Anda di halaman 1dari 26

PROBLEMATIKA MANAJEMEN DIKLAT SEBAGAI BAHAN KAJIAN

ILMIAH

(Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Mata kuliah Manajemen


Pendidikan dan Pelatihan)

MAKALAH

DOSEN PEMAMPU :
DR. H. SUHERMAN, M.PD

Disusun Oleh :

USEP SAEPUL ANWAR, S,Pd NIM : 7772200045


NINA ROSTIANA, S.PD NIM : 7772200029
MUMUN MALIHAH, S.Pd NIM : 7772200018

PRODI MANAJEMEN PENDIDIKAN


PASCASARJA
UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur senantiasa kami ucapkan kehadirat Allah SWT. Karena atas
limpahan rahmat dan hidayahnya, kami mampu menyelesaikan tugas makalah ini
dengan baik, tepat pada waktunya. Makalah ini disajikan dengan pola dan bahasa
yang sistematis dan sederhana sehingga mudah dipahami oleh para pembaca.
Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah mendukung
dan berperan aktif dalam menyelesaikan tugas makalah ini, yang berjudul tentang
“PROBLEMATIKA MANAJEMEN DIKLAT SEBAGAI BAHAN KAJIAN
ILMIAH” khususnya bapak Dr. H. Suherman, M.Pd. selaku dosen mata kuliah
Manajemen Pendidikan dan Pelatihan. Sehubungan dengan makalah ini, kepada
para pembaca kmai tak lupa mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya
membangun, bilamana dalam makalah ini terdapat kesalahan dan kekeliruan demi
perbaikan cetak ulang dimasa datang.
Karena bagaimanapun juga manusia itu tempat kesalahan dan kelalaian
sebagai mana tiada gading yang tak retak, sebelumnya kami ucapkan terima kasih.
Akhirnya kepada Allah saya bertawakal dan berserah diri.

Serang, 10 Juni 2021

Penulis
DAFTAR ISI

Kata Pengantar....................................................................................................... i
Daftar Isi ............................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ..............................................................................1

B. Rumusan Masalah .......................................................................................1

C. Tujuan Penelitian .........................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN

A. Sumber Daya Manusia ..............................................................................10

B. Pembiayaan ..................................................................................................... 20

C. Sarana/Prasarana Dan Teknologi ..............................................................23

BAB III PENUTUP

A. Simpulan .....................................................................................................5
B. Saran ............................................................................................................5

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Semua pemimpin dalam sebuah organisasi, perusahaan atau institusi pasti
mengharapkan agar lembaga yang mereka pimpin selalu mengalami perbaikan dan
bergerak ke arah yang lebih baik. Mereka selalu mengharapkan lembaga atau
institusi yang mereka pimpin bisa beradaptasi dengan tuntutan perkembangan
zaman, mengatasi persoalan-persoalan baru yang selalu muncul serta tahan
terhadap dinamika internal dan eksternal yang sangat tinggi. Untuk mewujudkan
harapan tersebut, maka inovasi dan perbaikan di semua sektor sudah tentu harus
dilakukan.
Salah komponen penting dalam mewujudkan organisasi yang tangguh
tersebut adalah adanya penguatan Sumber Daya Manusia. Seperti disampaikan oleh
Knoke & Kalleberg (1994:12) jika sebuah organisasi ingin tetap survive dan
prosper di dunia yang sangat kompetitif saat ini maka pengembangan sumber daya
manusia tidak bisa dielakkan. Pelatihan yang dimaksud adalah upaya tersistematis
yang dirancang demi meningkatkan kinera seorang pegawai. Chiaburu dan Teklad
mendefinisikan pelatiahan sebagai is the planned intervention that is designed to
enhance the determinants of individual job performance (Chiaburu &Teklab,
2005:312)
Dalam banyak teori organisasi, personil merupakan investasi untuk sebuah
organisasi. Semakin organisasi tersebut berusaha mengembangkan kemampuan
personilnya, maka organisasi tersebut secara tidak langsung dianggap telah
melakukan investasi demi masa depan dan survival organisasinya. Begitu juga
sebaliknya, stagnasi dalam pengembangan kemampuan personil, akan berujung
pada stagnasi organisasi. Oleh karena itu untuk menghasilkan prestasi dan
keberlanjutan organisasi, sebuah organisasi harus memberikan perhatian besar
terhadap upgrading personil-personil yang menjadi bagian dari organisasi tersebut.
Proses upgrading kemampuan para personil bisa dilakukan, salah satunya,
melalui pengikut sertaan pegawai/personil dalam kegiatan pendidikan dan pelatihan
secara berkala. Secara umum, program pelatihan demi peningkatan kemampuan
dan kualitas sumber daya manusia di berbagai institusi di Indonesia telah sering
dilakukan. Ada yang otonom dilakukan oleh setiap lembaga, ada yang dikoordinir
oleh lembaga lain di atasnya.
Lembaga yang menjadi fokus kajian dalam tulisan/penelitian ini adalah Pusat
Pendidikan dan Pelatihan Tenaga Teknis Pendidikan dan Keagamaan Kementerian
Agama Republik Indonesia yang berlokasi di Ciputat, Tangerang Selatan, Banten.
Dalam pengamatan yang penulis lakukan, Pusdiklat Tenaga Teknis Pendidikan dan
Keagamaan secara berkala melakukan pelatihan untuk peserta yang datang – baik
dari pusat maupun daerah – dari berbagai kalangan di lingkungan Kementerian
Agama RI.
Sama seperti Pusdiklat dan Balai Pendidikan dan Pelatihan yang dimiliki oleh
kementerian lain, Pusdiklat Tenaga Teknis Pendidikan dan Keagamaan memiliki
visi untuk mewujudkan sistem dan penyelenggaraan Diklat Teknis Keagamaan
yang handal dalam menyediakan Sumber Daya Manusia (SDM) fungsional
Kementerian Agama yang berkualitas.
Tujuan yang ingin dicapai Pusdiklat Tenaga Teknis Pendidikan dan
Keagamaan adalah (1) mengembangkan kapasitas kelembagaan diklat, (2)
mengembangkan sistem dan produk diklat secara terpadu dan sinergis, (3)
menyelenggarakan diklat tenaga teknis keagamaan untuk memenuhi kebutuhan
sumber daya manusia Kementerian Agama yang berkualitas, (4) mengupayakan
pemerataan kesempatan dan peluang diklat bagi seluruh aparat tenaga teknis
keagamaan untuk mencapai minimal empat atau tiga tahun sekali di lingkungan
Kementerian Agama, (5) mendorong pemanfaatan dan pemberdayaan alumni diklat
bagi peningkatan kinerja Kementerian Agama, (6) meningkatkan kendali mutu
dalam penyelenggaraan diklat, dan (7) mengembangkan jejaring kerja kediklatan
penguatan potensi UPT diklat di daerah.
Pelaksanaan program pendidikan dan pelatihan dimotivasi oleh keinginan
untuk meningkatkan prestasi dan kinerja pegawai. Secara teoritis, hal ini memang
sudah banyak dibuktikan dalam beberapa penelitian sebelumnya. Misalnya saja
penelitian yang dilakukan oleh Cheng and Ho (2001). Mereka menulis bahwa
While employee performance is one of the crucial measures emphasized by
the top management, employees are more concerned about their own productivity
and are increasingly aware of the accelerated obsolescence of knowledge and skills
in their turbulent environment. As the literature suggests, by effectively training
and developing employees, they will become more aligned for career growth—
career potential enhances personal motivation. (p. 22)
(meskipun peningkatan kinerja pegawai adalah salah satu ukuran penting
yang diperhatikan oleh para petinggi organisasi –saat melakukan program
pelatihan, para pegawai biasanya lebih menaruh perhatian pada peningkatan
produktifitas kerja mereka dan semakin sadar akan pesatnya perkembangan ilmu
dan pengetahun yang menjadi kendala dalam lingkungan kerja. Seperti yang banyak
disarankan oleh tulisan-tulisan yang ada, dengan melakukan pelatihan dan
pengembangan kemampuan yang efektif terhadap para pegawai, mereka dengan
sendirnya berpotensi mendapatkan peningkatan karir, dan peningkatan karir akan
meningkatkan motivasi kerja)
Dalam penelitian yang lain, Constantino dan Merchant (1996) mengatakan
bahwa pendidikan dan pelatihan juga dibutuhkan agara terciptanya sistem
manajemen konflik yang baik dalam sebuah organisasi. Kegagalan dalam
menyediakan pendidikan dan pelatihan bisa berujung pada konflik antara pegawai
dan pemilik organisasi/institusi/atasan. Konflik antara pegawai dengan atasannya
bisa memicu banyak skenario, seperti pelaporan atasan oleh bawahan kepada pihak
berwenang, dan lain-lain. Banyak kasus konflik antara atasan dan bawahan yang
akhirnya berujung di meja hijau.
Di lain hal, Rowden dan Shamsuddin (2000) serta Rowden dan Conine (2005)
menemukan hasil bahwa meskipun belum ada ukuran yang pasti antara
keikutsertaan seorang pegawai dalam pendidikan dan pelatihan tertentu terhadap
tingkat kepuasan kerja, para peneliti di atas menemukan fakta bahwa kebanyakan
pegawai yang pernah mengikuti program pelatihan bisa memberikan pelayanan
yang lebih baik dan memuaskan kepada para pelanggan/costomer dibandingkan
dengan pegawai yang belum pernah mengikuti program pelatihan.
Dengan demikian, berdasarkan beberapa penelitian di atas, bisa diambil
kesimpulan awal bahwa program pelatihan untuk pegawai cenderung memiliki
hasil positif jika dibandingkan dengan peningkatan kinerja dan kemampuan
pegawai setelah program pelatihan selesai. Ini adalah fondasi awal yang menjadi
masalah dalam tulisan/penelitian ini. Ada sebuah asumsi kuat bahwa program
pelatihan berbanding lurus dengan peningkatan kinerja dan motivasi pegawai.
Namun, fakta yang penulis temukan melalui wawancara dengan alumni
peserta Diklat Jabatan Fungsional Pendidikan Berjenjang Angkatan VI Guru
Madya Mata Pelajaran Pendidikan Agama Kristen SMP pada bulan Maret 2016,
ternyata program pendidikan dan pelatihan tersebut bisa gagal. Dalam beberapa kali
pelatihan yang diselengarakan oleh Pusdiklat Tenaga Tekis Pendidikan dan
Keagamaan, sering dilakukan evaluasi terhadap peserta yang sudah mengikuti
pelatihan. Informasi yang ingin didapatkan adalah seberapa besar kontribusi
pelatihan yang pernah mereka ikuti terhadap peningkatan kinerja mereka di
lingkungan kerja masing-masing. Input yang didapatkan ternyata mengecewakan.
Dalam sebuah kesempatan, salah seorang peserta mengatakan “Diklat memang
ramai Pak, tapi kami selama observe dari belakang tidak melihat peningkatan
kompetensi yang signifikan saat proses praktek… dan sampai hari ini tak ada
perubahan berarti di tempat kerja” (informan 2016)
Penulis mengamati secara langsung proses diklat yang dilaksanakan di
Pusdiklat Tenaga Teknis Pendidikan dan Keagamaan. Penulis menyaksikan para
peserta hadir dan mengikuti kegiatan sesuai dengan jadwal. Tidak ada tanda-tanda
bahwa peserta kelelahan, bosan, stres, dan sebagainya. Malah, yang terlihat adalah
keceriaan selama mengikuti proses pelatihan dan diskusi. Tentu feedback negatif
yang disampaikan informan merupakan hal yang janggal. Seperti yang sudah
dijelaskan di bagian awal tulisan ini, bahwa ada semacam invisible hand yang
mampu mendongkrak performa dan motivasi pegawai setelah mengikuti program
pelatihan. Namun itu tidak terjadi, jika merujuk pada feedback yang disampaikan
oleh para informan.
Inilah yang menjadi masalah dalam riset/tulisan ini. Tulisan ini akan mencoba
menggali faktor apa yang menjadi penyebab “gagalnya” program pendidikan dan
pelatihan yang diselenggarakan oleh Pusdiklat Tenaga Teknis Pendidikan dan
Keagamaan. Tulisan/penelitian ini diperlukan karena Pusdiklat Tenaga Teknis
Pendidikan dan Keagamaan adalah salah satu lembaga yang intens melakukan
pelatihan terhadap pegawai di lingkungan Kementerian Agama. Seterusnya,
lembaga ini akan tetap menjalankan peran memberikan pelatihan dan pendidikan
kepada pegawai Kementerian Agama. Fedback yang disampaikan oleh mantan
peserta diklat tentu menjadi warning bahwa ada sesuatu yang salah dan harus
diperbaiki dalam lembaga penyeleggara diklat Kementerian Agama. Dengan
melakukan diaknosa terhadap penebab gagalnya program diklat tersebut, Pusdiklat
Tenaga Teknis Pendidikan dan Keagamaan bisa menemukan solusi untuk
mencegah “kegagalan” serupa terjadi di kemudian hari.
Tulisan ini mulai dari asumsi bahwa Pendidikan dan pelatihan jabatan
merupakan proses penyelenggaraan belajar mengajar dalam rangka meningkatkan
kemampuan pegawai. Dari beberapa hasil penelitian di atas menyatakan bahwa
pendidikan dan pelatihan jabatan sangat diperlukan untuk diadakan dalam
meningkatkan kualitas pegawai sehingga pegawai memiliki kompetensi yang lebih
baik dalam memberikan penyelenggaraan dan pembangunan.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan banyak peneliti, hampir semua
pegawai yang mengikuti pendidikan dan pelatihan menyatakan bahwa pelatihan
yang diikuti mereka dapat mendorong kepekaan terhadap pekerjaan yang harus
diselesaikan secara baik, dimana tumbuh rasa keingintahuan akan hal-hal yang
berhubungan dengan pekerjaannya sehingga mereka mengikuti pendidikan dan
pelatihan jabatan dari dorongan sendiri, bukan adanya paksaan dari orang lain. Hal
ini menunjukan bahwa pegawai tersebut benar-benar mengikuti pendidikan dan
pelatihan jabatan guna menambah pengetahuannya.
Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa ada fakta yang disampaikan oleh para
pegawai yang pernah mengikuti program pelatihan di Pusdiklat Tenaga Teknis
Pendidikan dan Keagamaan dan mereka menyatakan bahwa program Diklat yang
mereka ikuti belum mampu meningkatkan kinerja atau kemampuan mereka di
tempat kerja.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka dapat penulis tarik menjadi
rumusan masalah sebagai berikut :
A. Apa faktor yang membuat program pendidikan dan pelatihan di Pusdiklat
Tenaga Teknis Pendidikan dan Keagamaan disebut gagal dalam
meningkatkan kinerja pegawai yang mengikuti pelatihannya.

B. Bagaimana solusi praktis yang bisa diambil untuk mengatasi faktor


penyebab terjadinya kegagalan tersebut.

C. Tujuan Penelitian
A. Untuk mengetahui apa saja faktor yang membuat program pendidikan
dan pelatihan di Pusdiklat Tenaga Teknis Pendidikan dan Keagamaan
disebut gagal dalam meningkatkan kinerja pegawai yang mengikuti
pelatihannya?

B. Bagaimana solusi praktis yang bisa diambil untuk mengatasi faktor


penyebab terjadinya kegagalan tersebut?
BAB II
PEMBAHASAN

Problema pendidikan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia saat ini, tanpa
terkecuali pendidikan Islam di antaranya adalah: 1) masih rendahnya pemerataan
memperoleh pendidikan, 2) masih rendahnya mutu dan relevansi pendidikan; 3)
masih lemahnya manajemen pendidikan, di samping belum terwujudnya
keunggulan ilmu pengetahuan dan teknologi di kalangan akademisi dan
kemandirian. Berbagai usaha telah dilakukan untuk mengatasi masalah pendidikan
lebih khusus pendidikan Islam, misalnya penggantian kurikulum nasional dan lokal
dari kurikulum 2006 atau yang lebih dikenal dengan Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP) menjadi kurikulum 2013, namun dengan melalui penggantian
kurikulum ini bukannya menyelesaikan permasalahan pendidikan tapi justru malah
menambah permasalahan baru dalam pendidikan di negeri ini. Usaha selanjutnya
dalam mengatasi problema pendidikan yaitu peningkatan kompetensi dan
konvensasi guru melalui pelatihan dan sertifikasi, pengadaan buku dan alat
pelajaran, pengadaan dan perbaikan sarana dan prasarana pendidikan, dan
peningkatan mutu manajemen sekolah.

A. SUMBER DAYA MANUSIA


1. Terbatasnya Sumber Daya Manusia sebagai Problem Manajemen Pendidikan
Islam
Sumber daya manusia atau biasa disingkat menjadi SDM potensi yang
terkandung dalam diri manusia untuk mewujudkan perannya sebagai
makhluk sosial yang adaptif dan transformatif yang mampu mengelola
dirinya sendiri serta seluruh potensi yang terkandung di alam menuju
tercapainya kesejahteraan kehidupan dalam tatanan yang seimbang dan
berkelanjutan. Dalam pengertian praktis sehari-hari, SDM lebih dimengerti
sebagai bagian integral dari sistem yang membentuk suatu organisasi. Oleh
karena itu, dalam bidang kajian psikologi, para praktisi SDM harus
mengambil penjurusan industri dan organisasi.
Sebagai ilmu, SDM dipelajari dalam manajemen sumber daya manusia
atau (MSDM). Dalam bidang ilmu ini, terjadi sintesa antara ilmu manajemen
dan psikologi. Mengingat struktur SDM dalam industri-organisasi dipelajari
oleh ilmu manajemen, sementara manusia-nya sebagai subyek pelaku adalah
bidang kajian ilmu psikologi.
Dewasa ini, perkembangan terbaru memandang SDM bukan sebagai
sumber daya belaka, melainkan lebih berupa modal atau aset bagi institusi
atau organisasi. Karena itu kemudian muncullah istilah baru di luar H.R.
(Human Resources), yaitu H.C. atau Human Capital. Di sini SDM dilihat
bukan sekedar sebagai aset utama, tetapi aset yang bernilai dan dapat
dilipatgandakan, dikembangkan (bandingkan dengan portfolio investasi) dan
juga bukan sebaliknya sebagai liability (beban,cost). Di sini perspektif SDM
sebagai investasi bagi institusi atau organisasi lebih mengemuka.
Manusia diciptakan oleh Allah SWT dalam rangka menjadi khalifah
dimuka bumi, hal ini banyak dicantumkan dalam al-Qur’an dengan maksud
agar manusia dengan kekuatan yang dimilikinya mampu membangun dan
memakmurkan bumi serta melestarikannya.[10] Untuk mencapai derajat
khalifah di buka bumi ini diperlukan proses yang panjang, dalam Islam upaya
tersebut ditandai dengan pendidikan yang dimulai sejak buaian sampai ke
liang lahat.[11]
Menurut Hadawi Nawawi (1994) Sumber daya manusia (SDM) adalah
daya yang bersumber dari manusia, yang berbentuk tenaga atau kekuatan
(energi atau power). Sumber daya manusia mempunyai dua ciri, yaitu : (1)
Ciri-ciri pribadi berupa pengetahuan, perasaan dan keterampilan (2) Ciri-ciri
interpersonal yaitu hubungan antar manusia dengan lingkungannya.
Sementara Emil Salim menyatakan bahwa yang dimaksud dengan SDM
adalah kekuatan daya pikir atau daya cipta manusia yang tersimpan dan tidak
dapat diketahui dengan pasti kapasitasnya. Beliau juga menambahkan bahwa
SDM dapat diartikan sebagai nilai dari perilaku seseorang dalam
mempertanggungjawabkan semua perbuatannya, baik dalam kehidupan
pribadi maupun dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat dan berbangsa.
Dengan demikian kualitas SDM ditentukan oleh sikap mental manusia
(Djaafar, 2001 : 2).
T. Zahara Djaafar (2001 : 1) menyatakan bahwa bila kualitas SDM
tinggi, yaitu menguasai ilmu dan teknologi dan mempunyai rasa tanggung
jawab terhadap kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya dan merasa
bahwa manusia mempunyai hubungan fungsional dengan sistem sosial,
nampaknya pembangunan dapat terlaksana dengan baik seperti yang telah
negara-negara maju, dalam pembangunan bangsa dan telah berorientasi ke
masa depan. Tidak jarang di antara negara-negara maju yang telah berhasil
meningkatkan kesejahteraan bangsanya adalah bangsa yang pada mulanya
miskin namun memiliki SDM yang berkualitas.
Pengembangan sumber daya manusia (SDM) merupakan bagian dari
ajaran Islam, yang dari semula telah mengarah manusia untuk berupaya
meningkatkan kualitas hidupnya yang dimulai dari pengembangan budaya
kecerdasan. Ini berarti bahwa titik tolaknya adalah pendidikan yang akan
mempersiapkan manusia itu menjadi makhluk individual yang bertanggung
jawab dan makhluk sosial yang mempunyai rasa kebersamaan dalam
mewujudkan kehidupan yang damai, tentram, tertib, dan maju, dimana moral
kebaikan (kebenaran, keadilan, dan kasih sayang) dapat ditegakkan sehingga
kesejahteraan lahir batin dapat merata dinikmati bersama.
Pendidikan tentu saja memiliki tujuan utama (akhir). Dan, tujuan utama
atau akhir (ultimate aim) pendidikan dalam Islam menurut Hasan Langgulung
adalah pembentukan pribadi khalifah bagi anak didik yang memiliki fitrah,
roh dan jasmani, kemauan yang bebas, dan akal. Pembentukan pribadi atau
karakter sebagai khalifah tentu menuntut kematangan individu, hal ini berarti
untuk memenuhi tujuan utama tersebut maka pengembangan sumber daya
manusia adalah suatu keniscayaan. Oleh karena itu untuk mencapai tujuan
tersebut diperlukan strategi untuk menggapainya. Karena strategi merupakan
alternatif dasar yang dipilih dalam upaya meraih tujuan berdasarkan
pertimbangan bahwa alternatif terpilih itu diperkirakan paling optimal
Strategi adalah jantung dari tiap keputusan yang diambil kini dan
menyangkut masa depan. Tiap strategi selalu dikaitkan dengan upaya
mencapai sesuatu tujuan di masa depan, yang dekat maupun yang jauh. Tanpa
tujuan yang ingin diraih, tidak perlu disusun strategi. Selanjutnya, suatu
strategi hanya dapat disusun jika terdapat minimal dua pilihan. Tanpa itu,
orang cukup menempuh satu-satunya alternatif yang ada dan dapat digali.
Sedangkan Hasan Langgulung dengan definisi yang telah dipersempit
berpendapat bahwa strategi memiliki makna sejumlah prinsip dan pikiran
yang sepatutnya mengarahkan tindakan sistem-sistem pendidikan di dunia
Islam. Menurutnya kata Islam dalam konteks tersebut, memiliki ciri-ciri khas
yang tergambar dalam aqidah Islamiyah, maka patutlah strategi pendidikan
itu mempunyai corak Islam. Adapun strategi pendidikan yang dipilih oleh
Langgulung terdiri dari dua model, yaitu strategi pendidikan yang bersifat
makro dan strategi pendidikan yang bersifat mikro.[12]
Dalam Islam sosok manusia terdiri dua potensi yang harus dibangun,
yaitu lahiriah sebagai tubuh itu sendiri dan ruhaniyah sebagai pengendali
tubuh. Pembangunan manusia dalam Islam tentunya harus memperhatikan
kedua potensi ini. Jika dilihat dari tujuan pembangunan manusia Indonesia
yaitu menjadikan manusia seutuhnya, maka tujuan tersebut harus
memperhatikan kedua potensi yang ada pada manusia. Namun upaya kearah
penyeimbangan pembangunan kedua potensi tersebut selama 32 tahun masa
orde baru hanya dalam bentuk konsep saja tanpa upaya aplikasi yang
sebenarnya. Telah dimaklumi bahwa pendidikan Islam memandang tinggi
masalah SDM ini khususnya yang berkaitan dengan akhlak (sikap, pribadi,
etika dan moral).
Kualitas SDM menyangkut banyak aspek, yaitu aspek sikap mental,
perilaku, aspek kemampuan, aspek intelegensi, aspek agama, aspek hukum,
aspek kesehatan dan sebagainya (Djaafar, 2001 : 2). Kesemua aspek ini
merupakan dua potensi yang masing-masing dimiliki oleh tiap individu, yaitu
jasmaniah dan ruhaniah. Tidak dapat dipungkiri bahwa aspek jasmaniah
selalu ditentukan oleh ruhaniah yang bertindak sebagai pendorong dari dalam
diri manusia. Untuk mencapai SDM berkualitas, usaha yang paling utama
sebenarnya adalah memperbaiki potensi dari dalam manusia itu sendiri, hal
ini dapat diambil contoh seperti kepatuhan masyarakat terhadap hukum
ditentukan oleh aspek ruhaniyah ini. Dalam hal ini pendidikan Islam memiliki
peran utama untuk mewujudkannya.
Tantangan manusia pada millennium ke-3 ini akan terfokus pada
berbagai aspek kompleks. Khusus dibidang pendidikan Aly dan Munzier
(2001 : 227) menyebutkan bahwa tantangan pendidikan Islam terbagi atas 2,
yaitu tantangan dari luar (eksternal), yaitu berupa pertentangan dengan
kebudayaan Barat abad ke-20 dan dari dalam (internal) Islam itu sendiri,
berupa kejumudan produktivitas keislaman.[13]
Faktor Eksternal
Faktor eksternal yang patut diwaspadai dalam mensikapi SDM
Indonesia adalah globalisasi (perdagangan pasar bebas). Perdagangan pasar
bebas bukanlah gossip atau rumor yang kehadirannya sudah jelas kita ketahui
bersama kemarin ketika tahun baru dating 01 januari 2010 menjadi tanggal
bersejarah beraninya bangsa ini membuka FTA (Free Trade Area) Asena
dengan China. Globalisasi adalah pendatang baru yang sudah membeli tiket
yang akan datang dan menetap di negeri ini dengan jangka waktu yang sangat
lama. Banyak sekali masalah yang kemudian kita hadapi dengan globlisasi
yang kini mnjedi momok menakutkan terhadap penumbuhan kualitas SDM
bangsa ini apalagi SDM bangsa ini sebenarnya belum siap menghadapi FTA
ditambah adanya kesan seperti sangat dipaksakan entah karena gengsi atau
apalah namanya bangsa ini ikut serta dalam menyetujui FTA Asean dengan
China.
Faktor Internal
Kejumudan produktivitas keislaman yang pada kenyataan kali ini
ummat islam banyak terkotak – kotakan dalam nuansa keasyikan bermadzhab
sampai ke titik fanatis sehingga mnyalahkan madzhab yang lain yang nota
benenya masih sesame islam sehingga muncul banyakperdebatan –
perdebatan sis – sia yang hanya menyumbat tingkat peningkatan kualitas
pendidikan sebagai investasi pembentukn sumber daya manusia ummat islam
sehingga menyumbat pula tingkat produktivitas keislaman akibat kejumudan
pemikiran serta taklid buta terhadap fanatisme kemadzhaban.
Abdul Rachman Shaleh (2000 : 203) menyatakan bahwa untuk
menjawab tantangan dan menghadapi tuntutan pembangunan pada era
globalisasi diisyaratkan dan diperlukan kesiapan dan lahirnya masyarakat
modernIndonesia. Aspek yang spektakuler dalam masyarakat modern adalah
penggantian teknik produksi dari cara tradisional ke cara modern yang
ditampung dalam pengertian revolusi industri. Secara keliru sering dikira
bahwa modernisasi hanyalah aspek industri dan teknologi saja. Padahal
secara umum dapat dikatakan bahwa modernisasi masyarakat adalah
penerapan pengetahuan ilmiah yang ada kepada semua aktivitas dan semua
aspek hidup masyarakat.
A. R. Saleh (2000 : 205) menyatakan ada beberapa ciri masyarakat atau
manusia yang berkualitas, yaitu :
a. Beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME, serta berakhlak mulia dan
berkepribadian
b. Berdisiplin, bekerja keras, tangguh dan bertanggung jawab
c. Mandiri, cerdas dan terampil
d. Sehat jasmani dan rohani
e. Cinta tanah air, tebal semangat kebangsaan dan rasa kesetiakawanan social

2. Upaya Untuk Mengatasi Terbatasnya Sumber Daya Manusia


Untuk meningkatkan mutu pendidikan, kita perlu melihat dari banyak
sisi. Telah banyak pakar pendidikan mengemukakan pendapatnya tentang
faktor penyebab dan solusi mengatasi kemerosotan mutu pendidikan di
lndonesia. Dengan masukan ilmiah ahli itu, pemerintah tak berdiam diri
sehingga tujuan pendidikan nasional tercapai.
Beberapa penerapan pola peningkatan mutu di Indonesia telah banyak
dilakukan, namun masih belum dapat secara langsung memberikan efek
perbaikan mutu. Di antaranya adalah usaha peningkatan mutu dengan
perubahan kurikulum dan proyek peningkatan lain; Proyek Manajemen
Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS), Proyek Perpustakaan,
Proyek Bantuan Meningkatkan Manajemen Mutu (BOMM), Proyek Bantuan
lmbal Swadaya (BIS), Proyek Pengadaan Buku Paket, Proyek Peningkatan
Mutu Guru, Dana Bantuan Langsung (DBL), Bantuan Operasioanal Sekolah
(BOS) dan Bantuan Khusus Murid (BKM). Dengan memperhatikan sejumlah
proyek itu, dapatlah kita simpulkan bahwa pemerintah telah banyak
menghabiskan anggaran dana untuk membiayai proyek itu sebagai upaya
meningkatkan mutu pendidikan.
Upaya pemerintah yang begitu mahal belum menunjukkan hasil
menggembirakan. Ada yang berpendapat mungkin manajemennya yang
kurang tepat dan ada pula yang mengatakan bahwa pemerintah kurang
konsisten dengan upaya yang dijalankan. Karena itu, kembali pada apa yang
kita sebut sebagai kekayaan lokal, bahwa tidak sepenuhnya apa yang dapat
dipraktikkan dengan baik di luar negeri bisa seratus persen juga berhasil di
Indonesia, semua itu membutuhkan tahapan, namun dengan kerangka yang
jelas dan tidak dibebani oleh proyek yang demi kepentingan sesaat atau
golongan. Hal-hal berikut adalah elemen dasar bagaimana kita dapat
meningkatkan mutu pendidikan atau sumber daya manusia di Indonesia.
a. Insan Pendidikan Patut Mendapatkan Penghargaan Karenaitu Berikanlah
Penghargaan
“Manajemen Sumber Daya Manusia” mengatakan, penghargaan diberikan
untuk menarik dan mempertahankan SDM karena diperlukan untuk
mencapai saran-saran organisasi. Staf (guru) akan termotivasi jika
diberikan penghargaan ekstrinsik (gaji, tunjangan, bonus dan komisi)
maupun penghargaan instrinsik (pujian, tantangan, pengakuan, tanggung
jawab, kesempatan dan pengembangan karir). Mc. Keena & Beech (1995
: 161).
Manusia mempunyai sejumlah kebutuhan yang memiliki lima
tingkatan (hierarchy of needs) yakni, mulai dari kebutuhan fisiologis (pangan,
sandang dan papan), kebutuhan rasa aman ( terhindar dari rasa takut akan
gangguan keamanan), kebutuhan sosial (bermasyarakat), kebutuhan yang
mencerminkan harga diri, dan kebutuhan mengaktualisasikan diri di tengah
masyarakat. Abraham H. Maslow.
Pendidik dan pengajar sebagai manusia yang diharapkan sebagai
ujung tombak meningkatkan mutu berhasrat mengangkat harkat dan
martabatnya. Jasanya yang besar dalam dunia pendidikan pantas untuk
mendapatkan penghargaan intrinsik dan ekstrinsik agar tidak termarjinalkan
dalam kehidupan masyarakat.
b. Meningkatkan Profesionalisme Guru dan Pendidik
Kurikulum dan panduan manajemen sekolah sebaik apapun tidak akan
berarti jika tidak ditangani oleh guru profesional. Karena itu tuntutan terhadap
profesinalisme guru yang sering dilontarkan masyarakat dunia usaha/industri,
legislatif, dan pemerintah adalah hal yang wajar untuk disikapi secara arif dan
bijaksana.
Fenomena menunjukkan bahwa kualitas profesionalisme guru kita
masih rendah. Faktor-faktor internal seperti penghasilan guru yang belum
mampu memenuhi kebutuhan fisiologis dan profesi masih dianggap sebagai
faktor determinan. Akibatnya, upaya untuk menambah pengetahuan dan
wawasan menjadi terhambat karena ketidakmampuan guru secara financial
dalam pengembangan SDM melalui peningkatan jenjang pendidikan.
Hal itu juga telah disadari pemerintah sehingga program pelatihan
mutlak diperlukan karena terbatasnya anggaran untuk meningkatkan
pendidikan guru. Program pelatihan ini dimaksudkan untuk menghasilkan
guru sebagai tenaga yang terampil (skill labour) atau dengan istilah lain guru
yang memiliki kompetensi.
UU Sisdiknas No. 20/2003 Pasal 42 ayat (1) menyebutkan pendidik
harus memiliki kualifikasi minimum dan sertifikasi sesuai dengan jenjang
kewenangan mengajar, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan
untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Uraian pasal 42 itu cukup
jelas bahwa untuk menjadi guru sebagai tahapan awal harus memenuhi
persyaratan kualifikasi minimal (latar belakang pendidikan keguruan/umum
dan memiliki akta mengajar). Setelah guru memenuhi persyaratan kualifikasi,
maka guru akan dan sedang berada pada tahapan kompetensi. Namun,
fenomena menunjukkan bahwa pendidik di sekolah masih banyak yang tidak
memenuhi persyaratan tersebut. Hal ini mengindikasikan bahwa lapangan
pekerjaan guru sangat mudah untuk dimasuki oleh siapa saja.
c. Sebisa Mungkin Kurangi dan Berantas Korupsi
Menurut laporan BPK tahun 2003 lalu, Depdiknas merupakan lembaga
pemerintah terkorup kedua setelah Departemen Agama. Kemudian Laporan
ICW menyebutkan bahwa korupsi dalam dunia pendidikan dilakukan secara
bersama-sama (Amin Rais menyebutnya korupsi berjamaah) dalam berbagai
jenjang mulai tingkat sekolah, dinas, sampai departemen. Pelakunya mulai
dari guru, kepala sekolah, kepala dinas, dan seterusnya masuk dalam jaringan
korupsi. Sekolah yang diharapkan menjadi benteng pertahanan yang
menjunjung nilai-nilai kejujuran justru mempertotonkan praktik korupsi
kepada peserta didik.
Korupsi itu berhubungan dengan dana yang berasal dari pemerintah dan
dana yang langsung ditarik dari masyarakat. Jika selama ini anggaran
pendidikan yang sangat minim dikeluhkan, ternyata dana yang kecil itupun
tak luput dari korupsi. Hal ini tidak terlepas dar kekaburan sistem anggaran
sekolah. Kekaburan dalam sistem anggaran (RAPBS) itu memungkinkan
kepala sekolah mempraktikkan Pembiayaan Sistem Ganda (PSG). Misalnya
dana operasional pembelian barang yang telah dianggarkan dari dana
pemerintah dibebankan lagi kepada masyarakat.
Semakin terpuruknya peringkat SDM Indonesia pada tahun 2004, tak
perlu hanya kita sesali, melainkan menjadikannya sebagai motivasi untuk
bangkit dari keterpurukan. Jika kondisi itu mau diubah mulailah dari
menerapkan konsep yang berpijak pada akar masalah.
d. Berikan Sarana dan Prasarana Yang Layak
Dengan diberlakukannya kurikulum 2004 (KBK), kini guru lebih
dituntut untuk mengkontekstualkan pembelajarannya dengan dunia nyata,
atau minimal siswa mendapat gambaran miniatur tentang dunia nyata.
Harapan itu tidak mungkin tercapai tanpa bantuan alat-alat pembelajaran
(sarana dan prasarana pendidikan).
Menurut Kepmendikbud No. 053/U/2001 tentang Standar Pelayanan
Minimal (SPM), sekolah harus memiliki persyaratan minimal untuk
menyelenggarakan pendidikan dengan serba lengkap dan cukup seperti, luas
lahan, perabot lengkap, peralatan/laboratorium/media, infrastruktur, sarana
olahraga, dan buku rasio 1:2. Kehadiran Kepmendiknas itu dirasakan sangat
tepat karena dengan keputusan ini diharapkan penyelenggaraan pendidikan di
sekolah tidak “kebablasan cepat” atau “keterlaluan tertinggal” di bawah
persyaratan minimal sehingga kualitas pendidikan menjadi semakin terpuruk.
Selanjutnya, UU Sisdiknas No. 20/2003 pasal 45 ayat (1) berbunyi,
setiap satuan pendidikan menyediakan sarana dan prasarana yang memenuhi
keperluan pendidikan sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan potensi
fisik, kecerdasan intelektual, sosial, emosional, dan kejiwaan peserta didik.
Jika kita lihat kenyataan di lapangan bahwa hanya sekolah-sekolah tertentu
di beberapa kota di Indonesia saja yang memenuhi persyaratan SPM,
umumnya sekolah negeri dan swasta favorit. Berdasarkan fakta ini,
keterbatasan sarana dan prasarana pada sekolah-sekolah tertentu,
pengadaannya selalu dibebankan kepada masyarakat. Alasannya pun telah
dilegalkan berdasarkan Kepmendiknas No. 044/U/2002 dan UU Sisdiknas
No. 20/2003 pasal 56 ayat (1). Dalam peningkatan mutu pelayanan
pendidikan yang meliputi perencanaan, pengawasan dan evaluasi program
pendidikan melalui dewan pendidikan dan komite sekolah/madrasah, ayat (2)
Dewan pendidikan, sebagai lembaga mandiri dibentuk dan berperan dalam
meningkatkan mutu pelayanan pendidikan dengan memberikan
pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta
pengawasan pendidikan ditingkat nasional, provinsi dan kabupaten/ kota
yang tidak mempunyai hubungan hierarkis, dan ayat (3) Komite
sekolah/madrasah sebagai lembaga mandiri dibentuk dan berperan dalam
peningkatan mutu pelayanan dan memberikan pertimbangan, arahan dan
dukungan tenaga, sarana dan prasarana serta pengawasan pendidikan pada
tingkat satuan pendidikan.
Dengan melandaskan pada cita-cita luhur pendidikan, diharapkan mutu
pendidikan Indonesia terus meningkat dan terjadi perkembangan pada
perbaikan yang terus menerus.

B. PEMBIAYAAN
1. Terbatasnya Dana untuk Pembiayaan sebagai Problem Manajemen
Pendidikan Islam
Dalam perkembangan dunia pendidikan dewasa ini dengan mudah
dapat dikatakan bahwa masalah pembiayaan menjadi masalah yang cukup
pelik untuk dipikirkan oleh para pengelola pendidikan. Karena masalah
pembiayaan pendidikan akan menyangkut masalah tenaga pendidik, proses
pembelajaran, sarana prasarana, pemasaran dan aspek lain yang terkait
dengan masalah keuangan. Fungsi pembiayaan tidak mungkin dipisahkan
dari fungsi lainnya dalam pengelolaan sekolah. Oleh karena itu dapat
dikatakan bahwa pembiayaan menjadi masalah sentral dalam pengelolaan
kegiatan pendidikan. Ketidakmampuan suatu lembaga untuk menyediakan
biaya, akan menghambat proses belajar mengajar. Hambatan pada proses
belajar mengajar dengan sendirinya menghilangkan kepercayaan masyarakat
pada suatu lembaga. Namun bukan berarti bahwa apabila tersedia biaya yang
berlebihan akan menjamin bahwa pengelolaan sekolah akan lebih baik.
Dalam memahami permasalahan pembiayaan pendidikan di Indonesia,
kita perlu memahami permasalahan apa saja yang timbul serta alternatif
penyelesaiannya. Pemahaman tentang pembahasan ini juga akan membawa
kita pada bagaimana praktik pelaksanaan pembiayaan pendidikan beserta
permasalahan-permasalahan yang timbul dalam pelaksaaannya.
Biaya dalam pendidikan meliputi biaya langsung (direct cost) dan biaya
tidak langsung (Inderect Cost). Biaya langsung terdiri dari biaya-biaya yang
dikeluarkan untuk keperluan pelaksanaan pengajaran dan kegiatan belajar
siswa berupa pembelian alat-alat pelajaran, sarana belajar, biaya transportasi,
gaji guru, baik yang dikeluarkan pemerintah, orang tua, maupun siswa
sendiri. Sedangkan biaya tidak langsung berupa keuntungan yang hilang
(oportunity cost) yang dikorbankan oleh siswa selama belajar[14].
Anggaran biaya pendidikan terdiri dari dua sisi yang berkaitan satu
sama lain, yaitu sisi anggaran penerimaan dan anggaran pengeluaran untuk
mencapai tujuan-tujuan pendidikan. Untuk sekolah dasar negeri, umumnya
memiliki sumber-sumber anggaran penerimaan, yang terdiri dari pemerintah
pusat, pemerintah daerah, masyarakat sekitar, orang tua murid, dan sumber
lain.
Berdasarkan pendekatan unsur biaya (ingredient approach),
pengeluaran sekolah dapat dikaegorikan ke dalam beberapa item
pengeluaran, yaitu :
a. Pengeluaran untuk pelaksanaan pelajaran
b. Pengeluaran untuk tata usaha sekolah,
c. Pemeliharaan sarana dan prasarana sekolah,
d. Kesejahteraan pegawai,
e. Administrasi,
f. Pembinaan teknis educative, dan
g. Pendataan[15].
2. Upaya Untuk Mengatasi Terbatasnya Dana untuk Pembiayaan dalam
Lembaga Pendidikan Islam
a. Pembiayaan Pendidikan
Permasalahan pendidikan nasional tak pernah usai. Lebih khusus lagi
jika menyangkut masalah pembiayaan pendidikan, siapa pun mengakui
makin mahalnya biaya untuk memasuki jenjang pendidikan saat ini. Memang
tidaklah salah jika dikatakan pendidikan bermutu membutuhkan biaya.
Namun persoalannya, daya finansial sebagian masyarakat di negeri ini masih
belum memadai akibat sumber pendapatan yang tak pasti.
Fenomena pendidikan yang menyedot biaya begitu besar dari
masyarakat ini juga sempat terlihat saat pendaftaran siswa baru (PSB)
beberapa waktu lalu. Orangtua siswa pun dibuat meradang mengenai biaya
yang harus ditanggung dalam menyekolahkan anaknya. Memang harus diakui
jika Pemerintah tak lepas tangan membiayai pendidikan. Untuk bidang
pendidikan khusus siswa SD-SMP, Pemerintah telah menggulirkan program
bantuan operasional sekolah (BOS) untuk BOS tetaplah terbatas. Apalagi jika
bicara dana BOS khusus buku yang masih minim untuk membeli satu buku
pelajaran berkualitas. Dengan masih terbatasnya dana BOS itu mungkin ada
yang berdalih jika Pemerintah sekadar membantu dan meringankan beban
masyarakat miskin. Jika benar demikian, maka Pemerintah bisa dikatakan
tidak peka. Bukti konkret adalah angka drop out anak usia sekolah antara usia
7-12 tahun pada 2005 lalu. Hasil survei menyebutkan 185.151 siswa drop out
dari sekolah. Padahal, siapa pun tahu jika program BOS mulai dirintis sejak
2005.
Dalam hal ini, kita perlu memikirkan bersama persoalan pembiayaan
pendidikan. Di lihat dari konstitusi, Pemerintah bertanggung jawab mutlak
membiayai anak-anak usia sekolah untuk menempuh jenjang pendidikan
dasar. Dalam UUD 1945 Pasal 31 (2) ditegaskan mengenai kewajiban
pemerintah membiayai pendidikan dasar setiap warga negara. Kita tentu
melihat ketidaktaatan Pemerintah terhadap konstitusi. Jika mengacu pada
UUD 1945 Pasal 31 (2), anak usia sekolah berhak mendapatkan pendidikan
dasar tanpa biaya. Lalu muncul pertanyaan, atas dasar apa pula pihak sekolah
sering kali menarik pungutan-pungutan kepada siswa dan orang tua siswa.
UU No 20/2003 Pasal 34 (2) tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas)
pun menggariskan agar Pemerintah menjamin terselenggaranya wajib belajar
minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa pemungutan biaya.
Ditinjau lebih jauh, Pemerintah tampak tak memiliki komitmen politik
terhadap pendidikan. Sebut saja misalnya ketentuan anggaran pendidikan
sebesar 20 % dalam APBN. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait uji
materi UU No 18/2006 tentang APBN 2007 yang mengalokasikan anggaran
pendidikan 11,8 % bertentangan dengan UUD 1945 malah ditanggapi dingin
Pemerintah. Tidak jauh berbeda pada 2006 lalu, dimana Pemerintah tidak
merespon positif putusan MK yang memutuskan UU No 13/2005 tentang
APBN 2006 dengan alokasi anggaran pendidikan 9,1 % bertentangan dengan
UUD 1945[16].
C. SARANA/PRASARANA DAN TEKNOLOGI
1. Sarana/Prasarana dan Teknologi yang tidak memadai sebagai Problem dalam
Manajemen Pendidikan Islam
Pendidikan sebagai proses pengubahan sikap dan tata laku/pembentukan
pribadi yang terarah pada diri peserta didik (manusia) dalam usaha
mendewasakan peserta didik melalui upaya pengajaran dan pelatihan,
pendidikan sebagai kegiatan pewarisan budaya, pendidikan sebagai proses
penyiapan warga negara yang berjiwa patriotik, serta pendidikan sebagai
penyiapan tenaga kerja, menjadikan pendidikan harus mendapatkan perhatian
besar. Salah satu hal yang perlu diperhatikan dari sisi pendidikan adalah sarana
dan prasarana ppendidikan itu sendiri dimana sarana dan prasarana pendidikan
ini merupakan salah satu faktor yang mendukung keberhasilan program
pendidikan dalam proses pembelajaran.
Mutu sarana dan prasarana masih sangat bervariasi. Hal ini dapat kita lihat
dilingkungan kita dimana masih banyak sekolah-sekolah yang keadaan
gedungnya tidak aman dan kurang memadai untuk digunakan melaksanakan
proses belajar mengajar (lembab, gelap, sempit, rapuh). Sering juga dijumpai
bahwa lahan/tanah (status hukum) bukan milik sekolah atau dinas pendidikan;
letaknya yang kurang memenuhi persyaratan lancarnya proses pendidikan
misalnya letak sekolah berada di tempat yang ramai, terpencil, kumuh, dan lain-
lain; perabotan berkenaan dengan sarana yang kurang memadai bagi
pelaksanaan proses pendidikan misalnya meja/kursi yang kurang layak
digunakan, alat peraga yang tidak lengkap, buku-buku paket yang kurang
memadai, dan lain-lain.
a. Fasilitas Yang Minim
b. Alokasi dana yang terhambat
c. Perawatan yang Buruk
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ada tiga hal pokok yang menjadi problem Manajemen Pendidikan Islam
yang dihadapi dewasa ini. Ketiga hal tersebut sangat berkaitan antara satu
dengan yang lainnya, yaitu: 1. Sumber Daya Manusia, 2. Pembiayaan, dan 3.
Sarana/Prasarana dan Teknologi.
Dalam hal Sumber Daya Manusia (SDM) tidak akan bisa tercapai dengan
baik tanpa didukung oleh biaya dan sarana/prasarana dan teknologi yang
memadai.
Kaitannya dengan pembiayaan, tidak akan terkelola dengan baik tanpa
didukung oleh SDM yang handal kemudian difasilitasi dengan sarana/prasarana
dan teknologi yang modern.
Begitupula dengan pengadaan dan penggunaan sarana/prasarana dan
teknologi harus dibekali dengan SDM dan biaya cukup memadai agar bisa
terkelola dengan baik pula.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Zamroni, Dinamika Peningkatan Mutu, (Yogyakarta: Gavin Kalam Utama,
2011), hlm. 83
[2] Zian Farodis, Panduan Manajemen Pendidikan ala Harvard University,
(Yogyakarta: Diva Press, 2011), hlm. 7
[3] Aulia Reza Bastian, Reformasi Pendidikan: Langkah-langkah Pembaharuan dan
Pemberdayaan Pendidikan Dalam Rangka Desentralisasi Sistem Pendidikan
Indonesia, (Yogyakarta: Lapera Pustaka Utama, 2002) hlm. 24
[4] Sukarno, Budaya Politik Pesantren Perspektif Interaksionisme Simbolik,
(Yogyakarta: Interpena, 2012), hlm. 15
[5] Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2010), hlm. 44
[6] Jerry H. Makawimbang, Supervisi dan Peningkatan Mutu Pendidikan,
(Bandung: CV Alfabeta, 2011), hlm. 1
[7] Siti Muriah, Kata Pengantar Dalam Manajemen Pendidikan Islam; Konstruksi
Teoritis dan Praktis, (Malang & Yogyakarta: Aditya Media Publishing, 2012)
[8] Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam; Paradigma Humanisme Teosentris,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), cet. II, hlm. 32
[9] Abd. Rachman Assegaf, Filsafat Pendidikan Islam; Paradigma Baru Pendidikan
Hadhari Berbasis Integratif-Interkonektif, (Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada, 2011), hlm. 2. Lihat juga dalam Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan
Islam, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 36. Juga dalam Tobrani, Pendidikan
Islam; Paradigma Teologis, Filosofis dan Spiritualis, (Malang: UMM Press,
2008), hlm. 19. Salah satu contoh ayat tentang manajemen adalah bentuk kata
derivasi dari dabbara (mengatur) yang banyak terdapat dalam al-Qur’an yang
pengertian sama dengan hakikat manajemen adalah al-tadbir (pengaturan),
yaitu dalam surat as-Sajdah ayat 5 yang mendeskripsikan tentang :
[11] HR.Ibn Abd Barr [utlubul ‘ilma minal mahdi ilal lahdi]
[12] Skripsi Strategi Pendidikan Islam Dalam Meningkatkan Kualitas Sumber Daya
Manusia [Studi atas Pemikiran Hasan Langgulung] Oleh : Syukri Rifa’I
Mahasiswa S2 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
[13] Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran tentang Pendidikan Islam, (Bandung:
Al-Ma.arif,1995), h. 67
[14] Nanang Fattah, Ekonomi dan Pembiayaan Pendidikan, Rosda Karya, Bandung,
cet ke-1, 2000, hal.23.
[15] Ibid.,hal. 24

Anda mungkin juga menyukai