Anda di halaman 1dari 6

Nama: Muhammad Refaya Rafa

Kelas : XI ipa 3

Impianku Bersama Indonesia

Namaku Rafa. Umurku 14 tahun. Aku kelas 9 SMP, dan tinggal 3 bulan lagi aku
akan naik ke kelas 10. Aku penggemar band Westlife, dan aku adalah fans berat
Westlife. Sejak kecil, impian besarku adalah ingin ke luar negeri, entah apapun itu
caranya. Baik bekerja, kuliah, atau sekedar berjalan-jalan. Beberapa tahun terakhir
aku mulai yakin dengan negara tujuanku yang pertama yaitu Inggris.

Huh, tapi semua keindahan mimpi itu tak bertahan lama setelah aku terbangun.
Menjengkelkan sekali. Padahal begitu indahnya jika aku bisa berjalan-jalan ke
Inggris, menikmati keindahan stasiun bawah tanah. Tapi ketika aku bangun,
ternyata aku hanyalah siswi SMP biasa yang harus duduk diam mendengarkan Ibu
guru memberikan penjelasan. Membosankan.

“Negara kita sudah kehilangan jati dirinya. Generasi mudanya, seperti kalian
ini, lebih bangga akan produk dan budaya negara lain dibandingkan negara
sendiri. Kita sebagai warga negara Indonesia haruslah mencintai produk dalam
negeri. Tentu jika kita ingin maju. Kalian tahu tidak, negara kita ini sangatlah
kaya loh?” Jelas Bu Pupu,

“Sepertinya ia sedang menyindirku sultan. Atau lebih tepatnya kita semua”


Ujarku menganggapnya angin lalu. Aku lalu mengacungkan jari meminta izin.
‘Aku yakin Bu guru mendengar pembicaraanku dengan sultan tadi’.

“Ya Rafa!” Kata Bu Pupu. Seisi kelas pun menatap ke arahku.

“Mau bagaimana lagi Bu. Kualitas produk Indonesia kan sangat jauh dengan
negara maju. Semua orang mendambakan kualitas yang bermutu Bu. Bukan salah
generasi muda sepenuhnya dong Bu. Salah sendiri, kenapa Indonesia tidak bisa
memproduksi produk yang bermutu sebaik produk luar. Arus globalisasi sekarang
ini membuat kami sadar bahwa tak ada yang bisa dibanggakan dari negara ini.
Membuat malu saja. Mmm… kekayaan budaya? Mau dibanggakan bagaimana,
pemerintah saja masih setengah-setengah untuk mengembangkannya. Bagaimana
masyarakat bisa bangga, kenal saja tidak.” Aku sepertinya berkomentar panjang
lebar ditambah napas yang agak tersengal-sengal. Antara gugup dan kesal. Fiuh…
Salah kami lagi, salah kami lagi. Salah pemerintah lagi, salah pemerintah lagi.
Lalu yang benar siapa?

Matahari begitu terik. Aku dan beberapa anak telah berdiri di sebuah halte-
rusak-menunggu satu dari sekian mobil berwarna kuning yang bisa mengangkut
kami pulang-sebut saja bemo. Tak berselang lama sebuah bemo dengan banyak
stiker tertempel pada badannya pun berhenti tepat di hadapan kami.

“Aduh… hati-hati dong!” Kataku jengkel melihat beberapa anak kelas reguler
itu mendorong-dorong badanku hanya untuk berebutan masuk.

Fiuh… lega rasanya sudah berada di dalam. “Kenapa sih kita harus
dipulangkan jam segini?” gerutuku.

“Kan tadi sudah dibilang Raf… GURU-GURU RAPAT!” Sultan menekankan.


Mungkin berharap aku tak kan berkomentar apapun lagi.

“Iya Sultan… aku tahu. Tapi kan pulang jam siang itu menyiksa. Kita harus
pulang bersamaan dengan kelas lain pada jam saat matahari di atas kepala.” Aku
tidak peduli lagi apakah anak-anak itu mendengarku atau tidak, ah bahkan
sekarang mereka semua mulai melihat ke arahku dengan tatapan… aneh mungkin.
Beberapa kilometer terlalui dan satu per satu dari mereka semua turun.
Tinggalah aku dan sultan juga beberapa penumpang lain yang bukanlah berstatus
pelajar. Aku pun berpindah tempat duduk. “Om, ini tempat umum, tolong ya
jangan merokok!” Ucapku pada si supir ojol.

“Iya, iya dek. Sebentar saja, kok” Jawabnya dengan santai dan masih tetap
merokok.

Ahh… aku benar-benar tak tahan lagi. Andai saja aku bisa memilih, aku tidak
akan pernah mau pulang dengan bemo. Rasanya aku mau menangis. Aku sudah
tak tahan dengan panas terik matahari, keramaian orang yang tak tahu sopan
santun, motor yang kumuh, bau, nyaris rusak, supir yang bau dan merokok, di
tambah lagi… bass speaker yang besaaar banget merusak gendang telingaku.
Huft… mau bagaimana lagi?

“Assalamu’alaikum….”

“Wa’alaikumussalam… Rafa sudah pulang? Kok cepat?” Tanya Bunda dari


ruang tengah.

“Hmm…” Jawabku malas sambil berjalan ke arah Mama dan menyalimi


tangannya.

“Kok mukanya kusut gitu sih? Ada apa?” Bunda khawatir.

“Tidak ada apa-apa, kok Bun.” Jawabku masih dengan enggan. Aku pun masuk
ke kamarku dan mengunci pintu. Melihat kasur yang empuk, aku pun
melemparkan tubuhku ke atas kasur dan… ah aku lebih suka berada di tempat ini,
terasa dingin.

Aku pun tertidur pulas.


Bahkan bundaku mungkin bisa melihatku tersenyum saat tertidur

Aku melihat keluar jendela. Gedung-gedung tinggi dan besar. Jalanan


tanpa macet. Sungainya sangat bening dan bahkan aku bisa mendengar suara
gemericik airnya dari sini. Aku lihat semua orang suka berjalan-jalan di pinggir
sungai itu. Seperti kealamian di tengah kota modern. Jalanannya dan semua
tempat bersih tanpa sampah.

Saat aku turun, aku melihat sebuah gedung yang sangat besar. Ternyata ini
sekolahku dengan beberapa gedung 4 lantai. Dilengkapi dengan beberapa
lapangan, kolam, juga taman. Ketika aku masuk ke dalam ruangannya, aku
melihat papan kelasnya sudah seperti tablet ukuran besar.

Ups… tiba-tiba aku ingin pipis. Aku pun berlari menuju WC. Aku melihat
WC-nya sangat bersih, mewah seperti di hotel-hotel.

“Gawat! Aku kebelet pipis benaran. Jadi tadi aku cuma mimpi. Huft”. Aku
terbangun dan menyadari bahwa aku masih berada di sebuah ruangan kecil,
sempit penuh dengan barang-barang. Yap kamar tidurku sendiri.

Memang tidak ada yang lebih menyenangkan dari bermimpi indah, dan tak ada
yang lebih menjengkelkan selain terbangun dan tersadar jika semua hal indah itu
hanyalah mimpi, sementara kenyataan sangat jauh berbeda.

“Rafa, berhenti!” Bundaku sepertinya sudah jengkel melihatku mengganti-


ganti channel TV hingga 3 putaran. “Sini! Berikan remotnya pada Bunda”

“Bunda… acaranya gak ada yang bagus. Norak, alay, semuanya. Sinetron
sudah berepisod-episod, sudah jauh sekali dari cerita intinya, konfliknya itu-itu
saja. Acara musik yang lebih banyak ngomongnya daripada musiknya. Artis-artis
musiman gak berbakat.” Aku pun memberikan remotnya pada Bunda.

“Ya sudah, kamu dengarkan saja lagumu itu di kamar. Biar Bunda saja yang
nonton.”

“Nah itu benar! Bunda mau nonton drama Korea juga, tidak? Ceritanya seru
loh Bun, bikin Mama nangis, ketawa, tersentuh, terus banyak quote-quote menarik
gitu. SERUUU….” Ujarku benar-benar bersemangat.

“Gak usah ah. Mama cuma mau nonton berita saja, atau gosip lah. Gak ada
waktu buat ngikutin cerita drama yang berepisod. Cuma buat refreshing, soalnya
nanti Bunda ke kantor lagi” Ujarnya sambil serius menonton acara musik dangdut
di salah satu stasiun televisi.

“Ya ampun, Bun. Setidaknya episod-nya itu gak sebanyak sinetron. Mereka itu
keren loh bun. Budayanya, makanannya, kerajaannya, bahkan di era globalisasi
sekarang budaya mereka yang harus membungkuk hormat, menghormati orang
lain, bahasanya pun ada yang formal dan informal gitu, semuanya tidak hilang.
Malah aktor dan aktrisnya cantik, ganteng, dan mereka semua berbakat.” Bunda
tidak menggubris.

Aku nyerocos panjang lebar lagi bahkan di rumah. Aku bahkan tak
menyadarinya. Hatiku menerka-nerka apakah Bunda akan kesal padaku dan
memarahiku seperti halnya Ibu Pupu atau Sultan atau supir bemo atau juga anak-
anak reguler. Aku penasaran dan menunggu.

“Banjir kembali lagi terjadi di wilayah DKI Jakarta” , “Kebakaran terjadi di


sebuah pasar di daerah Tanggerang” , “Sebuah foto yang menampilkan anak laki-
laki berumur 9 tahun memberikan penghinaan lewat jari tangannya ke arah foto
Jenderal Sudirman menjadi viral di dunia maya” , “Seorang artis dangdut
diketahui telah melecehkan pancasila” , “2 anggota DPR ini diperiksa oleh KPK
karena dugaan korupsi senilai milyaran rupiah serta terlibat suap”

“Tuh liat Rafa. Begini toh anak-anak jaman sekarang. Sudah tidak ada rasa
nasionalismenya lagi. Kamu juga, malah sibuk membanggakan negara lain. Gitu
kan jadinya kalau generasinya sudah tidak peduli lagi dengan tanah airnya sendiri,
maka akan mudah dihancurkan oleh orang lain” Jelas Bunda bahkan tanpa
memalingkan matanya dari televisi.

“Iya iyaa…. Aku ke dalam dulu ya Bun.” Kataku kemudian dengan cemberut.
Ternyata Bunda dan ibu guru sama saja. Aku bingung. Buka tv saja, isinya berita
jelek semua. Otakku sekarang sudah dipenuhi berita-berita jelek itu. Otakku
mengatakan Indonesia itu jelek, terbelakang. Apalagi Abyan. Tak usah ditanya
lagi.

Di kamar, aku berpikir keras. Ada apa denganku akhir-akhir ini? Kepalaku
lama-kelamaan terasa pusing. Aku menarik napas panjang. Dan aku menyadari
bahwa yang aku lakuka salah.

Anda mungkin juga menyukai