ILMIAH
MAKALAH
DOSEN PEMAMPU :
DR. H. SUHERMAN, M.PD
Disusun Oleh :
Puji syukur senantiasa kami ucapkan kehadirat Allah SWT. Karena atas
limpahan rahmat dan hidayahnya, kami mampu menyelesaikan tugas makalah ini
dengan baik, tepat pada waktunya. Makalah ini disajikan dengan pola dan bahasa
yang sistematis dan sederhana sehingga mudah dipahami oleh para pembaca.
Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah mendukung
dan berperan aktif dalam menyelesaikan tugas makalah ini, yang berjudul tentang
“PROBLEMATIKA MANAJEMEN DIKLAT SEBAGAI BAHAN KAJIAN
ILMIAH” khususnya bapak Dr. H. Suherman, M.Pd. selaku dosen mata kuliah
Manajemen Pendidikan dan Pelatihan. Sehubungan dengan makalah ini, kepada
para pembaca kmai tak lupa mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya
membangun, bilamana dalam makalah ini terdapat kesalahan dan kekeliruan demi
perbaikan cetak ulang dimasa datang.
Karena bagaimanapun juga manusia itu tempat kesalahan dan kelalaian
sebagai mana tiada gading yang tak retak, sebelumnya kami ucapkan terima kasih.
Akhirnya kepada Allah saya bertawakal dan berserah diri.
Penulis
DAFTAR ISI
Kata Pengantar....................................................................................................... i
Daftar Isi ............................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
B. Pembiayaan ..................................................................................................... 20
A. Simpulan .....................................................................................................5
B. Saran ............................................................................................................5
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Semua pemimpin dalam sebuah organisasi, perusahaan atau institusi pasti
mengharapkan agar lembaga yang mereka pimpin selalu mengalami perbaikan dan
bergerak ke arah yang lebih baik. Mereka selalu mengharapkan lembaga atau
institusi yang mereka pimpin bisa beradaptasi dengan tuntutan perkembangan
zaman, mengatasi persoalan-persoalan baru yang selalu muncul serta tahan
terhadap dinamika internal dan eksternal yang sangat tinggi. Untuk mewujudkan
harapan tersebut, maka inovasi dan perbaikan di semua sektor sudah tentu harus
dilakukan.
Salah komponen penting dalam mewujudkan organisasi yang tangguh
tersebut adalah adanya penguatan Sumber Daya Manusia. Seperti disampaikan oleh
Knoke & Kalleberg (1994:12) jika sebuah organisasi ingin tetap survive dan
prosper di dunia yang sangat kompetitif saat ini maka pengembangan sumber daya
manusia tidak bisa dielakkan. Pelatihan yang dimaksud adalah upaya tersistematis
yang dirancang demi meningkatkan kinera seorang pegawai. Chiaburu dan Teklad
mendefinisikan pelatiahan sebagai is the planned intervention that is designed to
enhance the determinants of individual job performance (Chiaburu &Teklab,
2005:312)
Dalam banyak teori organisasi, personil merupakan investasi untuk sebuah
organisasi. Semakin organisasi tersebut berusaha mengembangkan kemampuan
personilnya, maka organisasi tersebut secara tidak langsung dianggap telah
melakukan investasi demi masa depan dan survival organisasinya. Begitu juga
sebaliknya, stagnasi dalam pengembangan kemampuan personil, akan berujung
pada stagnasi organisasi. Oleh karena itu untuk menghasilkan prestasi dan
keberlanjutan organisasi, sebuah organisasi harus memberikan perhatian besar
terhadap upgrading personil-personil yang menjadi bagian dari organisasi tersebut.
Proses upgrading kemampuan para personil bisa dilakukan, salah satunya,
melalui pengikut sertaan pegawai/personil dalam kegiatan pendidikan dan pelatihan
secara berkala. Secara umum, program pelatihan demi peningkatan kemampuan
dan kualitas sumber daya manusia di berbagai institusi di Indonesia telah sering
dilakukan. Ada yang otonom dilakukan oleh setiap lembaga, ada yang dikoordinir
oleh lembaga lain di atasnya.
Lembaga yang menjadi fokus kajian dalam tulisan/penelitian ini adalah Pusat
Pendidikan dan Pelatihan Tenaga Teknis Pendidikan dan Keagamaan Kementerian
Agama Republik Indonesia yang berlokasi di Ciputat, Tangerang Selatan, Banten.
Dalam pengamatan yang penulis lakukan, Pusdiklat Tenaga Teknis Pendidikan dan
Keagamaan secara berkala melakukan pelatihan untuk peserta yang datang – baik
dari pusat maupun daerah – dari berbagai kalangan di lingkungan Kementerian
Agama RI.
Sama seperti Pusdiklat dan Balai Pendidikan dan Pelatihan yang dimiliki oleh
kementerian lain, Pusdiklat Tenaga Teknis Pendidikan dan Keagamaan memiliki
visi untuk mewujudkan sistem dan penyelenggaraan Diklat Teknis Keagamaan
yang handal dalam menyediakan Sumber Daya Manusia (SDM) fungsional
Kementerian Agama yang berkualitas.
Tujuan yang ingin dicapai Pusdiklat Tenaga Teknis Pendidikan dan
Keagamaan adalah (1) mengembangkan kapasitas kelembagaan diklat, (2)
mengembangkan sistem dan produk diklat secara terpadu dan sinergis, (3)
menyelenggarakan diklat tenaga teknis keagamaan untuk memenuhi kebutuhan
sumber daya manusia Kementerian Agama yang berkualitas, (4) mengupayakan
pemerataan kesempatan dan peluang diklat bagi seluruh aparat tenaga teknis
keagamaan untuk mencapai minimal empat atau tiga tahun sekali di lingkungan
Kementerian Agama, (5) mendorong pemanfaatan dan pemberdayaan alumni diklat
bagi peningkatan kinerja Kementerian Agama, (6) meningkatkan kendali mutu
dalam penyelenggaraan diklat, dan (7) mengembangkan jejaring kerja kediklatan
penguatan potensi UPT diklat di daerah.
Pelaksanaan program pendidikan dan pelatihan dimotivasi oleh keinginan
untuk meningkatkan prestasi dan kinerja pegawai. Secara teoritis, hal ini memang
sudah banyak dibuktikan dalam beberapa penelitian sebelumnya. Misalnya saja
penelitian yang dilakukan oleh Cheng and Ho (2001). Mereka menulis bahwa
While employee performance is one of the crucial measures emphasized by
the top management, employees are more concerned about their own productivity
and are increasingly aware of the accelerated obsolescence of knowledge and skills
in their turbulent environment. As the literature suggests, by effectively training
and developing employees, they will become more aligned for career growth—
career potential enhances personal motivation. (p. 22)
(meskipun peningkatan kinerja pegawai adalah salah satu ukuran penting
yang diperhatikan oleh para petinggi organisasi –saat melakukan program
pelatihan, para pegawai biasanya lebih menaruh perhatian pada peningkatan
produktifitas kerja mereka dan semakin sadar akan pesatnya perkembangan ilmu
dan pengetahun yang menjadi kendala dalam lingkungan kerja. Seperti yang banyak
disarankan oleh tulisan-tulisan yang ada, dengan melakukan pelatihan dan
pengembangan kemampuan yang efektif terhadap para pegawai, mereka dengan
sendirnya berpotensi mendapatkan peningkatan karir, dan peningkatan karir akan
meningkatkan motivasi kerja)
Dalam penelitian yang lain, Constantino dan Merchant (1996) mengatakan
bahwa pendidikan dan pelatihan juga dibutuhkan agara terciptanya sistem
manajemen konflik yang baik dalam sebuah organisasi. Kegagalan dalam
menyediakan pendidikan dan pelatihan bisa berujung pada konflik antara pegawai
dan pemilik organisasi/institusi/atasan. Konflik antara pegawai dengan atasannya
bisa memicu banyak skenario, seperti pelaporan atasan oleh bawahan kepada pihak
berwenang, dan lain-lain. Banyak kasus konflik antara atasan dan bawahan yang
akhirnya berujung di meja hijau.
Di lain hal, Rowden dan Shamsuddin (2000) serta Rowden dan Conine (2005)
menemukan hasil bahwa meskipun belum ada ukuran yang pasti antara
keikutsertaan seorang pegawai dalam pendidikan dan pelatihan tertentu terhadap
tingkat kepuasan kerja, para peneliti di atas menemukan fakta bahwa kebanyakan
pegawai yang pernah mengikuti program pelatihan bisa memberikan pelayanan
yang lebih baik dan memuaskan kepada para pelanggan/costomer dibandingkan
dengan pegawai yang belum pernah mengikuti program pelatihan.
Dengan demikian, berdasarkan beberapa penelitian di atas, bisa diambil
kesimpulan awal bahwa program pelatihan untuk pegawai cenderung memiliki
hasil positif jika dibandingkan dengan peningkatan kinerja dan kemampuan
pegawai setelah program pelatihan selesai. Ini adalah fondasi awal yang menjadi
masalah dalam tulisan/penelitian ini. Ada sebuah asumsi kuat bahwa program
pelatihan berbanding lurus dengan peningkatan kinerja dan motivasi pegawai.
Namun, fakta yang penulis temukan melalui wawancara dengan alumni
peserta Diklat Jabatan Fungsional Pendidikan Berjenjang Angkatan VI Guru
Madya Mata Pelajaran Pendidikan Agama Kristen SMP pada bulan Maret 2016,
ternyata program pendidikan dan pelatihan tersebut bisa gagal. Dalam beberapa kali
pelatihan yang diselengarakan oleh Pusdiklat Tenaga Tekis Pendidikan dan
Keagamaan, sering dilakukan evaluasi terhadap peserta yang sudah mengikuti
pelatihan. Informasi yang ingin didapatkan adalah seberapa besar kontribusi
pelatihan yang pernah mereka ikuti terhadap peningkatan kinerja mereka di
lingkungan kerja masing-masing. Input yang didapatkan ternyata mengecewakan.
Dalam sebuah kesempatan, salah seorang peserta mengatakan “Diklat memang
ramai Pak, tapi kami selama observe dari belakang tidak melihat peningkatan
kompetensi yang signifikan saat proses praktek… dan sampai hari ini tak ada
perubahan berarti di tempat kerja” (informan 2016)
Penulis mengamati secara langsung proses diklat yang dilaksanakan di
Pusdiklat Tenaga Teknis Pendidikan dan Keagamaan. Penulis menyaksikan para
peserta hadir dan mengikuti kegiatan sesuai dengan jadwal. Tidak ada tanda-tanda
bahwa peserta kelelahan, bosan, stres, dan sebagainya. Malah, yang terlihat adalah
keceriaan selama mengikuti proses pelatihan dan diskusi. Tentu feedback negatif
yang disampaikan informan merupakan hal yang janggal. Seperti yang sudah
dijelaskan di bagian awal tulisan ini, bahwa ada semacam invisible hand yang
mampu mendongkrak performa dan motivasi pegawai setelah mengikuti program
pelatihan. Namun itu tidak terjadi, jika merujuk pada feedback yang disampaikan
oleh para informan.
Inilah yang menjadi masalah dalam riset/tulisan ini. Tulisan ini akan mencoba
menggali faktor apa yang menjadi penyebab “gagalnya” program pendidikan dan
pelatihan yang diselenggarakan oleh Pusdiklat Tenaga Teknis Pendidikan dan
Keagamaan. Tulisan/penelitian ini diperlukan karena Pusdiklat Tenaga Teknis
Pendidikan dan Keagamaan adalah salah satu lembaga yang intens melakukan
pelatihan terhadap pegawai di lingkungan Kementerian Agama. Seterusnya,
lembaga ini akan tetap menjalankan peran memberikan pelatihan dan pendidikan
kepada pegawai Kementerian Agama. Fedback yang disampaikan oleh mantan
peserta diklat tentu menjadi warning bahwa ada sesuatu yang salah dan harus
diperbaiki dalam lembaga penyeleggara diklat Kementerian Agama. Dengan
melakukan diaknosa terhadap penebab gagalnya program diklat tersebut, Pusdiklat
Tenaga Teknis Pendidikan dan Keagamaan bisa menemukan solusi untuk
mencegah “kegagalan” serupa terjadi di kemudian hari.
Tulisan ini mulai dari asumsi bahwa Pendidikan dan pelatihan jabatan
merupakan proses penyelenggaraan belajar mengajar dalam rangka meningkatkan
kemampuan pegawai. Dari beberapa hasil penelitian di atas menyatakan bahwa
pendidikan dan pelatihan jabatan sangat diperlukan untuk diadakan dalam
meningkatkan kualitas pegawai sehingga pegawai memiliki kompetensi yang lebih
baik dalam memberikan penyelenggaraan dan pembangunan.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan banyak peneliti, hampir semua
pegawai yang mengikuti pendidikan dan pelatihan menyatakan bahwa pelatihan
yang diikuti mereka dapat mendorong kepekaan terhadap pekerjaan yang harus
diselesaikan secara baik, dimana tumbuh rasa keingintahuan akan hal-hal yang
berhubungan dengan pekerjaannya sehingga mereka mengikuti pendidikan dan
pelatihan jabatan dari dorongan sendiri, bukan adanya paksaan dari orang lain. Hal
ini menunjukan bahwa pegawai tersebut benar-benar mengikuti pendidikan dan
pelatihan jabatan guna menambah pengetahuannya.
Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa ada fakta yang disampaikan oleh para
pegawai yang pernah mengikuti program pelatihan di Pusdiklat Tenaga Teknis
Pendidikan dan Keagamaan dan mereka menyatakan bahwa program Diklat yang
mereka ikuti belum mampu meningkatkan kinerja atau kemampuan mereka di
tempat kerja.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka dapat penulis tarik menjadi
rumusan masalah sebagai berikut :
A. Apa faktor yang membuat program pendidikan dan pelatihan di Pusdiklat
Tenaga Teknis Pendidikan dan Keagamaan disebut gagal dalam
meningkatkan kinerja pegawai yang mengikuti pelatihannya.
C. Tujuan Penelitian
A. Untuk mengetahui apa saja faktor yang membuat program pendidikan
dan pelatihan di Pusdiklat Tenaga Teknis Pendidikan dan Keagamaan
disebut gagal dalam meningkatkan kinerja pegawai yang mengikuti
pelatihannya?
Problema pendidikan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia saat ini, tanpa
terkecuali pendidikan Islam di antaranya adalah: 1) masih rendahnya pemerataan
memperoleh pendidikan, 2) masih rendahnya mutu dan relevansi pendidikan; 3)
masih lemahnya manajemen pendidikan, di samping belum terwujudnya
keunggulan ilmu pengetahuan dan teknologi di kalangan akademisi dan
kemandirian. Berbagai usaha telah dilakukan untuk mengatasi masalah pendidikan
lebih khusus pendidikan Islam, misalnya penggantian kurikulum nasional dan lokal
dari kurikulum 2006 atau yang lebih dikenal dengan Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP) menjadi kurikulum 2013, namun dengan melalui penggantian
kurikulum ini bukannya menyelesaikan permasalahan pendidikan tapi justru malah
menambah permasalahan baru dalam pendidikan di negeri ini. Usaha selanjutnya
dalam mengatasi problema pendidikan yaitu peningkatan kompetensi dan
konvensasi guru melalui pelatihan dan sertifikasi, pengadaan buku dan alat
pelajaran, pengadaan dan perbaikan sarana dan prasarana pendidikan, dan
peningkatan mutu manajemen sekolah.
B. PEMBIAYAAN
1. Terbatasnya Dana untuk Pembiayaan sebagai Problem Manajemen
Pendidikan Islam
Dalam perkembangan dunia pendidikan dewasa ini dengan mudah
dapat dikatakan bahwa masalah pembiayaan menjadi masalah yang cukup
pelik untuk dipikirkan oleh para pengelola pendidikan. Karena masalah
pembiayaan pendidikan akan menyangkut masalah tenaga pendidik, proses
pembelajaran, sarana prasarana, pemasaran dan aspek lain yang terkait
dengan masalah keuangan. Fungsi pembiayaan tidak mungkin dipisahkan
dari fungsi lainnya dalam pengelolaan sekolah. Oleh karena itu dapat
dikatakan bahwa pembiayaan menjadi masalah sentral dalam pengelolaan
kegiatan pendidikan. Ketidakmampuan suatu lembaga untuk menyediakan
biaya, akan menghambat proses belajar mengajar. Hambatan pada proses
belajar mengajar dengan sendirinya menghilangkan kepercayaan masyarakat
pada suatu lembaga. Namun bukan berarti bahwa apabila tersedia biaya yang
berlebihan akan menjamin bahwa pengelolaan sekolah akan lebih baik.
Dalam memahami permasalahan pembiayaan pendidikan di Indonesia,
kita perlu memahami permasalahan apa saja yang timbul serta alternatif
penyelesaiannya. Pemahaman tentang pembahasan ini juga akan membawa
kita pada bagaimana praktik pelaksanaan pembiayaan pendidikan beserta
permasalahan-permasalahan yang timbul dalam pelaksaaannya.
Biaya dalam pendidikan meliputi biaya langsung (direct cost) dan biaya
tidak langsung (Inderect Cost). Biaya langsung terdiri dari biaya-biaya yang
dikeluarkan untuk keperluan pelaksanaan pengajaran dan kegiatan belajar
siswa berupa pembelian alat-alat pelajaran, sarana belajar, biaya transportasi,
gaji guru, baik yang dikeluarkan pemerintah, orang tua, maupun siswa
sendiri. Sedangkan biaya tidak langsung berupa keuntungan yang hilang
(oportunity cost) yang dikorbankan oleh siswa selama belajar[14].
Anggaran biaya pendidikan terdiri dari dua sisi yang berkaitan satu
sama lain, yaitu sisi anggaran penerimaan dan anggaran pengeluaran untuk
mencapai tujuan-tujuan pendidikan. Untuk sekolah dasar negeri, umumnya
memiliki sumber-sumber anggaran penerimaan, yang terdiri dari pemerintah
pusat, pemerintah daerah, masyarakat sekitar, orang tua murid, dan sumber
lain.
Berdasarkan pendekatan unsur biaya (ingredient approach),
pengeluaran sekolah dapat dikaegorikan ke dalam beberapa item
pengeluaran, yaitu :
a. Pengeluaran untuk pelaksanaan pelajaran
b. Pengeluaran untuk tata usaha sekolah,
c. Pemeliharaan sarana dan prasarana sekolah,
d. Kesejahteraan pegawai,
e. Administrasi,
f. Pembinaan teknis educative, dan
g. Pendataan[15].
2. Upaya Untuk Mengatasi Terbatasnya Dana untuk Pembiayaan dalam
Lembaga Pendidikan Islam
a. Pembiayaan Pendidikan
Permasalahan pendidikan nasional tak pernah usai. Lebih khusus lagi
jika menyangkut masalah pembiayaan pendidikan, siapa pun mengakui
makin mahalnya biaya untuk memasuki jenjang pendidikan saat ini. Memang
tidaklah salah jika dikatakan pendidikan bermutu membutuhkan biaya.
Namun persoalannya, daya finansial sebagian masyarakat di negeri ini masih
belum memadai akibat sumber pendapatan yang tak pasti.
Fenomena pendidikan yang menyedot biaya begitu besar dari
masyarakat ini juga sempat terlihat saat pendaftaran siswa baru (PSB)
beberapa waktu lalu. Orangtua siswa pun dibuat meradang mengenai biaya
yang harus ditanggung dalam menyekolahkan anaknya. Memang harus diakui
jika Pemerintah tak lepas tangan membiayai pendidikan. Untuk bidang
pendidikan khusus siswa SD-SMP, Pemerintah telah menggulirkan program
bantuan operasional sekolah (BOS) untuk BOS tetaplah terbatas. Apalagi jika
bicara dana BOS khusus buku yang masih minim untuk membeli satu buku
pelajaran berkualitas. Dengan masih terbatasnya dana BOS itu mungkin ada
yang berdalih jika Pemerintah sekadar membantu dan meringankan beban
masyarakat miskin. Jika benar demikian, maka Pemerintah bisa dikatakan
tidak peka. Bukti konkret adalah angka drop out anak usia sekolah antara usia
7-12 tahun pada 2005 lalu. Hasil survei menyebutkan 185.151 siswa drop out
dari sekolah. Padahal, siapa pun tahu jika program BOS mulai dirintis sejak
2005.
Dalam hal ini, kita perlu memikirkan bersama persoalan pembiayaan
pendidikan. Di lihat dari konstitusi, Pemerintah bertanggung jawab mutlak
membiayai anak-anak usia sekolah untuk menempuh jenjang pendidikan
dasar. Dalam UUD 1945 Pasal 31 (2) ditegaskan mengenai kewajiban
pemerintah membiayai pendidikan dasar setiap warga negara. Kita tentu
melihat ketidaktaatan Pemerintah terhadap konstitusi. Jika mengacu pada
UUD 1945 Pasal 31 (2), anak usia sekolah berhak mendapatkan pendidikan
dasar tanpa biaya. Lalu muncul pertanyaan, atas dasar apa pula pihak sekolah
sering kali menarik pungutan-pungutan kepada siswa dan orang tua siswa.
UU No 20/2003 Pasal 34 (2) tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas)
pun menggariskan agar Pemerintah menjamin terselenggaranya wajib belajar
minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa pemungutan biaya.
Ditinjau lebih jauh, Pemerintah tampak tak memiliki komitmen politik
terhadap pendidikan. Sebut saja misalnya ketentuan anggaran pendidikan
sebesar 20 % dalam APBN. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait uji
materi UU No 18/2006 tentang APBN 2007 yang mengalokasikan anggaran
pendidikan 11,8 % bertentangan dengan UUD 1945 malah ditanggapi dingin
Pemerintah. Tidak jauh berbeda pada 2006 lalu, dimana Pemerintah tidak
merespon positif putusan MK yang memutuskan UU No 13/2005 tentang
APBN 2006 dengan alokasi anggaran pendidikan 9,1 % bertentangan dengan
UUD 1945[16].
C. SARANA/PRASARANA DAN TEKNOLOGI
1. Sarana/Prasarana dan Teknologi yang tidak memadai sebagai Problem dalam
Manajemen Pendidikan Islam
Pendidikan sebagai proses pengubahan sikap dan tata laku/pembentukan
pribadi yang terarah pada diri peserta didik (manusia) dalam usaha
mendewasakan peserta didik melalui upaya pengajaran dan pelatihan,
pendidikan sebagai kegiatan pewarisan budaya, pendidikan sebagai proses
penyiapan warga negara yang berjiwa patriotik, serta pendidikan sebagai
penyiapan tenaga kerja, menjadikan pendidikan harus mendapatkan perhatian
besar. Salah satu hal yang perlu diperhatikan dari sisi pendidikan adalah sarana
dan prasarana ppendidikan itu sendiri dimana sarana dan prasarana pendidikan
ini merupakan salah satu faktor yang mendukung keberhasilan program
pendidikan dalam proses pembelajaran.
Mutu sarana dan prasarana masih sangat bervariasi. Hal ini dapat kita lihat
dilingkungan kita dimana masih banyak sekolah-sekolah yang keadaan
gedungnya tidak aman dan kurang memadai untuk digunakan melaksanakan
proses belajar mengajar (lembab, gelap, sempit, rapuh). Sering juga dijumpai
bahwa lahan/tanah (status hukum) bukan milik sekolah atau dinas pendidikan;
letaknya yang kurang memenuhi persyaratan lancarnya proses pendidikan
misalnya letak sekolah berada di tempat yang ramai, terpencil, kumuh, dan lain-
lain; perabotan berkenaan dengan sarana yang kurang memadai bagi
pelaksanaan proses pendidikan misalnya meja/kursi yang kurang layak
digunakan, alat peraga yang tidak lengkap, buku-buku paket yang kurang
memadai, dan lain-lain.
a. Fasilitas Yang Minim
b. Alokasi dana yang terhambat
c. Perawatan yang Buruk
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ada tiga hal pokok yang menjadi problem Manajemen Pendidikan Islam
yang dihadapi dewasa ini. Ketiga hal tersebut sangat berkaitan antara satu
dengan yang lainnya, yaitu: 1. Sumber Daya Manusia, 2. Pembiayaan, dan 3.
Sarana/Prasarana dan Teknologi.
Dalam hal Sumber Daya Manusia (SDM) tidak akan bisa tercapai dengan
baik tanpa didukung oleh biaya dan sarana/prasarana dan teknologi yang
memadai.
Kaitannya dengan pembiayaan, tidak akan terkelola dengan baik tanpa
didukung oleh SDM yang handal kemudian difasilitasi dengan sarana/prasarana
dan teknologi yang modern.
Begitupula dengan pengadaan dan penggunaan sarana/prasarana dan
teknologi harus dibekali dengan SDM dan biaya cukup memadai agar bisa
terkelola dengan baik pula.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Zamroni, Dinamika Peningkatan Mutu, (Yogyakarta: Gavin Kalam Utama,
2011), hlm. 83
[2] Zian Farodis, Panduan Manajemen Pendidikan ala Harvard University,
(Yogyakarta: Diva Press, 2011), hlm. 7
[3] Aulia Reza Bastian, Reformasi Pendidikan: Langkah-langkah Pembaharuan dan
Pemberdayaan Pendidikan Dalam Rangka Desentralisasi Sistem Pendidikan
Indonesia, (Yogyakarta: Lapera Pustaka Utama, 2002) hlm. 24
[4] Sukarno, Budaya Politik Pesantren Perspektif Interaksionisme Simbolik,
(Yogyakarta: Interpena, 2012), hlm. 15
[5] Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2010), hlm. 44
[6] Jerry H. Makawimbang, Supervisi dan Peningkatan Mutu Pendidikan,
(Bandung: CV Alfabeta, 2011), hlm. 1
[7] Siti Muriah, Kata Pengantar Dalam Manajemen Pendidikan Islam; Konstruksi
Teoritis dan Praktis, (Malang & Yogyakarta: Aditya Media Publishing, 2012)
[8] Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam; Paradigma Humanisme Teosentris,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), cet. II, hlm. 32
[9] Abd. Rachman Assegaf, Filsafat Pendidikan Islam; Paradigma Baru Pendidikan
Hadhari Berbasis Integratif-Interkonektif, (Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada, 2011), hlm. 2. Lihat juga dalam Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan
Islam, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 36. Juga dalam Tobrani, Pendidikan
Islam; Paradigma Teologis, Filosofis dan Spiritualis, (Malang: UMM Press,
2008), hlm. 19. Salah satu contoh ayat tentang manajemen adalah bentuk kata
derivasi dari dabbara (mengatur) yang banyak terdapat dalam al-Qur’an yang
pengertian sama dengan hakikat manajemen adalah al-tadbir (pengaturan),
yaitu dalam surat as-Sajdah ayat 5 yang mendeskripsikan tentang :
[11] HR.Ibn Abd Barr [utlubul ‘ilma minal mahdi ilal lahdi]
[12] Skripsi Strategi Pendidikan Islam Dalam Meningkatkan Kualitas Sumber Daya
Manusia [Studi atas Pemikiran Hasan Langgulung] Oleh : Syukri Rifa’I
Mahasiswa S2 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
[13] Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran tentang Pendidikan Islam, (Bandung:
Al-Ma.arif,1995), h. 67
[14] Nanang Fattah, Ekonomi dan Pembiayaan Pendidikan, Rosda Karya, Bandung,
cet ke-1, 2000, hal.23.
[15] Ibid.,hal. 24