Anda di halaman 1dari 13

Salam dari KM.

Geovani, dari ikan ikan terbang yang


menemani sepanjang jalan, dari kawanan lumba-lumba yang
tak tertangkap mata kamera, dari birunya laut dan langit, dari
semilir

angin dan deburan ombak yang menghanyutkan

rasa....
Saya rasa cukup saya mulai cerita perjalanan ini dari Ternate, pulau kecil nan
menawan. Perjalanan dari Ternate ke Morotai kami tempuh dengan kapal, dan inilah kali
pertama bagi saya naik kapal. Cukup takut, tapi nyatanya menyenangkan. Jika siapapun
kalian juga berkunjung ke Morotai dengan kapal dari Ternate, saya sarankan bangun
sebelum jam setengah 6 waktu setempat untuk menikmati sunrise dari haluan kapal.
Kalaupun kapal berangkat terlambat karena cuaca buruk, tidak perlu mengeluh,
gerombolan lumba-lumba biasanya menyapa kapal pukul 8.00-10.00 WIT. Hal yang
mungkin sangat jarang ditemui mengingat pengalaman kami kemarin kapal baru
berangkat jam 2 pagi, sehingga tiba di Morotai selepas jam 11 pagi karena angin
kencang dan ombak besar padahal normalnya jam 6 atau jam 7 pagi sudah tiba di
Morotai.
Setibanya di pelabuhan di Daruba (pusat kota Morotai), saya benar-benar
merasakan hiruk pikuk kota pelabuhan, terutama saat ada kapal yang merapat seperti
kapal kami. Tukang-tukang pikul berjajar menawarkan jasanya, ada juga rombongan
keluarga yang menjemput anggota keluarganya yang lain. Semuanya hilir-mudik berlalu
lalang sembari sesekali memperhatikan kami, ya saya tahu bahwa mereka masih
menganggap kami asing.
Sejujurnya saya bingung ketika DPL (Dosen Pembimbing Lapangan) selama
KKN kami meminta kami untuk menuliskan cerita pengalaman kami selama KKN. Saya
bukan seorang penulis, menulis laporan saja masih sering asal-asalan dan seringnya
meniru gaya bahasa jurnal-jurnal penelitian (baca: menyalin). Kalau tidak percaya lihat
saja dua paragraph yang sudah saya coba tulis di atas, saya melihatnya sangat kacau,
merusak mata, hahaha Koloray lah yang mendorong saya ikut menulis, pun mungkin
tulisan saya ini tara (tidak) layak baca. Koloray bukan pacar saya, bukan juga gebetan
saya, bukan dosen killer yang selalu ngasih nilai C-D-E, bukan! Koloray hanyalah
sebuah pulau kecil di dekat Pulau Morotai, saking kecilnya waktu pertama saya cari di

Google Map, penanda lokasinya justru menunjuk ke laut yang tidak ada daratannya,
loh? Iya saya juga bingung.
Saya mau mengenalkan Koloray kepada anda, kalaupun anda tidak berkenan
mohon dimaafkan. Koloray hanya setitik pulau kecil yang bahkan kalau ada peta
Indonesia yang digantung di tembok belakang kelas, Koloray hanya digambarkan
dengan sebuah titik atau bahkan tidak ada, gaib. Kalau coba saya lihat dengan skala
dari Google Map, luas pulau ini hanya sekitar 250x 500 meter. Iya kecil sekali, kalau
tidak salah dihuni oleh sekitar 116 kepala keluarga. Jalan masuk pulau sedikit saja anda
sudah akan melihat laut dari sisi pulau yang lain lagi, benar-benar kecil. Anda mungkin
juga gak bakalan menjumpai keberadaan sepeda motor disini, buat apa? Jalan kaki pun
bisa dan gak mungkin capek. Jika anda ingin jalan-jalan berkeliling pulau mungkin
hanya menghabiskan waktu 45 menit sudah plus ambil foto sana-sini.
Koloray merupakan pulau kecil yang berisi satu desa, Desa Koloray! Di desa
inilah salah satu tim sub unit KKN kami mengabdi. Denny sebagai KORMASIT
(Koordinator Mahasiswa Sub Unit), Juwita (Juju) sebagai sekretaris, Olgha Bendahara,
dan sie-sie sok sibuk yang lain misalnya Rahma (Rahmun), Affifah (Bebeb), Tya, Kak
Nely, Faqih, Khusnul (Enul), Rois (Rais), Lutfi Tamami (Timimi), Aldi (Cacing), Siti dan
saya Siti juga, tapi biasa dipanggil Umi, sebagai satu-satunya penyusup yang baru
bergabung ke tim ini kira-kira 1,5 bulan sebelum keberangkatan, bahkan mungkin
kurang. Kami ber-empat belas lah yang menambahi populasi Desa Koloray selama
kurang dari 2 bulan, Juli-Agustus 2015. Selama waktu itulah ada beberapa pengalaman
yang akan saya bagi.
Rumah papa piara saya merupakan rumah ketiga dari dermaga sebelah kiri
jalan. Berdua dengan Rahmun, kami menempati kamar paling depan berukuran kurang
lebih 3x3 meter. Terdapat 1 kamar mandi di dalam rumah, ada bak air yang berisi air
setengahnya meskipun tidak ada kran air atau saluran air sama sekali. Anda heran?
Saya juga heran waktu itu. Usut punya usut ternyata papa atau mama piara kami yang
mengangkut air dari sumur yang jaraknya sekitar 20 meter dari kamar mandi masuk ke
dalam rumah, menyediakan air untuk kami mandi! Seiring berjalannya waktu, entah
mulai dari kapan keberadaan air di kamar mandi sudah tidak bertambah dan cenderung
habis karena kami gunakan terus. Dari waktu itulah saya dan Rahmun rutin kerja bakti
angkut-angkut air setiap pagi atau sore hari. Awalnya mungkin kami mengeluh, tapi
kalau saya keluhan saya sudah berakhir dengan rasa malu ketika saya melihat Hilda
(anak Pak Kades) kelas 6 SD yang kebetulan rumahnya di sebelah kiri kami juga ikut

mengambil air dibawa kerumahnya yang jaraknya lebih jauh dari sumur untuk mandi. Iya
seorang anak kepala desa, perempuan dan masih kelas 6 SD!
Saya bukan orang yang suka bersosialisasi dengan orang lain, cenderung
introvert, bahkan saat berada di rumah di Jogja saya lebih sering menghabiskan waktu
di kamar, mainan hp, laptop, baca buku (ini sih gaya-gayaan saya saja biar kelihatan
rajin), lebih sering tidur dan mainan benang (hobi saya merajut, baik knitting maupun
crocheting, bikin gelang macram juga). Jadi ya bisa bayangkan ketika saya harus
bersosialisasi dengan warga sini, rasanya ingin kabur di kamar terus saja. Berbeda
dengan teman-teman saya yang lain, saya lihat mereka lebih cepat membaur, mereka
tau percakapan apa yang bisa digunakan untuk bercakap-cakap dengan orang yang
pertama kali dikenal dari bapak-bapak, ibu-ibu maupun anak-anak. Kelebihan mereka
yang tidak saya punya, sedangkan lidah saya terasa kaku, takut salah omong. Tapi
kedekatan teman-teman saya itulah yang mendorong saya untuk juga berani
bersosialisasi, melihat mereka bisa membaur dan tertawa terbahak-bahak bersama
warga lokal menimbulkan rasa iri dari diri saya. Jadi saya katakan pada diri saya sendiri,
ya kamu bisa, hanya dua bulan disini apa susahnya?. Di saat teman-teman yang lain
sudah mulai hapal nama beberapa anak, saya mungkin belum mengenal mereka dan
lebih sering menjadi pendengar setiap percakapan mereka untuk menandai nama
masing-masing anak. Hahaha, saya kuper ya? Emang.
Program awal yang paling berkesan bagi saya bukanlah program saya,
melainkan program bantu berupa pengumpulan zakat. Waktu itu dengan sangat
terpaksa namun rela kami harus merayakan hari Raya Idul Fitri di Koloray. Kenapa
program ini berkesan, bukan karena kami jadi amil dan akhirnya masing-masing dari
kami menerima jatah Rp. 50.000,00, tapi karena prosesinya yang berbeda. Orang-orang
berdatangan ke masjid, membawa piring kecil yang di atasnya ditutupi kain dan di piring
itulah mereka meletakkan uang zakat dan rincian zakat masing-masing. Pak takmir
masjid kemudian menerima piring tersebut, mengambil uangnya dan membacakan
rinciannya untuk saya catat. Disinilah kejadian lucu terjadi, bapak takmir masjid ini (atau
lebih tepatnya kakek) membacakan nama anggota keluarga dan menyebutkan jumlah
anggota keluarga dalam Bahasa Ternate (katanya sih biar kami bisa belajar Bahasa
Ternate walaupun hanya sebentar disini). Nah kejadian lucunya ialah sering kali saya
menuliskan jumlah anggota keluarga yang disebutkan kakek dalam Bahasa Ternate
sebagai nama anggota keluarga, sehingga catatannya agak rancu dengan kertas yang
diberikan si kakek. Untungnya Siti selalu sigap menegur kalau-kalau saya ada salah

catat. Nama si kakek ini baru saya ketahui ketika hari-hari terakhir berada di Koloray,
kakek ini mencari saya untuk diberikan gelang dari akar bahar yang beliau buat sendiri.
Saat itu juga saya langsung menangis terharu, bagaimana tidak, saya bahkan tidak tau
siapa nama kakek ini meskipun sudah hampir dua bulan berada disini dan

kenangan

satu-satunya yang saya ingat bersama beliau hanyalah saat pengumpulan zakat fitrah,
tapi beliau mengingat saya dan menjadikan saya seorang yang beruntung menerima
gelang buatan tangannya. Pun diakhir kakek menangis memeluk saya sambil melepas
kepergian saya. Tete (kakek) Dullah saya berjanji saya akan selalu mengingat tete dan
nama tete!
Sebagai seorang penyusup yang baru bergabung ke dalam tim KKN 1,5 bulan
sebelum keberangkatan saya tidak membayangkan program yang muluk yang
memakan dana besar dari jatah dana program yang sudah dianggarkan Olgha. Pikiran
saya saat itu hanyalah saya tidak ingin memperkenalkan sesuatu yang justru nantinya
ketika saya tinggalkan mereka tidak bisa melanjutkan program tersebut karena tidak
tersedianya sarana-prasarana. Sebagai satu-satunya mahasiswa yang berlatarbelakang pertanian murni di sub unit ini (Timimi meskipun berasal dari Fakultas
Pertanian sama seperti saya namun jurusannya Perikanan dan Bebeb yang berasal dari
Fakultas Teknologi Pertanian jurusannya Teknologi Pangan), saya memutuskan untuk
memanfaatkan lahan demplot milik KWT (Kelompok Wanita Tani) yang baru non-aktif
sebagai area kerja saya melalui ijin ke ketua KWT, Mama Impo. Berdua dengan Kak
Nely yang berasal dari Fakultas Kehutanan dengan program pembibitan pohon kasuari
dan penyediaan bibit kasuari berjuang menghidupkan kembali lahan tersebut.
Lahan demplot terletak di seberang lapangan bola, sumber air terdekat terdapat
di sumur seberang lapangan bola. Ya intinya antara lahan dengan sumur terpisahkan
oleh lapangan bola yang kami beri nama Estadio de Kolorai. Sebenarnya ada jalur air
melalui selang dan pipa dari sumur ke lahan demplot yang dengan bantuan pompa air
akan menyalurkan air dari sumur ke 3 tong air besar berwarna biru yang berada di
lahan. Namun hal tersebut baru kami ketahui belum lama dan juga tidak terus diisi air
setiap harinya. Karena jika ingin diisi air, kami harus menunggu proses pengisian air dan
mengganti selang dari tong satu ke tong yang lain. Pernah kali pertama kami (saya, kak
Nely, Denny dan Rais) menunggu air di lahan sekitar pukul 7 malam (karena listrik desa
hanya menyala dari jam setengah 7 malam hingga jam 11), awalnya kami terkesima
dengan pemandangan langit suguhan Tuhan. Langit Koloray benar-benar indah, bahkan
jika beruntung akan dengan mudah dilihat benda langit yang berjalan atau bintang jatuh

dengan mata telanjang namun lama-lama bosan juga. akhirnya stars gazing kami
terganggu dengan kedatangan nenek pemilik rumah yang sumurnya kami manfaatkan,
menyuruh kami untuk menunggu di rumahnya saja bukan menunggu di lahan. Kami pun
beranjak, Denny dan Rais kemudian pamit untuk mandi, meninggalkan saya, Kak Nely,
nenek dan ibu Ifah duduk di bawah pohon mangga besar di belakang rumah ibu Ifah (ibu
Ifah adalah anak dari nenek ini). Kemudian nenek mulai bercerita kenapa melarang kami
menunggu disana, ternyata lahan itu termasuk lokasi angker, saking angkernya nenek
melarang kami terlalu pagi datang menyiram disitu, bahkan tengah hari atau saat
sebelum maghrib. Kami juga diwanti-wanti agar tidak mengunjungi lahan sendirian.
Sontak bulu remang saya mulai berdiri, mendadak ada suara aneh seperti hewan
sejenis burung berteriak kencang, saya dan Kak Nely cuma bisa saling menatap, takut.
Penduduk Koloray 100% muslim, setidaknya kalau dilakukan survey dengan
melihat kolom agama di KTP akan dijumpai agama Islam di masing-masing KTP
penduduk. Sebelum kami tiba disini pun warga sudah memperingatkan agar hanya
mahasiswa muslim saja yang mengabdi disini dan kami mematuhinya. Tapi jangan tanya
apakah saya pernah dengar adzan di Koloray, hehehe. Jawabannya tentu saja tidak,
atau iya tapi saya lupa mungkin kalau hari jumat saja. Adzan di Koloray tidak
menggunakan pengeras suara seperti di masjid-masjid di daerah lain, bukan karena
tidak ada pengeras suara, tapi tidak ada listrik. Jadi yang terdengar hanya toki bedhug
(pukul bedhug), tanda waktu sholat tiba. Sepulang KKN, ketika malam pertama tidur di
rumah, saya sampai dibuat kaget dan terbangun gara-gara dengar adzan subuh, saya
ingatnya saya masih ada di Koloray. Hahaha, ngaco mana ada suara azdan dengan
pengeras suara disana! Kemudian saya sadar dan melanjutkan tidur karena masih lelah.
Meskipun penduduk

100% muslim, namun speaker raksasanya

hanya

dikeluarkan saat-saat baronggeng saja atau diboyong ke tengah lapangan untuk


pertandingan sepak bola saat lomba agustusan. Apa itu baronggeng? Akan saya
ceritakan di paragraf-paragraf saya selanjutnya. Di paragraf ini saya Cuma mau bilang
speaker takbiran idul fitri dan speaker baronggeng lebih juara speaker baronggeng dan
juga suara takbiran tidak terus-menerus terdengar dan bersahut-sahutan seperti di Jogja
atau di daerah lain (mungkin). Maklum saja ya, kan Koloray pulau kecil ditengah laut dan
jauh dari pulau lain yang berpenduduk padat.
Oke, jadi apa itu baronggeng? Baronggeng dilakukan pada saat ada pesta, pesta
apapun itu kecuali pesta kematian (ya iya laah). Mungkin anda tidak terlalu asing
dengan kata dasarnya ronggeng, ya semacam ronggeng di Jawa Barat, baronggeng

merupakan acara dimana pesertanya menari berpasang-pasangan. Pertama kali kami


mengenal baronggeng yakni satu atau dua hari setelah lebaran, acaranya sih
penyambutan kami (sebenarnya sudah sangat telat karena kami tiba di pulau tersebut
pertengahan puasa), namun karena pada saat puasa ramadhan dilarang baronggeng
jadi acara baronggeng baru dilaksanakan setelah lebaran. Tidak hanya malam puasa
saja, malam jumat juga dilarang untuk baronggeng. Hei tapi jangan banyangkan
ronggeng-ronggeng Jawa Barat yang sering kita lihat di TV atau baca dari novel-novel
seperti novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari ya? Ronggeng disini
walaupun nari berpasangan tapi teratur, ada orang yang member aba-aba, apakah nanti
kita melakukan Round (jalan berputar sambil menari), Double Langse (bertukaran
posisi) atau Yora (nari dengan agak jongkok). Bukan hanya barisnya, langkah kaki atau
gerakan tangan juga ada aturannya, kecuali untuk ronggeng-ronggeng bebas dan tidak
ada aturannya untuk gerakan tangan dan kaki. Tahunya itu ronggeng bebas atau bukan
bisa diketahui dari musik pengiringnya, masing-masing lagu punya gaya masing-masing.
Semula kami kurang paham dengan apa itu baronggeng, dan yang kami tahu
yaa ronggeng-ronggeng seperti yang anda bayangkan pada awalnya itu. Kami
cenderung takut untuk mendekat dan berpartisipasi, hanya berani melihat, itupun karena
kami merasa sungkan, kan acara dibuat untuk penyambutan kami. Baronggeng
diadakan dua malam berturut-turut, malam pertama kami hanya melihat dan malam
kedua kami kabur. Iya kabur, dua malam berturut-turut kami tidur di rumah mama piara
Bebeb dan Tya. Walaupun tidak terlalu jauh tapi ya lumayan daripada tidur di rumah
mama piara kami padahal acara ronggeng di depan rumah Pak Kades, sebelah rumah
papa piara kami persis. Kami juga mencari-cari alasan untuk menolak ajakan yang
datang, hingga ada abang-abang yang mengancam akan melempar petasan ke tempat
persembunyian kami kalau malam kedua kami juga tidak berpartisipasi, hahaha tentu
saja itu hanya bercandanya mereka. Tidak serius meskipun cukup membuat kami waswas. Saat itu hanya Denny, Rais dan Enul yang tidak bisa mengelak dan ikut
berpartisipasi.
Perkenalan kami dengan baronggeng yang sebenar-benarnya baru terjadi sekitar
minggu kedua Agustus, persiapan untuk panggung kebudayaan dalam memperingati
hari kemerdekaan Indonesia-lah yang mengantarkan kami bersalaman dengan
baronggeng yang sesungguhnya. Awalnya kami hanya diminta untuk melihat latihan
anak-anak SMP yang akan menampilkan tari Lalayon pada saat malam pentas. Namun
malam itu berakhir dengan kami ikut ditarik untuk berlatih ronggeng Tide-tide dan diajari

langsung oleh mama-mama dan abang-abang disana. Jangan bayangkan kami latihan
di dalam rumah dan tidak ada penonton, nyatanya latihan dilakukan di jalan depan
rumah Bang Nal dan dilihat oleh (bisa dibilang) seluruh warga. Jadi bisa bayangkan
kami latihan di jalan tanah, di tengah musim kemarau, debu dimana-mana! Anak-anak
kecil baik balita hingga SD juga turut menyaksikan aksi kami, walaupun ketika guru
mereka lewat mereka langsung menghilang, entah kabur sembunyi kemana. Akibat dari
malam itu ialah kami juga diminta tampil dalam pentas membawakan ronggeng Tidetide! Oiya, salah satu kebiasaan warga Koloray yang saya sukai ialah mereka tidak
sungkan untuk memuji, hal itu bisa saya bilang bagus, menambah semangat saya untuk
latihan Tide-tide meskipun sering kali setelah dipuji saya jadi salah tingkah dan salah
gerakan. Hahaha
Saya ingin bercerita sedikit tentang Tide-tide, jadi dari informasi yang saya
kumpulkan, Tide-tide merupakan salah satu ronggeng adat yang dilakukan sepasang
pengantin pada malam pertama pesta bahkan sebelum mereka melakukan resepsi atau
ijab qobul. Saat melakukan Tide-tide ini keluarga laki-laki akan meletakkan uang di
kepala calon pengantin perempuan hingga jumlah yang disetujui oleh keluarga
perempuan. Kalau kepala perempuan ini tidak bisa menampung uang tersebut, maka
keluarga akan mengalungkan selendang untuk menampung uang tersebut. Mungkin
kalau di Jawa disebut srah-srahan kali ya? Nah informasi lain yang saya dapatkan ialah
orang Koloray bisa menilai kepribadian seseorang dari cara dia menari Tide-tide. Oleh
karena itu pada saat baronggeng merupakan saat yang tepat bagi laki-laki mencari
pasangan dan saat yang tepat bagi orang tua mencari menantu untuk dinikahkan
dengan anaknya. Cara untuk menandai calon menantu atau calon pasangan pun
mudah, tinggal letakkan saja uang di kepala si calon. Jadi kalau anda sedang ikut
baronggeng di Koloray dan ada yang meletakkan uang di kepala anda, bisa berarti
orang tersebut menginginkan anda jadi menantu atau pasangan hidupnya! Mudah kan?
Lanjut tentang Tide-tide pentas kebudayaan, hanya empat dari delapan
perempuan anggota KKN yang beruntung untuk menarikan Tide-tide. Bukan karena apa,
tapi dengan panggung yang sempit tidak mungkin berdelapan ikut naik ke panggung
dalam waktu yang bersamaan. Belum lagi dengan laki-laki pasangan masing-masing.
Singkatnya saya beruntung berpasangan dengan Bang Ulis berada di barisan paling
depan, mengikuti dibelakang saya Olgha dengan Denny, Bebeb dengan Bang Fakhri
dan Juju dengan Rais! Sejujurnya saya minder diletakkan di posisi paling terdepan
apalagi berpasangan dengan Bang Ulis yang selama ini melatih kami Tide-tide, tapi

katanya saya paleca (jago) ronggeng Tide-tide, bahkan tanpa harus saya sebutkan
siapa tapi ada abang-abang yang memuji Tide-tide saya dengan mengatakan bahwa
saya sudah pantas untuk kawin (menikah) di Koloray dan setelah melihat cincin yang
saya pakai di salah satu jari saya mengancam akan membuat tunangan saya mati!
Serem? Iya, saya juga takut!
Pentas kebudayaan tidak dilakukan setengah-setengah, kami yang menampilkan
Tide-tide dibantu Cik Mani (Cik= sebutan untuk ibu-ibu yang masih muda) dicarikan
kebaya sebagai kostum, bahkan mungkin kalau kami tidak berjilbab, kepala kami sudah
dipasangi sanggul satu-satu. Pada saat akan tampil yang saya ingat cuma satu pesan
dari pelatih tari saya dulu (saya pernah ikut ekskul teater selama STM dan hanya terpilih
jadi penari latar), jangan lupa tersenyum! Iya pokoknya jangan lupa senyum, entah salah
entah apapun yang terjadi jangan lupa senyum, biar keliatan bagus kalau difoto katanya,
hahaha! Grogi? Jelas lah, apalagi saat mulai menari banyak bapak-bapak dan tete-tete
ikut menari di depan panggung. Usut punya usut itu merupakan bentuk rasa suka
mereka terhadap ronggeng kami, dan saya merasa sejak saat itu saya mulai banyak
dikenal warga Koloray. Saya juga bersyukur malam itu yang meletakkan uang di kepala
kami hanyalah Cik Mani, masing-masing perempuan mendapatkan 10 ribu itupun
sebelumnya Cik Mani sudah memberitahukan ke kami seandainya malam itu ada yang
meletakkan uang di kepala kami, anggap saja itu hanya bercanda tapi uangnya benarbenar buat kami, hehehe.
Mungkin anda bertanya-tanya dimana keberadaan empat orang perempuan
anggota kelompok kami yang lain. Saya kasih tahu ya, mereka tidak hanya jadi
penonton kok, malam itu mereka ikut tampil. Ya, Tya, Rahmun, Kak Nely dan Siti ikut
tampil ronggeng. Ronggeng Poco-poco, gerakan dasarnya seperti Poco-poco yang kita
kenal namun musiknya lebih asik. Saking asiknya gara-gara Poco-poco ini kami minta
kepada Cik Mani untuk diajari dan dikenalkan dengan ronggeng-ronggeng yang lain.
Sejak saat itulah kami dan seterusnya sudah tidak malu-malu bahkan ketagihan untuk
baronggeng lagi dan lagi.
Saat saya bilang kalau warga Koloray tidak pernah setengah-setengah, itu benar.
Lomba 17 Agustusan misalnya, lomba sepak bola antar fonae (kapal penangkap ikan
yang terdiri dari beberapa orang awak kapal) masing-masing tim mempersiapkan jersey
tim yang kompak, tidak lupa sepatu bola, bendera panji-panji masing-masing tim
(walaupun menggunakan bendera-bendera dari negara lain seperti Spanyol, Argentina
atau Brazil) dan bahkan tim supporter! Mereka menyiapkan gawang baru, papan skor

baru, membangun base masing-masing tim dan semua itu di luar ekspektasi kami. Kami
para perempuan di tim KKN juga dipinjami jersey yang sama dengan tim yang kami
dukung (tentunya tim panitia yang terdiri dari mahasiswa KKN dan pemuda-pemuda
setempat).
Hal lain di lomba Agustusan yang berkesan di hati saya ialah saat saya diminta
bergabung dengan tim ibu-ibu dalam cabor sepak bola dangdut. Aturan mainnya
gampang dan seperti sepak bola dangdut pada umumnya, main seperti sepak bola
biasa dan seandainya ada musik dangdut berbunyi kami harus berhenti bermain dan
berjoget. Awalnya saya malu, bukan saya tidak bisa main bola (walaupun bentukannya
seperti ini tapi saya anggota tim basket dan futsal jurusan, hehehe), tapi karena saya
bukan penikmat musik dangdut, tidak pernah joget dangdut sebelumnya, apalagi
ditonton banyak orang, malu lah! Hal yang mendorong saya untuk ikut serta ialah saya
menyadari bahwa saya hanya tinggal sebentar disana dan saya harus menikmati hidup.
Jangan sampai nantinya saya menyesal karena saya tidak turut serta berpartisipasi.
Tim pertama yang saya bantu ialah tim ibu-ibu istri pejabat desa. Saat itu saya
diletakkan sebagai pemain belakang, namun naluri pemain tengah-lah yang mendorong
saya lari-lari dari depan ke belakang selama babak pertama, jangan tanya babak kedua
karena saya sudah tidak kuat banyak lari gara-gara terlalu banyak menghirup debu
lapangan. Hasilnya? Tim kami kalah! Meskipun kalah, hari kedua saya diminta untuk
berpartisipasi kembali dalam cabor yang sama membantu tim anak-anak SD, bukan
sebagai penyerang, bek atau pemain tengah, melainkan sebagai kiper melawan tim dari
anak-anak SMP. Hasilnya kalah saat adu penalty. Sedih? Pasti. Perjuangan saya tidak
terhenti sampai disitu, dua kali membela tim dan kalah tidak membuat saya dirumahkan
begitu saja, hehehe. Hari ketiga atau hari terakhir saya masih diminta bantuannya
membantu tim anak-anak SD perebutan juara III. Kali ini masih menjadi kiper, namun
karena melawan tim ibu-ibu, akhirnya tidak hanya saya saja dewasa yang diturunkan,
ada ibu guru dan Cik Mani juga turut membantu.
Pertandingan perebutan juara III saya bilang cukup seru, saya sebagai kiper di
babak pertama sudah kebobolan 3 gol. Hal ini yang menyebabkan saya mengajak tukar
posisi dengan Cik Mani setelah turun minum. Cik Mani sebagai kiper dan saya sebagai
penyerang. Kekecewaan saya dua hari sebelumnya berbuah manis saat saya bisa
melesatkan gol ke gawang lawan. YES! Saya berhasil balas dendam sekaligus
menunjukkan kemampuan saya dalam bermain bola ke warga desa. Ya walaupun kalah

1-3 tapi menyenangkan kok! Jangan pernah ragu-ragu untuk ikut berpartisipasi, apapun
hasilnya *wink*.
Cerita saya tidak menarik ya? Membosankan? Hehehe Maafin yaa Berikut
ini saya akan ceritakan tentang segelintir orang-orang di Koloray. Tidak mungkin juga
saya ceritakan satu persatu kan? Nanti tulisannya tambah membosankan.
Akram: Akram merupakan manager tim sepak bola SD. Ia masih duduk di kelas 6
SD. Pada awalnya saya mengenal Akram dengan nama Akmal (padahal ada anak lain
yang mempunyai nama Akmal), di hari-hari terakhir saya baru tau kalau namanya bukan
Akmal melainkan Akram. Saya pun buru-buru minta maaf, dan jawaban anak sekecil itu
ialah, tara apa sudah Kak Umi, yang penting Kak Umi kenal deng saya saja saya so
senang, kong (engga apa-apa Kak Umi, yang penting Kak Umi kenal dengan saya saja
saya sudah senang). Hwa, saya langsung nangis terharu dan langsung memeluk dia.
Bang Liken: nama aslinya Amli. Kata warga sekitar abang ini mengalami sedikit
gangguan psikologis. Kemana saja selalu membawa kopi entah satu gelas atau satu
teko. Awal saya tau sih saya tidak menyangka kalau dia itu abang-abang yang selama
ini dimaksud oleh teman-teman. Awal bertemu saya diajak ngobrol dengan tema Power
of Love, Ekspansi of Love (ya setidaknya begitu judul yang dia sebutkan). Isi
perbincangannya bermacam-macam, awalnya saya tidak tertarik dan mencoba untuk
tidak menggubris, tapi gara-gara Bang Il (Bang Lilo) memoderatori perbincangan yang
coba Bang Liken bangun akhirnya saya terjebak juga. Setelah obrolan selesai karena
kopi Bang Liken sudah habis dan ia pamit pulang, barulah Bang Il menjelaskan kepada
saya siapa itu Bang Liken. Sontak saya kaget dan merutuk Bang Il atas perbuatannya.
Hari-hari berikutnya Bang Liken sering mencari saya untuk mengajak ngobrol dan
gegara itu teman-teman laki-laki kami sering mengundang abang-abang pemuda yang
lain untuk mengalihkan perhatian dan mengajak ngobrol Bang Liken. Soalnya kalau
Bang Liken sudah datang teman-teman perempuan langsung kabur karena takut. Saya
sebenarnya tidak terlalu takut, hanya saja merasa aneh. Tapi jangan salah, Bang Liken
baik kok, buktinya di hari saat perpisahan di dermaga saat akan meninggalkan pulau ia
memberikan kepada saya salah satu dari sekian gelang akar bahar di tangannya dan
memakaikannya langsung ke tangan saya, saya juga sudah pernah diajak baronggeng
berpasangan dengan dia (pada saat itu jujur saya takut banget, takut kalau-kalau
mendadak dia meletakkan uang di kepala saya, hahaha).

Rangga: Rangga merupakan anak dengan kebutuhan khusus. Sepertinya dia


tidak bisa mendengar, karena dia masih bisa berbicara walaupun hanya, mama
ma. Awal pertemuan saya dengan Rangga ada di Tanjung Atas Desa Koloray (mau
tau itu dimana? Makanya ke Koloray sudah. Hehehe), seperti anak kecil lain seusianya,
Rangga mencoba mencari perhatian saya dengan banyak hal. Saat itu dia menunjukkan
kepiawaiannya memanjat pohon, namun sayang dia terjatuh karena ranting yang
dipijaknya sudah lapuk. Saya kaget, tapi teman-temannya yang lain malah
menertawakannya. Dia langsung menunduk dan menangis. Setelah saya suruh temantemannya untuk diam, saya bergegas menghampiri dan memeluk serta mengusap-usap
punggungnya. Tidak berselang lama tanpa saya sangka dia langsung mendongak dan
tertawa sambil berteriak Baa. Saya pun tertawa, anak ini luar biasa pikir saya. Jatuh
dari pohon, menangis sebentar setelah itu sudah tertawa. Setelah kejadian itu, Rangga
sering kali mengikuti dan membantu saya. Rangga sangat senang saya ajak berfoto
bersama. Saat hari terakhir saya di Koloray, saat kami mengunjungi rumah satu dengan
rumah yang lainnya untuk berpamitan, Rangga selalu menggandeng tangan saya dan
hanya melepaskannya ketika saya sudah masuk ke dalam rumah. Ketika keluar dari tiap
rumah Rangga kembali memeluk tangan saya, ketika ada anak-anak lain yang mencoba
menghalanginya dia menangis sejadi-jadinya, benar-benar menangis. Dia menjadi
tenang dan bisa tersenyum kembali saat saya memeluknya dan memberikan tangan
saya kepadanya. Hai Rangga, adakah kamu ingat dengan kakak? Apakah kamu
merindukan kakak? Apakah kamu tau saat itu adalah hari terakhir kakak berada di
Koloray? Andaikan kamu bisa mendengar suara kakak melalui telepon dan bisa
berbicara dengan kakak mungkin kakak tidak akan serindu ini.
Saya tidak akan pernah melupakan semua kenangan itu, melalui tulisan ini saya
juga ingin meminta maaf terhadap semua kesalahan yang telah kami perbuat baik
sengaja maupun tidak sengaja. Saya menyayangi kalian! Terimakasih atas semua
pemberian yang tidak ternilai harganya. Hanya Tuhan yang dapat membalas semua
kebaikan kalian, semoga kesejahteraan senantiasa menyertai Koloray. Aamiin
Jika ditanya apa kabar program-program yang saya laksanakan selama disana
(karena itu inti dari KKN), maka percaya saja kalau saya bilang program saya engga
asik. Apa asiknya sih bangun pagi-pagi sebelum teman yang lain bangun dan
menyisihkan waktu tiap sore hari, angkat-angkat air menyeberangi lapangan bola hanya
untuk menyiram tanaman dan bisa sampai 3-4 kali bolak-balik dengan alat siram di
tangan kiri dan kanan sekaligus? Ya walaupun terbiasa karena setiap hari selama

disana juga harus angkat-angkat air untuk mandi tapi ya tangan saya kapalan juga,
hehehe. Meskipun demikian tetap berkesan kok bagi saya, karena saya sering dibantu
anak-anak Koloray yang manis dan baik hati. Saya memang memuji mereka, karena
begitulah kenyataannya. Saya akui sih, sering kali mereka rebutan alat siram, lari-lari
dan main lompat-lompat hingga merusak bedengan atau malah memakai air yang sudah
susah payah diambil untuk menyiram rumput-rumput liar tapi melihat senyum tulus
mereka saat membantu saya itu sudah cukup untuk membuat saya menyayangi
mereka.
Sebenarnya masih banyak yang bisa saya ceritakan tentang Koloray, tentang
pesta perpisahan kami yang dilangsungkan dari setelah malam pentas kebudayaan
hingga hari Minggu hari terakhir kami di Koloray dengan baronggeng setiap malam yang
hanya libur di malam Jumat. Bahkan di 2 malam terakhir ketika teman-teman kami dari
sub unit Poporoco datang baronggeng dilangsungkan hingga jam 4 pagi. Tentang
makan-makan besar saat baronggeng, tentang pesta perpisahan dengan piknik satu
kampung ke Pulau Dodola, tentang warga yang iuran untuk biaya bensin generator
listrik, iuran untuk membuatkan oleh-oleh kue Halua (kue kacang dan gula karamel,
seperti ting ting di Jawa), ikan asin, kue karang, dan juga iuran untuk biaya kami selama
piknik di Dodola, naik Jet Ski, Banana Boat, snorkeling.
3 hari setelah meninggalkan Pulau Koloray dan masih berada di Pulau Morotai
untuk koordinasi dengan Pemda mungkin cukup saya salin dari status salah satu akun
media sosial saya sebagai berikut:
Siapa yang ga terharu pas kemaren pamit pulang ke pulau besar dianter orang
satu kampung ke dermaga (nangis semua) dan dianter langsung ke pantai depan resort
tempat kita menginap, dipetikin kelapa dan minum kelapa muda sampai puas...
Tambah terharu malamnya banyak yg sms, miscall dan nelpon, pagi juga...
Pagi2 sudah ditelpon lagi ga cuma 1-2 orang cuma nanya sudah makan belum, sudah
minum teh belum (kebiasaan orang Koloray pagi sarapan dengan teh manis dan pisang
goreng/sukun goreng/kue), ketika dijawab belum, atau udah dan beli di Daruba (pusat
kota), orang sekampung langsung panik, bapak-bapak pergi mancing, mama-mama
goreng pisang, masak nasi, bikin dabu-dabu, belum selesai kupas pisang yang mancing
sudah pulang bawa ikan 200 ekor (katanya rezeki kita para mahasiswa) dan dianter

langsung oleh 2 bodi (kapal) berisikan orang-orang sekampung (bapak-bapak, ibu-ibu,


abang-abang dan adik-adik)...
Kita disuruh balik Koloray saja kalo di resort makan engga pasti..
Semalam sedih katanya, Koloray jadi sepi, engga bisa tidur, anak-anak engga mau
makan, di kelas cuma melamun...
Koloray desa terbaik, dengan orang-orang paling baik yang pernah saya temui...
Oiya, jangan tanyakan saya tentang kisah cinta selama disana, perlu satu bab
khusus mungkin untuk menuliskannya. Terimakasih sudah diantar hingga ke Bandara
Sultan Babullah hingga jual kambing tetangga untuk beli tiket kapal ke Ternate
Mengutip lagu Dewa 19, yang kebetulan sedang saya dengarkan dan ditemani
secangkir kopi, Still I have in my eyes, still I have forever.

Ini bukan hanya tentang birunya langit atau jernihnya air


laut...

Bukan

hanya

tentang

indahnya

sunrise

atau

keemasannya sunset... Bukan hanya tentang indahnya bintang


dan rembulan di waktu malam Ini tentang sebuah desa yang
tenang, yang meski banyak warganya hidup seadanya, tapi
mereka berdamai dengan alam dan tidak pernah mengeluh...
Ini tentang cerita cita dan cinta, tentang keluarga baru yang
saling merindu, karena baru bertemu sudah harus terpisah oleh
waktu... Tentang kebersamaan dan kekeluargaan, tentang
tangis

dan

canda,

haru

merindukanmu... Koloray...

dan

bahagia...

Dari

aku

yang

Anda mungkin juga menyukai