bentuk
simbol-simbol seperti kepribadian yang baik, menjunjung tinggi nilai- budaya dan tradisi.
Contoh; upacara kenegaraan, pementasan wayang, pengidentifikasian diri dengan kelompok
mayoritas (misalnya agama tertentu) merupakan sejumlah contoh penggunaan simbol-
simbol yang bersifat ritualistik.

2. Prosedural yaitu menjanjikan kesejahteraan materiil kepada rakyat, seperti fasilitas


pendidikan dan kesehatan lebih baik, kesempatan kerja lebih besar, menjamin tersedianya
pangan yang dibutuhkan rakyat, menjanjikan sarana produksi pertanian, sarana komunikasi
dan transportasi, serta modal yang memadai.

3. Materiil yaitu dengan cara mengadakan pemilihan umum untuk menentukan para wakil
rakyat, perdana menteri, presiden, dan sebagainya. Para anggota lembaga tinggi negara atau
referendum untuk mengesahkan suatu kebijakan umum.
Pada umumnya, pemimpin pemerintahan yang mendapatkan legitimasi berdasarkan prinsip-prinsip
legitimasi tradisional, ideologi, dan kualitas pribadi cenderung menggunakan metode simbolik.

Menurut Andrain berdasarkan prinsip pengakuan dan dukungan masyarakat terhadap pemerintah
maka legitimasi dikelompokkan menjadi lima tipe yaitu:

1. Legitimasi tradisional: masyarakat memberikan pengakuan dan dukungan kepada pemimpin


pemerintahan karena pemimpin tersebut merupakan keturunan pemimpin ”berdarah biru”
yang dipercaya harus memimpin masyarakat.

2. Legitimasi ideologi: masyarakat memberikan dukungan kepada pemimpin pemerintahan


karena pemimpin tersebut dianggap sebagai penafsir dan pelaksana ideologi. Ideologi yang
dimaksudkan tidak hanya yang doktriner seperti komunisme, tetapi juga yang pragmatis
seperti liberalisme dan ideologi pancasila.

3. Legitimasi kualitas pribadi: masyarakat memberikan pengakuan dan dukungan kepada


pemerintah karena pemimpin tersebut memiliki kualitas pribadi berupa kharismatik maupun
penampilan pribadi dan prestasi cemerlang dalam bidang tertentu.

4. Legitimasi prosedural: masyarakat memberikan pengakuan dan dukungan kepada


pemerintah karena pemimpin tersebut mendapat kewenangan menurut prosedur yang
ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.

5. Legitimasi instrumental: masyarakat memberikan pengakuan dan dukungan kepada


pemerintah karena pemimpin tersebut menjanjikan atau menjamin kesejahteraan materiil
(instrumental) kepada masyarakat.

Dalam kehidupan nyata biasanya para pemimpin pemerintahan tidak hanya menggunakan satu tipe,
tetapi juga mengkombinasikan dari dua tipe atau lebih sesuai dengan struktur dan tingkat
perkembangan masyarakatnya.

Ada kalanya suatu kebijaksanaan yang telah dirumuskan, dimintakan pendapat secara langsung
kepada rakyat, dan rakyat diminta memberi dukungan. Tetapi, ada kalanya, dukungan tersebut
dimintakan oleh pengurus kebijaksanaan kepada tokoh-tokoh non formal atau kunci di masyarakat.
Dengan harapan, tokoh kunci atau non formal itulah, yang akan mencari dukungan kepada massa
atau rakyat kebanyakan.

Tokoh-tokoh kunci atau non formal tersebut ada di berbagai bidang agama, profesi, budaya dan seni,
ekonomi, pertanian dan bahkan sektor-sektor ekonomi dan jasa. Tokoh-tokoh non formal ini, meski
tidak menduduki jabatan apa pun di pemerintahan, umumnya mempunyai massa banyak dan
menaruh kepercayaan yang besar terhadap tokohnya. Bahkan dalam hal-hal tertentu, sesuatu yang
dikemukakan oleh tokoh kunci tersebut, diterima dengan lapang hati oleh rakyatnya.

Di negara-negara yang menganut sistem pemerintahan liberal, prinsip yang dipedomani berkenaan
dengan legitimasi ini adalah koalisi, dengan doktrin: mayority-coalation-building. Doktrin ini
dianggap praktis, oleh karena apa yang disuarakan oleh orang yang lebih banyak itu dipandang
sebagai suara orang banyak, dan oleh karena itu harus didukung dan disahkan. Sungguh pun
demikian, presiden khususnya di Amerika Serikat, masih mempunyai hak veto terhadap suara
mayoritas rakyat yang dikemukakan melalui wakil-wakilnya di parlemen. Sebab, suara parlemen,
yang dianggap pencerminan dari rakyat tersebut, tidak mungkin mencerminkan 100% suara rakyat.

Di negara kita, voting dengan menggunakan suara terbanyak dianggap sebagai jalan terakhir, jika
tidak mungkin dicapai kesepakatan. Musyawarah yang dilakukan oleh para wakil rakyat tersebut
diupayakan agar tercapai kemufakatan. Dengan demikian, tak ada kelompok mayoritas dan kelompok
minoritas dalam permusyawaratan. Upaya-upaya banyak dilakukan agar kemufakatan ini bisa dicapai,
misalkan dengan saling mengadakan lobi.

Kebijaksanaan yang telah diformulasikan dan disahkan secara formal tersebut, ternyata bukanlah
sesuatu yang sudah final. Masih memungkinkan adanya revisi, perbaikan, dan penyempurnaan. Dan
legitimasi tersebut dilakukan antara lain juga dalam rangka menyempurnakan, agar ketika
dilaksanakan nantinya tidak mengalami hambatan. Sebab, dengan legitimasi ini, rakyat akan
menyatakan dukungan oleh karena sesuai dengan aspirasi dan harapannya. Kegiatan legitimasi
adalah mencari dukungan sekaligus menyempurnakan kebijaksanaan, sedangkan hasil akhir
legitimasi adalah rumusan kebijaksanaan yang sudah sah dan dianggap final.

1. E. Krisis Legitimasi

Suatu legitimasi dapat pula mengalami krisis bila seseorang atau lembaga

yang memiliki legitimasi itu tidak memiliki kecakapan (skill) yang cukup

untuk melakukan pengelolaan (manajemen) Negara secara keseluruhan.

Dalam hal ini legitimasi perlu diikuti oleh kapabilitas dan kapasitas untuk

menimplementasikan program yang langsung menyentuh rakyat, rakyat

sebagai pemegang legitimasi tertinggi, keamanan dan kesejahteraan rakyat

adalah ukuran utama dalam menilai kemampuan legitimasi kapabilitas

pemerintahan. Dengan demikian, dapatlah disimpulkan bahwa kekuasaan yang

legitimated tidak selalu berbanding lurus dengan kecakapannya.

Krisis legitimasi biasanya terjadi pada masa transisi. Selain itu, perubahan yang terjadi dari suatu
tingkat dan kualitas perkembangan menuju ke tingkat dan kualitas perkembangan masyarakat
berikutnya. Masyarakat semacam ini akan cenderung mempertanyakan setiap kewenangan yang
dianggap tidak mencerminkan aspirasi hidup dalam masyarakat. Lucyan Pye menyebutkan empat
sebab krisis legitimasi:

1. Pertama, prinsip kewenangan beralih pada prinsip kewenangan yang lain.

2. Kedua, persaingan yang sangat tajam dan tak sehat tetapi juga tak disalurkan melalui
prosedur yang seharusnya diantara para pemimpin pemerintahan sehingga terjadi
perpecahan dalam tubuh pemerintah.
3. Ketiga, pemerintah tak mampu memenuhi janjinya sehingga menimbulkan kekecewaan dan
keresahan di kalangan masyarakat.

4. Keempat, sosialisasi tentang kewengan mengalami perubahan.

Krisis legitimasi akan semakin gawat manakala pihak yang berwenang tidak tanggap atas perubahan
sikap terhadap kewenangan dalam masyarakat

1. F. Problema-Problema Legitimasi

Ada banyak problema dalam pelaksanaan legitimasi kebijaksanaan pendidikan. Problema-problema


tersebut yang pertama, terdapatnya resistensi dari eks aktor kebijaksanaan yang kini tidak menjadi
aktor lagi. Ada semacam kecenderungan, bahwa eks aktor-aktor kebijaksanaan tersebut, masih
mempunyai anggapan bahwa apa yang dulunya ia rumuskan, bahkan telah dilaksanakan dapat
dipertahankan hingga kini.

Kedua, terdapat resistensi dari kelompok konservatif atas kebijaksanaan yang baru saja dirumuskan.
Ini jika kebijaksanaan yang telah dirumuskan tersebut berbeda dengan kebijaksanaan-kebijaksanaan
sebelumnya yang sudah dianggap mentradisi. Sesuatu yang sudah mentradisi umumnya memang
sulit diubah, dan jika bermaksud untuk mengubahnya, pada masyarakat yang konservatif, dibutuhkan
waktu lama.

Ketiga, sebagai akibat dari adanya resistensi kelompok konservatif dan eks aktor kebijaksanaan yang
tidak lagi menjadi aktor, terbawa serta para pengikutnya. Para pengikut ini, umumnya juga
berkecenderungan mengikuti gerak dan langkah pemimpinnya. Oleh karena itu proses legitimasi
menjadi terhambat, atau setidak-tidaknya membutuhkan waktu lama.

Keempat, terdapatnya resistensi dari kelompok yang punya visi, persepsi dan kepentingan yang
berbeda dengan para perumus dan legitimator kebijaksanaan. Kelompok resisten demikian,
umumnya sulit diajak komproni, jika tidak berhasil didekati. Oleh karena itu, legitimator harus
berusaha mendekati kelompok ini, agar mereka dapat bersama-sama memberikan dukungan
terhadap kebijaksanaan yang telah dirumuskan.

BAB III

PENUTUP

1. A. KESIMPULAN

Dengan adanya legitimasi yang dimiliki oleh seorang pemimpin dapat menimbulkan kestabilan politik
dan memungkinkan terjadinya perubahan sosial dan membuka kesempatan yang semakin besar bagi
pemerintah untuk tidak hanya memperluas bidang-bidang kesejahteraan yang hendak ditangani,
tetapi juga untuk meningkatkan kualitas kesejahteraan, dalam konteks ini kesejahteraan dalam
bidang pendidikan. Legitimasi sangat penting karena akan membawa pengaruh terhadap masyarakat
banyak, baik yang menguntungkan bagi sebagian masyarakat maupun yang membawa dampak yang
merugikan kelompok lain. Selain itu setiap kebijakan juga membawa implikasi terhadap anggaran
yang harus dikeluarkan pemerintah. Pada umumnya wewenang melakukan legitimasi dimiliki oleh
pemerintah atau badan legislatif.

Anda mungkin juga menyukai