Anda di halaman 1dari 8

Waktu Takkan Menunda

Anak sekecil itu menyandarkan tubuhnya di bangunan-bangunan beton pinggiran


kota. Bau tak sedap, kotoran, debu, dan asap kendaraan bermotor sangat sering ia
jumpai di area pemukiman tersebut. Apakah ia dilarang untuk menikmati udara
bersih yang sehat? Jarang sekali ia dapati pepohonan yang rindang disekitarnya.
Kalaupun ada, itu hanya separuh. Matahari pun masih bisa menemukannya
sekalipun ia bersembunyi. Negeri ini sesak dipadati gedung-gedung yang
menjulang tinggi. Seakan berlomba-lomba untuk bisa menyentuh langit.

Ya, anak-anak itu bekerja dari pagi hingga petang. Hidup yang mereka jalani
adalah mengikuti orangtuanya menjadi pemulung. Bagaimana bisa anak-anak itu
tak bersekolah? Padahal di negeri ini tidak sedikit orang berpendidikan tinggi
bahkan sampai ke luar negeri.

Tidak banyak orang-orang di negeri ini yang melirikkan matanya untuk melihat
kondisi anak-anak itu. Cinta, gadis relawan yang sudah beberapa kali datang
untuk mengunjungi mereka. Suatu ketika ia sedang dalam perjalanan. Secara tidak
sengaja, ia mendapati salah satu dari mereka di sudut kota. Ia melihat jelas
keringat bercucuran dari wajah kecil itu. Tampak kaki sudah tak sanggup lagi
untuk berjalan. Apakah anak itu merasa lapar? Ataukah ingin rehat sejenak?
Bukankah minuman, makanan, pendidikan, dan tempat yang layak adalah hak
bagi anak bangsa di negeri ini? Gadis itu terus memikirkan nasib bangsanya
sendiri.

“Tidak, Kak. Kali ini aku tidak bisa menerimanya. Sudah cukup pemberian dari
kakak. Aku harus berusaha mencari uang sendiri.”

“Bagaimana bisa? Dengan kondisi kamu yang sekarang ini? Sekarang kamu harus
makan. Ini ada sebungkus nasi juga ada kue, makanlah!”

Tiba-tiba sosok lelaki tua dari kejauhan datang menghampiri keduanya. Lelaki tua
itu berjalan agak lambat dan terlihat tangan kanannya sedang menjinjing plastik
transparan berisi minuman. Tampak juga bungkusan kecil, yang kemungkinan
adalah makanan.

“Maaf, kalau boleh tahu, Anda siapa, ya? Sebelumnya saya tidak pernah
melihat ...”

“Pulanglah ke rumah Anda! Hari sudah sore.” Jawab lelaki tua itu memotong
perkataannya.

“Tidak. Bolehkah saya berbincang sebentar saja?”

“Anda tidak perlu lagi khawatirkan anak-anak disini.”

“Apa maksudnya?”

“Sebuah peristiwa, entah itu baik maupun buruk, memang menyakitkan. Namun,
disanalah kita diajarkan untuk menjadi kuat. Anda harus ingat siapa saja yang
berbuat baik kepada Anda. Mereka semua menginginkan doa dari Anda. Pasti
Anda akan mendapatkan hal yang sama. Terima kasih banyak sudah mengunjungi
anak-anak disini. Mungkin ini pesan terakhir saya kepada Anda. Pulanglah! Hari
sudah mulai sore. Keluarga anda pasti sedang menanti.”

“Tidak, saya tidak punya keluarga. Ayah dan ibu sudah tiada. Bahkan kakek,
nenek, juga kakak. Mereka semua meninggalkan saya.”

Lelaki tua itu tidak menghiraukan perkataanya. Ia menggendong anak kecil itu
dan pergi meninggalkan gadis tersebut. Perlahan-lahan lelaki tua itu menjauh
darinya. Tinggallah seorang diri. Gadis itu merenung sebentar. Ia masih
memikirkan perkataan lelaki tua tersebut. Namun, tidak juga menemukan
jawabannya, ia pun langsung pulang ke rumah.

Sesampainya dirumah, ia duduk sebentar di ruang tamu. Ia tidak mendapati anak-


anak lain. Mungkin mereka sedang sibuk dengan aktivitasnya masing-masing.
Hanya ada Sarah, teman satu rumahnya, dia adalah orang yang egois, matrealistis,
dan jago bergosip.
“Eh, dirimu baru nongol. Tumben telat pulang. Uda makan belum?”

“Buat apa?”

“Buat hidup.”

“Dua kata yang singkat dan tidak bermakna.”

“Jawabanmu lebih tidak bermakna. Bukankah aku bertanya, sudah makan


belum?”

“Syukurlah ada peningkatan. Ternyata kau sudah paham mana yang bermakna
dan mana yang tidak.”

“Padahal aku mau minta jatah makanan dari seminar yang kau hadiri hari ini.”

“Apa kau kehabisan uang? Bagaimana dengan bisnismu? Bangkrut?”

“Eh enak ajah. Ada alasan lain lah. Hehehe, Cinta yang manis, yang baik hati,
boleh tak malam ini kau traktir...”

“Tidak, malam ini aku tidak akan makan di luar. Nih, ada nasi dan kue.” Ia
mengeluarkan makanan itu dari tas ranselnya.

“Yasudahlah, kali ini aku mengalah. Ngomong-ngomong, apa kau masih berpetak
umpet dengan tugas?”

“Masih. Ada tugas lain yang harus aku selesaikan.”

“Tidak bisakah kau berhenti dari tu...”

“Tidak!”

“Ah, secepat itu kau memotong perkataanku. Ada hal yang harus kau tahu, Si
Claudy, senior kita tuh pernah berpacaran dengan Kak Rizky.”

“Memangnya kenapa dengan Rizky? Kau cemburu?”

“Ishh, apa-apaan? Bukankah Rizky menyukaimu?”


“Mau dia suka, mau dia tak suka, terserah dia lah.”

“Memangnya kau mau menerimanya jika suatu saat dia ingin melamarmu?
Sekarang dia sudah berubah, tapi bagaimana jika dirinya kembali lagi seperti
semula? Lebih baik kau lirik Kak Dirga. Dia keren, pintar, anak ustadz lagi.
Bukankah tipe seperti itu sangat cocok buatmu?”

“Kau ini agen jodoh? Kau bahkan tidak tahu seberapa keras ia merubah dirinya.
Mungkin banyak dari dirinya yang tidak kau ketahui. Apa kau tuhan yang tahu
segalanya?”

“Tapi... ”

“Stop! Apakah tidak ada topik lain yang harus kau bicarakan? Kenapa harus
menggosipi mereka terus menerus? Dari ujung kaki hingga ujung kepala, kau
selalu mengkritik mereka.

“Tidak bisakah kau diskusikan padaku tentang anak-anak yang meminta uang di
pinggiran jalan? Seorang anak kecil yang menggendong tumpukan sampah dalam
karung dari pagi hingga petang?

“Itu masih dalam negeri. Bagaimana dengan nasib saudara kita di luar sana,
seperti Palestina? Suriah? Kashmir? Afghanistan?”

"Haruskah kita memikirkan mereka? Itu sudah nasib mereka seperti itu. Biarkan
saja pemerintah yang mengurusnya.

“Kau tahu bahwa anak muda sekarang ini sudah tidak ada lagi yang masuk
kategori tersebut. Itu zaman kuno, zaman kemerdekaan, dan sudah basi. Sekarang
zaman canggih, anak muda banyak ngebahas bisnis, teknologi, gadget seri terbaru,
game terbaru, lagu-lagu hits dan itu paling ditangisi jika sampai ketinggalan
informasi.

“Amboi... sedapnya mulut kau bicara.”


“Kau juga jangan lupa tentang percintaan. Namamu Cinta, tapi selama ini kau
cuek dalam membahas perjodohan. Tapi, anehnya kenapa Rizky begitu
menyukaimu, ya? Cantik ... enggak, imut... iya, lembut ... tidak, garang ... iya.”
sahut Luna yang juga merupakan teman satu rumahnya itu, nyelonong keluar dari
kamar dan ternyata mendengar percakapan diantara keduanya.

“Apakah percintaan selalu berkaitan antara lelaki dan perempuan saja?” tanya
gadis itu.

“Karena kau seorang penulis, pastinya kau lebih paham. Kisah cinta antara
Romeo dan Juliet, Marie dan pierre Curie, Lancelot dan Guinevere, uuh ...
romantis banget. Mereka rela mengorbankan apa saja demi kekasihnya.” jawab
Luna dengan ekspresi semangat.

“Begitukah? Lantas, apa kau tidak cinta kepada kedua orangtuamu? Kepada
saudara-saudaramu yang lain? Kepada anak-anak miskin di luar sana? Kau tidak
sayang kepada hewan yang terluka? Bahkan yang lebih utama yaitu kepada
tuhanmu sendiri?

“Sayang sekali, standart gaul kalian masih suram untuk masa depan. Apa kalian
masih tidur? Kapan kalian akan membuka mata dan hati? Jikalau waktu kematian
sudah datang, apa yang bisa kalian perbuat? Bahkan seluruh tubuh sudah tidak
lagi berfungsi.”

“Sesuram itukah kau meramal masa depan kami? Ah, berbicara dengan dirimu
terlalu banyak nasihat. Kau sama saja seperti kedua orangtuaku.” Sahut Sarah
dengan nada kesal

“Masih baik aku ladeni kalian bicara, walaupun itu dibanjiri nasihat. Sekarang,
aku mau istirahat. Jangan ganggu diriku.” Gadis itu pun masuk ke kamar dan
menutup pintu. “Apakah ada lagi hal penting yang ingin kalian sampaikan?”
jeritnya dari dalam kamar.

“Kalau boleh tahu, memangnya apa hewan kesayanganmu?” tanya Luna dengan
suara keras.
“Singa, macan, ular...”

“Hah? Ishh! Kau nih yang benar saja.”

“Jadi selama ini kucing yang berkeliaran di depan rumah punya siapa? Apa kau
tidak bisa melihat? Sekarang sudah tumbuh besar dan sehat. Bukankah dia imut
seperti diriku?

“Kalo mau bergosip, jangan datang kemari. Tapi kalo mau belajar, silakan dengan
senang hati. Good night!”

Perdebatan kecil yang sering terjadi, bahkan canda, tawa dan tangisan, rasanya
sudah sering mengharumi rumah itu. Apapun yang terjadi, gadis itu selalu
berusaha mengatasinya. Pendidikan yang ia tempuh, memaksanya untuk tinggal di
rumah kontrakan tersebut bersama teman-teman yang sebelumnya tidak ia kenal.
Mengenal karakter atau kepribadian yang berbeda-beda antara satu dengan
lainnya adalah tantangan dan pengalaman yang harus ia jalani.

Malam itu ia masih bermanja dengan kumpulan tulisan yang isinya ringan.
Sesekali jika ia mendapati bacaan yang berat, ia bertanya kepada ahli ilmu. Sudah
seharusnya ia lari dari tempat kotor yang membuatnya merasa tidak nyaman,
daripada ikut masuk ke jurang keburukan tempatnya para pendosa. Tentu ia tidak
banyak mendapat senyuman hangat dari penghuni bumi. Namun, ia tak perlu tahu
bahwa sebenarnya banyak penghuni langit yang tersenyum padanya.

Matahari tak lagi menampakkan wajahnya. Malam itu hanya ada rembulan,
bintang, dan jutaan galaksi lainnya. Tangannya menyibakkan tirai, membuka
jendela dan membiarkannya terbuka. Ia menatap bintang dan berkata, “aku senang
melihat pancaran sinarmu di kegelapan malam. Kau adalah salah satunya makhluk
langit yang paling indah. Kadang kau juga tampak berkelap-kelip.”

Lalu matanya melirik ke arah bulan, “ah, kau bulan ... sungguh mulia dirimu
menerangi makhluk bumi di kegelapan malam.”
Kemudian ia berkata lagi, “wahai bintang ..., wahai bulan,” matanya berkaca-
kaca, senyumnya melebar, “aku merasa senang ketika memandang kalian. Ya,
tidak sedikit bangunan di muka bumi ini berhamburan megah dan indah. Namun,
apa pun bentuknya, tidak akan ada yang bisa menandingi keindahan-Nya.
Sungguh luar biasa ciptaan-Nya.

Sejenak ia terdiam. Matanya masih menatap langit. Ia melanjutkan perkataannya,


“Kakek, nenek, aku rindu pada kalian. Ayah, ibu, kakak ... apa kabar? Kalian
baik-baik saja, kan? Aku ingin memeluk kalian.

“Aku bosan melihat makhluk bumi. Mereka jahat. Banyak sekali kerusakan di
muka bumi ini. Mereka bertindak sesuka hati.

“Ya Allah, sampaikan salamku buat keluarga yang kurindu. Kelak aku akan
menyusul. Ya Allah, izinkanlah mereka menanti kehadiranku di Syurga-Mu.
Aamiin.”

Sudah menjadi kebiasaannya memandang langit di kegelapan malam. Seolah ia


berbicara pada makhluk langit.Tak jarang pula air mata gadis itu mengalir haru.

Setelah beberapa menit memandang langit, ia langsung mengambil buku


hariannya. Di buku itu hanya ada sisa 3 lembaran kertas kosong yang belum terisi.
Ia menuliskan setiap peristiwa yang terjadi di hari itu.

Tik... tik... tik...

Profil Penulis

Nama : Rena Angguntia

Alamat : Lr. Bakti No. 6, Desa Tanjung Selamat, Kecamatan Syiah Kuala,

Kota Banda Aceh

No. Rek : 1070012451557 a.n ANGGA WINATA (Bank Mandiri)

No. Hp : 082370863582
Email : raiaariestya@gmail.com

Penulis kelahiran Sumatera Utara, 6 April 1998 silam ini memiliki nama pena
Raya Averyll. Punya hobi menulis dan menggambar. Mulai belajar dunia
kepenulisan di tahun 2017. Jejaknya bisa dilacak melalui akun ig
@angguntiarena.

Karya-karyanya antara lain :

Antologi quotes berjudul “Suratan Cinta Untuk Lombok” (Raditeens, 2018)

Antologi puisi berjudul “Aku Tahu Literasi” (Penerbit Cendekia Press, 2018)

Antologi puisi berjudul “Bentang Langit” (Anara Publishing House, 2018)

Antologi puisi berjudul “Terbang dalam Deen Assalam” (Gerakan Sekolah


Menulis Buku, 2019)

Anda mungkin juga menyukai