Anda di halaman 1dari 61

1

Bab I
Pendahuluan
1.1 Latar belakang
Kebijakan sering dijadikan sebagai buah bibir banyak orang, namun
tidak semua orang memahami makna kata tersebut. Kebijakan adalah
fenomena kehidupan yang telah lama dikenal oleh umat manusia sejak
zaman dahulu. Ketika sekelompok orang yang bekerja di bidang jasa atau
pelayanan seringkali dipertanyakan mengenai, Apa itu kebijakan?
Seringkali tanggapan mengenai kebijakan merupakan suatu aturan atau
pedoman, kebijakan adalah prinsip organisasi, kebijakan menetapkan cara
dan hal yang dilakukan. Kebijakan menciptakan sebuah kerangka kerja
untuk cara seseorang dalam melakukan pekerjaannya, kebijakan
menetapkan standar bagi organisasi. Oleh karena banyaknya pengertian
mengenai kebijakan dari beberapa tokoh didunia, maka kelompok kami
menyepakati untuk mengambil satu pengertian kebijakan yang selanjutnya
akan dijadikan pedoman. A purposive course of action followed by an
actor or set of actors in dealing with a problem or matter of
concern(dikemukakan oleh tokoh James E. Anderson).
Pada kalimat followed by an actor or set of actors mengandung
makna akan perbedaan adalah ketetapan atau langkah atau tindakan yang
telah disetujui / digariskan tapi tidak harus dijadikan sebagai suatu
peraturan. Sedangkan Peraturan adalah kebijakan yang disetujui dan
ditetapkan dalam bentuk peraturan. Contoh Kebijakan: Semua Karyawan
Boleh Pulang Lebih Awal Apabila ada darurat/ musibah (artinya Boleh
pulang boleh juga tidak ) Contoh bentuk peraturannya : Semua karyawan
2

Tidak boleh pulang sebelum waktunya. ( Artinya apapun alasannya tidak
boleh pulang..) Persamaannya adalah ketetapan yang ditetapkan oleh orang
yang berwenang.
Kebijakan dari dahulu hingga hari ini adalah suatu hal yang penting
karena telah menjadi "mind-set" tidak peduli apa pun jenis bisnisnya,
seseorang akan memiliki kebijakan dalam beberapa bentuk. Hal ini
bertujuan agar orang dalam organisasi tidak harus terus membahas dan
kembali membahas masalah yang sama setiap kali timbul yang dipikirkan
keputusan dapat diterapkan untuk banyak kasus serupa. Orang yang bekerja
dalam suatu organisasi dapat memiliki kerangka kerja untuk tindakan yang
membantu mereka melanjutkan dengan pekerjaan yang harus mereka
lakukan.
Beberapa kebijakan ada yang wajib seperti Kebijakan Kesehatan dan
Keselamatan dan Kebijakan Pengaduan, dan ada yang bersifat sukarela,
tetapi keduanya, apakah wajib atau sukarela sama pentingnya. Tapi, tidak
peduli berapa banyak kebijakan yang dimiliki, hal ini hanya akan sama saja
seperti potongan kertas jika kebijakan tidak dikelola dengan baik, Kebijakan
harus ditinjau ulang dan diperbarui secara teratur, setidaknya setiap tahun.
Pembaruan juga harus dilakukan bila undang-undang atau kepatuhan
perubahan berdampak pada bisnis. Setiap perubahan kebijakan harus
dikomunikasikan kepada staf.
Budaya perusahaan selalu ada dengan atau tanpa kebijakan. Tapi,
tanpa kebijakan tertulis tidak akan ada standar yang menentukan apakah
tindakan yang diambil merupakan tindakan yang dapat diterima atau tidak
tidak dapat diterima, dan jika hal ini terus berlangsung maka tanpa standar
3

akan tertulis atau tertanam suatu budaya organisasi yang negatif dan akan
sangat cepat menjadi sesuatu yang tidak pernah diinginkan terjadi.
Kebijakan jelas menetapkan dan mengartikulasikan budaya perusahaan
tersebut. Hal ini dimulai dengan menetapkan kode etik yang mengatur
karyawan, pemasok dan pelanggan apa yang dapat diterima dan apa yang
tidak dapat diterima. Sehingga terciptalah fungsi kebijakan yang merupakan
sebuah alat dalam peningkatan kualitas dan untuk memenuhi standar
akreditasi.
Banyak pendekatan untuk menjawab pertanyaan mengenai kebijakan.
Dalam makalah ini akan dijelaskan lebih lanjut mengenai kebijakan, ruang
lingkupnya, siklus serta prinsip review kebijakan serta beberapa kebijakan
di bidang kesehatan.













4

Bab II
Kebijakan
2.1 Definisi Kebijakan
Kebijakan merupakan terjemahan dari kata policy yang berasal dari bahasa
Inggris. Kata policy diartikan sebagai sebuah rencana kegiatan atau pernyataan
mengenai tujuan yang diajukan atau diadopsi oleh suatu pemerintahan, partai
politik, atau yang lainnya. Kebijakan juga diartikan sebagai pernyataan mengenai
kontrak penjaminan atau pernyataan tertulis. Pengertian ini mengandung arti
bahwa yang disebut kebijakan adalah mengenai suatu rencana, pernyataan tujuan,
kontrak penjaminan dan pernyataan tertulis baik yang dikeluarkan oleh
pemerintah, partai politik, dan yang lainnya. Dengan demikian siapapun dapat
terkait dalam suatu kebijakan. Berikut ini merupakan beberapa pendapat tentang
pengertian kebijakan menurut beberapa ahli:
James E. Anderson (1975)
A purposive course of action followed by an actor or set of actors in
dealing with aproblem or matter of concern
Kebijakan harus memiliki maksud, manfaat yang jelas, dan terarah. Di
dalam menentukan kebijakan tidak diperkenankan untuk menentukan segala
sesuatunya sesuai dengan keinginan perseorangan. Kebijakan haruslah bersifat
obyektif dan tidak menguntungkan kepentingan perseorangan maupun kelompok.
Sebuah kebijakan yang telah dirancang dengan baik tidak akan efektif apabila
tidak diimplementasikan. Selain itu dalam pengimplementasiannya kebijakan
haruslah diimplementasikan dengan baik sesuai dengan ranah kebijakan tersebut.
Ranah kebijakan merupakan sebuah agenda yang harus di prioritaskan dari
5

berbagai aspek agar dalam pelaksanaannya sesuai dengan perencanaan strategis
yang diharapkan
Sabatier (1993)
As a relatively enduring alteration of thought or behavioural intentions
that are concerned with the attainment (or revision) of the precepts of a policy
belief system
Kebijakan merupakan suatu keterkaitan yang membandingkan landasan
penggunaan akal budi, kemampuan, dan kecerdikan untuk mencapai suatu sistem.
Thomas R. Dye (1981)
Is whatever government choose to do or not to do
Kebijakan adalah suatu pedoman atau garis haluan yang digunakan
pemerintah untuk menjalankan pemerintahan. Kebijakan ini tidak cukup hanya
ditetapkan tetapi dilaksanakan dengan baik dan bertanggung jawab.
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa kebijakan merupakan
serangkaian tindakan yang menjadi keputusan pemerintah untuk melakukan atau
tidak melakukan sesuatu yang bertujuan untuk memecahkan masalah demi
kepentingan masyarakat.
2.2 Karakteristik Kebijakan
Karakteristik kebijakan antara lain:
1. Kebijakan harus memiliki tujuan
Kebijakan adalah a means to an end, alat untuk mencapai sebuah
tujuan masyarakat (publik). Artinya, kebijakan adalah seperangkat
tindakan pemerintah yang didesain untuk mencapai hasil tertentu yang
diharapkan oleh publik sebagai konstituen pemerintah. Sebuah kebijakan
tanpa tujuan tidak memiliki arti, bahkan tidak mustahil akan menimbulkan
6

masalah baru. Misalnya, sebuah kebijakan yang tidak memiliki tujuan
jelas, program yang akan diterapkan secara berbeda, strategi
pencapaiannya menjadi kabur, dan akhirnya para analis kebijakan akan
menyatakan bahwa pemerintah telah kehilangan arah.
Penetapan tujuan juga merupakan kegiatan yang paling penting
karena hanya tujuanlah yang dapat memberikan arah dan alasan kepada
pilihan publik. Dalam kenyataannya, pembuat kebijakan seringkali
kehilangan arah dalam menetapkan tujuan kebijakan. Agar kebijakan tetap
terfokus pada tujuan yang telah ditetapkan, pembuatan kebijakan harus
dilandasi oleh lingkaran tahapan kebijakan yang meliputi perencanaan dan
evaluasi. Pembuatan kebijakan tentu mempunyai hambatan, tetapi harus
dicari penyelesaian untuk mengatasinya dan mewujudkan tujuan yang
dikehendaki untuk dicapai. Berdasarkan tujuan utamanya, terdapat enam
kelompok tindakan kebijakan (play action) yang mendasar yaitu :
a. Regulasi (Regulation)
Tujuan utamanya membuat aturan dan batasan tertentu.
b. Deregulasi (Deregulation)
Tujuan utamanya membuat pelonggaran bahkan penghapusan
batasan tertentu.
c. Insentif (Reward)
Tujuan utamanya mendorong dan mempercepat pencapaian suatu
hal dengan memberikan suatu bentuk imbalan.
d. Penyediaan infrastruktur (Infrastructure Provision)
Tujuan utamanya menyediakan hal yang bersifat infrastruktural.
e. Informasi diatau pedoman (Information or Guidance)
7

Tujuan utamanya memberikan dan menyampaikan informasi serta
memberi pedoman yang spesifik.
f. Pengaruh (Influence)
Tujuan utamanya mendorong dan mempengaruhi terjadinya
perubahan serta membantu proses perubahan kepada pihak tertentu.
2. Kebijakan sebagai Hipotesis
Kebijakan dibuat berdasarkan teori, model atau hipotesis mengenai
sebab dan akibat. Kebijakan senantiasa bersandar pada asumsi mengenai
perilaku. Kebijakan selalu mengandung insentif yang mendorong orang
untuk melakukan sesuatu atau tidak adanya insentif yang mendorong orang
tidak melakukan sesuatu. Kebijakan harus mampu menyatukan perkiraan
(proyeksi) mengenai keberhasilan yang akan dicapai dan mekanisme
mengatasi kegagalan yang mungkin terjadi.
Misalnya, jika pemerintah menaikan harga BBM, maka akan
banyak perusahaan menaikan harga produksinya yang akan mengakibatkan
harga barang meningkat dan masyarakat kelas bawah semakin sulit
memenuhi kebutuhan hidupnya. Sehingga memandang kebijakan sebagai
hipotesis juga menekankan pentingnya pelajaran dan temuan dari hasil
implementasi dan evaluasi.
3. Kebijakan sebagai Tindakan yang Legal
Pilihan tindakan dalam kebijakan bersifat legal atau otoritatif
karena dibuat oleh orang yang memiliki legitimasi dalam sistem
pemerintahan. Keputusan itu mengikat para pegawai negeri untuk
bertindak atau mengarahkan pilihan tindakan atau kegiatan seperti
menyiapkan rancangan undang-undang atau peraturan pemerintah untuk
8

dipertimbangkan oleh parlemen atau mengalokasikan anggaran guna
mengimplementasikan progam tertentu. Kebijakan sebagai keputusan legal
bukan juga berarti bahwa pemerintah selalu memiliki kewenangan dalam
menangani berbagai isu. Kebijakan kemudian dapat dilihat sebagai respon
atau tanggapan resmi terhadap isu atau masalah publik.
Hal berarti bahwa kebijakan adalah: (a) Intensional atau memiliki tujuan.
Kebijakan berarti pencapaian tujuan pemerintah melalui penerapan
sumber-sumber publik; (b) Menyangkut pembuatan keputusan dan
pengujian konsekuensi-konsekuensinya; (c) Terstruktur dengan para
pemain dan langkah yang jelas dan terukur; (d) Bersifat politis yang
mengekspresikan pemilihan prioritas program lembaga eksekutif.
4. Kebijakan Melibatkan Partisipasi dan Aspirasi Masyarakat.
Partisipasi adalah proses keterlibatan dalam pengambilan
keputusan, perumusan, perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan
kebijakan. Pembuatan kebijakan yang melibatkan partisipasi dan aspirasi
masyarakat bertujuan supaya kebijakan yang sudah disusun dan
direncanakan bisa sesuai dengan kenyataan. Selain itu masyarakat juga
cenderung lebih patuh pada kebijakan yang pembuatan dan penyusunannya
melibatkan partisipasi dan aspirasi masyarakat secara aktif.
5. Kebijakan Bentuknya Terstruktur dan Tersusun Berdasarkan
Hukum dan Undang-Undang.
Semua kebijakan yang telah dibuat dan disusun harus mempunyai
landasan hukum dan undang-undang. Artinya pembuatan kebijakan tidak
boleh bertentangan dan melanggar dengan hukum dan undang-undang yang
berlaku.
9

6. Kebijakan Menghasilkan Dampak (outcome)
Setiap proses pembuatan kebijakan harus dianalisis terlebih dahulu
apakah akan memberikan dampak yang baik atau buruk bagi masyarakat.
Suatu kebijakan yang dibuat tidak boleh merugikan masyarakat. Jenis
kebijakan berdasarkan pengaruh atau dampak yang ingin ditimbulkannya
meliputi:
a. Kebijakan eksplisit (explicit policy)
Kebijakan eksplisit adalah kebijakan yang ditujukan untuk memberikan
dampak secara langsung pada obyek sasaran kebijakan.
b. Kebijakan implisit (implicit policy)
Kebijakan implisit adalah kebijakan yang ditujukan untuk memberikan
dampak secara tidak langsung pada obyek sasaran kebijakan.
2.3 Sifat Kebijakan
Sifat kebijakan yang mendasari isi dan tujuannya, antara lain :
1. Kebijakan Bersifat Regulatif (mengatur)
Kebijakan tentang pembatasan atau larangan perbuatan atau
tindakan bagi orang atau kelompok orang. Kebijakan ini pada dasarnya
mengurangi kebebasan orang atau kelompok untuk berbuat sesuatu.
Kebijakan membatasi individu dan lembaga atau memaksa melakukan suatu
perilaku tertentu. Kebijakan regulatif akan berhasil dijalankan jika perilaku
mendukung terus menerus dipantau dan dimotivasi.
Contoh: kebijakan berhubungan dengan pembatasan penjualan
obat-obat tertentu, pembatasan penggunaan kendaraan dinas, pembatasan
pemilikan dan penggunaan senjata api.

10

2. Kebijakan Bersifat Distributif
Kebijakan tentang pemberian pelayanan atau keuntungan bagi
sejumlah khusus penduduk, individu, kelompok, perusahaan, atau
masyarakat tertentu. Contohnya pemberian beasiswa, kebijakan tentang
jaminan pinjaman, kebijakan beras miskin (raskin), Kartu Sehat Masyarakat
Miskin atau Bantuan Langsung Tunai.
Pada prinsipnya dalam kebijakan bisa memanfaatkan sumber daya
umum (misalnya dana APBN) untuk membantu rakyat atau kelompok
tertentu.
3. Kebijakan bersifat Re-Distributif
Kebijakan re-distributif adalah kebijakan yang sengaja dibuat oleh
pemerintah untuk memindahkan pengalokasian kekayaan, pendapatan,
kepemilikan atau hak di antara kelas atau kelompok penduduk. Contohnya
kebijakan yang berhubungan dengan pajak pendapatan, pemberantasan
kemiskinan, pembebasan tanah untuk kepentingan umum. Tujuannya adalah
ada pada kesamaan dalam memiliki sesuatu, merasakan sesuatu, atau bagian
yang sama dari suatu proses.
4. Kebijakan bersifat Protektif (melindungi)
Kebijakan dibuat untuk melindungi masyarakat dengan mengatur
hal yang diperbolehkan dan dilarang, semua kegiatan yang dapat merugikan
serta membahayakan masyarakat di berbagai bidang tidak diijinkan untuk
diterapkan.
2.4 Fungsi Kebijakan
Kebijakan merupakan pedoman untuk menentukan dan melaksanakan
program dan kegiatan. Adapun fungsi kebijakan yaitu :
11

1. Memberikan petunjuk, rambu dan signal penting dalam menyusun
program dan kegiatan
2. Memberikan informasi mengenai bagaimana strategi akan
dilaksanakan
3. Memberikan arahan kepada pelaksana
4. Untuk kelancaran dan keterpaduan upaya mencapai visi, misi,
sasaran dan tujuan
5. Menyelenggarakan pengelolaan urusan tata usaha dan rumah tangga
pusat
2.5 Prinsip Kebijakan
Pembuatan kebijakan tidak hanya berfungsi menyelesaikan permasalahan
yang ada, namun juga mencegah timbulnya permasalahan, maka kita harus
memperhatikan beberapa prinsip dari kebijakan itu sendiri. Hal ini agar kebijakan
yang kita buat bisa bermanfaat dan sesuai dengan kebutuhan organisasi tersebut.
Prinsip dalam kebijakan berfungsi sebagai patokan atau pedoman dalam
pembentukan kebijakan yang efektif. Beberapa prinsip kebijakan menurut
Freegard dalam bukunya Ethical Practice for Health Professionals (2006), yaitu:
1. Kebijakan didasarkan pada eksplisit
Nilai etis bersama yang dapat dibenarkan. Kebijakan itu dibuat dengan
tegas dan jelas, didukung oleh nilai dasar kebijakan yang dibuat akan
kembali dipastikan kesesuaiannya dengan nilai dasar tersebut.
2. Kebijakan membantu pemecahan konflik.
Kebijakan yang dibuat harus dapat digunakan sebagai rujukan dalam
penyelesaian suatu konflik yang timbul. Tidak semua kebijakan dibuat
pada saat masalah atau konflik itu muncul. Kebijakan dapat dibuat
12

untuk mencegah timbulnya suatu konflik, namun tetap diharapkan
kebijakan itu akan menyelesaiakan konflik jika konflik itu timbul.
3. Kebijakan yang konsisten
Pedoman kebijakan harus jelas sehingga semua anggota pelaksana
dari kebijakan tersebut memiliki persepsi yang sama mengenai
kebijakan tersebut agar dapat dilaksanakan dengan baik. Kebijakan
dibuat dengan kata yang mudah dimengerti dan tidak menyebabkan
ambigu ataupun timbulnya persepsi yang berbeda bagi setiap
pelaksananya. Kebijakan yang konsisten juga berarti kebijakan itu
berlaku sama di semua daerah dan tetap.
4. Kebijakan bersifat fleksibel
Pada prinsip diatas dijelaskan bahwa kebijakan bersifat konsisten, tapi
kebijakan pada prinsip ini juga harus bersifat fleksibel. Kebijakan
harus bisa memberikan kelonggaran ataupun pengecualian pada suatu
kondisi tertentu, sehingga pelaksana kebijakan itu diharapkan dapat
bertindak secara bijaksana. Konsistensi dilihat dalam penerapannya
pada seluruh wilayah dan dilaksanakan oleh semua pelaksana
kebijakan itu sendiri.
5. Kebijakan bersifat dinamis
Kebijakan dapat berubah sesuai dengan kondisi internal maupun
eksternal dari organisasi itu, sehingga kebijakan dapat terus
berkembang sesuai dengan kebutuhan organisasi tersebut.
6. Kebijakan didukung oleh pendidikan
13

Pendidikan ini diperlukan saat pembuatan awal kebijakan, agar isi dari
kebijakan yang dibuat dapat dipahami atau dipersepsikan sama oleh
semua orang atau pelaksana kebijakan tersebut.
7. Kebijakan dengan waktu terbatas
Sesuai dengan karakteristik kebijakan yang dinamis, maka suatu
kebijakan memiliki batasan tertentu. Hal ini bukan berarti kebijakan
itu dihapuskan karena dianggap tidak berguna, melainkan kebijakan
itu terus diperbarui sehingga kebijakan tersebut dapat menjadi lebih
tepat atau sesuai dengan kebutuhan organisasi yang bersangkutan.
2.6 Kebijakan Publik
Public policy is the broad framework of ideas and values within
which decisions are taken and action, or inaction, is pursued by
governments in relation to some issue or problems. (Brooks, 1989, p. 16).
Berdasarkan definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa kebijakan
publik merupakan suatu tindakan pemerintah atas kewenangan yang
dimilikinya. Kebijakan publik juga merupakan upaya untuk mencapai satu
tujuan tertentu, dan menyangkut kepentingan serta aktivitas manusia secara
luas dengan berbagai pertimbangan baik dan buruknya. Contoh dari
kebijakan publik itu sendiri adalah :
a. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 1 Tahun 2011
tentang Penetapan 26 (dua puluh enam) Buku Teks Pelajaran Yang
Memenuhi Syarat Kelayakan Untuk Digunakan Dalam
Pembelajaran.
b. Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 5 Tahun 2008 Tentang
Kawasan Tanpa Rokok dan Kawasan Terbatas Merokok.
14

2.6.1 Prinsip Kebijakan Publik
Prinsip kebijakan terbagi menjadi dua jenis yang lebih spesifik yaitu
prinsip kebijakan publik dan prinsip kebijakan Non-Publik . Prinsip
kebijakan publik dapat digunakan sebagai pedoman serta batasan untuk
pembuatan kebijakan publik yang tujuannya meningkatkan kesejahteraan
anggota organisasi ataupun masyarakat. Prinsip kebijakan Non-Publik
digunakan untuk basis dalam pembuatan kebijakan Non-Publik yang
sifatnya internal dalam organisasi. Berikut ini beberapa prinsip kebijakan
publik dan Non-Publik .
Terdapat 17 prinsip kebijakan publik menurut Association of
Washington Business (2002), yaitu:
1. Kebijakan publik harus menjaga perkembangan sektor
swasta.
Pada prinsipnya pemerintah harus bisa menjamin bahwa
kebijakan publik yang mereka ambil itu tidak membatasi
perkembangan dari perusahaan swasta yang ada, baik secara
langsung ataupun tidak langsung. Jadi diharapkan perusahaan
swasta yang ada tetap dapat berkembang dengan baik, tidak
terganggu oleh kebijakan publik yang sedang berjalan.
2. Kebijakan publik melibatkan rakyat dalam
perkembangannya
Pada prinsip ini menjelaskan bahwa kebijakan publik yang
diambil pemerintah harus atas sepengetahuan rakyat dan harus
mau mendengarkan pendapat rakyat sebagai bahan
15

pertimbangan. Pemerintah tidak boleh menjalankan kebijakan
yang secara jelas telah ditentang atau tidak disetujui oleh rakyat.
3. Kebijakan publik dilandasi analisis manfaat sosial
Prinsip ini menuntut pemerintah lebih mengutamakan
pertimbangan mengenai manfaat kebijakan publik tersebut bagi
seluruh masyarakat, bukan mengenai biaya yang harus
dikeluarkan untuk menjalankan kebijakan itu ataupun faktor
lainnya.
4. Kebijakan publik bersifat fleksibel
Sifat fleksibel yang dimaksud adalah kesediaan pemerintah
untuk memberikan pengecualian kepada masyarakat bisnis,
apabila dalam pelaksanaan kebijakan itu dapat merugikan
masyarakat bisnis.
5. Kebijakan publik harus mencapai tujuan lain dan terukur
Kebijakan yang dibuat harus diukur kesuksesannya dengan
melakukan evaluasi yang sah.
6. Kebijakan publik harus disertai dengan dokumentasi
Kebijakan publik yang telah dilaksanakan oleh pemerintah harus
disertai dengan dokumentasi sebagai bukti telah berjalannya
kebijakan itu, serta sebagai bukti efektif atau tidaknya kebijakan
itu.
7. Kebijakan publik harus memberikan insentif berbasis pasar
Hal ini diterapkan dengan harapan pengambilan kebijakan oleh
pemerintah dapat mencapai hasil yang menguntungkan.
16

8. Kebijakan publik harus dilaksanakan oleh pemerintah
fungsional
Prinsip ini menekankan bahwa kebijakan publik dibuat oleh
pemerintah yang fungsional, serta kebijakan itu harus
dilaksanakan dengan cepat dan dapat mengatasi isu publik.
Kebijakan harus dapat menyelesaikan isu publik yang timbul
dengan cepat dan efektif.
9. Kebijakan publik jelas dan realistis
Kebijakan publik batasan dan hukumnya harus jelas juga dapat
dilaksanakan oleh seluruh pelaksana kebijakan termasuk
masyarakat.
10. Kebijakan publik disertai hukum yang sederhana
Hukum yang sederhana digunakan untuk mencegah adanya
duplikasi hukum sebagai landasan dalam penetapan sanksi.
Duplikasi hukum dapat menimbulkan kerancuan dalam
penetapan sanksi atas penyelewengan atau pelanggaran atas
kebijakan yang digunakan. Hal ini akan menyebabkan kebijakan
yang telah dibuat menjadi tidak efektif.
11. Kebijakan publik harus konsisten dengan hukum yang ada
Kebijakan harus berjalan sesuai dengan hukum yang telah ada,
namun kebijakan dapat bersifat fleksibel hanya dalam situasi
tertentu.



17

12. Kebijakan publik harus mendukung inovasi pemerintah
Inovasi yang diharapakan dalam prinsip ini adalah inovasi
pemerintah dalam meningkatan efisiensi pelayanan publik
dengan biaya yang paling hemat.
13. Kebijakan publik memprioritaskan efisiensi penggunaan
sumber daya publik dan swasta
Kebijakan publik dituntut untuk lebih memprioritaskan
penggunaan sumber daya publik dan swasta, sehingga manfaat
dari sumber daya publik dan swasta yang ada dapat dirasakan
oleh seluruh elemen masyarakat.
14. Kebijakan publik memastikan kedudukan stakeholder
komite dan dewan
Kebijakan publik memastikan bahwa stakeholder komite dan
dewan merupakan perwakilan dari tiap bagian dari organisasi.
Kinerja stakeholder komite dan dewan dipengaruhi oleh
kebijakan publik yang dibuat dan dipilih oleh organisasi.
15. Kebijakan tepat sanksi
Kebijakan harus tepat dalam memberikan sanksi sesuai dengan
Undang-Undang yang wajar dari keterbatasan, serta sesuai
dengan pelanggaran yang dilakukan.
16. Kebijakan publik membatasi hukuman sipil untuk restitusi
ekonomi
Kebijakan publik harus dapat menetukan denda tertentu dengan
patokan yang jelas dan membatasi sanksi pidana untuk tindakan
kriminal.
18

17. Kebijakan publik disertai waktu yang jelas
Kebijakan publik harus memiliki jangka waktu tertentu dan jelas
dalam pelaksanaannya, sehingga kebijakan dapat terlihat efektif.
2.7 Kebijakan Non-Publik
Kebijakan Non-Publik adalah kebijakan yang digunakan untuk
organisasi atau kelompok tertentu. Kebijakan Non-Publik berlaku dalam
oraganisasi atau kelompok itu saja, serta sangat memungkinkan bahwa
kebijakan antara kelompok atau organisasi yang satu berbeda dengan yang
lain. Contoh dari kebijakan Non-Publik ialah: Kebijakan menggunakan
pakaian yang rapi dan sopan, berkerah, serta bersepatu ketika memasuki
kampus Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga (FKM
UNAIR). Kebijakan ini merupakan kebijakan Non-Publik karena yang
membuat adalah jajaran dekanat FKM UNAIR, dan bisa saja di kampus
lain tidak menganut kebijakan ini.
Jadi, kebijakan adalah suatu bentuk peraturan tertulis yang digunakan
untuk mencapai tujuan tertentu. Kebijakan dibagi menjadi dua, yang
pertama kebijakan publik yang mengatur masyarakat secara luas dan yang
kedua kebijakan Non-Publik yang mengatur kelompok tertentu.
2.7.1 Prinsip Kebijakan Non-Publik
Prinsip kebijakan Non-Publik dapat digunakan untuk pembuatan
kebijakan Non-Publik dan meningkatkan kinerja organisasi serta
memajukan organisasi.
Beberapa prinsip kebijakan Non-Publik menurut Queensland
Council of Social Service (2006), yaitu:
1. Kebijakan sesuai dengan visi dan misi organisasi
19

Pengambilan kebijakan oleh suatu organisasi khususnya
perusahaan tertentu harus sesuai dengan visi dan misinya, agar
kebijakan yang diambil sesuai dengan kebutuhan organisasi dan dapat
mengontrol kinerja organisasi.
2. Kebijakan yang diambil harus sesuai dengan jenis layanan
Setiap organisasi memiliki berbagai macam prinsip kebijakan
Non-Publik sesuai dengan jenis layanan yang diambil. Hal ini
dilakukan agar kebijakan dapat membatu organisasi lebih maju.
3. Kebijakan meningkatkan pelayanan
Kebijakan yang diambil atau dibuat harus dapat meningkatkan
kualitas pelayanan organisasi.
4. Kebijakan berguna bagi pengguna
Maksudnya pengguna disini adalah para pihak yang
bersangkutan dengan kebijakan itu. Misalnya adalah pengguna jasa,
manajer, dan anggota lainnya dalam organisasi tersebut.
5. Kebijakan praktis dan realistis
Praktis maksudnya adalah kebijakan yang dibuat haruslah
mudah dipahami dan dimengerti oleh para penggunanya. Realistis
maksudnya adalah sesuai dengan realita, dapat dilaksanakan oleh
penggunanya dan sesuai dengan kebutuhan sesungguhnya dari
organisasi.
6. Kebijakan mudah dibaca
Kebijakan ditulis dengan kata yang mudah dibaca bagi semua
pengguna. Hal ini berkaitan dengan penulisan serta tampilan dari
kebijakan tertulis yang dibuat. Misalnya pedoman pendidikan untuk
20

FKM harus dituliskan dan disampaikan dalam bahasa yang benar dan
dapat dimengerti agar tidak terjadi kerancuan ataupun
kesalahpahaman.
7. Kebijakan mudah diakses, dan pengguna dapat membacanya.
Misalnya kebijakan yang dibuat oleh FKM Unair yang
diletakkan di beberapa tangga dan ada di setiap lantai, sehingga dosen,
mahasiswa, dan karyawan dapat membacanya.
8. Kebijakan termasuk dalam semua bidang yang relevan
Kebijakan yang dibuat tidak hanya mengatur di satu bidang
dalam organisasi saja melainkan seluruh bidang di organisasi itu.
9. Kebijakan menginspirasi pembaca.
Maksudnya setelah pengguna mengetahui dan menerapkan
kebijakan yang ada di organisasinya, dia akan membawanya sebagai
prinsip dalam kehidupan dan menjalankan tugas dari perannya di
masyarakat.
Jadi, prinsip kebijakan digunakan sebagai patokan dalam
pembentukan kebijakan yang baik. Prinsip kebijakan dibagi menjadi
dua sesuai dengan penerapan prinsip dalam kebijakan, yaitu: prinsip
kebijakan publik, yang digunakan dalam pembentukan kebijakan
publik dan prinsip kebijakan Non-Publik, yang digunakan dalam
pembentukan kebijakan Non-Publik.
2.8 Tingkatan dalam Pengambilan Keputusan Kebijakan
Tidak semua pembuatan kebijakan dirumuskan berdasarkan keadaan
yang sama dengan tema yang sama pula, dan pembuatan kebijakan meliputi
isu utama yang mempengaruhi sejumlah orang dalam lingkup luas dari
21

aparat pembuat kebijakan. Sehingga, bisa saja kebijakan di setiap daerah
berbeda. Di bagian ini dijelaskan bahwa jenis kebijakan berdasarkan
tingkatan dibagi menjadi tiga, yakni:
2.8.1 Kebijakan Makro
Kebijakan makro adalah kebijakan yang mencakup dan
dapat mempengaruhi di suatu Negara tertentu secara menyeluruh.
Misalnya, Undang-Undang, Peraturan Pemerintah (PP), Keputusan
Menteri Kesehatan, dan lainnya. Partisipasi kebijakan makro sangat
luas, meliputi, eksekutif, legislative, media, kelompok, dan berbagai
kalangan lainnya.
Kebijakan di tingkat makro akan menjadi landasan saat
kebijakan meso dan mikro dibuat. Kebijakan makro juga termasuk
kebijakan publik karena mengatur ditingkat nasional dan bertujuan
untuk kehidupan banyak orang. Dan saat terjadi perubahan kebijakan
di tingkat meso dan mikro, maka kebijakan di tingkat makro harus
menjadi landasannya. Contoh kebijakan di tingkat makro adalah
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan. Undang-undang tersebut merupakan contoh yang tepat,
karena di dalamnya akan mengatur kebijakan lainnya yang merupakan
turunannya seperti kebijakan meso dan mikro. Pada kebijakan non-
publik keberadaan kebiajakan meso berada di tingkat corporate.
2.8.2 Kebijakan Meso
Kebijakan merupakan turunan dari kebijakan makro.
Landasan berdirinya kebijakan meso tidak terlepas dari kebijakan
makro. Pada sektor publik undang-undang kesehatan merupakan
22

kebijakan makro dan pada tingkat meso salah satunya ialah kebijakan
mengenai kerumah sakitan. Pada sektor non-publik kebijakan meso
berada di tiap-tiap unit business level yang memiliki kewenangan
lebih spesifik.
2.8.3 Kebijakan Mikro
Kebijakan mikro meliputi atau mencakup di lingkup
perusahaan, organisasi, komunitas dan kelompok. Kebijakan mikro
berlaku untuk lingkup tertentu, sehingga kebijakan mikro di lingkup
tertentu bisa tidak sama dengan yang lainnya, dan kebijakan tersebut
tidak berpengaruh pada pihak di luar lingkup tersebut. Contoh
kebijakan mikro adalah peraturan tertulis di FKM Universitas
Airlangga tentang tata cara berpakaian yang sopas, berkerah, tidak
ketat, dan bersepatu. Kebijakan tersebut diangkat menjadi contoh
karena bisa saja kebijakan tersebut tidak berlaku di luar lingkup FKM
Universitas Airlangga. Di sektor non-publik kebijakan di tingkat
mikro berada pada functional business level.
Berdasarkan ulasan di atas, disimpulkan bahwa tingkat
kebijakan adalah kebijakan makro, kebijakan meso, dan kebijakan
mikro. Kebijakan makro berlaku secara menyeluruh, kebijakan meso
berlaku pada wilayah tertentu, dan kebijakan mikro berlaku dalam
suatu kelompok atau komunitas tertentu.
Kebijakan makro menjadi landasan untuk kebijakan meso
dan kebijakan mikro. Konsep tersebut seperti mata air yang mengalir
dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah.

23

2.9 Siklus Kebijakan
Menyadari kebijakan publik merupakan rangkaian proses yang sifatnya
kompleks, para ahli mencoba mengembangkan beragam pendekatan guna
memahami berbagai dinamika kebijakan yang dimaksud. Sejumlah pendekatan
yang sifatnya menyeluruh dikembangkan untuk memahami kebijakan publik
secara komprehensif, namun pendekatan lain yang sifatnya parsial dengan
memberikan tekanan pada faktor tertentu pada saat yang sama juga dilakukan
untuk memahami kebijakan publik secara lebih spesifik. Salah satu cara mengurai
kompleksitas tersebut adalah dengan memilah kebijakan publik kedalam sejumlah
tahap atau sub tahap. Pemilahan tersebut dikenal dengan policy cycle.
Pemilahan kebijakan publik kedalam sejumlah tahapan pertama kali
dikemukakan Lasswell. Lasswell membagi kebijakan kedalam 7 tahap yang
mencakup tahap intelegence, promosi, preskripsi, invokasi, applikasi, termination
dan appraisal. Dalam pandangan Lasswell, 7 (tujuh) tahapan diatas tidaklah
semata memberikan gambaran tentang bagaimana kebijakan publik sesungguhnya
dibuat, namun juga menggambarkan bagaimana seharusnya diterapkan.
Proses kebijakan diawali dengan intelegence gathering berupa
penghimpunan, pemrosesan dan disseminasi informasi bagi mereka yang terlibat
dalam proses pengambilan keputusan. Dari proses ini, lahir proses kedua berupa
pengajuan opsi-opsi tertentu oleh mereka yang terlibat dalam pengambilan
keputusan. Pada tahapan ketiga, pengambil keputusan merinci langkah tindakan.
Pada tahapan berikutnya, langkah tindakan dilakukan, dan bersamaan dengan itu
sejumlah sanksi dikembangkan untuk menghukum mereka yang tidak patuh
terhadap tindakan yang diambil para pengambil keputusan. Kebijakan kemudian
24

dijalankan hingga ia berakhir atau dirubah. Akhirnya hasil dari kebijakan dinilai
atau dievaluasi berdasarkan maksud dan tujuan para pengambil keputusan.
Pemilahan yang dilakukan Lasswell menjadi dasar bagi munculnya model
tahapan kebijakan yang di kemukakan oleh kalangan ahli. Gary Brewer diawal
1970an mengemukakan bahwa kebijakan publik secara garis besar dapat
dipandang sebagai proses yang mencakup 6 (enam) tahapan (stagist approach)
meliputi: Pertama, Invention/ initiation. Kedua, Estimation. Ketiga, Selection.
Keempat, Implementation. Kelima, Evaluation dan keenam, Termination.
Invention merupakan tahapan paling awal dalam proses kebijakan yang terjadi
tatkala problem kebijakan mulai dirasakan. Tahapan ini, menurut Brewer, ditandai
oleh adanya situasi yang tidak menyenangkan yang mendorong tumbuhnya
tuntutan bagi diambilnya langkah solusi terhadap situasi tersebut. Tahapan
estimasi terjadi tatkala dilakukan kalkulasi terhadap resiko, biaya dan keuntungan
berkaitan dengan berbagai solusi yang ditawarkan pada tahap pertama. Tahapan
ketiga mencakup pengambilan salah satu atau kombinasi dari berbagai solusi yang
tersedia pada tahapan estimasi. Sedang tiga tahapan berikutnya menyangkut
pelaksanaan atas opsi yang dipilih, evaluasi hasil keseluruhan proses serta
terminasi kebijakan yang didasarkan pada kesimpulan yang diperoleh melalui
proses evaluasi.
Konsepsi proses tahapan kebijakan Brewer yang sesungguhnya merupakan
versi penyempurnaan dari karya rintisan Lasswell menumbuhkan beragam versi
lain konsepsi policy cycle yang banyak dikembangkan kalangan ahli dalam
dekade 80an. Karya yang dikemukakan Charles O.Jones ataupun James Anderson
makin mempertajam prinsip operatif model policy cycle kedalam logika problem
solving. Dalam pandangan mereka, tahapan dalam policy cycle sesungguhnya
25

memilihi relasi yang tidak dapat dipisahkan dengan tahapan aplikasi pemecahan
masalah-masalah publik dalam konteks proses kebijakan.
Public policy is highly complex matter, consisting of a series of decisions,
involving a large number of actors operating within the confines of an
amorphous, yet inescapable, institutional set-up, and employing a viriety of
instruments...
One of the simplest and most effective ways to deal with this complexity has
been to break down the public policy-making process into series of discrete but
related sub-process, together forming a continuing cycle. The stages in cycle
correspond to the five stages in applied problem solving, whereby problems are
recognized, solutions are proposed, a solution is chosen, the chosen solution is
put into effect, and finally the outcomes are monitored and evaluated. In the
policy process, these stages are manifested as agenda-setting, policy Formulation,
decision-making, policy implementation, and policy evaluation ( Mamud, 1995:
198).
2.9.1 Tahap - tahap Siklus Kebijakan

Gambar1. Siklus Kebijakan
26


1. Perencanaan Agenda
Dalam konteks kebijakan publik, agenda setting disamping
merupakan tahapan pertama dalam siklus kebijakan, juga paling
kritikal, (Mamud, 1995: 104). Dalam tahapan inilah berbagai issue
muncul sebagai agenda tindakan pemerintah. Dalam kenyataannya,
cara dan mekanisme berbagai issue dan perhatian (concerns) dapat
diakui sebagai calon tindakan pemerintah tidaklah sederhana.
Berbagai issue tadi muncul dalam berbagai ragam faktor dan harus
menjalani proses yang kompleks sebelum ia dipandang secara serius
bagi adanya resolusi. Apa yang terjadi pada tahapan ini, memiliki
pengaruh menentukan decisive impact pada seluruh proses kebijakan
dan berbagai dampaknya. Ackoff, sebagaimana dikutip William Dunn,
mengatakan bahwa Keberhasilan dalam memecahkan masalah
menghendaki karya pemecahan yang benar atas masalah yang benar.
Kegagalan sering terjadi karena kita memecahkan masalah yang salah
daripada mendapatkan pemecahan yang salah terhadap masalah yang
benar.
Secara fundamental kebijakan publik dibuat untuk memecahkan
masalah publik yang tumbuh dan berkembang di masyarakat. Masalah
publik yang tumbuh dan berkembang di masyarakat begitu banyak
macam , variasi dan intensitasnya. Anderson menyatakan bahwa
didalam konteks kebijakan problem can be formally defined as
condition or situation that produces needs or dissatisfaction on the
27

part of people for which relief or redress is sought. This may be done
by those directly affects or by other acting on their behalf.
Masalah publik mengalir memasuki siklus kebijakan melalui
berbagai institusi dan aktor dalam proses kebijakan. aktor tersebut
secara umum dibagi kedalam 2 (dua) kategori yaitu policy networks
yang terdiri dari para aktor kebijakan yang memiliki keterlibatan
secara intimate dan langsung dalam proses kebijakan, dan policy
communities yang terdiri dari aktor kebijakan yang memiliki
keterlibatan secara umum. agenda setting berlangsung melalui 5
(lima) tingkatan proses : Pertama, private problems. Kedua, public
problems. Ketiga, issues. Keempat, systemic agenda dan kelima,
institutional agenda. Private problems merupakan masalah-masalah
yang mempunyai akibat terbatas dan menyangkut keterlibatan satu
atau sejumlah orang secara langsung.
Masalah Non-Publik kemudian berkembang menjadi masalah
publik yang dipahami sebagai masalah yang mempunyai akibat yang
luas, termasuk akibat-akibat yang mengenai orang yang terlibat secara
tidak langsung. Masalah publik kemungkinan akan berkembang
menjadi isu-isu kebijakan (policy Issues) dimana issues dipahami
sebagai perbedaan-perbedaan pendapat di masyarakat menyangkut
persepsi dan solusi terhadap suatu masalah publik. Issues tidak hanya
mengandung ketidaksepakatan mengenai arah tindakan aktual maupun
potensial, tetapi juga mencerminkan pertentangan pandangan
mengenai sifat masalah itu sendiri.
28

Isu publik adalah sesuatu yang sering dibicarakan atau
diperbincangkan, namun bukan pembicaraannya dalam bentuk tertulis
maupun tidak tertulis. Dalam agenda setting juga sangat penting untuk
menentukan suatu isu publik yang akan diangkat dalam suatu agenda
pemerintah. Isu kebijakan (policy issues) sering disebut juga sebagai
masalah kebijakan (policy problem). Policy issues biasanya muncul
karena telah terjadi silang pendapat di antara para aktor mengenai arah
tindakan yang telah atau akan ditempuh, atau pertentangan pandangan
mengenai karakter permasalahan tersebut. Menurut William Dunn
(1981), isu kebijakan merupakan produk atau fungsi dari adanya
perdebatan baik tentang rumusan, rincian, penjelasan maupun
penilaian atas suatu masalah tertentu. Namun tidak semua isu bisa
masuk menjadi suatu agenda kebijakan. Ada beberapa syarat isu yang
bisa dijadikan agenda kebijakan publik (Kimber, 1974; Salesbury
1976; Sandbach, 1980; Hogwood dan Gunn, 1986) diantaranya:
1. Telah mencapai titik kritis tertentu, jika diabaikan, akan
menjadi ancaman yang serius
2. Telah mencapai tingkat partikularitas tertentu, berdampak
dramatis jika tidak dilakukan pemunculan kebijakan oleh
pejabat berwenang
3. Menjangkau dampak yang amat luas
4. Mempermasalahkan kekuasaan dan keabsahan dalam
masyarakat
5. Menyangkut suatu persoalan yang fasionable (sulit
dijelaskan, tetapi mudah dirasakan kehadirannya)
29

2. Policy Formulation (Perumusan Kebijakan)
Perumusan kebijakan merupakan tahapan kedua dalam siklus
kebijakan. Sebagai tahapan kedua, formulasi kebijakan dengan
sendirinya tidak dapat dilepaskan dari tahapan agenda setting. Secara
fundamental tahapan ini terjadi tatkala pemerintah mengakui
keberadaan masalah-masalah publik dan menyadari adanya kebutuhan
dan tuntutan untuk melakukan sesuatu dalam rangka mengatasi
masalah tersebut. Karenanya dalam perumusan kebijaksanaan publik,
persoalan mendasar adalah merumuskan masalah kebijakan (policy
problems) dan merancang langkah pemecahannya (solving).
Merumuskan masalah-masalah kebijakan berarti memberi arti atau
menerjemahkan problema kebijakan secara benar, sedang
merumuskan langkah pemecahan menyangkut perancangan tindakan
pemerintah untuk mengatasi masalah-masalah publik tersebut.
Dalam konteks perumusan masalah kebijakan, William Dunn
mengatakan bahwa ada 4 (empat) macam fase proses yang saling
bergantung yaitu: pencarian masalah, pendefinisian masalah,
spesifikasi masalah dan pengendalian masalah. Perumusan masalah
diawali dengan pengakuan atau dirasakannya keberadaan situasi
masalah. Situasi masalah dapat dilakukan dengan mengenali masalah.
Biasanya yang didapat adanya setumpuk masalah yang saling
mengkait. Kumpulan masalah yang saling mengkait namun belum
terstruktur tadi disebut meta masalah. Setumpuk masalah tadi, dapat
dipecahkan secara serentak, namun harus didefinisikan terlebih dahulu
masalah mana yang menjadi masalah publik. Hasil pendefinisian dari
30

setumpuk masalah yang belum tertstruktur tadi menghasilkan masalah
substantif. Dari masalah substantif tadi kemudian dilakukan
spesifikasi masalah dan menghasilkan masalah formal sebagai
masalah kebijakan.
Secara singkat dapat dijelaskan kegiatan pengenalan masalah
menghasilkan situasi masalah. Kegiatan pencarian masalah
menghasilkan Meta masalah. Kegiatan pendefinisian meta masalah
menghasilkan masalah substantif, dan kegiatan spesifikasi masalah
substantif menghasilkan masalah formal.
Dengan dihasilkannya masalah formal, maka pada tahapan
berikutnya adalah perancangan tindakan yang akan dilakukan
pemerintah dalam rangka memberikan solusi terhadap masalah
kebijakan tersebut. Proses ini disebut dengan usulan kebijakan
(policy proposal) yang dipahami sebagai kegiatan menyusun dan
mengembangkan serangkaian tindakan untuk mengatasi masalah
tertentu.
3. Decision Making (Pengambilan Keputusan)
Pengambilan keputusan merupakan tahapan siklus kebijakan
yang terjadi pada saat pemerintah mengambil keputusan terhadap
berbagai alternatif yang tersedia untuk dipilih pemerintah sebagai
policy solution atas policy problem yang dihadapi. Herbert Simon
mendefinisikan keputusan kebijakan sebagai suatu proses dimana
berbagai peristiwa, keadaan, dan informasi mengendapkan
(precipitate) adanya suatu pilihan yang dirancang untuk mencapai
hasil yang diinginkan. Gary Brewerr mendefinisikan keputusan
31

kebijakan publik sebagai pilihan dari berbagai alternatif kebijakan
yang telah dijabarkan dan berbagai efek atas problem yang
diperkirakan
Sebagai tahapan kebijakan publik, keputusan kebijakan
memiliki sejumlah hal penting: Pertama, pembuatan keputusan bukan
tahapan yang selfcontained dan tidak pula synonimous terhadap
keseluruhan proses kebijakan publik, namun ia merupakan tahapan
spesifik yang amat erat berakar pada tahapan kebijakan sebelumnya.
Ia mencakup pemilihan dari berbagai opsi alternatif kebijakan, yang
diidentifikasi didalam proses perumusan kebijakan untuk
memecahkan masalah publik. Kedua, keputusan kebijakan bukanlah
merupakan tindakan yang sifatnya teknis, namun secara inheren
sangat melekat pada proses politik. Dalam konteks ini diakui bahwa
keputusan kebijakan publik menciptakan adanya pilihan pihak yang
menang dan pihak yang kalah. Pilihan semacam ini selalu terjadi
bahkan pada saat pemerintah memutuskan untuk tidak melakukan
sesuatu atau untuk mempertahankan statusquo sekalipun.
Dalam perspektif teori kebijakan publik, para ahli
mengembangkan sejumlah model yang berkaitan dengan pengambilan
keputusan. Secara fundamental setidaknya terdapat 3 (tiga) model
dalam pengambilan keputusan yaitu model rasional komprehensif,
model inkremental dan model mixscanning. Model rasional
merupakan model pengambilan keputusan bisnis yang diterapkan
kedalam arena publik. Model ini menganjurkan pengambilan
keputusan sebagai aktifitas sekuensial dalam penentuan pilihan
32

(choice) yang dilakukan bagi pencapaian tujuan dengan cara-cara
yang paling efisien. Model ini beranggapan bahwa masalah-masalah
masyarakat haruslah dipecahkan dengan cara yang scientific dan
rasional melalui penghimpunan seluruh informasi yang relevan
dengan problema dan alternatif solusinya, yang pada muaranya
menghasilkan alternatif terbaik.
Berbeda dengan model rasional, model inkremental merupakan
model politik yang diterapkan kedalam kebijakan publik. Sehingga
pembuatan keputusan kebijakan dipandang sebagai proses politik
yang akan selalu ditandai dengan adanya proses tawar menawar dan
kompromi. Dengan dasar ini, dalam pandangan model inkremental,
keputusan pada akhirnya lebih merupakan gambaran dari apa yang
secara politik layak (feasible) daripada apa yang secara politik
diinginkan (desirable).
Model mix scanning merupakan model prespektif dan deskriptif
dalam pengambilan keputusan. Model ini dikembangkan untuk
menjembatani berbagai kelemahan pada dua model sebelumnya.
Karenanya model ini seringkali juga dipandang sebagai model
kompromi atas model inkremental dan rasional komprehensif.. Model
ini beranggapan bahwa pembuatan keputusan optimal akan terdiri dari
pencarian secara cepat (cursory search) atas berbagai alternatif, yang
selanjutnya akan diikuti dengan pengkajian yang lebih detil bagi
alternatif yang lebih meyakinkan. Karenanya model ini akan
mendorong adanya lebih banyak inovasi sebagaimana dituntut model
33

inkremental, tanpa mengabaikan tuntutan tidak realistik yang
digambarkan model rasional.
Namun apapun model yang dikembangkan dalam menjelaskan
keputusan kebijakan, secara fundamental didalam berbagai model
tersebut memiliki sejumlah persamaan : Pertama, masing-masing
model mengakui jumlah aktor yang relevan terlibat dalam
pengambilan keputusan cenderung lebih sedikit dibandingkan dengan
tahapan sebelumnya. Pada tahapan agenda setting, berbagai aktor
yang terlibat baik dari lingkungan pemerintah maupun masyarakat
sangat luas.. Pada tahapan formulasi kebijakan, aktor yang terlibat
tetap besar, namun hanya mencakup aktor negara atau masyarakat
yang membentuk policy subsistem. Pada tahapan pengambilan
keputusan, aktor yang terlibat lebih sedikit, dimana secara normal
sering menyisihkan aktor non state, termasuk pula jenjang / levelitas
tertentu di lingkungan pemerintahan.
Kedua, berbagai model mengakui bahwa didalam pemerintahan
modern, tingkat kebebasan para pengambil keputusan dibatasi oleh
setumpuk aturan politik dan administrative yang membatasi tindakan
masing-masing pejabat politik ataupun administratif. Aturan ini
terwujud dalam berbagai bentuk mulai dari konstitusi negara hingga
wewenang khusus yang diberikan kepada individu pembuat keputusan
yang diberikan undang-undang atau regulasi. Aturan ini tidak semata
menentukan ditangan siapa keputusan bisa dibuat, namun juga
memuat berbagai perangkat prosedur yang harus dilalui bagi
pengambilan keputusan sebagai saluran tindakan channels of action
34

bagi pengambilan keputusan. Salah satu bagian penting tahap
pengambilan keputusan kebijakan untuk memasuki tahapan
berikutnya adalah pengesahan kebijakan. Suatu usulan kebijakan akan
berubah menjadi kebijakan yang sah (legitimate policy) apabila telah
mendapatkan pengesahan dari orang atau badan yang berwenang
sesuai dengan standar yang berlaku dalam aturan pembuatan
kebijakan. Kebijakan yang sudah disahkan dengan sendirinya
dipandang sebagai sesuatu yang mengikat bagi sorang atau badan dan
sekaligus dapat dinyatakan telah siap diimplementasikan.
4. Implementasi Kebijakan
Implementasi kebijakan merupakan tahapan kebijakan yang
ditandai dengan proses mentransformasikan suatu keputusan
kebijakan ke dalam praktek kebijakan. Karenanya, substansi dari
implementasi kebijakan adalah proses dimana program atau kebijakan
dijalankna sebagai manifestasi translasi rencana kedalam praktek
Sebagai translasi keputusan kebijakan, implementasi kebijakan
dengan sendirinya memiliki posisi yang sangat krusial. Dinyatakan
sebagai sesuatu yang krusial, karena sebaik apapun suatu kebijakan
diformulasikan dan diputuskan, kalau tidak dipersiapkan dan
dilaksanakan dengan baik maka tujuan kebijakan tidak akan pernah
mampu diwujudkan. Karenanya mengutip pendapat Pressmann dan
Wildavsky, implementasi kebijakan dapat dipandang sebagai proses
interaksi antara setting tujuan dengan tindakan yang menggerakkan
pencapaian tujuan tersebut (implementation may be viewed as process
35

of interaction between the setting of goals and action geared to
achieving them).
Dalam implementasi kebijakan, kemungkinan terjadinya
perbedaan antara apa yang diharapkan oleh para pembuat kebijakan
dengan apa yang senyatanya dapat dicapai amat terbuka. Gejala ini
oleh Andre Dunsire disebut dengan implementation gap yaitu suatu
keadaan dimana didalam proses pelaksanaan kebijakan selalu terjadi
perbedaan antara das sollen dan das sein. Besar kecilnya perbedaan
sangat ditentukan oleh implementation capacity yaitu kemampuan
suatu organisasi atau aktor untuk melaksanakan keputusan kebijakan
sedemikian rupa sehingga ada jaminan bahwa tujuan atau sasaran
yang telah ditetapkan dalam dokumen formal kebijakan dapat dicapai.
Dalam konteks implementasi dapat mencapai tujuan yang
ditetapkan, Mazmanian dan Paul A.Sabatier menyatakan terdapat tiga
langkah intervensi: Pertama, mengorganisasikan implementasi
kebijakan, kedua, memimpin organisasi yang mengimplimentasikan
kebijakan dan ketiga, mengendalikan pelaksanaan implementasi
kebijakan. Langkah intervensi dapat dilakukan melalui penerapan 2
(dua) pendekatan vertikal top-down dan bottom-up. Pendekatan top-
down terutama berfokus pada ketersediaan unit pelaksana (birokrasi),
standar pelaksanaan, kewenangan, dan koordinasi. Sedang pendekatan
bottom up menekankan pada strategi-strategi yang digunakan oleh
pelaksana saat menentukan tujuan yang hendak dicapai oleh suatu
kebijakan publik sebagai dasar memahami kebijakan publik itu sendiri
secara keseluruhan.
36

Untuk menjamin implementasi dapat mencapai tujuan, menurut
Mazmanian diperlukan sejumlah syarat: Pertama, Tujuan yang jelas
dan konsisten, sehingga dapat menjadi sumber evaluasi legal dan
sumberdaya. Kedua, Teori kausal yang memadai, dan memastikan
agar kebijakan itu mengandung teori yang akurat tentang bagaimana
cara menjabarkan perubahan. Ketiga, struktur implementasi yang
disusun secara legal untuk membantu pihak-pihak yang
mengimplementasikan kebijakan dan kelompok yang menjadi sasaran
kebijakan. Keempat, para pelaksana implementasi yang ahli dan
memiliki komitmen. Kelima, duukungan dari kelompok kepentingan
dan penguasa di legislatif dan eksekutif.
5. Evaluasi Kebijakan
Evaluasi kebijakan secara fungsional dipandang merupakan
tahapan akhir dalam proses kebijakan. Sebagai tapan akhir, proses ini
memiliki posisi yang amat penting dan ditempatkan pada rangkaian
yang terjadi setelah kebijakan publik diimplementasikan. Namun
betapapun ditempatkan pada fase akhir siklus kebijakan, evaluasi
dapat dilakukan pada aktifitas fungsional kebijakan lainnya sehingga
keseluruhan konsekuensi proses kebijakan dapat menjadi objek
evaluasi tanpa harus menunggu implementasi kebijakannnya. Dalam
konteks ini, evaluasi kebijakan memiliki posisi penting dalam
keseluruhan siklus kebijakan; Pertama, evaluasi memberikan
informasi yang valid dan dapat dipercaya mengenai kinerja kebijakan.
Kedua, evaluasi memberi sumbangan pada klarifikasi dan kritik
terhadap nilai yang mendasari pemilihan tujuan dan target kebijakan.
37

Ketiga, evaluasi memberi kontribusi bagi aplikasi metode kebijakan
karena berbagai informasi yang didapat tentang tidak memadainya
kinerja kebijakan dapat memberi sumbangan pada perumusan ulang
masalah kebijakan.
Sebagai tahapan dalam proses kebijakan publik, evaluasi
kebijakan memiliki banyak konotasi. Anderson mengatakan bahwa
policy evaluation can be briefly defined as appraisal or assessment
of policy, including its content, implementation and impact.. Jones
memahami evaluasi kebijakan sebagai ...an activivity designed to
judge the merits of government programs which varies significantly in
the specification of object, the techniques of measurement, and the
methods of analysis. William Dunn mengatakan bahwa evaluasi dapat
disamakan dengan penaksiran (appraisal), pemberian angka (rating)
dan penilaian (assessment) yang secara spesifik berkenaan dengan
produksi informasi mengenai nilai atau manfaat hasil kebijakan,
(Dunn, 200:608). David Nachmias mendefinisikan evaluasi kebijakan
sebagai objective systematic, empirical examination of the effects on
going policies and public programs have on their target in terms of
the goals they are meant to achieve, (Mamud, 1995: 169).
Berbagai pengertian yang dikemukakan diatas mencerminkan
perspektif yang berbeda dalam memandang evaluasi kebijakan publik.
Hal ini terjadi disamping karena adanya berbagai perbedaan yang
berkaitan dengan fokus atau objek evaluasi, juga karena usaha
mengembangkan ukuran evaluasi kebijakan yang memadai dan dapat
diterima memang merupakan pekerjaan yang amat kompleks.
38

Ingramm & Mann mengatakan bahwa kompleksitas dan kerumitan ini
terjadi karena konsep tentang penilaian keberhasilan dan kegagalan
kebijakan seringkali merupakan konsep yang amat subjektif serta
merefleksikan tujuan yang individual. sehingga sangat dipengaruhi
oleh persepsi kebutuhan dan bahkan disposisi psikologis individu.
Kondisi kebijakan seringkali ditafsirkan berbeda oleh evaluator yang
berbeda, sehingga seringkali tidak didapati cara yang pasti untuk
menentukan evaluasi yang benar.
Namun terlepas dari berbagai perbedaan diatas, para ahli
bersepakat bahwa evaluasi kebijakan pada dasarnya merupakan
aktifitas yang bersifat politis. Prof. Weiss mengatakan bahwa
evaluation has always had explicitly political overtone. Bustani Dj.
Mamud mengatakan bahwa policy evaluation, like other stages of the
policy process, is a political activity. Dimensi politik dari proses
evaluasi muncul karena pada levelitas tertentu, evaluasi kebijakan
dapat dijalankan oleh lembaga pemerintahan, disampaing lembaga di
luar pemerintahan. Sebagai konsekuensinya, evaluasi dapat menjadi
sangat politis dan sarat dengan dengan kecenderungan tertentu (value
laden).
Keputusan masa depan yang dihasilkan dari proses evaluasi
mencakup: Pertama, kebijakan perlu diteruskan atau dihentikan.
Kedua, kebijakan perlu diteruskan, namun perlu perbaikan baik
prosedur maupun penerapannya. Ketiga, perlunya menambah atau
mengembangkan strategi dan teknik program khusus. Keempat,
perlunya menerapkan kebijakan program serupa di tempat lain.
39

Kelima, perlunya mengalokasikan sumberdaya langka diantara
program yang saling kompetitif. Keenam, perlunya menolak atau
menerima teori atau pendekatan kebijakan program.
Sebagai bagian dari siklus kebijakan, evaluasi kebijakan pada
dasarnya merupakan kegiatan yang mencakup keseluruhan tahapan
kebijakan. James Anderson mengatakan bahwa cakupan evaluasi
kebijakan dapat meliputi isi, pelaksanaan dan dampak kebijakan,
sehingga keseluruhan proses dalam tahapan kebijakan mulai dari fase
perumusan masalah kebijakan, formulasi usulan kebijakan,
implementasi, legitimasi kebijakan tidak ada yang tidak tersentuh dari
proses evaluasi.
Dalam spektrum yang demikian luas, eavaluasi tersebut dapat
dijalankan dalam 3 (tiga) kategori : Administratif, yuridis dan politis.
Evaluasi administratif, merupakan evaluasi yang dijalankan
dengan fokus pada aspek berbagai aspek administrasi kebijakan.
Aspek administratif dilihat secara bervariasi, sehingga evaluasi ini
juga memiliki varian yang berbeda sesuai dengan kreteria yang
dikembangkan. Secara fundamental, menurut William Dunn, kriteria
evaluasi tersebut mencakup efektifitas, efisiensi, kecukupan
(adequacy) perataan, responsifitas dan ketepatan.
Evaluasi yudicial sebagai evaluasi kebijakan kedua tidak
memberikan perhatian pada persoalan diatas seperti prioritas,
efisiensi, pengeluaran, efektifitas dan semacamnya, namun lebih
berfokus pada issu legal yang berkaitan dengan cara pemerintah
menjalankan program. Evaluasi ini dijalankan oleh lembaga yang
40

berhubungan dengan penegakan hukum dan memusatkan perhatian
pada kemungkinan terjadinya pertentangan antara tindakan yang
dilakukan pemerintah dengan aturan konstitusional atau standart
aturan pelaksanaan administrtatif dan hak individu. Dalam proses ini,
evaluasi yudisial dijalankan melalui pengujian terhadap sifat
konstitusionalitas kebijakan yang dijalankan, ketepatan pelaksanaan
dilihat dari prosedur kerjanya serta apakah implemerntasi tersebut
melanggar prinsip hak asasi dan atau rasa keadilan didalam
masyarakat.Penegak hukum menilai apakah kebijakan yang dijalankan
tersebu t benar menurut prinsip hukum dan aturan administratif yang
berlaku.
Evaluasi politik dijalankan oleh berbagai pihak dengan
kepentingan tertentu di bidang politik. Tidak sebagaimana evaluasi
administratif ataupun yudicial, evaluasi ini tidak selalu bersifat
sistematis secara teknis memadai, bahkan tak jarang dilakukan secara
biased dan memihak serta tidak obyektif. Tujuannya tidak selalu untuk
menyempurnakan kebijakan pemerintah, namun sekedar berupaya
mendukung pemerintahan. atau menentang pemerintah. Evaluasi
politik lebih banyak memberi label keberhasilan ataupun kegagalan
kebijakan seraya dibarengi dengan tuntutan bagi keberlanjutan
ataupun perubahan kebijakan tersebut. Berbagai bentuk pujian
ataupun kecaman yang timbul pada tahapan ini dapat melahirkan
bergeraknya siklus baru tatkala pemerintah berupaya merespon
berbagai kritik atau menarik pelajaran dari berbagai pengalaman
41

sebelumnya kedalam kebijakan baru atau kebijakan yang
diperbaharui.
a. Review dan Evaluasi Kebijakan
Fokus analisis ini adalah mengkaji bagaimana kinerja kebijakan
dengan mempertimbangkan tujuan kebijakan,dan apa dampak kebijakan
terhadap suatu persoalan tertentu.. Dalam proses penentuan dan penerapan
kebijakan, perlu dilakukan review dan evaluasi kebijakan secara
menyeluruh. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan nilai objektivitas dari
sebuah kebijakan terutama kebijakan publik, sebab selain public issue ada
juga policy issue yang timbul seiring dengan berjalannya penerapan
kebijakan.








Gambar 2. Review Kebijakan
Bagan di atas menunjukkan bahwa terdapat keterikatan review dengan
pengambilan keputusan. Dalam menjalankan fungsi review, adabaiknya
sebuah organisasi memulainya dengan mengindentifikasi issue yang
muncul ketika kebijakan sudah dijalankan. Selanjutnya dilakukan
konsultasi dengan para pejabat atau yang bertanggung jawab dalam
External review and
consultation
Decision
Yes
Review required?
No
Stakeholder Identification
No review at this time
Knowledge Update
42

pembuatan serta pelaksanaan kebijakan. Konsultasi yang dilakukan dapat
pula berupa metode survey atau wawancara formal. Setelah dilakukannya
konsultasi bak internal maupun eksternal maka akan ada perbaikan dalam
tata pelaksanaan kebijakan yang ikut merubah pengambilan kebijakan yang
sesuai dan lebih bersifat obyektif.
b. Empat Prespektif Mengolah Proses Kebijakan
Perpektif
Ciri-Ciri
Peranan
(roles)
Nilai
(value)
Tujuan
(agenda)
Gaya (style) Kecaman
(critism)
Rasionalis Analisis
kebijakan
Metode Dapat
ditemukan
Menyeluruh Gagal untuk
menjawab
berbagai
pembatasan
Teknisi Tenaga
ahli
Latihan Ditemukan
oleh yang
lainnya
Eksplisit Keterbatasan
Inkrementalis Poitisi Status quo Ditentukan
oleh tuntutan
baru
Tawar-
menawar
Konservatif
Reformis Warga
negara
Perubahan Bersifat
subtantif
Aktivis Tidak realistis
Tabel 1. Perspektif Mengelola Proses Kebijakan
c. Ruang Lingkup Kebijakan
1. Kebijakan Pendidikan
Suatu sikap dan tindakan yang di ambil seseorang atau dengan
kesepakatan kelompok pembuat kebijakan sebagai upaya untuk mengatasi
masalah atau suatu persoalan dalam dunia pendidikan. Kebijakan
43

pendidikan meliputi pendanaan BOS yang dimaksud agar anak-anak tidak
putus sekolah, dan tetap melanjutkan pendidikan 9 tahun. Dengan
pengetahuan yang cukup tinggi, negara kita tidak lagi tertindas dan bahkan
mengalami kemajuan di segala bidang.
2. Kebijakan Pemerintah
Kebijakan pemerintah adalah keputusan yang diambil oleh pemerintah
untuk memecahkan permasalahan di negara. Baik politik, ekonomi, sosial,
ataupun budaya. kebijakan ini terkadang juga membuat sebagian pihak
merasa dirugikan karena menghambat jalan mereka. Contohnya : Pada
tahun 2000 kebijakan yang diambil oleh menteri perdagangan sangat
merugikan pihak eksportir. Kenapa? Kebijakan itu membuat eksportir (
eksportir mebel ) mengalami kesulitan untuk mengekspor barang
mebelnya ke negara lain. Yang otomatis mematikan pengusaha yang sudah
berkembang bahkan sudah maju pada era tersebut.
Kebijakan pemerintah terdiri dari dua bagian besar, yaitu kebijakan publik
dan kebijakan sosial.
3. Kebijakan Sosial
Suatu cara pengambilan tindakan dalam melanjutkan proses
pemerintahan, kepartaian, kekuasaan, kepemimpinan negara, dan atau
yang lainnya. Arah dalam pengambilan suatu tindakan itu haruslah sesuai
dengan keadaan yang sedang dihadapi.
4. Kebijakan Bisnis
Kebijakan bisnis dapat didefinisikan dengan ketetapan atau keputusan
manajemen untuk mencapai tujuan masa depan perusahaan yang
merupakan pedoman dalam melakukan aktivitas bisnis.
44

Tujuan kebijakan bisnis:
Melindungi usaha kecil dan menengah.
Melindungi lingkungan hidup sekitarnya.
Melindungi konsumen.
Pendapatan pemerintah.





45

Bab III
Kebijakan Kesehatan
3.1 Kebijakan Lingkup Rumah Sakit Berdasarkan Tingkatannya
Kebijakan lingkup rumah sakit ini diklasifasikan ke tingkat makro, meso,
dan mikro yang berdasarkan cakupan wilayah.
3.1.1 Kebijakan Tingkat Makro
Kebijakan lingkup ini adalah UU nomor 44 tahun 2009 mencakup
kebijakan secara keseluruhan sebagai jaringan keputusan untuk membuat
strategi baru tentang rumah sakit di Indonesia.
3.1.2 Kebijakan Lingkup Rumah Sakit Tingkat Meso
Kebijakan lingkup rumah sakit tingkat meso yaitu:
1. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia no.
147/MENKES/PER/I/2010 tentang Perizinan Rumah Sakit
(melaksanakan ketentuan pasal 28 UU no. 44 Tahun 2009)
2. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia no.
340/MENKES/PER/III/2010 tentang Klasifikasi Rumah Sakit
(melaksanakan ketentuan pasal 24 UU no. 44 Tahun 2009)
Peraturan Menteri Kesehatan diatas digolongkan sebagai kebijakan
tingkat meso karena sesuai dengan definisi dari kebijakan
meso.Peraturan diatas merupakan penjelasan terperici dari
kebijakan makro nya yaitu UU nomor 44 tahun 2009.Di dalam UU
nomor 44 Tahun 2009 terdapat beberapa peraturan yang seharusnya
diatur oleh Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden akan
tetapi ada beberapa peraturan yang belum di atur oleh pemerintah
seperti; Peraturan Pemerintah mengenai Pendayagunaan Tenaga
46

Kesehatan Asing sesuai dengan kebutuhan Pelayanan yang tertera
pada Pasal 14 ayat (4)
3.1.3 Kebijakan Lingkup Rumah Sakit Tingkat Mikro
Kebijakan lingkup rumah sakit tingkat mikro yaitu:
1. Peraturan Daerah Kota Depok nomor 05 Tahun 2011 tentang
Perizinan dan Sertifikasi Bidang Kesehatan. Yang merupakan
realisasi dari kebijakan meso PERMENKES RI no.
147/MENKES/PER/I/2010 tentang Perizinan Rumah Sakit
2. Peraturan Daerah Kabupaten Bandung nomor 6 Tahun 2011
tentang Penataan Organisasi dan Kelembagaan Rumah Sakit
Umum Daerah Kelas B Majalaya Kabupaten Bandung.
Merupakan realisasi dari kebijakan meso PERMENKES no.
340/MENKES/PER/III/2010 tentang Klasifikasi Rumah Sakit.
3.2 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009
Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 mengatur tentang rumah
sakit.Rumah sakit yang dimaksud adalah rumah sakit yang ada di
Indonesia.Undang-undang ini mengatur tentang ketentuan umum dalam
mendirikan suatu rumah sakit dan ketentuan yang harus ditaati oleh suatu
rumah sakit.
Pengertian Rumah Sakit, Asas dan Tujuan Rumah Sakit, Tugas dan
Fungsi Rumah Sakit, Persyaratan Mendirikan Rumah Sakit, Jenis dan
Klasifikasi Rumah Sakit, Perizinan Rumah Sakit
3.2.1 Sifat Kebijakan dalam Undang-Undang nomor 44 Tahun 2009
1. Sifat Regulatif
47

Segala ketentuan yang harus ditaati oleh semua rumah sakit yang ada
di Indonesia.Seperti tentang lokasi, prasana, dan kefarmasian rumah
sakit.
2. Sifat Protektif
Melindungi kepentingan dan keinginan pihak yang terkait di dalam
UU nomor 44 tahun 2009 ini.Seperti pasal tentang keselamatan
pasien.
3. Sifat Distributif
Menyebarluaskan segala informasi, sumber daya, dan aturan baru
yang harus ditaati oleh semua rumah sakit yang ada di
Indonesia.Seperti pasal tentang sistem rujukan.
4. Sifat Re-distributif
Mengatur kembali distirbusi sumber daya yang sudah ada.
3.3 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
147/MENKES/PER/I/2010
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
147/MENKES/PER/I/2010mengatur tentang perizinan rumah sakit. Rumah sakit
yang dimaksud adalah rumah sakit yang ada di Indonesia.Peraturan Menteri
Kesehatan ini mengatur tentang perizinan untuk mendirikan rumah sakit dan
perizinan operasional yang harus ditaati oleh suatu rumah sakit.
3.4 Pembahasan Isi Sistem Kesehatan Nasional 2009
Sistem Kesehatan Nasional (SKN) adalah Sistem yang mengatur bentuk
dan cara penyelenggaraan pembangunan kesehatan yang memadukan berbagai
upaya bangsa Indonesia dalam tujuan guna menjamin tercapainya pembangunan
kesehatan dalam kerangka mewujudkan kesejahteraan rakyat sebagaimana
48

dimaksud dalam Undang-undang Dasar 1945.Dalam menjalankan SKN, sangat
perlu mempetimbangkan faktor determinan sosial, seperti:
1. Kondisi kehidupan sehari-hari,
2. Tingkat pendidikan,
3. Pendapatan keluarga,
4. Distribusi kewenangan,
5. Keamanan,
6. Sumber daya,
7. Kesadaran masyarakat, serta
8. Kemampuan tenaga kesehatan dalam mengatasi masalah-masalah
tersebut.
Sistem Kesehatan Nasional disusun dengan memperhatikan pendekatan
revitalisasi pelayanan kesehatan dasar yang meliputi:
1. Cakupan pelayanan kesehatan yang adil dan merata,
2. Pemberian pelayanan kesehatan yang berpihak kepada rakyat,
3. Kebijakan pembangunan kesehatan, dan
4. Kepemimpinan.
Sistem Kesehatan Nasional juga disusun dengan memperhatikan inovasi atau
terobosan dalam penyelenggaraan pembangunan kesehatan secara luas, termasuk
penguatan sistem rujukan. Sistem Kesehatan Nasional dibentuk dan dijalankan
sesuai Landasan Hukum Maupun Ideologi. Adapun Landasan Sistem Kesehatan
Nasional meliputi:
1. Landasan Ideologi, yaitu Pancasila.
49

2. Landasan Konstitusional, yaitu UUD 1945, khususnya: Pasal 28 A, 28
H ayat (1) dan ayat (3), serta Pasal 34 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 28 B
ayat (2), Pasal 28 C ayat (1),
3. Landasan Operasional meliputi seluruh ketentuan peraturan
perundangan yang berkaitan dengan penyelenggaraan SKN dan
pembangunan kesehatan.
Sistem Kesehatan Nasional akan berfungsi baik untuk mencapai tujuannya apabila
terjadi Koordinasi, Integrasi, Sinkronisasi, dan Sinergisme (KISS), baik antar
pelaku, antar subsistem SKN, maupun dengan sistem serta subsistem lain di luar
SKN. Dengan tatanan ini, maka sistem atau seluruh sektor terkait, seperti
pembangunan prasarana, keuangan dan pendidikan perlu berperan bersama
dengan sector kesehatan untuk mencapai tujuan nasional.
Tujuan Sistem Kesehatan Nasional adalah terselenggaranya pembangunan
kesehatan oleh semua potensi bangsa, baik masyarakat, swasta, maupun
pemerintah secara sinergis, berhasil guna dan berdaya guna, sehingga terwujud
derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Mengacu pada substansi
perkembangan penyelenggaraan pembangunan kesehatan dewasa ini serta
pendekatan manajemen kesehatan tersebut diatas, maka subsistem Sistem
Kesehatan Nasional meliputi:
1. Upaya Kesehatan
Untuk dapat mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-
tingginya perlu diselenggarakan berbagai upaya kesehatan dengan
menghimpun seluruh potensi bangsa Indonesia. Upaya kesehatan
diselenggarakan dengan upaya peningkatan, pencegahan, pengobatan,
dan pemulihan.
50

2. Pembiayaan Kesehatan
Pembiayaan kesehatan yang kuat, terintegrasi, stabil, dan
berkesinambungan memegang peran yang amat vital untuk
penyelenggaraan pelayanan kesehatan dalam rangka mencapai
berbagai tujuan pembangunan kesehatan.
3. Sumber Daya Manusia Kesehatan
Sebagai pelaksana upaya kesehatan, diperlukan sumber daya manusia
kesehatan yang mencukupi dalam jumlah, jenis dan kualitasnya, serta
terdistribusi secara adil dan merata, sesuai tututan kebutuhan
pembangunan kesehatan.
4. Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Makanan
Meliputi berbagai kegiatan untuk menjamin: aspek keamanan,
kemanfaatan dan mutu sediaan farmasi, alat kesehatan, dan makanan
yang beredar; ketersediaan, pemerataan, dan keterjangkauan obat,
terutama obat esensial; perlindungan masyarakat dari penggunaan
yang salah dan penyalahgunaan obat; penggunaan obat yang rasional;
serta upaya kemandirian di bidang kefarmasian melalui pemanfaatan
sumber daya dalam negeri.
5. Manajemen dan Informasi Kesehatan
Meliputi: kebijakan kesehatan, administrasi kesehatan, hukum
kesehatan, dan informasi kesehatan. Untuk menggerakkan
pembangunan kesehatan secara berhasil guna dan berdaya guna,
diperlukan manajemen kesehatan.
6. Pemberdayaan Masyarakat
51

Sistem Kesehatan Nasional akan berfungsi optimal apabila ditunjang
oleh pemberdayaan masyarakat. Ini penting, agar masyarakat
termasuk swasta dapat mampu dan mau berperan sebagai pelaku
pembangunan kesehatan.
52

Bab IV
Analisis Kebijakan
4.1 Pengertian Analisis Kebijakan
Analisis Kebijakan adalah suatu disiplin ilmu social terapan yang
menggunakan berbagai macam metode penelitian dan argumen untuk
menghasilkan dan memindahkan informasi yang relevan dengan kebijakan
sehingga dapat dimanfaatkan di tingkat politik dalam rangka memecahkan
masalah-masalah kebijakan. Setiap jenis analisis yang menghasilkan dan
menyajikan informasi sehingga dapat menjadi dasar bagi para pengambil
kebijakan di dalam menguji berbagai pendapat mereka.
Dalam analisis kebijakan, kata analisis digunakan dalam pengertian yang
paling umum.Kata tersebut secara tidak langsung menunjukkan penggunaan
intuisi dan pertimbangan dan mencakup tidak hanya pengujian kebijakan dengan
pemecahan ke dalam berbagai komponennya tetapi juga merencanakan dan
mencari sintesis atas berbagai alternatif baru.Berbagai aktivitas ini meliputi sejak
penelitian untuk menjelaskan atau memberikan wawasan terhadap problem atau
isu yang mendahului atau untuk mengevaluasi program yang sudah selesai.
analisis kebijakan publik dapat diartikan sebagai suatu kajian terhadap
sebuah kebijakan yang telah dibuat oleh pemerintah sebagai sarana untuk
memperbaiki atau meningkatkan kualitas dari kebijakan tersebut sehingga
kebijakan itu akan dapat bertahan lebih lama.
4.2 Ciri Analisis Kebijakan
Analisis Kebijakan Publik adalah proses penciptaan pengetahuan dari dan
dalam proses penciptaan kebijakan. Maka dari itu analisis kebijakan publik
menurunkan beberapa ciri yakni :
53

1. Analisis kebijakan publik merupakan kegiatan kognitif, yang terkait
dengan proses pembelajaran dan pemikiran.
2. Analisis kebijakan publik merupakan hasil kegiatan kolektif, karena
keberadaan sebuah kebijakan pasti melibatkan banyak pihak, dan
didasarkan pada pengetahuan kolektif dan terorganisir mengenai
masalah yang ada.
3. Analisis kebijakan merupakan disiplin intelektual terapan yang bersifat
reflektif, kreatif, imajinatif dan eksploratori.
4. Analisis kebijakan publik berkaitan dengan masalah publik, bukan
masalah pribadi walaupun masalah tersebut melibatkan banyak orang.
4.3 Siklus Analisis Kebijakan (Policy Analysis Cycle)

Gambar 3. Siklus Analisis Kebijakan Publik (William N. Dunn)
Analisis kebijakan publik (public policy analysis) merupakan upaya untuk
mencegah kegagalan dalam pemecahan masalah melalui kebijakan publik. Oleh
karena itu, salah satu esensi kehadiran analisis kebijakan publik (public policy)
adalah dengan memecahkan masalah yang berkembang di masyarakat secara
benar, sehingga selalu berada pada setiap tahapan dalam proses kebijakan publik
54

(public policy process). Analis kebijakan sering diharuskan untuk memberikan
nasihat kepada para pembuat kebijakan (para eksekutif).
Kebijakan publik dapat dilihat dari dua sudut pandang, dari pra dan pasca
terbentuknya.Pertama (pra) terbentuknya kebijakan publik, melihat dari proses
pembentukan sedangkan.Kedua (pasca)terbentuknya kebijakan
publik,memandang dari setelah menjadi produk kebijakan, berupa perundangan
dan atau peraturan publik.
Dalam pendekatan pertama, terdapat tahapan yang lazim berlaku.Diawali
dengan identifikasi terhadap problematika yang muncul di ranah publik, pihak
tertentu yang berkepentingan kemudian mengupayakan permasalahan tersebut
dikemukakan ke hadapan publik sehingga diketahui dan disadari bahwa persoalan
yang muncul terkait dengan kepentingan public (public issues). Ketika semakin
banyak yang menaruh perhatian (concerned), maka isu publik beranjak menjadi
agenda publik, yang biasanya ditindak-lanjuti dengan berbagai aksi-reaksi antara
pemangku kepentingan dengan lembaga publik yang berwenang menerbitkan
kebijakan. Pada tahap ini sering timbul pro dan kontra, adu argumentasi, saling
mempengaruhi, pengerahan dukungan dan lain sebagainya.Jika tercapai konklusi,
hasil akhir produk kebijakan publik berupa perundangan atau peraturan publik.
Adapun metodologi analisis kebijakan dengan lima prosedur umum yang
lazim dipakai dalam pemecahan masalah manusia, yaitu:
1. Perumusan masalah. Perumusan masalah (definisi) menghasilkan
informasi mengenai kondisi yang menimbulkan masalah kebijakan.
2. Peramalan. Peramalan (prediksi) menyediakan informasi mengenai
konsekuensi di masa mendatang dari penerapan alternatif kebijakan.
55

3. Rekomendasi. Rekomendasi (preskripsi) menyediakan informasi
mengenai nilai atau kegunaan relatif dari konsekuensi di masa depan
dari suatu pemecahan masalah.
4. Pemantauan. Pemantauan (deskripsi), menghasilkan informasi tentang
konsekuensi sekarang dan masa lalu dari diterapkannya alternatif
kebijakan.
5. Evaluasi. Evaluasi, yang mempunyai nama sama dengan yang dipakai
dalam bahasa sehari-hari, menyediakan informasi mengenai nilai atau
kegunaan dari konsekuensi pemecahan atau pengatasan masalah.
Dalam analisis kebijakan publik paling tidak meliputi tujuh langkah dasar. Ke
tujuh langkah tersebut adalah:
1) Formulasi Masalah Kebijakan. Untuk dapat mengkaji suatu masalah
publik diperlukan teori, informasi dan metodologi yang relevan dengan
permasalahan yang dihadapi. Sehingga identifikasi masalah akan tepat
dan akurat.
2) Formulasi Tujuan. Suatu kebijakan selalu mempunyai tujuan untuk
memecahkan masalah publik.Analis kebijakan harus dapat merumuskan
tujuan tersebut secara jelas, realistis dan terukur.
3) Penentuan Kriteria. Analisis memerlukan kriteria yang jelas dan
konsisten untuk menilai suatu alternatif.
4) Penyusunan Model. Model adalah abstraksi dari dunia nyata, dapat pula
didefinisikan sebagai gambaran sederhana dari realitas permasalahan
yang kompleks sifatnya.
5) Pengembangan Alternatif. Alternatif adalah sejumlah alat atau cara
yang dapat dipergunakan untuk mencapai, langsung ataupun tak
56

langsung sejumlah tujuan yang telah ditentukan. Alternatif kebijakan
dapat muncul dalam pikiran seseorang karena beberapa hal: (1)
Berdasarkan pengamatan terhadap kebijakan yang telah ada, (2)
Dengan melakukan semacam analogi dari suatu kebijakan dalam
sesuatu bidang dan dicoba menerapkannya dalam bidang yang tengah
dikaji, (3) merupakan hasil pengkajian dari persoalan tertentu.
6) Penilaian Alternatif. Alternatif yang ada perlu dinilai berdasarkan
kriteria sebagaimana yang dimaksud pada langkah ketiga. Tujuan
penilaian adalah mendapatkan gambaran lebih jauh mengenai tingkat
efektivitas dan fleksibilitas tiap alternatif dalam pencapaian tujuan,
sehingga diperoleh kesimpulan mengenai alternatif mana yang paling
layak , efektif dan efisien.
7) Rekomendasi kebijakan. Penilaian atas alternatif akan memberikan
gambaran tentang sebuah pilihan alternatif yang tepat untuk mencapai
tujuan-kebijakan publik. Tugas analis kebijakan publik pada langkah
terakhir ini adalah merumuskan rekomendasi mengenai alternatif yang
diperhitungkan dapat mencapai tujuan secara optimum.Rekomendasi
dapat satu atau beberapa alternatif, dengan argumentasi yang lengkap
dari berbagai faktor penilaian tersebut.Dalam rekomendasi ini
sebaiknya dikemukakan strategi pelaksanaan dari alternatif kebijakan
yang yang disodorkan kepada pembuat kebijakan publik.
Mengikuti proses di atas seringkali melelahkan, oleh karena itu, banyak
pihak memilih mengomentari produk kebijakan, menganalisis mengapa, untuk
apa, dan siapa yang diuntungkan/dirugikan dari produk kebijakan publik tersebut.
Tentu saja analisis yang dikemukakan dipengaruhi oleh posisi relatif dan
57

kepentingan yang bersangkutan terhadap isu-isu terkait kebijakan publik
tersebut.Oleh karena itulah menjadi tidak aneh bila timbul kelucuan dan ketidak-
pasan antara komentar dan substansi kebijakan.
4.4 Pendekatan dalam Analisis Kebijakan
Pendekatan adalah berbagai metoda pengkajian dan argumentasi untuk
menghasilkan dan mentransformasikan informasi kebijakan agar dapat digunakan
secara politis untuk menyelesaikan masalah kebijakan. Sedangkan kebijakan
public menurut William N Dunn (N. Dunn, 2000:132) adalah pola ketergantungan
yang kompleks dari pilihan kolektif yang saling tergantung, termasuk keputusan
untuk bertindak yang dibuat oleh badan atau kantor pemerintah. Menurut William
N Dunn pula, analisis kebijakan publik adalah ilmu social terapan yang
menggunakan beragai macam metodologi penelitian dan argument untuk
menghasilkan dan mentransformasikan yang relevan dengan kebijakan yang
digunakan dalam lingkungan politik tertentu untuk memecahkan masalah
kebijakan.

Gambar 4. Siklus Analisis Kebijakan
58

Analisis kebijakan, dalam pengertiannya yang luas, melibatkan hasil
pengetahuan tentang dan di dalam proses kebijakan. Secara historis, tujuan
analisis kebijakan adalah menyediakan informasi bagi pembuat kebijakan untuk
dijadikan bahan pertimbangan yang nalar guna menemukan pemecahan masalah
kebijakan.
Analisis kebijakan mengambil dari berbagai disiplin yang tujuannya bersifat
deskriptif, evaluatif, dan normatif. Sebagai disiplin ilmu terapan, analisis
kebijakan meminjam tidak hanya ilmu sosial dan perilaku tetapi juga administrasi
publik, hukum, etika, dan berbagai macam cabang analisis sistem matematika dan
terapan. (Diskusi klasik analisis kebijakan sebagai disiplin terapan adalah karya
Duncan Macrae, Jr., The Social Functions of Social Science, (New Haven, CT :
Yale University Press, 1976), hal 277-307). Analisis kebijakan diharapkan untuk
menghasilkan dan mentransformasikan informasi tentang: (1) nilai, yang
pencapaiannya merupakan tolok ukur utama untuk melihat apakah masalah telah
teratasi, (2) fakta, yang keberadaannya dapat membatasi atau meningkatkan
pencapaian nilai, dan (3) tindakan, yang penerapannya dapat menghasilkan
pencapaian nilai.
Ketiga macam tipe informasi tersebut dapat dihasilkan dengan
menggunakan satu atau lebih dari tiga pendekatan analisis kebijakan utama
menurut William N. Dunn, yaitu empiris, valuatif, dan normatif.
1. Pendekatan Empiris
Pendekatan empiris ditekankan terutama pada penjelasan berbagai
sebab dan akibat dari suatu kebijakan publik tertentu. Dari sini,
pertanyaan utama akan bersifat faktual (apakah sesuatu ada?) dan
macam informasi yang dihasilkan bersifat deskriptif. Misalnya, analis
59

dapat mendeskripsikan, menjelaskan, atau meramalkan pengeluaran
publik untuk kesehatan, pendidikan, atau jalan raya.
2. Pendekatan Valuatif
Pendekatan ini merupakan kebalikan dari pendekatan empiris.
Pendekatan ini lebih ditekankan pada penentuan bobot atau nilai
beberapa kebijakan. Maka dalam hal ini, pertanyaan yang muncul
akan berkenaan dengan nilai (berapa nilainya?) dan tipe informasi
yang dihasilkan bersifat valuatif. Sebagai contoh, setelah memberikan
informasi deskriptif mengenai berbagai macam kebijakan perpajakan,
analis dapat mengevaluasi berbagai cara yang berbeda dalam
mendistribusikan beban pajak menurut konsekuensi etis dan moral
mereka.
3. Pendekatan Normatif
Pendekatan ini lebih ditekankan pada rekomendasi serangkaian
tindakan yang akan datang yang dapat menyelesaikan masalah publik.
Dalam kasus ini, pertanyaannya berkenaan dengan tindakan (Apa
yang harus dilakukan?) dan tipe informasi yang dihasilkan bersifat
preskriptif. Sebagai contoh, kebijakan jaminan pendapatan minimum
tahunan dapat direkomendasikan sebagai cara untuk menyelesaikan
masalah kemiskinan.




60

Pendekatan Pertanyaan Utama Tipe Informasi
Empiris Adakah dan akankah ada (fakta) Deskriptif dan
prediktif
Valuatif Apa manfaatnya (Nilai) Valuatif
Normatif Apakah yang harus diperbuat
(aksi)
Preskriptif
Tabel 2. Pendekatan dalam Analisis Kebijakan
Seorang analis kebijakan dapat menggunakan satu atau lebih dari ketiga
pendekatan tersebut.Namun ketika seorang analis menggunakan ketiganya, dapat
dikatakan analis tersebut telah melampaui tujuan dari disiplin ilmu tradisional, di
mana disiplin ilmu tradisional cenderung mengabaikan berbagai nilai dan fakta
yang ada (mengabaikan pendekatan valuatif dan normative).
61

Conclution
1. Policy is A purposive course of action followed by an actor or set of
actors in dealing with a problem or matter of concern. (James E.
Anderson:1975)
2. Policy is defide into two types which is public policy and non-public
policy.
3. Policy have to being identifiying, designing, implementing and evaluating
by using the policy cycle.
4. In policy cycle there are five process which are agenda setting, policy
Formulation, decision making, policy implementasion, and policy
evaluation.
5. In agenda setting there was public issue.
6. On the decision making policy there are three level, micro, meso and
macro level.
7. There are decision making level on both public or non-public service and
the used of levels is based on the types of policy.
8. Health policy is the one of public policy scope.
9. Review and evaluation of policy is making an improvement in a whole
policy decision.
10. Policy analysis is also used to make a continous improvement but in every
single process of policy cycle.

Anda mungkin juga menyukai