Anda di halaman 1dari 72

AKU MENYEBUTNYA GADIS KANGOUW

Oleh: Adry Nelson

1
KATA PENGANTAR

Novel dengan judul “Aku Menyebutnya Gadis Kangouw”


bercerita tentang seorang laki-laki bernama Lanang
Pamungkas dalam melaksanakan tugasnya sebagai seorang
surveyor berkenalan dengan seorang gadis relawan sosial di
Bandara Juanda Surabaya. Mereka saling jatuh cinta. Tapi
pada saat berpisah masing-masing lupa saling berbagi alamat
dan nomor telepon. Bagaimanakah cara mereka agar dapat
merajut cinta kasih yang telah mulai bersemi di hati masing-
masing? Ikuti kisahnya dalam cerita ini!
Terima kasih disampaikan kepada sahabat group
Facebook Cyber Kangouw yang telah banyak memberikan
sumbang saran dan motivasi sehingga novel ini dapat
diselesaikan.

Pekanbaru, April 2021

Penulis

Adry Nelson

Note: Kata “Kangouw” merupakan terminologi yang dipakai dalam


cerita silat Mandarin, yang mempunyai makna ruangnya kaum
persilatan melakukan petualangan.

2
I
Pagi itu aku bangun lebih awal, alarm HP telah aku stel
pada posisi pukul 4.00 karena aku takut ketiduran. Aku tidur
telah larut malam karena baru sampai di hotel sekitar jam 23.30.
Perjalanan dari Banyuwangi cukup lama dan melelahkan. Aku
harus berangkat ke bandara Internasional Juanda agak pagi
untuk menghindari resiko macet dalam perjalanan. Jam
keberangkatan pesawat yang akan kutumpangi ke kota tujuan
pada pukul 11.30, namun berdasarkan pengalamanku
beberapa kali ke Surabaya, kota ini termasuk salah satu kota
yang termacet di Indonesia.
Aku punya prinsip lebih baik menunggu di bandara
daripada mengalami stress dalam perjalanan. Setelah sarapan,
aku mengemasi semua barang-barang bawaanku, lalu turun ke
lobby hotel dan menyelesaikan administrasi pembayaran hotel.
Setelah semuanya beres, aku keluar menuju taksi yang
telah dipanggilkan oleh petugas hotel. Selama dalam
perjalanan dari hotel menuju bandara, untuk menghilangkan
rasa suntuk, aku berbincang-bincang dengan sopir taksi.
“Maaf pak, mau kemana?” dia bertanya.
“Mau ke Pekanbaru”, jawabku sambil memperhatikan
badge nama yang tergantung pada dashboard taksi. Oh
ternyata namanya G.M.E. Hutagalung. Melihat namanya sudah
jelas pak sopir ini berasal dari Sumatera Utara.
“Bapak tinggal di Surabaya atau Pekanbaru?” tanyanya.
“Saya tinggal di Pekanbaru, kebetulan ada tugas kantor di
daerah Jember dan Banyuwangi. Eh ngomong-ngomong, kalau

3
melihat nama yang tercantum di badge itu, apakah pak Sopir
orang Medan?”
“Betul pak. Tapi tepatnya dari Porsea, Tapanuli Utara”,
jawabnya.
Kawan-kawanku yang berasal dari suku Batak pernah
bercerita bahwa orangtuanya kalau memberikan nama untuk
anaknya sering mengambil suatu peristiwa, kejadian, atau
sesuatu yang dikaguminya. Contohnya ada temanku yang
bernama Korsi Sebayang karena orang tuanya menginginkan
anaknya kokoh seperti kursi. Iseng-iseng aku tanyakan kepada
pak Sopir, singkatan dari G.M.E di depan marganya.
“Maaf pak Sopir, G.M.E di depan marga itu singkatan apa
ya?”
“Ooh! Gulat Medali Emas,”jawabnya.
“Kok aneh terdengarnya pak dan apa artinya?” tanyaku
lagi.
“Dulu bapakku adalah atlet gulat, pada saat beliau
membela daerah kami pada suatu kejuaraan, beliau
mendapatkan medali emas dan aku lahir pula ke bumi sehari
sebelumnya. Biasalah pak, kalau kebiasaan orang-orang tua
dulu, bila ada yang sangat berkesan pada saat anaknya lahir,
maka untuk mengenangnya dikasihlah nama si anak kayak
gitu.” Jawabnya dengan dialek Batak yang kental. Aku
tersenyum kecil dan dalam hati aku membenarkan cerita
kawan-kawanku.
“Sudah lama tinggal di Surabaya?” tanyaku.
“Hampir 20 tahun pak,” katanya. Lalu dia bercerita bahwa
isterinya orang Madura dan sekarang sudah memiliki anak 3
4
orang yang menanjak remaja. Pulang ke Porsea sudah jarang
dilakukannya karena mengingat biaya yang cukup besar,
apalagi kalau membawa keluarga.
Dia juga bercerita bahwa penghasilannya sebagai sopir
taksi dalam satu tahun terakhir ini, jauh menurun. Hal ini tidak
terlepas dari kondisi yang dialami negara saat ini, yaitu adanya
wabah pandemi covid-19. Jumlah penumpang jauh menurun,
baik penumpang dalam kota Surabaya maupun yang menuju
ke bandara. Untuk mengatasi kesulitan ekonomi, isterinya ikut
banting tulang membantu penghasilan keluarga agar dapat
menghidupi keluarga. Isterinya berjualan sayur mayur di pasar.
Tak terasa 1 jam telah berlalu saking asyiknya berbincang-
bincang dengan Cak Hutagalung, begitu aku memanggilnya
karena dia beristerikan orang Madura, taksi telah masuk ke
area bandara Juanda. Aku turun dari taksi, barang-barang
bawaanku juga sudah diturunkan. Lalu aku bayar ongkos taksi
sebagaimana tertera pada argometer. Tidak lupa pula aku
lebihkan sebagai tip untuknya. Beliau mengucapkan berkali-kali
terima kasih.
Kulihat ke arah arlojiku, waktu menunjukkan pukul 7.00,
setelah melalui rangkaian pemeriksaan standar bandara dan
protokol kesehatan, lalu aku menuju “counter check-in”. Setelah
semua pemeriksaan selesai, aku langsung menuju ruang
tunggu.
Di ruang tunggu cukup banyak penumpang terlihat. Mataku
jelalatan mencari-cari bangku yang kosong. Akhirnya mataku
tertumbuk pada satu bangku kosong di sudut ruang tunggu.
Kakiku melangkah menuju bangku itu.

5
Namun setelah dekat, tiba-tiba langkahku terhenti dan aku
terpaku sesaat. Aku belum sempat duduk. Kulihat di bangku
sebelah, duduk seorang wanita, usianya sekitar 26-28 tahun
sedang melepaskan maskernya untuk dibetulkan kembali
posisinya. Meskipun sekejap terlihat, bagiku sudah cukup untuk
memperhatikannya. Wajahnya cantik menawan. Rambutnya
lurus panjang tergerai menutupi punggungnya dan ada poni
pendek menjuntai di keningnya. Hidung mancung dengan
cuping hidung yang bergerak-gerak halus saat dia bernapas.
Matanya tidak terlalu besar dengan sorot mata yang lembut.
Bibirnya tipis merah merekah, pipinya licin bak pauh dilayang
disertai dengan lesung pipi di kiri-kanan. Sungguh menawan
dan sempurna menurut pandanganku.
Setelah menenangkan diri dan debaran jantungku mulai
normal, lalu aku pelan-pelan dengan tidak menimbulkan suara,
menuju ke bangku kosong itu. Aku takut akan mengganggu
ketenangannya.
“Permisi!” kataku pelan. Tidak ada reaksi berlebihan. Dia
hanya senyum tipis dan mengangguk sedikit. Bagiku itu sudah
cukup menggembirakan hatiku. Berarti dia tidak menolak
kehadiranku di sebelahnya.
Sambil mencuri-curi pandang. Aku perhatikan dia sibuk
menggeser-geser kursor tablet dengan jari-jemarinya. Ada
sesuatu yang dibacanya. Tampak asyik sekali. Aku agak
penasaran dibuatnya. Seketika mataku tertumbuk pada gambar
yang terdapat di dalam layar tabletnya, seperti gambar-gambar
illustrator Yanes yang sering kutemui dalam cerita silat master
Asmaraman S. Kho Ping Hoo. Aku dapat mengenalinya
meskipun dari jarak 50 cm, karena aku adalah penggemar berat
cersil suhu KPH dan pelukis Yanes. Dugaanku bahwa wanita di
6
sebelah ini adalah salah satu penggemar cerita silat, atau
mungkin juga sama denganku, penggemar karya suhu KPH.
Sedang asyiknya memikirkan wanita yang duduk di
sebelahku, tiba-tiba teleponku berdering. Lalu segera aku
angkat dan melihat ke arah layar telepon. Rupanya Herman,
seorang kawanku penggemar cerita silat juga, tapi tidak mau
beli bukunya. Hobinya cuma baca online atau download gratis.
Tapi agak gagap teknologi (gaptek).
“Halo Man! Ada apa?” tanyaku.
“Bro! tolong tunjukkan lagi cara download cerita silat
kemarin, aku lupa lagi,” katanya dari telepon. Baru-baru ini dia
pernah aku ajarkan cara mengunduh cerita silat dari salah satu
group Facebook yang terkenal.
“Memangnya kamu mau download cerita apa?”
“Aku mau download Pendekar Super Sakti karya suhu
KPH,” jawabnya.
“Lho! Memangnya Suling Emas kemarin sudah tamat kamu
baca, kok cepat sekali?” tanyaku dengan volume suara yang
agak keras, karena adanya gangguan suara pengumuman dari
petugas bandara.
Wanita di sebelahku mengangkat kepalanya sedikit, dan
mengarahkan pandangannya kepadaku. Mungkin dia merasa
terganggu dengan suaraku yang agak keras tadi.
“Man, setelah kamu buka beranda facebooknya. Pilih menu
download, pilih judul cersil Mandarin. Klik judul yang kamu cari.
Setelah muncul di browser atau drivemu, lalu klik dan download.
Jangan sampai lupa lagi,” jelasku kepada Herman.

7
Setelah telepon aku matikan, tiba-tiba terdengar suara
merdu di telingaku dari samping.
“Maaf Mas, apakah tadi Mas membicarakan cerita silat
karya Kho Ping Hoo?” tanyanya dengan halus dan sopan. Aku
tergetar mendengar suaranya, dan hatiku tercekat. Lidahku
terasa kelu untuk dapat langsung menjawab. Agak lama aku
terdiam. Lalu dia berkata kembali:
“Maaf Mas, kalau saya lancang dan mengganggu,” katanya
agak memelas.
“Ooh! Tidak….tidak,” jawabku cepat agar dia tidak
tersinggung. Lalu aku jelaskan kepadanya bahwa yang
menelepon tadi adalah temanku yang ingin mengunduh cerita
silat Pendekar Super Sakti, hanya dia lupa caranya.
Berhubung sudah ada pembicaraan pembuka, maka aku
memberanikan diri untuk bertanya dan mengajaknya ngobrol,
sambil mengisi waktu. Apa salahnya, toh jam keberangkatanku
masih lama.
“Apakah Mbak juga penggemar cerita silat Kho Ping Hoo?”
tanyaku pura-pura. Padahal aku tadi sudah mengintipnya
sekilas lewat tablet yang dibacanya.
“Iya Mas, sejak kecil saya sudah suka dengan cerita silat
yang ditulis oleh suhu Kho Ping Hoo. Ceritanya menarik, alur
ceritanya jelas dan tidak membosankan, tokoh-tokoh yang
ditulis karakternya sangat kuat, bahasanya mudah dimengerti
dan enak dibaca. Satu lagi yang penting buat saya pribadi,
beliau juga memuat ajaran-ajaran tentang kebaikan dan filsafat
dari berbagai faham agama, yang sangat berguna bagi saya

8
dalam menjalani kehidupan ini. Sehingga ada beberapa cerita
yang saya baca berulang-ulang,” jawabnya penuh gairah.
Wah ternyata tidak salah pertanyaan pembukaku tadi,
langsung mengena. Sehingga pembicaraan kami jadi lebih cair.
“Oh ya, maaf Mbak. Kenalkan nama saya, Lanang,
lengkapnya Lanang Pamungkas. Bolehkah saya mengetahui
nama Mbak? Kataku agak takut-takut.
“Nama saya, Liu Lu Sian,” jawabnya lembut sambil
tersenyum.
“Aah!” Kataku terkejut dan heran.
“Kenapa, Mas?” tanyanya.
“Namamu itu lho, yang membuatku kaget. Sama dengan
nama tokoh wanita dalam cerita Suling Emas. Apakah kamu
betul-betul marga Liu?” kataku setengah tak percaya.
“Benar Mas, nama saya memang itu. Saya keturunan
keluarga campuran Tionghoa dan Jawa. Papa bernama Liu Kun
Hong dan mama namanya Sundari asli Jember. Papa sengaja
memberi nama Liu Lu Sian, karena beliau juga penggemar
cerita silat Kho Ping Hoo. Saking kesengsemnya dengan Liu Lu
Sian wanita cantik dalam cerita Suling Emas, sehingga beliau
memberi namaku Lu Sian. Dan kebetulan, marga Papa juga
Liu,” jelasnya menegaskan.
“Mas namanya juga aneh, kok! Apa artinya Lanang
Pamungkas?”
“Masa’ sih aneh? Bapak memberi nama Lanang artinya
laki-laki atau jantan. Bapak sangat berharap adanya anak laki-
laki dalam keluarga kami. Saudara saya semuanya perempuan.

9
Sedangkan Pamungkas artinya terakhir, kebetulan saya adalah
anak bungsu alias ragil. Sehingga jadilah nama Lanang
Pamungkas, atau Lelaki Terakhir”
“Ooh gitu toh!”
Lalu diskusi berlanjut tentang tokoh Liu Lu Sian dalam
cerita Suling Emas. Dia sudah berulang kali membaca cerita
Suling Emas, hanya sekedar ingin mendalami tokoh Liu Lu Sian
yang banyak membuat pria kepincut dan tergila-gila
kepadanya.
“Kenapa kamu ingin mendalami karakter Liu Lu Sian dalam
cerita tersebut?” Tanyaku penasaran.
“Meskipun nama saya sama dengan tokoh wanita tersebut,
tapi saya tidak ingin meniru karakternya yang negatif, seperti
penggoda pria, mau menang sendiri (egois), serta
meninggalkan suami dan anak-anaknya. Saya ingin mencari
sesuatu kenapa dia sampai begitu. Dan juga ingin melihat
karakter baiknya. Setiap orang pasti ada sisi baik dan
buruknya,” jelasnya. Mendengar bahwa dia benci wanita
meninggalkan suami dan anak-anak. Entah mengapa hatiku
jadi berbunga-bunga dan penuh harap.
“Yaa sifat positifnya pun banyak juga. Dia pintar, cerdik,
pemberani, dan….cantik seperti kamu…,” Uups tiba-tiba aku
keceplosan bicara.
Akupun terkejut dengan sikapku sendiri, kupandang
wajahnya, tampak mukanya bersemu merah, agak jengah dan
malu-malu, lalu dia menundukkan mukanya dengan senyum
dikulum.

10
Untuk menghilangkan kecanggungan yang terjadi, aku
alihkan pembicaraan ke arah lain. Aku ceritakan bahwa aku
juga punya seorang teman wanita di facebook, juga marga Liu.
Tiba-tiba dia mengangkat muka kembali dan langsung
bertanya:
“Sudah pernah ketemu muka belum, atau sudah tahu
fotonya, berapa umurnya, cantik dan pintar ya Mas?” Tanyanya
bertubi-tubi seperti membombardir saja, dengan rasa ingin tahu
yang besar. Seperti ada nada cemburu kurasakan. Sehingga
membuatku kaget dan agak bingung untuk menjelaskannya.
“Sukar bagiku menjawabnya, karena aku hanya kenal dia
di dunia maya. Belum pernah bertemu dan fotonya aku tidak
punya sehingga aku tidak tahu apakah dia cantik atau tidak.
Sedangkan umur, menurut postingannya sekitar 40 tahunan.
Tapi dilihat dari postingan tulisannya, dia pasti orang yang
cerdas dan pintar,” terangku kepadanya. Kulihat wajahnya agak
tenang kembali dan tampak senyum tersungging dibibirnya.
“Mbak juga hobi olahraga?” tanyaku iseng untuk
memperpanjang obrolan. Aku juga orang yang hobi olahraga,
siapa tahu ceritanya jadi nyambung.
“Hobi banget Mas”
“Olahraga apa yang kamu suka dan kuasai?” tanyaku lagi.
“Tenis meja, tapi nggak pintar-pintar amat” jelasnya.
Aaah kataku di dalam hati. Kok di dunia ini banyak saja
kejadian yang sifatnya kebetulan atau tidak disengaja. Aku juga
penggila olahraga tenis meja sama dengan dia, tapi tidak
sampai jadi juara.
“Kenapa kamu suka dengan tenis meja?”
11
“Biayanya murah, tidak memerlukan tempat yang luas, bisa
dimainkan pada ruang tertutup dan terbuka, dan yang tidak
kalah pentingnya banyak manfaatnya untuk kesehatan”. Dia
menjelaskan dengan detail seperti seorang ahli. Lalu aku
ceritakan kepadanya bahwa aku juga termasuk orang yang
maniak olahraga tenis meja.
“Siapa atlet wanita yang kamu idolakan?” tanyaku.
“Liu Shiwen, atlet China yang pada beberapa tahun terakhir
merajai top ranking dunia!” katanya.
“Apakah karena dia juga bermarga Liu?”
“Bukan Mas, karena permainannya yang top habis, dan
tipenya pemain serang. Saya menyukainya”.
“Oh iya, ngomong-ngomong, Mbak Lu Sian mau kemana?”
Tanyaku
“Mau ke Kupang, Mas?”
“Memangnya tinggal di Kupang?”
“Saya tinggal sendiri di Surabaya, ngekost, karena kantor
tempat saya bekerja disini. Sedangkan orang tua tinggal di
Jember. Mas sendiri memangnya mau kemana?”
“Mau kembali ke Pekanbaru, kemarin ada tugas ke
Banyuwangi dan Jember” kataku sambil memikirkan
jawabannya tadi. Dia tinggal sendiri di Surabaya, orang tuanya
tinggal di Jember. Apakah dia masih single ya? Tapi menurut
perkiraanku, umurnya sudah dewasa untuk berumah tangga,
kira-kira 26-28 tahun.
“Mas, di Jember tugas ke daerah mana aja? Siapa tahu
dekat dengan tempat tinggal orang tuaku?”
12
“Ke Pusat Penelitian Kopi dan Kakao di daerah Patrang,
tapi sempat juga keliling ke beberapa tempat seperti Kaliwates,
Rambipuji, Balung, Kencong, dan Puger, sambil bernostalgia”
“Lho, memangnya Mas pernah tinggal di Jember, kok
kayak sudah hafal daerah-daerahnya? Orang tuaku tinggal di
Kaliwates, buka usaha jualan oleh-oleh khas Jember.”
“Iya, saya pernah tinggal di Jember selama 2 tahun,
tepatnya di Gudang Karang, Rambipuji. Tapi sekarang Jember
jauh lebih maju dan ramai dibanding dulu, apalagi sejak
diadakannya Jember Fashion Carnaval, Jember semakin
dikenal dunia Internasional”
“Nanti kalau ke Jember lagi, mampir ke rumah. Oh iya
maaf Mas, numpang titip barang bawaan ya, ada perlu
sebentar”.
“Silakan” jawabku.
Lalu dia berdiri dan beranjak menuju ke arah toilet. Pada
saat dia berdiri dan berjalan, alahmaak cantiknya, kata hatiku.
Tingginya sekitar 170 cm dengan berat badan yang
proporsional. Dengan perpaduan kaos T-Shirt lengan panjang
warna pink membalut tubuhnya yang putih, dan dimasukkan ke
dalam celana jean, tampak sangat anggun. Syal warna biru
muda yang melilit lehernya, membuat dia semakin bohai.
Tak lama kemudian, Lu Sian telah kembali ke tempat kami
duduk. Tampak dia membawa dua gelas kopi dan dua buah
burger. Lalu dia menawarkan kepadaku.
“Silakan diambil kopi dan burgernya Mas, enak dinikmati
dalam suasana udara yang sejuk ini.”

13
“Terima kasih…terima kasih” jawabku sambil malu-malu.
Seharusnya sebagai pria, akulah yang punya inisiatif lebih dulu.
“Hmmm betul…betul…cita rasa kopi pilihan. Pandai sekali
kamu memilih kopinya,” kataku.
“Iya dong Mas, ini kopi asli dari daerah Jember. Saya kenal
dekat dengan pemilik kafenya. Tapi kalau Mas, mau coba
camilan lain, saya ada membawa suwar-suwir oleh-oleh khas
Jember. Bahannya dari tapai, enak lho Mas.” dia menjelaskan
sambil mempromosikan daerah asalnya. Akhirnya, kucoba
suwar-suwir yang ditawarkannya. Ternyata memang enak dan
yummi kata anak zaman now.
Sedang asyiknya mengobrol dan menikmati snack yang
dibeli oleh Lu Sian. Tiba-tiba ada pengumunan dari petugas
bandara bahwa keberangkatan pesawat ke Kupang mengalami
penundaan sekitar satu jam. Aku sangat senang
mendengarnya. Tidak tahulah reaksi Lu Sian karena kulihat raut
mukanya biasa-biasa saja, tidak tampak rasa kecewa. Aku
akan bisa mengobrol dengan Lu Sian lebih lama lagi. Arlojiku
masih menunjukkan pukul 8.30.
“Oh iya, sampai lupa. Kamu ke Kupang ngapain?” tanyaku.
“Saya bekerja sebagai relawan yang biasanya membantu
para korban bencana, terutama memulihkan mental para
korban pasca bencana. Kawan-kawan sudah berangkat terlebih
dulu. Saya menyusul sendiri karena ada urusan kantor yang
perlu diselesaikan dulu. Setelah dari Kupang, saya akan
melanjutkan perjalanan ke Kabupaten Sumba Timur, daerah ini
termasuk yang paling parah mengalami banjir bandang dan
pengungsinya paling banyak” jelasnya.

14
“Kenapa tertarik sebagai relawan dan mengunjungi daerah
yang berbahaya? Sudah lama bekerja sebagai relawan dan
sudah kemana saja?” tanyaku memberondong.
“Saya tertarik membantu mereka karena kebetulan latar
pendidikan saya jurusan psikologi. Saya ingin membantu
mereka dari sisi kejiwaan, umumnya mereka yang jadi korban
biasanya mengalami trauma, ada yang ringan, sedang, dan
berat. Mental mereka perlu dipulihkan. Saya belum begitu lama
sebagai relawan, dimulai sejak adanya kejadian gempa di
Palu”.
“Berarti sudah banyak dong, daerah yang sudah kamu
kunjungi?”
“Lumayan juga Mas. Kira-kira 20 provinsi sudah saya
kunjungi. Tapi belum pernah ke Pekanbaru atau daerah lain di
Provinsi Riau”
“Wah asyik ya. Nanti kalau ke Riau, bila ada kesempatan
mampir ya,” tawarku kepadanya.
“Mudah-mudahan ada waktu dan kesempatan Mas. Tapi
jangan didoakan adanya bencana ya, supaya saya bisa ke
Riau… ha..ha..ha” katanya sambil tertawa renyah dan tak lupa
pula sambil mengangkat tangan, menutupi mulutnya dengan
punggung tangan. Rupanya dia masih tetap memegang budaya
Tionghoa, menutupi mulutnya agar terlihat lebih sopan.
“Yaa nggak lah, masa’ saya mendoakan negeri ini dilanda
bencana ha ha ha” kataku sambil mengimbangi tawanya.
Tiba-tiba aku melamun kembali. Hebat ini wanita penuh
rasa sosial, bertanggung jawab, dan berani menempuh bahaya.
Kalau aku analog-kan dengan wanita yang terdapat dalam
15
beberapa cerita silat yang pernah aku baca. Lu Sian merupakan
gadis kangouw modern, orangnya cantik, pintar, cerdas, mau
membantu sesama, dan berbuat kebaikan tanpa memandang
ruang dan waktu. Gadis kangouw zaman sekarang tidak harus
jago silat dan membawa pedang kemana dia pergi. Sama
halnya dengan Raden Ajeng Kartini zaman now, tidak harus
memakai sanggul dan kebaya untuk menampilkan diri.
Kataku dalam hati, dia adalah wanita pilihan yang aku
idam-idamkan sebagai pengganti almarhumah isteriku. Sekali
lagi, timbul pertanyaan dihatiku apakah dia masih sendiri?.
Selama ini aku belum tertarik lagi kepada wanita lain, sejak
isteriku meninggal dunia lima tahun lalu karena serangan
kanker ganas. Apalagi anak gadis kecilku masih berusia satu
tahun saat almarhumah meninggal dunia. Bukannya tidak ada
wanita yang mendekatiku atau pihak keluarga yang berusaha
menjodohkanku. Meskipun umurku sudah menginjak 40 tahun.
Tapi aku belum kepikiran untuk berumah tangga kembali.
Namun setelah bertemu dengan Lu Sian, semuanya berubah
secara tiba-tiba.
“Mas sendiri kerja apa?” tanyanya menyentak lamunanku.
“Oooh …Oooh. Apa tadi pertanyaanmu?” Jawabku gugup.
Sambil tersenyum dia mengulangi pertanyaannya.
“Mas Lanang kerja apa?”
“Aku bekerja pada salah satu perusaahan perkebunan
besar, khususnya yang menangani kegiatan survey, drone, dan
pemetaan. Kerjanya masuk hutan keluar hutan, atau masuk
kebun keluar kebun. Jarang di rumah” kataku masih sedikit
grogi.

16
“Kasihan ya, keluarganya sering ditinggal” katanya
berempati. Uups kataku dalam hati. Inilah kesempatan untuk
bertanya tentang statusnya. Ahaai pintu menuju ke arah itu
telah terbuka.
“Saya seorang duda dengan anak satu usia 6 tahun, isteri
saya meninggal 5 tahun lalu karena terserang kanker ganas.
Anak saya diasuh oleh neneknya yang menyayanginya”
jawabku dengar suara tegar.
“Maaf Mas, saya telah membuka luka lamamu. Saya turut
prihatin atas musibah yang telah menimpa keluargamu.”
Katanya sedih.
“Aah tidak apa-apa. Itu adalah takdir dan semuanya telah
berlalu”
“Maaf, kamu sendiri kalau saya simak dari ceritamu tadi,
tentunya juga sering meninggalkan keluarga, suami dan anak?”
tanyaku ingin tahu, sambil memandang tajam ke arahnya dan
ingin melihat reaksinya. Sambil menundukkan muka, dengan
suaranya yang halus, dia menjawab:
“Saya belum menikah Mas. Mungkin nggak ada orang yang
mau dengan saya?”.
“Alahmaak, orang abnormal yang nggak mau dengan kamu
atau matanya buta tidak melihat kecantikan yang ada pada
dirimu. Apalagi usiamu masih muda” kataku penasaran.
“Terima kasih Mas. Usia saya tidak muda lagi, sudah
masuk 35 tahun. Saya akui bahwa ada beberapa orang pria
yang coba mendekati saya, namun belum ada yang cocok, …..
dan… ada satu hal yang memberatkan saya….yaitu……,”
“Yaitu…apa?” tanyaku cepat.
17
“Aah…sudahlah Mas, sulit bagi saya untuk
menjelaskannya, tidak perlu kita bicarakan lagi,” elaknya dan
berusaha mengalihkan pembicaraan ke topik lain.
Setelah hening sejenak, tiba-tiba dia mengajukan
pertanyaan yang tak kuduga sama sekali:
“Apakah iya saya cantik menurut pandangan Mas?”
tanyanya sambil matanya memandang tajam menusuk sampai
ke relung hatiku yang paling dalam. Nah lho, rasain kamu. Kata
hatiku. Aku jadi grogi dan tergugu-gugu untuk menjawabnya.
“Jujur saya katakan padamu bahwa…kamu….adalah Liu
Lu Sian….yang sebenarnya, yang ada dalam dunia nyata,
sebagai manusia seutuhnya,” kataku penuh arti. Tampak dia
termangu, wajahnya merah semu, ada tetesan air mata di
pipinya yang ranum, namun cepat dihapusnya dengan tissue.
Kepalanya menggeleng-geleng seperti tak percaya.
Tiba-tiba….jantungku berdegub kencang.
Terdengar suara panggilan kepada penumpang pesawat
tujuan Surabaya - Kupang agar segera menuju ke pesawat. Dia
mulai berdiri dari bangkunya, mengemasi barang bawaannya.
Memandang kepadaku dengan sorot mata yang agak aneh
terasa olehku, lalu mukanya tertunduk, kakinya agak gemetar,
diam seribu bahasa. Penumpang lain sudah mulai bergerak
menuju pintu keluar. Dia masih berdiri, tak bergerak,
“Saya berangkat Mas…sampai jumpa….terima kasih atas
hari yang indah ini….meskipun sejenak….!” Katanya nyaris tak
terdengar.
Lalu perlahan-lahan dia mulai berjalan menuju pintu keluar
ruang tunggu. Tanpa menoleh lagi padaku. Lalu aku berdiri
18
untuk melepas kepergiannya. Aku masih terdiam, tak
sepatahpun kata yang dapat kuucapkan. Lidahku terasa kelu
dan kaku. Akhirnya aku mengangguk pelan.
Dia terus berjalan dengan langkah gontai, seperti enggan
untuk berangkat. Tanpa membalikkan mukanya, untuk dapat
kutatap lagi wajahnya. Dia terus melangkah….aku terus
berharap….. tapi tak juga membalik atau melambaikan tangan.
Akhirnya aku duduk kembali, menundukkan muka,
mengarahkan pandanganku ke arah lantai karpet ruang tunggu,
dengan pikiran tak karuan.
Aku terus menunduk sambil berdoa: “Ya Allah apabila dia
memang jodohku, izinkanlah aku memandang wajahnya sekali
lagi”.
Perlahan-lahan aku angkat mukaku dan memandang ke
arah pintu keluar ruang tunggu. Terima kasih Ya Allah…, kulihat
dia masih berdiri, memandang ke arahku, melepaskan masker
sejenak, dan melambaikan tangannya. Dia penumpang terakhir
yang tersisa. Lalu aku lambaikan tangan dan tersenyum lebar.
Akhirnya diapun menghilang dari pandanganku.
Sorot matamu tajam menghujam
Sampai tembusi relung hatiku
Dalam matamu kulihat ada cinta
Namun aku tak tahu…
apakah itu untukku?

Selamat jalan gadis kangouw-ku, begitu aku menyebutnya.


Selamat jalan Sian moi, semoga perjalanan dan pengabdianmu
berjalan dengan lancar. Pandanganku masih tertuju kepada
pesawat yang akan ditumpanginya. Aku seperti kehilangan

19
semangat, seperti ada yang terbawa olehnya. Mungkinkah
separuh jiwaku telah terbawa oleh Lu Sian?.
Namun, ada satu hal yang membuat diriku marah kepada
diri sendiri. Aku lupa meminta nomor telepon atau kartu
Namanya. Kemana gerangan dia akan dapat kuhubungi atau
kucari?
Dari kejauhan tampak olehku pesawat yang ditumpangi
oleh Lu Sian, pelan-pelan bergerak menuju landasan pacu.
Mataku masih terus terpaku mengikuti pergerakan pesawat,
hingga akhirnya hilang dari pandanganku. Namun bayangan Lu
Sian tak pernah hilang dari ingatanku. You are always
embedded in my mind, my lovely.
Banyak pertanyaan yang timbul dibenakku. Kenapa tak
terpikirkan olehku menanyakan alamatnya atau sekedar
meminta nomor teleponnya? Begitu bodohnya aku. Sekarang
dia telah pergi. Apakah mungkin aku akan dapat bertemu
kembali dengannya?.
Tiba-tiba aku teringat kata-kata seorang teman yang
pernah diucapkan kepadaku, bahwa dalam mengejar cinta, kita
harus memiliki niat yang teguh, jangan setengah-setengah dan
jangan sampai keduluan orang. Nanti terlambat.
Pertanyaan lain yang terngiang-ngiang, apakah cahaya
cinta yang tampak dalam bola matanya memang ditujukan
untukku? Aku masih ragu. Tapi aku ingat lagi akan nasehat
temanku tadi bahwa konon menurut cerita orang-orang tua
zaman dulu, kalau si wanita menengok lagi ke belakang,
kembali memandangmu seperti orang penuh harap, tandanya
dia juga mencintaimu atau jodohmu, makanya harus kamu kejar
dan rebut cintanya.
20
Apalagi dengan kondisiku saat ini seorang duda, aku harus
mencari pendamping untuk diriku dan anakku. Dia butuh figur
seorang ibu untuk memberi asuhan dan pandidikan agar
anakku tumbuh sesuai dengan perkembangan kejiwaannya.
Untuk mendapatkan Lu Sian sebagai calon pendampingku,
rasanya tidak ada halangan. Aku seorang duda dan dia seorang
gadis. Usianya juga sudah sangat matang untuk menjadi
seorang ibu, terdidik, sopan, pintar, berjiwa sosial, penyayang,
cantik, dan banyak sifat lagi yang tak dapat kusebutkan satu per
satu. Aku jadi teringat suatu puisi yang pernah dikirimkan oleh
seorang teman kepadaku tentang ini, yaitu:
Sang Naga langit telah lama terbang sendiri,
Sang Naga betina sedang menunggu takdir,
Jika Thian berkenan perjodohan,
Seribu halanganpun tiada arti

“Ha ha ha!” aku membenarkan makna puisi yang ditulis


oleh temanku itu. Terima kasih teman-temanku, kalian adalah
para sahabat sejati, yang selalu membantuku bila temanmu,
baik dalam keadaan senang maupun susah. Hatiku agak lega,
beberapa pertanyaan yang berkecamuk dalam pikiranku,
berangsur-angsur mulai dapat aku cerna dengan baik. Bila
Tuhan memberikan kesempatan kepadaku, akan kukejar
kemana dan dimana cintaku berada.
“Para penumpang pesawat Citi Link, tujuan Surabaya –
Pekanbaru agar segera menaiki pesawat melalui pintu 9, terima
kasih!” Terdengar suara petugas bandara memberikan
pengumuman.
Aku mengemasi barang bawaanku, melihat-lihat sekeliling
tempat dudukku, siapa tahu ada yang masih belum kukemasi.

21
Tiba-tiba pandangan mataku tertumbuk pada dua gelas kopi
yang sudah kosong.
“Aah! Meskipun hanya dua gelas kopi, tapi memberi seribu
arti bagi hidupku,” kataku dalam hati.
Aku ambil gelas kopi dan bungkusan burger tadi, lalu aku
masukkan ke tempat sampah yang telah disediakan oleh
bandara. Aku berjalan menuju pintu 9 sebagaimana
diumumkan oleh petugas bandara, dan langsung masuk ke
dalam pesawat. Didalam pesawat, aku mendapat kursi nomor
18 A. Ini adalah nomor kegemaranku karena aku dilahirkan
pada tanggal 18. Setelah duduk dengan tenang, tidak lupa aku
berdoa untuk keselamatan penerbangan kami.
Sebelum tinggal landas, kulihat para penumpang lain
dengan dibantu pramugari masih sibuk meletakkan barang
bawaanya untuk ditempatkan di dalam kabin. Meskipun
pramugarinya muda-muda dan cantik, namun tak ada
ketertarikanku untuk memperhatikannya. Pada saat muda dulu,
aku suka memperhatikan wajah-wajah segar seperti ini dengan
berlama-lama. Sekarang semuanya sudah tersapu oleh
bayangan Liu Lu Sian.

--------------------------&&&&&-----------------------

22
II
Tepat pukul 11.30 pesawat yang kutumpangi sudah
bergerak menuju landasan pacu. Siap mengarungi angkasa
raya. Setelah menempuh perjalanan kurang-lebih 2 jam 30
menit, pesawat yang kutumpangi mendarat dengan mulus di
Bandara Internasional Sultan Syarief Kasim II Pekanbaru.
Aku bergegas menuju pintu keluar dan memesan taksi. Tak
lama kemudian, taksi yang kupesan telah datang. Sesampainya
di halaman rumah, kulihat anakku, Laila, lengkapnya Laila
Ramadhani, karena dia lahir pada malam bulan Ramadhan, lalu
kuberi nama demikian. Laila diambil dari kata “Lail” artinya
malam, sedangkan Ramadhani diambil kata “Ramadhan”. Dia
berlari menyambutku dengan gembira, dan langsung
memelukku.
“Ayah kok pulangnya lama? Besok-besok jangan lama-
lama perginya ya, janji!” Mendengar kata-katanya hatiku
terenyuh. Maafkan ayahmu Nak. Ayah tahu bahwa kamu
sangat membutuhkan kasih sayang ayah, apalagi setelah
ibumu tiada. Meskipun ada nenek yang menyayangimu, namun
itu tidaklah cukup.
“Ya! Ayah janji. Ayah sangat sayang sama kamu.” Namun
di dalam hati, aku tidak yakin apakah bisa meluangkan waktu
yang cukup untuk anakku. Mengingat pekerjaanku, yang
menuntut aku untuk selalu berpergian ke pelbagai daerah.
Sekali lagi, maafkan ayahmu Nak!.
Pada malam harinya setelah sekitar pukul 19.00, kami
berkumpul di ruang makan untuk makan malam bersama. Hal
ini sudah menjadi kebiasaan keluarga kami, untuk mejaga
hubungan keluarga supaya tetap erat.

23
Bapak, ibu, dan anakku telah menanti di meja makan. Kami
tinggal di rumah terdiri dari, bapak, ibu, anakku Laila, aku, dan
Bi Ijah. Hidangan yang disiapkan oleh Bi Ijah hanya menu
sehari-hari yang sederhana, seperti nasi putih, asam pedas
ikan patin, sambal tempoyak, tempe goreng, dan tumis sayur
kangkung. Hidup sederhana yang kami lakukan ini, tidak
terlepas dari andil almarhumah isteriku. Dari memulai hidup
berumah tangga, dia sudah menanamkan prinsip hidup
sederhana ini.
“Mas!, kita mulai dari sekarang harus menerapkan hidup
sederhana. Baik dalam pengeluaran sandang maupun pangan.
Bila tidak belajar dan lakukan dari sekarang, bagaimana nanti
akan dapat punya rumah sendiri, menyekolahkan anak-anak
kita, dan membantu orang tua kita.”
“Saya sangat mendukung gagasanmu itu, Dik.” Aku
mengangguk setuju. Apalagi saat ini aku baru mulai merintis
karir di kantorku, tentunya penghasilanku belum seberapa.
Prinsipnya sangat sederhana, tidak boleh output melebihi input.
Sejak itu, dia rajin menyisihkan gajiku untuk ditabung, meskipun
jumlah uang yang ditabung itu tidak tetap jumlahnya dalam
setiap bulan, disebabkan adanya beberapa pengeluaran yang
tidak terduga. Akan tetapi kami mengusahakan agar tetap bisa
menabung setiap bulannya.
“Nang!, kamu ngelamun ya?” tiba-tiba ibuku
menyadarkanku dari lamunanku.
“Aah ..ooh… ya Bu?” jawabku gagap.
“Ngelamun apa? Apakah sudah ketemu wanita pengganti
ibunya Laila? Kalau sudah ada, buruan, nanti ibu dan bapak
datang melamarnya. Kasihan kan Laila, sudah 5 tahun tidak
24
mendapatkan kasih sayang seorang ibu. Ibu yakin bahwa
almarhumah akan merelakan bila kamu nanti menikah lagi”
Kata ibuku.
“Iya Nang, cepatlah kalau memang sudah ada. Selain
untuk Laila, kamu juga butuh wanita untuk mendampingimu,
untuk teman curhat, ngobrol, dan mendidik anakmu. Apalagi
kami ini sudah tua, nanti siapa yang menjaga Laila?,” kata
bapakku menimpali omongan ibu. Aku jadi tersipu-sipu
dibuatnya.
“Saya menyadari sepenuhnya bahwa Laila membutuhkan
pendamping, apalagi Bapak dan Ibu sudah tua, saya sudah
berupaya untuk mendapatkannya, namun sampai saat ini
belum menemukannya,” jawabku. Belum berani berterus
terang.
“Ya sudahlah, nanti kalau sudah ada yang sesuai, cepat
kabari bapak dan ibu” kata ibuku.
“Baik, Bu”
Selesai makan malam, kami masih mengobrol hal-hal
ringan yang terjadi di lngkungan sekitar dan pengalaman
kerjaku di Jawa Timur. Untung saja, bapak dan ibuku tidak
menanya hal-hal lain, terutama tentang calon isteri lagi. Setelah
itu, aku permisi mau ke kamar untuk melepaskan penat badan
yang telah lebih satu minggu kurang istirahat.
“Bapak dan Ibu, saya permisi mau ngaso duluan” Lalu
kedua orangtuaku mengangguk.
“Laila malam ini mau tidur dengan siapa? Dengan ayah
atau nenek?” tanyaku kepada Laila.
“Hmm…. dengan ayah! Tapi nanti cerita dongeng ya!”
25
“OK!” Jawabku.
“Horeee!” Katanya dengan gembira.
Lalu setelah Laila mencium tangan nenek dan kakeknya,
kami pergi beranjak ke kamar tidur. Tidak lupa, aku mengambil
kumpulan buku cerita yang biasanya kusiapkan bila Laila
meminta tidur bersamaku. Laila saat ini masih sekolah di play
group di sekitar rumah kami. Dia belum bisa membaca, baru
sekedar mengenal huruf-huruf alfabet saja.
“Bagaimana kita mulai baca ceritanya? Tanyaku, sambil
membelai-belai kepalanya, yang telah berbaring di sebelahku.
Diapun menganggukkan kepalanya. Selanjutnya aku mulai
membacakan cerita, Si Kancil Mencuri Ketimun.
“Pada suatu sore hari seekor kancil perutnya terasa lapar
setelah berlari kian kemari, bersama teman-temannya. Lalu dia
teringat bahwa pada salah satu kebun yang pernah dilaluinya
terdapat kebun ketimun. Buahnya sudah besar-besar dan
sedang enak-enaknya untuk dimakan. Lalu Si Kancil pergi
menuju kebun itu. Dimakannya beberapa buah ketimun dengan
lahapnya, sehingga perutnya terasa kenyang. Lalu dia kembali
berkumpul dengan teman-temannya. Dengan bangganya dia
bercerita bahwa tadi dia habis pesta besar di kebun ketimun.
Lalu teman-temanya juga ingin makan ketimun, dan minta
ditunjukkan arah ke kebun itu. Kawanan kancil beramai-ramai
mendatangi kebun ketimun pak Tani. Mereka makan ketimun
dengan lahap. Hampir separuh isi kebun itu telah dimakan oleh
rombongan kancil itu. Pada keesokan harinya pak Tani, datang
ke kebun ingin memetik hasil kebunnya. Namun apa yang
terjadi, dia sangat terkejut melihat isi kebunnya tinggal separuh.
Pak Tani kesal dan marah. Dia perhatikan jejak-jejak di sekitar

26
kebunnya. Dia berkesimpulan bahwa yang mencuri ketimun,
bukan orang, tetapi adalah binatang seperti kancil atau
monyet,” sambil membacakan buku, aku perhatikan mata Laila
sudah mulai meredup, ibarat lampu, cahayanya tinggal 5 watt.
Lalu aku lanjutkan kembali membacakan cerita:
“Pak Tani lalu membuat perangkap untuk menjerat
binatang itu dengan menggunakan getah Nangka, yang
diletakkan dalam lubang dekat tanaman ketimun yang masih
banyak buahnya. Pada sore harinya, seekor kancil yang
kemarin, kembali mendatangi kebun ketimun tersebut. Dengan
penuh kepercayaan diri, dia langsung menuju kebun yang
masih lebat buahnya. Tiba-tiba kakinya terperosok, dan
badannya masuk ke dalam lubang perangkap. Dia tidak mampu
lagi bergerak atau meronta, karena sekujur tubuhnya sudah
melekat ke dalam genangan getah. Tidak berapa lama
kemudian, pak Tani kembali datang ke kebunnya. Dilihatnya
seekor kancil telah terjerat dalam perangkapnya”
Kuhentikan bacaanku, lalu kembali kuarahkan
pandanganku ke Laila, ternyata dia sudah tertidur dengan
pulas. Kupandangi wajahnya agak lama.
“Ooh kasihan kamu Nak.” Keluhku. Kamu masih
membutuhkan kasih sayang seorang ibu. Engkau hanya satu
tahun mencicipi kasih sayangnya, setelah itu dia telah
meninggalkan kita. Selama ini, setiap ada kesempatan, ayah
berusaha menjadi pengganti ibumu. Namun tidak semuanya
bisa ayah berikan, sebagaimana yang bisa diberikan oleh
seorang ibu. Tak terasa, ada tetesan air mata membasahi
pipiku, yang tidak bisa aku bendung sama sekali. Aku harus
kuat, dan harus mampu menjagamu Nak.

27
Aku teringat akan pesan isteriku, sebelum dia
meninggalkan kami: “Mas Lanang, mungkin umurku takkan
lama lagi, aku sudah tak kuat. Tolong kamu jaga anak kita, buah
cinta kita. Kasihan dia, baru umur satu tahun sudah harus
kehilangan kasih sayang bundanya. Aku rela dan ikhlas,
sepeninggalku nanti, kamu harus menikah Mas! Selain untuk
kepentingan dirimu juga untuk anak kita. Sekali lagi jangan
kamu sia-siakan anak kita,” tampak butiran air mata mengalir di
pipinya. Aku seka air mata itu. Aku usap-usap kepalanya
dengan penuh kasih sayang, sambil menahan jatuhnya air mata
dari pelupuk mataku. Namun, air mata itu semakin
menggenang, segera kualihkan pandanganku ke arah lain. Tapi
hal ini tidak luput dari tangkapan matanya. Lalu dia menguatkan
hatiku.
“Mas! Kamu tidak boleh menangis. Kamu harus tegar dan
ikhlas menerima semua ini. Kalau kamu lemah, siapa yang
akan menjaga anak kita nanti?”
“Ya… ya…kamu benar”, kataku sambil menganggukkan
kepala dan berjanji akan menjaga anak kami. Namun, tak
sampai hati untuk cepat-cepat menyetujui permintaannya, agar
segera menikah lagi setelah kepergiannya. Banyak hal yang
perlu dipertimbangkan untuk mencari pengganti dirinya.
Apakah wanita itu mampu menjadi pengganti dirinya dan
memberikan kasih sayang sepenuh jiwanya terhadap anak
kami?.
Kembali kupandangi wajah anakku, Laila, yang tersenyum
dalam tidurnya. Kemudian aku angkat tubuhnya pelan-pelan
agar dia tidak terjaga, aku pindahkan ke tempat tidur kecilnya
yang ada di sebelah tempat tidurku. Kukecup keningnya sekali

28
lagi. Setelah itu aku selimutkan badannya, lalu aku beranjak ke
pembaringanku.
----------------------&&&&&--------------------

29
III
Pagi itu aku telah bangun untuk menyiapkan diri, karena
pagi ini aku harus masuk kantor kembali, untuk melaporkan
hasil perjalanan dinasku selama satu minggu lebih di daerah
Jawa Timur.
Anakku masih lelap dengan tidurnya. Bapak dan ibu telah
bangun, masing-masing punya kesibukan sendiri. Ibu ikut
membantu Bi Ijah menyiapkan sarapan, sedang bapak sibuk
menyapu halaman rumah sekalian untuk mencari keringat pagi.
Setelah sarapan, aku langsung berangkat ke kantor.
Masuk ke ruanganku dan langsung tancap gas menyelesaikan
laporan yang telah aku angsur sebelumnya di hotel-hotel
tempatku menginap selama ini. Kebiasaanku memang
demikian, aku tak mau laporanku bertumpuk dan tidak selesai
pada saat menghadap pimpinan.
Tak lama kemudian, ada notifikasi WA group kantor masuk
melalui teleponku, bahwa nanti pada pukul 8.30 akan diadakan
rapat bersama pimpinan kantor. Segera aku jawab siap. Aku
masih berusaha menyelesaikan laporanku secepatnya.
Sebelum pukul 8.30 aku lebih dulu menghadap pak
Budiman, pimpinan kantorku. Aku paparkan semua hasil
kunjungan kerjaku secara lisan dan sekaligus kuserahkan
laporan tertulis beserta dokumen pendukung lainnya seperti
foto dan peta lokasi. Pak Budiman merasa sangat puas dengan
hasil kerjaku. Lalu dia mengajakku menuju ruang rapat. Para
pejabat dan seksi terkait telah hadir.
“Assalamu‘alaikum warrahmatullahi wabarrakatuh,
selamat pagi dan salam sejahtera untuk kita semua. Pertama
30
saya samapaikan penghargaan yang setinggi-tingginya atas
kehadiran bapak dan ibu sekalian. Sengaja pada pagi ini,
saudara saya undang rapat untuk membicarakan
perkembangan kegiatan kantor kita. Sebagaimana kita ketahui
bersama bahwa tidak lama lagi akan masuk musim kemarau.
Tentunya saudara memaklumi, apabila musim kemarau tiba,
maka akan berdampak terhadap tanaman yang ada di kebun
kita. Baik itu tanaman belum menghasilkan atau tanaman
menghasilkan. Tanaman akan kekurangan air dan cuaca
sangat panas, satu lagi yang tidak kalah penting adalah adanya
bahaya kebakaran lahan. Khusus kebakaran lahan, perlu
menjadi perhatian kita semua. Lahan perkebunan kita cukup
luas. Saya tidak ingin, terjadi kebakaran di lahan kita, terutama
dari titik-titik api yang disebabkan oleh pembakaran liar oleh
oknum tertentu, yang akan merambat ke lahan perkebunan
kita.” Jelas pak Budiman kepada seluruh staf yang hadir.
“Saya juga tidak ingin ada tudingan kepada perusahaan
kita, apabila terjadi kebakaran lahan yang disebabkan oleh
perusahaan kita. Untuk itu, saya mintakan agar kita melakukan
pemetaan ulang terhadap seluruh lahan perkebunan kita yang
tersebar di daerah ini. Terutama lahan-lahan yang berbatasan
dengan lahan masyarakat atau kawasan hutan yang ada. Lihat
kondisi kanal-kanal dan parit-parit kita, apakah masih berfungsi
dan cadangan airnya masih cukup tersedia untuk
memadamkan api, apabila terjadi kebakaran. Khusus untuk
pemetaan ini, saya tugaskan dan berikan tanggung jawab
sepenuhnya kepada pak Lanang Pamungkas beserta stafnya.
Siapkan segala sesuatu yang diperlukan dengan segera”,
demikian penjelasan pak Budiman. Lalu rapat dilanjutkan
dengan hal-hal yang perlu diantisiapasi oleh semua lini.

31
Sesudah keluar dari ruangan rapat, aku kembali tercenung,
aku berangkat lagi ke lapangan, paling tidak akan memerlukan
waktu sekitar 3 bulan untuk menyelesaikannya. Harus kuakui
bahwa dalam 3 bulan itu, bukan sepenuhnya berada di
lapangan, sekali dua minggu kembali ke kantor untuk memberi
laporan, dan setelah itu kembali ke lokasi. Berarti anakku, Laila,
akan kesepian lagi. Oh Tuhan.
Keesokan harinya, aku panggil beberapa orang staf
pemetaan di divisiku untuk mengadakan pertemuan,
membicarakan rencana kerja kegiatan pemetaan lahan.
Mereka yang kupanggil itu sebanyak 3 orang, merupakan
tenaga muda yang sudah terbiasa bekerja sama denganku
selama ini. Kompetensi mereka telah teruji di lapangan.
“Sebagaimana instruksi pimpinan bahwa kita kembali
ditugaskan untuk melakukan pemetaan terhadap lahan-lahan
yang berpotensi terkena dampak musim kemarau dan
kebakaran. Selain melakukan pengambilan foto udara dan
video, kita juga harus cek kondisi kanal pada semua areal
kebun. Oleh karena itu, saya berharap kepada kalian, harus
menyiapkan rencana kerja serinci mungkin, termasuk dalam hal
anggaran, peralatan, waktu, dan perbekalan pendukung
lainnya. Apakah ada pertanyaan?” kataku.
“Apakah kita akan men-drone seluruh lahan, Pak?” tanya
Rizal.
“Ya. seluruh lahan perusahaan seluas 50.000 ha akan kita
drone,” jawabku.
“Berhubung lahan kita tersebar pada beberapa lokasi dan
medannya ada yang menyeberang sungai dan laut, maka saya

32
perkirakan, kita akan memerlukan waktu selama 4 bulan di
lapangan, dan penyelesaian peta kira-kira 1 bulan.” Kata Sam.
“Sebentar lagi kita akan memasuki bulan Ramadhan, kira-
kira kapan kita akan turun ke lapangan Pak?” tanya Anto.
“Baik. Terima kasih atas pertimbangan kalian. Menjawab
pertanyaan sdr. Anto, nanti akan saya konsultasikan dengan
pimpinan. Tapi sebelum bulan Ramadhan tiba, kita akan kejar
lokasi terdekat dan mudah diakses. Setelah itu, melakukan
pengolahan data lapangan di kantor selama bulan Puasa.
Sesudah lebaran kita langsung tancap gas lagi, tidak ada yang
mudik. Mudah-mudahan pak Budiman bisa menyetujui rencana
kita ini.” Jawabku kepada mereka.
Lalu aku menuju ruangan pak Budiman untuk
membicarakan rencana kami. Ternyata pak Budiman dapat
menyetujui rencana tersebut dengan disertai beberapa
petunjuk, dan meminta agar waktu pekerjaan dapat dipercepat.
Hari berganti hari, bulan berganti bulan. Tak terasa sang
waktu begitu cepat berlalu, bagaikan anak panah dilepaskan
dari busurnya dengan kekuatan penuh. Enam bulan telah
berlalu, tanpa terasa. Pekerjaan pemetaan telah dapat kami
selesaikan dengan baik, meskipun ada beberapa kendala di
lapangan, namun semuanya dapat kami atasi dengan baik.
Selama melaksanakan tugas dan tanggung jawab yang
dibebankan ke pundakku, waktu dan energiku terkuras untuk
menyelesaikan pekerjaan. Laila, anakku sering uring-uringan
bila aku pulang ke rumah. Katanya, ayahnya tidak menepati
janji. Dia merasa kesepian karena sering ditinggal. Untuk
mengurangi kekecewaannya dan menebus kesalahanku, pada
setiap libur atau pulang dari lokasi, aku berusaha untuk
33
menghabiskan seluruh waktu liburku menemani Laila. Belum
ada kesempatan bagiku untuk mencari Lu Sian. Beberapa kali
muncul bayangan Lu Sian dalam pikiranku, terutama pada saat
aku berada base camp sendirian dalam kamarku, setelah
seharian melakukan pengambilan foto udara dengan drone dari
pagi hingga sore hari. Tapi aku hanya pasrah. Semoga nanti
aku punya waktu dan kesempatan. Aku akan minta cuti kepada
pak Budiman, agar aku punya waktu cukup dan leluasa untuk
menemui Lu Sian.
Suatu hari setelah masuk kantor sejak kepulanganku dari
kegiatan lapangan, pak Budiman memanggilku ke ruang
kerjanya. Dalam hati aku bertanya-tanya, ada tugas apa lagi
yang harus aku kerjakan? Apakah harus ke lapangan lagi?
Pada hal aku sudah berencana untuk mengajukan cuti.
“Tok…tok…tok!” kuketuk pintu ruangan pak Budiman.
“Ya. silakan masuk” jawab pak Budiman mempersilakan
masuk.
Setelah aku masuk dan dipersilakan duduk, ternyata di
dalam ruangan itu telah ada dua orang tamu berseragam aparat
sedang berbincang-bincang dengan pak Budiman.
“Oh ya, pak Lanang, kenalkan ini pak Hendrik dan pak
Sujono dari kesatuan yang bertugas di daerah kita, beliau
merupakan anggota Tim Penanggulangan Kebakaran Hutan
dan Lahan.”
“Selamat siang pak, saya Lanang Pamungkas, senang
berkenalan dengan bapak-bapak,” kataku.
Setelah berbasa-basi sejenak, lalu pak Budiman
menjelaskan maksud kedatangan pak Hendrik dan pak Sujono,
34
ternyata mereka ditugaskan oleh komandannya untuk meminta
bantuan tenaga perusahaan kami dalam melakukan
pengambilan foto udara lokasi spot titik api yang tampak pada
beberapa lokasi lahan masyarakat yang berdekatan dengan
perkebunan kami.
“Oh My God!” kataku di dalam hati. Tanpa berani
kuucapkan.
“Siap pak! kira-kira kapan kita akan berangkat dan berapa
lama pak? Jawabku.
“Kira-kira 1-2 bulan lah, pak Lanang langsung saja
bergabung dengan Timnya pak Hendrik dan pak Sujono.
Mudah-mudahan titik-titik api tersebut dapat ditanggulangi
segera. Sehingga tidak menimbulkan bencana kebakaran dan
kabut asap di daerah kita” jelas pak Budiman.
Setelah membahas beberapa poin penting, aku kembali ke
ruangan. Memanggil stafku, Rizal, Sam, dan Anto untuk
menindaklanjuti hasil pertemuan kami tadi.
“Halo guys!, mudah-mudahan kalian masih tetap sehat dan
bugar.” Kataku tersenyum.
“Sehat pak!” jawab mereka serempak.
Seperti biasa, lalu aku terangkan kepada mereka bahwa
kita mendapat tugas mendampingi Tim Penanggulangan
Kebakaran Hutan dan Lahan. Untuk itu, dimintakan kepada
mereka agar menyiapkan segala sesuatunya dengan sebaik
mungkin, jangan sampai memalukan nama perusahaan. Dua
hari kemudian petualangan baru dimulai kembali, masuk hutan
keluar hutan.
---------------------&&&&&------------------
35
IV
Perjalanan kami kali ini menuju daerah kawasan cagar
Biosfer Giam Siak Kecil-Bukit Batu (CGSK-BB), yang terletak di
Kabupaten Siak dan Kabupaten Bengkalis. Menurut penjelasan
Ketua Tim Penanggulangan Kebakaran Hutan dan Lahan, telah
terjadi kebakaran pada beberapa titik di dalam wilayah cagar
biosfer CGSK-BB yang sampai saat ini belum dapat
dipadamkan.
Akses jalan menuju lokasi kebakaran cukup jauh dan sulit
dilalui, sehingga menjadi kendala tersendiri. Termasuk
memobilisasi perlengkapan selama proses penanganan dan
ketersediaan air. Sumber air dari titik kebakaran cukup jauh.
Selain itu, wilayah cagar alam ini lahannya merupakan
lahan gambut. Kedalaman gambutnya dapat mencapai
kedalaman 2 meter atau lebih. Salah satu sifat lahan gambut
adalah mudah melepaskan air (volume air dalam lahan cepat
surut) dan sangat mudah terbakar apabila dalam keadaan
kering.
Lebih lanjut Ketua Tim kami, menjelaskan bahwa sudah
lebih dari dua minggu daerah ini tidak diguyur hujan. Sehingga
akan mempercepat terjadinya kekeringan pada lahan ini. Tidak
usah dibakar dengan sengaja, terkena percikan api rokok saja
akan dapat jadi pemantik timbulnya kebakaran, karena lahan
telah kering maka api dengan mudahnya bisa menjalar ke
daerah sekitarnya. Apalagi ditambah dengan adanya terpaan
angin.
Berdasarkan informasi yang aku dapatkan dari beberapa
referensi bahwa cagar biosfer Giam Siak Kecil-Bukit Batu

36
menjadi bagian World Network of Biosphere (WNBR) UNESCO
yang terdiri dari 553 lokasi cagar biosfer di dunia.
Inisiatif pembangunan cagar biosfer ini berawal pada 2004,
melibatkan perusahaan raksasa Sinar Mas Forestry yang
beroperasi di Riau, perusahaan ini telah mengalokasikan
sebagian area hutan produksinya seluas 72.255 hektare untuk
tujuan konservasi secara permanen. Kawasan itu diubah
menjadi koridor ekologi yang menggabungkan dua suaka
margasatwa, Giam Siak Kecil dan Bukit Batu. Luas suaka
margasatwa Giam Siak Kecil mencapai 84.967 hektare dan
Bukit Batu seluas 21.500 hektare.
Cagar Biosfer Giam Siak Kecil-Bukit Batu (CGSK-BB)
merupakan lahan gambut raksasa, di dalam daerah ini terdapat
2 suaka margasatwa, yakni Suaka Margasatwa Giam Siak Kecil
dan Suaka Margasatwa Bukit Batu. Spesies unggulan di sini
ialah gajah sumatra dan harimau sumatra.
“Pak Lanang, nanti tugas utama kita adalah melakukan
pengambilan foto udara dan video dengan menggunakan drone
yang kita bawa. Setelah itu kita buatkan peta foto udaranya, di
dalam peta harus ditampilkan beberapa lokasi yang terdampak
kebakaran dan luasannya,” Pak Hendrik mengingatkanku,
setelah kami sampai di lokasi yang kami tuju.
“Siap Pak.” Jawabku. Lalu aku panggil Rizal, Sam, dan
Anto untuk mempersiapkan kegiatan pengambilan foto udara.
Rizal telah menyiapkan drone kesayangannya, DJI
Phantom 4 seri terakhir. Dengan menggunakan aplikasi drone
deploy pada tablet yang kami gunakan, peta rencana jalur misi
terbang telah disiapkan. Luas lahan terdampak kebakaran yang
akan kami petakan sekitar 1.000 ha.
37
Dengan ketinggian terbang maksimum 100 meter dan
overlap 80% memerlukan batere sebanyak 40 buah (1 batere
dapat menerbangkan drone selama 15 menit dengan luas lahan
terfoto 25 ha). Berdasarkan perhitungan tersebut akan
memakan waktu penerbangan 10 jam.
Berhubung batere yang kami bawa hanya 10 buah, maka
setiap batere akan diisi ulang 4 kali. Pengisian batere dapat
kami lakukan di lapangan karena ada alat cas betere tenaga
surya yang telah disiapkan. Mengingat medannya cukup berat,
mobilisasi di lapangan cukup sulit maka pekerjaan pengambilan
foto udara ini memerlukan waktu 2 hari kerja.
Sam mempunyai tugas melakukan pengisian batere yang
kosong dan Anto bertugas mobilisasi alat dari satu tempat ke
tempat lainnya. Semuanya berjalan dengan SOP (Standar
Operasional Prosedur) yang telah ditetapkan.
Sebelum drone diterbangkan, Rizal menghidupkan
tabletnya dan remote control drone. Pada layar monitor tablet
telah terpampang peta rencana jalur misi terbang, lalu Rizal
melakukan kalibrasi GPS terlebih dahulu antara drone dengan
remote control terlebih dulu. Setelah mencari tempat take off
yang agak datar dan ruang terbuka, pesawat drone dihidupkan,
lalu diterbangkan pada ketinggian maksimum 100 meter.
“Klik…klik…klik,” terdengar bunyi suara pengambilan foto
pada saat drone telah berada di titik start pengambilan. Bunyi
ini akan terus terdengar selama pengambilan foto. Aku
bersyukur bahwa misi pengambilan foto ini dapat dilakukan
dengan baik. Mudah-mudahan dapat berjalan dengan lancar
sampai selesai.

38
Sambil menunggu drone terbang untuk melakukan
pengambilan foto udara, aku mengobrol dengan pak Hendrik
dan pak Sujono.
“Sungguh sangat disayangkan terjadinya kebakaran hutan
dan lahan, terutama pada cagar biosfer ini. Dengan adanya
biosfer yang terjaga, kita akan merasakan banyak manfaat
yang diperoleh. Polusi udara berkurang, jumlah oksigen yang
berada di udara terjaga dan sekaligus menjadikan daerah ini
sebagai bagian dari paru-paru dunia. Satwa-satwa yang
dilindungi dalam hutan ini seperti harimau sumatera dan gajah
sumatera, masih tetap dapat hidup dengan aman. Saya tidak
dapat membayangkan apabila hewan-hewan ini sudah tidak
punya tempat lagi untuk hidup dan mencari makan, tentunya
mereka akan keluar dari habitatnya, mencari penghidupan baru
ke lahan masyarakat atau masuk ke perkampungan. Kehidupan
masyarakatpun akan terganggu olehnya,” aku menyampaikan
pendapat kepada kedua teman baruku ini, untuk membuka
pembicaraan.
“Betul pendapat pak Lanang,” tukas pak Hendrik, lalu
lanjutnya:
“Sebenarnya kebakaran hutan dan lahan ini tidak perlu
sampai terjadi, apabila semua komponen masyarakat dapat
menjaga diri dan hati-hati. Biasanya kebakaran hutan akan
sering terjadi pada musim kemarau. Perusahaan dan
masyarakat jangan melakukan pembakaran pada saat akan
membuka lahan atau dalam pengolahan lahan” kata pak Sujono
menimpali.
“Yang lebih parah lagi, ada juga oknum tertentu yang
menjarah hutan ini, mereka menebangi kayu-kayu di dalam

39
hutan ini secara illegal. Mereka tahu bahwa hutan ini dilindungi,
tapi karena keserakahan, ada saja yang merambah hutan ini”
kataku lagi. Mereka berdua membenarkan apa yang
kusampaikan.
Kami masih terus melanjutkan obrolan tentang mencegah
terjadinya kebakaran dan penjarahan hutan, serta upaya-upaya
yang perlu dilakukan untuk membangkitkan kesadaran
masyarakat dan perusahaan yang memiliki perkebunan di Riau
untuk berperanserta dalam menangani kasus ini. Sehingga
masalah ini tidak terus muncul berulang kali setiap berganti
musim atau berganti tahun.
Tiba-tiba terdengar suara Rizal memanggilku dari
kejauhan:
“Pak Lanang, ada sedkit masalah. Pada layar monitor
tertulis Required pilot return to home…, apa yang harus kita
lakukan?”.
“Kemungkinan drone kita tidak dapat menjangkau sinyal
radio controller, terbangnya terlalu jauh, atau baterainya sudah
mau habis. Kendalikan drone-mu secara manual, lalu bawa
turun. Coba perhatikan di sekeliling pesawat kehilangan sinyal,
apakah ada tower Based Tranceiver Station (BTS) milik
Telkomsel atau jaringan listrik tegangan tinggi (sutet), dan cek
kemungkinan lainnya,” perintahku ke Rizal.
“Baik pak”
Kepada Sam dan Anto kuminta bantuannya agar mereka
standby untuk memperhatikan arah terbang pesawat drone,
siapa tahu nanti ada hal-hal lain yang tidak bisa dikendalikan.
Sehingga turunnya pesawat dapat terpantau dengan jelas.

40
Setelah pesawat turun dengan selamat. Kami perhatikan di
sekitar lokasi terbang drone tidak terdapat tower BTS dan
jaringan sutet. Jarak terbang masih sesuai dengan kemampuan
pesawat. Batere masih cukup untuk melakukan penerbangan.
Mungkin hanya gangguan sinyal sesaat saja, tapi langsung
tertangkap oleh drone kami.
Apabila kita berada di sekitar tower BTS akan terdapat
gelombang elektromagnetik di udara, hal ini akan
menyebabkan gangguan sinyal yang diterima oleh drone,
sehingga drone tidak bisa bekerja dengan baik. Begitu pula bila
ada jaringan sutet, jaringan sutet akan memancarkan medan
magnet listrik kuat, yang dapat mengacaukan sinyal pada
drone.
Setelah melakukan kalibrasi ulang kalibrasi GPS antara
drone dengan remote control, maka drone kami terbangkan
kembali. Tidak ada gangguan lagi. Pengambilan foto sudah
bisa dilakukan kembali. Pada saat jam makan siang kami
istirahat dulu sekitar kurang lebih satu jam. Sesudahnya kami
beranjak ke tempat lain, dan drone mengudara kembali untuk
melakukan pengambilan foto udara.
Pada sore hari sekitar pukul 15.00, mata mulai mengantuk
dan perut minta diisi kembali. Aku teringat dengan perbekalan
yang kami bawa. Ada singkong goreng frozen dan sambal
belacan yang kubuat sendiri di rumah. Kami istirahat dulu,
sambil menikmati kopi dan singkong buatanku.
“Weiih enak sekali, singkong gorengnya, empuk, renyah,
gurih, dan bumbunya sangat terasa,” tiba-tiba pak Sujono
berkomentar sambil matanya merem-melek menikmati
singkong goreng itu.

41
“Eeh iya. Sambal belacannya mantap kali. Pak Lanang
yang buat sendiri? Bagaimana cara buatnya? Nanti saya
ajarkan kepada nyonya di rumah,” kata pak Hendrik pula
menimpali. Hatiku berbunga-bunga dan bangga sekali karena
singkong gorengku mendapat pujian dari mereka. Lalu untuk
tidak mengecewakan mereka, sambil menyeruput kopi Liberika
khas Riau aku jelaskan cara membuat singkong frozen karyaku.
Ha...ha…ha baru tahu mereka bahwa aku punya keahlian lain
dalam hatiku.
“Singkong yang kita gunakan sebaiknya singkong roti.
Singkong ini pada dasarnya memiliki daging yang putih dan
empuk. Singkong dikupas, dibersihkan, dipotong ukuran dadu
atau sesuai selera. Siapkan bumbu dari ketumbar yang
dihaluskan, garam secukupnya, bawang putih yang dihaluskan.
Lalu rebus singkong bersama bumbu tadi. Setelah empuk
tambahkan penyedap rasa Royco secukupnya, dan biarkan
bumbu meresap. Selanjutnya keluarkan singkong tadi dan
tiriskan airnya, setelah agak dingin masukkan ke dalam plastik
ukuran 1-2 kg dan ikat kuat. Lalu simpan ke dalam freezer
minimal 24 jam. Bila ingin menggorengnya, goreng segera saat
baru dikeluarkan dari freezer dengan minyak panas. Api
kompornya dijaga jangan terlalu besar. Setelah warna
singkongnya agak mulai kuning, lalu angkat dan sudah bisa
dinikmati. Apalagi kalau ditambah dengan sambal belacan.
Hmm… sedapnya” kataku menjelaskan.
“Lantas bagaimana pula dengan cara membuat sambal
belacannya?” tanya pak Sujono pula.
“Kalau itu tidak terlalu sulit pak, sama dengan membuat
sambal goreng lainnya. Hanya tambahkan saja dengan belacan
atau terasi” kataku lagi.
42
“OK, terima kasih pak Lanang, nanti kami coba di rumah”
kata mereka serempak tanpa dikomando.
Akhirnya semua pekerjaan dapat kami selesaikan pada
sore itu. Lalu kami kembali ke base camp untuk beristirahat.
Meskipun jaraknya tidak terlalu jauh, waktu tempuhnya kira-kira
2 jam perjalanan. Mudah-mudahan pekerjaan esok hari tidak
ada halangan apapun.
Setelah semua pekerjaan pengambilan foto udara di
daerah cagar Biosfer Giam Siak Kecil-Bukit Batu (CGSK-BB)
rampung. Keesokan harinya Tim kami langsung bergerak
menuju lokasi lainnya di Kecamatan Pinggir dan Bathin
Solapan, Kabupaten Bengkalis.
Lokasi yang akan kami kunjungi ini agak unik, karena
lokasinya berdekatan dengan lahan ulayat suku Sakai. Salah
satu suku asli yang masih ada di Provinsi Riau. Suku Sakai
banyak tersebar di wilayah Kecamatan Pinggir, Bathin Solapan,
dan Mandau. Umumnya mereka hidup di daerah pedalaman, di
sepanjang aliran sungai dan rawa-rawa. Jalan menuju tempat
tinggal mereka dapat dicapai melalui jalur sungai atau jalan
darat, yaitu dengan jalan kaki atau merambah hutan,
Konon menurut cerita bahwa nenek moyang mereka
berasal dari Kerajaan Pagaruyung (Sumatera Barat), karena
adanya peperangan dengan penjajah, nenek moyang mereka
melarikan diri sampai ke wilayah pedalaman Kabupaten
Bengkalis. Pimpinan rombongan ini, lalu memohon kepada
Penghulu (Kepala Desa) setempat agar diberikan tanah untuk
dapat tinggal dan mencari kehidupan di daerah baru itu.
Suku Sakai yang hidup di daerah pedalaman sangat
menggantungkan hidupnya pada alam. Ketergantungannya
43
pada alam membuat suku ini menjadi suku yang masih hidup
secara tradisional. Bahkan kehidupannya terkesan jauh dari
peradaban dan perkembangan zaman. Suku Sakai biasanya
tinggal di pondok-pondok dari kayu beratapkan daun rumbia
yang mudah dibongkar, sehingga dapat dengan mudah
berpindah-pindah tempat sewaktu-waktu (nomaden). Pondok
atau rumah tersebut dihuni oleh beberapa keluarga inti dengan
seorang pemimpin (Batin).
Biasanya dalam menjalankan tugasnya, seorang Batin
didampingi oleh seorang panglima dan perangkat lainnya
seperti panogak. Segala sesuatu yang hendak diperbuat
oleh warga, harus mendapat izin dari Batin.
Keberadaan suku Sakai saat ini, ada yang sudah hidup
berdampingan dengan masyarakat umum, terutama yang telah
memeluk agama baru (Islam, Kristen, dan Katolik). Ada pula
yang masih bertahan dengan cara hidup tradisional, yaitu
mereka yang masih menganut faham animisme.
Meskipun bantuan pemerintah telah banyak mengalir
kepada mereka, termasuk adanya bantuan rumah layak huni.
Namun mereka yang menganut cara hidup tradsional, akan
kembali masuk ke hutan dan hidup secara nomaden. Rumah
yang dibantu oleh pemerintah hanya sesekali mereka lihat dan
huni.
“Berhubung kita akan melalui perkampungan suku Sakai,
nanti kita mampir dulu menemui Batin dan Panglimanya.
Supaya tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, terutama
pada saat kita menghadapi mereka yang hidup di pedalaman.
Salah-salah langkah bisa pulang nama. Ha…ha…ha.” Kata pak
Hendrik kepada kami.
44
“Baik pak. kami ikut perintah bapak saja, karena bapak
yang lebih berpengalaman menghadapi mereka,”jawabku.
Tidak berapa lama kemudian kami telah sampai di rumah
kepala suku Sakai (Batin), Namanya Batin Sulung. Kami
dipersilakan duduk. Sebagaimana biasa bila ada tamu dari luar
hendak berkunjung ke wilayahnya, Batin selalu didampingi
Panglima. Dia akan duduk dibelakang Batin. Siap siaga
layaknya seorang ajudan.
Pak Hendrik lalu menceritakan maksud dan tujuan kami
memasuki wilayah perkampungan mereka. Demi menjaga
keselamatan kami, Batin beserta beberapa pembantunya
bersedia ikut mendampingi ke lokasi yang akan kami petakan.
Seperti yang sudah kami duga, jalan menuju lokasi ini
medannya memang sulit. Melalui jalan sempit dan
menyeberangi sungai-sungai kecil.
Disepanjang jalan menuju lokasi, kami sempat melihat
beberapa warga suku Sakai tradisional, ada yang sedang
menggarap ladangnya secara manual dan sederhana, belum
ada sentuhan alat mekanisasi, ada pula yang sedang mencari
ikan menggunakan tombak dan tangguk. Namun ada yang
cukup mengagetkan kami, ternyata mereka masih mengenakan
pakaian tradisional mereka, kaum pria tidak memakai baju,
hanya pakai cawat dari kulit kayu yang telah dikeringkan,
sedangkan kaum wanitanya meskipun telah mengenakan
pakaian yang lebih rapi, tapi sebagian besar auratnya masih
tampak.
Menjelang tengah hari rombongan kami telah sampai ke
tempat tujuan. Setelah beristirahat sejenak melepaskan Lelah.
Kepada Rizal, Sam, dan Anto, saya perintahkan agar

45
menyiapkan peralatan untuk melakukan pengambilan foto
udara hingga menjelang istirahat makan siang.
Setelah dua menerbangkan drone, lalu kami istirahat.
Rombongan kami telah berkemas-kemas menuju tempat yang
disiapkan oleh pembantu Batin untuk istirahat makan siang,
lokasi yang dipilih berupa tempat datar dan agak terlindung dari
sengatan matahari.
Tiba-tiba mataku tertumbuk ke arah jalan setapak menuju
tempat peristirahatan kami. Tampak seorang wanita muda suku
Sakai dengan dibalut pakaian yang sederhana, datang
menghampiri kami sambil menjinjing makanan dan minuman.
Lama aku tertegun, memperhatikannya. Seorang gadis
yang memiliki kecantikan khas. Kulitnya berwarna agak
kecoklatan, mungkin sering terkena sengatan sinar matahari.
Berbadan langsing dan tinggi semampai. Ketika kupandang
lebih teliti wajah yang sedang tersenyum itu, tampak sepasang
mata yang bagaikan bintang penuh cahaya, bening dan
berbentuk indah sekali, hidung mancung dan bibir merah basah
alami, sehingga membuat aku semakin terpesona.
“Sedang lihat apa Pak?” terdengar suara sambil menepuk
bahuku. Kupalingkan muka ke arah suara itu. Oh ternyata pak
Sulung. Aku jadi agak malu.
“Gadis yang baru datang itu adalah keponakan saya.
Sengaja saya suruh untuk menyiapkan makan siang kita.
Namanya Nuri, dia biasa membantu ibu-bapaknya ke ladang,
terutama pada saat libur kuliah. Sekarang sedang praktek
magang di salah satu sekolah di sini. Dia mengambil jurusan
keguruan” terang Batin Sulung.

46
“Oh…ah… ya..Pak. Bagus itu. Kalau bisa setelah kuliahnya
selesai dapat mengabdikan diri di sini” kataku terbata-bata
sambil berusaha menghilangkan kegugupanku.
“Memang rencananya seperti itu. Kami sangat berharap
kaum muda yang berkesempatan mendapatkan pendidikan
tinggi, hendaknya mau kembali membangun desanya.
Sehingga suku kami tidak semakin jauh tertinggal” kata Batin
Sulung. Hebat ini Batin dalam hatiku. Sudah berpikiran maju
untuk mengembangkan kaumnya.
“Silakan! Bapak-bapak dan Abang-abang, untuk makan
siang. Mohon maaf, lauk pauknya seadanya” Terdengar suara
Nuri sangat merdu saat mempersilakan kami untuk makan
siang.
Sambil menikmati makan siang, kulihat teman-teman
mudaku Rizal, Sam dan Anto, matanya sibuk mencuri-curi
pandang ke arah Nuri, yang dipandang tampak mau-malu,
mukanya bersemu merah, lalu tunduk tersipu. Tidak berani
memandang ke arah mereka. Gelagat ini tidak luput dari
pandangan tajam Batin Sulung. Mungkin beliau juga menyadari
bahwa dulu pernah muda, sehingga maklum saja apa yang
dilihatnya.
Aku dan rombongan asyik makan nasi dengan lauk ikan
bakar yang berasal dari sungai setempat. Tiba-tiba mataku
terpaku pada satu makanan yang dimakan oleh rombongan
Batin Sulung, mereka memakannya dengan lahap. Lalu aku
bertanya:
“Maaf pak! Itu apa nama makanannya? Kayaknya enak
sekali?” tanyaku kepada Batin Sulung.

47
“Nuri! Coba kamu saja yang menjawab dan
menjelaskannya” perintah Batin Sulung.
“Ini namanya Mengalo. Makanan khas suku kami. Bahan
dasarnya terbuat dari ubi kayu yang banyak ditanam di ladang
oleh masyarakat. Mengalo ini sejak zaman dulu dijadikan
sebagai makanan pokok pengganti nasi oleh para leluhur kami,
terutama pada saat musim paceklik, ubi kayu akan lebih mudah
tumbuh dan menghasilkan,” Nuri menjelaskan dengan
suaranya yang merdu.
“Lalu bagaimana cara membuatnya” tanya Sam bertanya
dengan nada yang antusias, sambil memandang wajah Nuri.
Aku tidak tahu, apakah Sam betul-betul ingin tahu atau sekedar
mendapat perhatian Nuri.
“Ubi kayu dikupas, kemudian dicuci hingga bersih, lalu
diparut dengan mesin pemarut kelapa. Ubi yang telah halus
direndam selama 24 jam kemudian diperas hingga mengering
dan siap untuk digonseng. Penggonsengan dilakukan pada
wajan dengan panas api yang stabil, sehingga matangnya
merata. Bila warnanya telah berubah agak sedikit kecoklatan,
mengalo siap untuk dimakan. Makannya bisa pakai sambal
goreng, bisa juga dilengkapi dengan lauk ikan.” Jelas Nuri
sambil melirik ke arah Sam.
“Apakah Mengalo ini bisa dihidangkan dalam bentuk lain?”
Tanya Rizal tidak mau ketinggalan.
“Bisa. Mengalo dapat dijadikan bubur dengan diberi gula
dan disiram dengan air panas” kata Nuri.
“Apa sih manfaat Mengalo dari kesehatan?” Tanya Anto tak
mau kalah.

48
“Mengalo ini sering dijadikan sebagai pengganti nasi bagi
penderita diabetes.” Jawab Nuri sambil mengemasi wadah-
wadah yang sudah kosong dan kotor.
Kulihat ketiga teman mudaku mukanya berseri-seri dan
tampaknya senang dengan jawaban Nuri. Aku tidak tahu, siapa
yang akan memenangkan pertandingan dalam menggaet hati
Nuri. Aah…biarlah mereka berjuang dengan caranya sendiri.
Aku toh sudah punya pilihan sendiri.
-----------------------&&&&&--------------------

49
V
Pekerjaan kami di wilayah perkampungan suku Sakai
dapat dirampungkan selama 3 hari kerja. Setelah
menyampaikan terima kasih atas pelayanan yang diberikan
Batin Sulung bersama warganya, kami pamit untuk kembali ke
Pekanbaru. Kuperhatikan ketiga teman mudaku masih
melayangkan pandangannya ke arah Nuri, yang dipandang
hanya tertunduk malu sambil mengerling ke arah mereka
bertiga. Tapi aku tidak tahu untuk siapa kerlingan mata itu
ditujukan. Hanya Nuri yang tahu.
Sang waktu berlalu begitu cepat, tak terasa sudah hampir
delapan bulan telah berlalu, sejak perjumpaanku dengan Lu
Sian. Selama kurun waktu tersebut, bukannya tak pernah
kuteringat kepada Lu Sian. Namun karena kesibukan dan
volume kerjaku yang sangat banyak, aku coba untuk menahan
diri dan tidak mengganggu konsentrasiku.
Tapi akhir-akhir ini, bayangan Lu Sian sering muncul dalam
ingatan dan mimpiku. Aku tidak tahu apa penyebabnya. Apakah
aku betul-betul telah jatuh cinta kepadanya?.
Pada suatu malam aku bermimpi. Kulihat dia menghampiri
diriku, berjalan dengan langkah yang pelan, dia tersenyum
namun seperti dipaksakan, mukanya pucat, dan badannya
tampak agak kurus dibandingkan saat pertemuanku
dengannya. Lalu aku mendekatinya, untuk meraih tangannya.
Namun dia berhenti dan membalikkan badan, berjalan
menjauhiku sambil melambaikan tangannya. Aku tertegun.
Diam seribu bahasa. Dia bergerak semakin jauh, tanpa
menoleh lagi ke arahku. Aku berusaha memanggilnya. Suaraku
tak bisa keluar. Tiba-tiba aku tersentak bangun. Keringat dingin
50
membasahi tubuhku. Ada apa dengan Lu Sian? Apakah dia
sakit? Sejak aku terjaga, mataku sulit untuk dipejamkan
kembali. Kulihat anakku masih tidur dengan nyenyaknya di
pembaringan kecilnya.
Pagi itu aku telah bertekad akan mencari dan menemui Lu
Sian. Pekerjaan dan tanggungjawabku hampir bisa dikatakan
telah rampung. Aku tidak terlalu sibuk. Aku akan menghadap
pak Budiman, bossku, untuk mengajukan cuti tahunan. Sengaja
cuti tahunan yang aku ambil, agar nanti lebih leluasa untuk
mencari jejak Lu Sian.
“Selamat pagi Pak!” Sapaku setelah masuk ruangan pak
Budiman.
“Eh. Selamat pagi. Silakan duduk. Ada keperluan apa?
Pagi-pagi sudah menghadap” tanya pak Budiman ramah.
“Bila bapak berkenan, saya ingin mengajukan cuti tahunan
pada pertengahan bulan ini, karena ada keperluan penting yang
mesti saya urus” jelasku.
“Baik. Tapi tolong pekerjaan yang menjadi tanggungjawab
pak Lanang diserahkan kepada yang mewakili. Dan jangan lupa
ditinggalkan alamat tempat cuti yang bisa dihubungi suatu
waktu” kata pak Budiman.
“Baik Pak! Terima kasih.”
Pada malam hari setelah makan bersama. Kepada bapak
dan ibu, aku sampaikan niatku akan mencari Lu Sian.
“Mohon maaf Bapak dan Ibu! Ada hal penting yang ingin
saya bicarakan dengan bapak dan ibu. Selama ini saya tidak
berterus terang dan belum sempat membicarakan tentang
calon pengganti ibunya Laila.” Kataku memulai pembicaraan.
51
“Ooh…sudah dapat toh? Kalau sudah orang mana dan
tinggalnya dimana?” tanya ibu.
“Belum Bu. Saya pernah berkenalan dengan seorang
wanita, namanya Liu Lu Sian campuran Tionghoa dan Jawa.
Kayaknya cocok sekali menjadi mantu ibu. Wanita pilihan
pokoknya. Orang tuanya tinggal di Jember,”
“Kapan kamu kenalkan kepada kami?” tanya bapakku.
“Inilah permasalahannya pak. Pada saat berkenalan, saya
belum sempat meminta alamat dan teleponnya. Tapi nanti akan
saya cari sampai dapat” janjiku.
“Ibu dan Bapak tidak keberatan, dia dari suku manapun.
Yang penting kamu menyukainya. Tapi aneh ya Pak. Sudah
ngobrol ngalor-ngidul, tapi kok nggak tahu alamatnya. Ha ha
ha” kata ibu sambil menertawakan kebodohanku.
“Ya sudah. Kalau memang dia menjadi pilihanmu, kami
setuju saja. Perjuangkan cintamu itu. Bila perlu dipercepat saja
pelaksanaannya” kata mereka hampir bersamaan.
“Terima kasih atas restu dan doa bapak serta ibu.
Rencananya saya besok berangkat.” Lalu aku ke kamar
mengemaskan barang bawaan seperlunya, dan memjelaskan
dan memberikan pengertian kepada Laila. Alhamdulillah.
Anakku menyetujuinya, dia juga sangat berharap ingin punya
ibu, seperti teman-temannya yang punya ibu.
Setelah semua beres, menjelang tidur aku mulai berpikir,
dari mana aku akan memulai mencari keberadaan dan alamat
Lu Sian. Mencari kantornya di Surabaya atau langsung ke
rumah orangtuanya di Jember?. Langkah pertama aku ke

52
kantor Surabaya dulu, siapa tahu dia ada di sana. Bila tidak
bertemu akan mencarinya ke Jember.
Aku berusaha mencari alamat kantor Lu Sian dengan
mengulik-ngulik Mbah Google. Kuarahkan pencarianku dengan
mengulik “kantor relawan sosial di Surabaya”. Ada tiga nama
yang mendekati, sesuai informasi yang kudapat dari Lu Sian.
Aku berangkat dari Pekanbaru ke Surabaya dengan
pesawat pagi. Setibanya di Surabaya, aku cari alamat pertama,
namun aku kecewa tidak ada nama Liu Lu Sian yang bekerja di
kantor itu. Begitu pula halnya dengan kantor ke dua, tidak ada
nama yang kucari. Aku semakin kecewa, tapi tidak putus asa.
Harus tetap berjuang mencari cintaku. Masih ada satu alamat
lagi yang menjadi harapanku, kantornya terletak di daerah
Wonocolo. Hari telah lewat tengah hari. Mudah-mudahan
kantornya masih buka.
“Permisi! Selamat siang Pak!” sapaku kepada sekuriti yang
sedang tugas jaga.
“Selamat siang. Ada yang bisa dibantu pak?”
“Saya ingin mencari dan menemui seorang teman,
namanya Liu Lu Sian, apakah dia bekerja di sini?”
“Liu Lu Sian…. Liu Lu Sian…..” dia mengulang-ulang nama
itu, sambil mencoba mengingat-ingat. Aku menunggu dengan
penuh harap.
“Kayaknya nggak ada Pak. Tapi…coba nanti ditanyakan ke
bagian personalia. Siapa tahu ada yang tidak saya kenal,” kata
pak sekuriti sambil mengantarkanku ke bagian personalia.
Kepala bagian personalia, pak Joko, menerimaku dengan

53
ramah sekali dan menanyakan maksud kedatanganku.
Kemudian aku menjelaskannya kepada beliau.
“Nama yang bapak maksudkan, sepertinya tidak ada
tercantum sebagai pegawai kami. Coba sebentar ya…Ini yang
ada nama Lusiana…. Apakah sama dengan Liu Lu Sian yang
pak Lanang maksudkan, siapa tahu ini nama Indonesianya?”
kata pak Joko.
“Apakah pak Lanang punya fotonya?” tanya pak Joko
kembali. Aku jadi bingung sejenak, bagaimana menjelaskannya
karena aku tidak punya foto Lu Sian.
“Saya tidak punya fotonya Pak. Tapi kalau foto di dalam file
itu, bisa saya lihat?” kataku
“Silakan!” jawab pak Joko. Kuperhatikan di dalam file
tersebut, memang mirip Lu Sian dan alamat asalnya Jember.
Apakah dia punya dua nama, seperti beberapa kawanku yang
keturunan Tionghoa?
“Bagaimana?” tanya pak Joko.
“Mirip sekali Pak. Tapi saya ragu dengan namanya.”
“Begitu ya! Bu Lusiana memang pernah bekerja di sin, tapi
3 bulan yang lalu mengundurkan diri karena sesuatu alasan,”
jelas pak Joko. Lalu aku minta alamat Lusiana yang di Jember.
Siapa tahu memang Liu Lu Sian.
“Terima kasih banyak atas bantuan Pak Joko! Semoga saja
keterangan yang sedikit ini benar adanya”. Lalu aku berpamit
karena urusan sudah selesai dan sudah mulai sore. Dalam
pikiranku, bila alamat ini salah. Masih ada harapan lain, yaitu
toko oleh-oleh khas Jember di Kaliwates.

54
Keluar dari kantor itu, langsung aku putuskan pesan travel
ke Jember. Aku tidak menginap di Surabaya karena ingin cepat-
cepat sampai di Jember. Malam harinya aku berangkat ke
Jember dengan travel yang telah kupesan. Pada pukul 23.30
aku telah sampai dan langsung mencari hotel untuk beristirahat
dulu.
Pagi itu aku masih ragu dan menimbang-nimbang, apakah
langsung ke alamat yang diberikan oleh pak Joko atau kucari
dulu melalui toko oleh-oleh khas Jember di sekitar Kaliwates.
Akhirnya kuputuskan bertanya-tanya dulu pada toko oleh-oleh
di Kaliwates, agar lebih pasti. Untuk memudahkan mobilitasku
saat di Jember, aku menggunakan mobil rental.
“Selamat pagi Om! Ada yang bisa dibantu?” tanya seorang
penjaga toko dengan ramah, pada saat aku memasuki sebuah
toko.
“Selamat pagi! Mohon maaf, saya ingin bertanya. Apakah
di sekitar sini ada tokonya pak Liu Kun Hong, yang juga menjual
oleh-oleh khas Jember?” jawabku
“Oh maaf Om! Saya tidak tahu. Tapi mungkin majikan saya
mengenalnya. Tunggu sebentar, akan saya panggilkan beliau”.
Tidak berapa lama keluarlah dari ruang dalam, seorang
pria paruh baya berbadan tambun dan bermata sipit. Tapi masih
tampak sehat.
“Mau cari Engkoh Liu Kun Hong ya Mas?” Tanya pria
tersebut.
“Iya Koh. Saya ada perlu dan ingin berjumpa dengan
beliau. Apakah Engkoh mengenalnya?”

55
“Kenal…kenal…Nama anaknya Lu Sian. Tokonya berada
sepanjang jalan ini. Lima toko ke arah kiri dari sini, tokonnya
bermerek “Gunung Raung.” Kata engkoh Kim San dengan
ramah. Aku bersyukur kepada Allah berulang-ulang. Tidak sia-
sia perjuanganku.
“Terima kasih Koh. Semoga banyak rejeki hari ini.” Kataku
mendoakan Si Engkoh sebagai tanda terima kasihku.
Dengan tidak membuang-buang waktu, segera kucari Toko
Gunung Raung seperti yang ditunjukkan oleh Engkoh Kim San.
Dari luar sampai ke dalam toko terpajang beberapa jenis oleh-
oleh khas Jember, yang paling kukenal adalah suwar-suwir,
tapai, dan kopi Kalisat yang rasa dan aromanya kusukai.
“Maaf Mbak! Nama saya, Lanang Pamungkas, saya datang
dari Pekanbaru, Riau. Apakah pak Liu Kun Hong dan Ibu
Sundari ada?” Tanyaku pada seorang wanita muda yang
sedang mengatur letak beberapa dagangan pada tempatnya.
Dia memandang ke arahku agak lama, seperti orang
menyelidik. Setelah itu barulah ia menjawab:
“Bapak dan Ibu di rumah! Mungkin hari ini nggak kemari”
jawabnya.
“Boleh saya minta alamat rumahnya?.” Lalu dia menuliskan
di atas secarik kertas alamat dimaksud dan sekalian
mencantumkan nomor telepon yang bisa dihubungi. Ternyata
tempat tinggalnya tidak begitu jauh dari toko, di jalan Joyoboyo,
masih termasuk ke dalam wilayah Kaliwates. Setelah
mengucapkan terima kasih lalu aku bergegas menuju jalan
Joyoboyo.

56
Aku telah berada di pintu pagar sebuah rumah bercat abu-
abu tua, aku perhatikan ke dalam, tampak sepi-sepi saja,
seperti tidak berpenghuni. Aku ragu. Apakah ini benar rumah
orangtuanya Lu Sian?. Setelah kuhapus keraguanku, lalu aku
pencet bel yang ada di pintu pagar. Belum ada orang yang
keluar dari rumah. Kuulangi sekali lagi. Beberapa saat setelah
menunggu, keluarlah seorang wanita berumur menjelang enam
puluh tahunan. Wajahnya muram dan lesu seperti orang kurang
tidur. Tapi sisa-sisa kecantikan masih tampak di wajahnya.
Badannya masih langsing tidak seperti wanita kebanyakan
yang seumuran dengannya.
“Maaf! Mas mau cari siapa?” sapanya ramah dari balik
pagar.
“Kenalkan Bu! Saya Lanang, Lanang Pamungkas. Saya
mau bertemu Lu Sian. Apakah betul ini rumahnya?” kataku
memberanikan diri.
“Iya benar, ini rumahnya Lu Sian. Oh Nak Lanang toh! Dari
Pekanbaru ya?” Tanyanya dengah wajah yang semringah,
seperti ada kegembiraan di wajahnya. Tapi aku agak terkejut
karena ia langsung menerkaku dari Pekanbaru. Apakah Lu Sian
sudah bercerita banyak tentang diriku kepada keluarganya.
“Iya…iya Bu! Apakah dia ada rumah Bu?.” Tiba-tiba wajah
bu Sundari kembali muram.
“Mari silakan masuk! Nanti kita bicara di dalam saja.”
Kemudian bu Sundari membuka pintu pagar dan
mempersilakan diriku masuk. Aku perhatikan interior ruangan
ini sederhana, namun menyejukkan hati bagi orang yang
berada dalam ruangan ini. Seketika mataku tertuju pada

57
sebuah foto yang berukuran cukup besar, kira-kira ukuran 8 R.
Foto Lu Sian. Cantik sekali.
“Sebentar ya Nak!” Lalu bu Sundari beranjak ke belakang.
Tak berapa lama, beliau telah datang membawa dua gelas kopi
dan kue-kue.
“Ayo silakan! Dinikmati unju’annya” katanya
mempersilakan.
“Terima kasih Bu!” aku masih ragu-ragu untuk memulai
pembicaraan, bertanya tentang Lu Sian, karena dari tadi tidak
kelihatan wajahnya.
“Maaf Bu! Apakah Ibu sendiri di rumah? Saya tidak melihat
Lu Sian atau Bapak.” Kembali wajah bu Sundari kelihatan
murung.
“Maaf Nak! Lu Sian dan bapak memang tidak di rumah.
Sekarang sedang di RS dr. Soebandi. Bapak menunggui Lu
Sian yang sedang sakit dan dirawat. Kami bergantian menjaga
Lu Sian. Ibu baru tadi pagi pulang. Sekarang giliran bapak yang
jaga” Tiba-tiba jantungku berdebar kencang. Pikiranku cemas
memikirkan keadaan Lu Sian. Rasanya ingin pergi secepatnya
ke rumah sakit untuk memastikan keadaan Lu Sian. Tapi aku
coba untuk menenangkan diri dan bersabar.
“Sakit apa dia Bu? Kok sampai dirawat? Apakah parah
penyakitnya?” tanyaku bertubi-tubi.
“Yang sabar ya Nak. Kami tahunya sudah terlambat. Kami
kira dulu, saat dia sering mengeluhkan sakit kepala dan nyeri di
lambunganya, hanya karena kecapekan dan karena terlambat
makan. Tidak ada terbersit oleh kami untuk memeriksakannya
ke bagian penyakit dalam. Dalam 1 tahun terakhir keluhannya
58
semakin menjadi-jadi. Lalu kami bawa ke rumah sakit agar
diperiksa secara intensif. Rupanya dia terkena kanker
lambung,”
“Kami sudah melarangnya untuk bekerja. Namun dia
berkeras tetap bekerja karena ingin membantu masyarakat.
Dalam 4 bulan terakhir ini kondisinya semakin menurun, dan
sudah tidak sanggup lagi bekerja. Terutama ke lokasi bencana.
Lalu dia mengundurkan diri dari pekerjaannya dan kembali ke
rumah. Saat ini dia sudah dirawat inap selama 2 minggu ini.
Kondisinya tidak stabil. Kadang sadar, kadang tidak.”
“Selama ini dia sering bercerita mengenai diri Nak Lanang.
Meskipun hanya sekali bertemu dengan Nak Lanang. Tapi dia
merasa yakin bahwa Nak Lanang pasti mencintainya”
“Bu! Saya mohon izin agar diperkenankan untuk melihat
kondisi Lu Sian” kataku tak sabar. Aku seakan-akan seperti
tidak ingin mendengarkan cerita bu Sundari. Meskipun itu
menggembirakan hatiku. Saat itu yang ada dalam pikiranku
hanya mecemaskan kondisi Lu Sian dan segera ingin
menghiburnya.
“Baik-baik! Ibu juga ikut” katanya bergegas mengikutiku.
Kepada sopir mobil rental kuperintahkan agar secepatnya
sampai di rumah sakit.
“Pak! Bagaimana perkembangan Lu Sian? Oh ya. Ini Nak
Lanang dari Pekanbaru, yang pernah diceritakan oleh Lu Sian
kepada kita” lalu pak Kun Hong yang masih tampak sehat meski
sudah tua, mengangguk ke arahku.
“Dia sedang tidur. Kapan Nak Lanang sampai?” tanyanya
ramah.

59
“Semalam Pak.” Lalu dia menceritakan kondisi Lu Sian
sejak tadi pagi masih tidur. Lalu pak Kun Hong dan bu Sundari
membawaku ke ruang Lu Sian di rawat.
Kulihat Lu Sian masih tidur di tempat tidurnya. Wajah itu
tampak kurus dan pucat. Bibir yang dulu merah merekah,
sekarang telah pudar. Meskipun demikian rona kecantikan
masih ada membayang di wajahnya. Lu Sian tidur dengan
irama nafas yang tidak beraturan. Kadang lembut teratur,
sesekali seperti orang sesak nafas. Ada air mata yang mulai
menetes keluar dari mataku. Aku tak kuasa menahannya.
Hatiku iba melihat kondisi Lu Sian.
Kelopak mata Lu Sian membuka. Bola matanya bergerak
seperti mencari sesuatu. Dia telah bangun. Aku diam terpaku
dan terus berdoa agar dia bisa sembuh.
“Nduk! Kamu sudah bangun. Nih, coba lihat siapa yang
datang?” kata bu Sundari. Lalu aku lebih mendekat ke arah Lu
Sian. Matanya memandang kepadaku. Lalu bibirnya
tersenyum.
“Mas Lanang?” suaranya terdengar lemah dan seperti tidak
percaya dengan penglihatannya.
“Benar Dik! Saya Lanang!” jawabku dengan suara tercekat
di tenggorokan. Dia berusaha untuk duduk dari tidurnya. Tapi
tidak mampu. Lalu tanpa sungkan lagi aku ambil bantal dan aku
letakkan di belakang punggungnya sebagai penyangga,
sehingga posisinya seperti bersandar.
“Terima kasih Mas! Telah mau datang dan bersusah payah
mencariku. Kamu pasti kecewa melihat keadaanku?”

60
“Kamu nggak usah banyak ngomong dulu. Berjumpa
denganmu saja, saya sudah amat senang”
“Nggak apa-apa Mas. Aku masih kuat. Apakabarmu Mas,
masih suka melanglang buana? Saya tidak mampu lagi berjalan
jauh” nada suaranya seperti dipaksakan.
“Alhamdulillah, saya sehat dan masih bekerja seperti dulu”
“Anakmu bagaimana dan siapa namanya?”
“Namanya Laila! Dia kirim salam untukmu. Sebenarnya dia
ingin ikut dan berjumpa denganmu”
“Syukurlah dia dalam keadaan sehat. Salam kembali
untuknya. Oh iya Mas! Dari ke hari rasanya kesehatan saya
semakin menurun. Mungkin hidup saya tidak lama lagi. Mas!
Meskipun saya mengenalmu sekejap, tapi seakan-akan
engkaulah lelaki yang dikirim Tuhan untuk diri ini. Saya ingin
mendapatkan kepastian darimu. Apakah kamu merasakan apa
yang saya rasakan? Apakah kamu mencintai saya?”
“Umur manusia di tangan Tuhan. Jangan kamu berkata
begitu. Bila saya tidak mencintaimu, tidak mungkin saya
bersusah payah mencari alamatmu dan menemuimu ke sini.”
Lu Sian tersenyum manis, meskipun agak menahan sakit.
“Terima kasih sekali lagi Mas! Kamu telah memberikan
kebahagiaan yang selama ini sangat saya dambakan.
Mas…bila...” Lu Sian tidak jadi melanjutkan kata-katanya.
Tangannya menggapai ke arahku, seperti hendak mencari
pegangan agar badannya tidak rebah. Lalu cepat kurangkul dan
membaringkan tubuhnya. Nafasnya mulai sesak kembali.
“Pak…Bu..! tolong panggilkan dokter atau perawat cepat”
kataku.
61
Tidak berapa lama kemudian. Dokter dan perawat datang
memeriksa kondisi Lu Sian. Kemudian Lu Sian langsung
dibawa ke ruangan ICU. Kami tidak boleh ikut. Semuanya
cemas menunggu perkembangan Lu Sian. Aku duduk
termenung dan tiada hentinya berdoa agar Lu Sian dapat
diselamatkan. Apakah aku harus kehilangan untuk kedua
kalinya terhadap orang yang kucintai?.
Tepat pukul 17.00 seorang perawat keluar dari ruangan
ICU mencari orangtua Lu Sian dan berbicara dengan pak Kun
Hong. Tiba-tiba terdengar suara bu Sundari seperti keluhan dan
menjerit. Lalu tubuhnya terkulai. Cepat kurangkul.
“Innalillahi wa innailaihi roji’uun. Aduuh Nduk…tega-
teganya…kamu tinggalkan…papa dan mamamu.”
Tubuhku terasa lemah lunglai. Perasaanku terasa hancur.
Tak satupun kata-kata yang mampu kuucapkan. Duduk diam
terpaku. Air mataku kembali mengalir di pipiku, tapi buru-buru
kuhapus. Pak Kun Hong terpaku. Diam tak bergerak. Kami
semua diam dalam keheningan.
“Bapak dan Ibu! Harap menerimanya dengan ikhlas.
Semuanya sudah takdir Yang Maha Kuasa. Kami dari rumah
sakit sudah berusaha agar Lu Sian dapat disembuhkan.” Kata
seorang perawat menghibur kami.
Lalu kami bangkit. Berusaha untuk tegar dan tabah.
Setelah semua persyaratam administrasi dibereskan, jenazah
dibawa pulang. Berdasarkan kesepakatan keluarga, jenazah
akan dikuburkan besok pagi di Taman Pemakaman Umum
setempat.
Aku segera menelepon Ibu dan Bapakku di Pekanbaru.

62
“Assalamu’alaikum Bu. Saya mau memberi kabar tentang
Lu Sian Bu! Dia baru saja meninggal karena sakit. Saya
sekarang masih di rumah sakit.”
“Innalillahi wa innailaihi roji’uun! Aduuh kasihan nasibmu
Nak. Sampaikan salam ibu dan bapak untuk orangtuanya.
Jangan lupa bantu penyelenggaraan pemakamannya”. Lalu
telepon kututup.
Malam itu aku berada di rumah Lu Sian menemani kedua
orangtua itu, atas permintaan mereka. Aku duduk di samping
jenazah Lu Sian. Membacakan ayat-ayat suci dan
memanjatkan doa agar diampuni dosanya serta ditempatkan di
surgaNya.
Pada hari ke tiga setelah wafatnya Lu Sian, aku menemui
pak Kun Hong dan bu Sundari. Selama tiga hari ini aku memang
tinggal di rumah Lu Sian, atas permintaan mereka.
“Bapak dan Ibu! Saya mohon izin dan pamit karena harus
kembali ke Pekanbaru” kataku dengan suara serak. Kulihat
kedua orangtua itu lama menatapku. Tampak air mata
menggenang di kedua pelupuk mata mereka.
“Cepat sekali Nak?”
“Iya. Pak dan Ibu. Cuti saya tinggal dua hari lagi. Saya
harus masuk kerja kemballi”
“Baik Nak Lanang! Maafkan Lu Sian ya Nak! Kami sangat
senang bahwa Lu Sian telah menemukan tambatan hatinya.
Kami sangat berharap Nak Lanang bisa menjadi menantu kami.
Tapi takdir berkata lain. Meskipun kamu tidak berjodoh dengan
Lu Sian, tapi kamu telah memberikan kebahagian kepadanya.

63
Jangan lupa kepada kami” kata kedua orangtua itu. Lalu aku
melangkahkan kakiku ke luar. Menuju mobil yang kurental.
“Tunggu sebentar Nak!” Tiba-tiba terdengar suara bu
Sundari memanggilku, sambil membawa sesuatu. Lalu
menyerahkannya kepadaku.
“Nak! Ini buku diary peninggalan Lu Sian. Dia berpesan,
bila kamu datang dan tidak sempat bertemu dengannya, agar
diary ini diserahkan kepadamu. Terimalah, meskipun kamu
telah bertemu dengannya”
“Terima kasih Bu!”
Namun, sebelum ke Surabaya, aku mampir dulu ke
pemakaman Lu Sian. Gundukan tanah itu masih merah
kekuningan. Bunga-bunga masih bertaburan. Pada papan
nisan tertulis nama Lusiana alias Liu Lu Sian binti Liu Kun Hong.
Lusiana adalah nama resmi Lu Sian dalam administrasi
pemerintahan. Namun dalam hari-hari dia lebih senang
dipanggil Lu Sian.
“Semoga Allah mengampuni dosamu, menerima amal
ibadahmu, dan ditempatkan di surga-Nya. Beristirahatlah
dengan tenang. Kamu tidak akan merasa sakit lagi.
Pengabdianmu sebagai gadis kangouw, membantu demi
kemanusiaan telah berakhir. Namun jasamu akan selalu
dikenang orang banyak. Selamat tinggal, Moi!”
------------------------&&&&&-----------------------

64
VI
Lalu mobilku kembali menuju ke Surabaya. Di dalam mobil
kubuka aplikasi salah satu travel dan pesan tiket ke Pekanbaru,
syukur masih ada yang langsung ke Pekanbaru untuk
keberangkatan sore hari ini. Selama dalam perjalanan Jember-
Surabaya, kurebahkan badanku ke sandaran kursi. Coba
beristirahat untuk melepaskan penat dan kantuk. Lewat tengah
hari aku telah sampai di Bandara Juanda Surabaya. Langsung
check in dan menuju ruang tunggu.
Aku celingak-celinguk mencari bangku yang masih kosong.
Aah ternyata bangku yang sama di sudut ruang tunggu, saat
kupertama kali berjumpa dengan Lu Sian masih kosong
sebanyak dua buah. Aku coba menuju ke sana dengan pikiran
yang campur aduk.
Lalu aku duduk tepat seperti dulu. Di sebelahnya masih ada
tersisa satu bangku yang kosong. Aku buka tas rangselku dan
mengambil buku diary yang ditinggalkan Lu Sian untukku. Tidak
terlalu tebal memang. Kemudian aku mulai membacanya.
Diary 1:
Papa dan Mama! anakmu telah sampai di Sumba
Timur dengan selamat. Kondisi lokasi tidak lagi
mencekam. Oh iya papa dan mama. Tadi pagi
sebelum berangkat ke Kupang. Anakmu
berkenalan dengan seorang pria. Namanya
Lanang Pamungkas, orang Pekanbaru. Seorang
duda ditinggal mati, punya anak satu. Orangnya
baik. Kayaknya anakmu telah jatuh hati
kepadanya. Nanti akan kuperkenalkan kepada
papa dan mama, sebagaimana yang sering kalian
tuntut kepada anakmu.
65
Aah aku jadi ingat lagunya Maywood.
Mother, how are you today? Here is a note
from your daughter. With me everything is
OK. Mother, how are you today? Mother,
don't worry, I'm fine. Promise to see you
this summer. This time there will be no
delay. Mother, how are you today? I found
the man of my dreams. Next time you will
get to know him. Many things happened
while I was away. Mother, how are you
today?

Diary 2:
Mas Lanang! Sejak berkenalan dan mengobrol
denganmu, banyak hal yang membuatku tertarik
kepadamu. Jangan kamu mengatakan bahwa aku
gadis murahan. Sejujurnya aku belum pernah
merasakan seperti ini, dengan pria lain yang
kukenal. Aneh ya? Sekali bertemu tiba-tiba jatuh
hati. Apakah sebegitu kuatnya pengaruh cinta
atau cinta itu memang buta? Bila kamu baca diary
ini. Jangan tertawakan diriku. Aku malu Mas!
Diary 3:
Mas Lanang! Pada saat akan masuk pintu
boarding. Aku ingin sekali melihat wajahmu. Kamu
masih menundukkan mukamu. Lama
kumenunggu. Akhirnya kamu mengangkat muka.
Doaku terkabul. Aku lambaikan tangan. Suatu
saat semoga kita dapat dipertemukan kembali.
Diary 4:
Hatiku senang sekali dapat membantu para
korban bencana di daerah ini. Beragam kondisi
tekanan kejiwaan yang menimpa para korban.
Aku harus telaten untuk membantu mereka agar
66
dapat bangkit. Dalam kesibukanku membantu
mereka, sesekali bayangan Mas Lanang melintas
dalam pikiranku. Sedang dimana Mas Lanang
sekarang? Aku merasa bingung karena tidak bisa
menghubungimu. Lupa minta nomor teleponmu.
Tindakan yang bodoh. Ah, kalau jodoh nggak kan
kemana.
Diary 5:
Sepulangnya dari lokasi bencana terakhir, kondisi
kesehatanku semakin menurun. Aku minta izin ke
pimpinan kantor, agar tidak ditugaskan ke lokasi
sulit. Bila memungkinkan membantu di kantor saja
dulu. Pimpinan kantor menyetujui permohonanku.
Aku senang sekali. Papa dan mama senang sekali
mendengar kabar ini, karena anaknya tidak akan
kecapekan.
Diary 6:
Mas Lanang! Mungkin dulu kamu heran. Kenapa
gadis seumuranku belum juga berumah tangga.
Kamu mengatakan diriku cantik, pasti banyak
pemuda yang menyukaiku. Diriku merasa
tersanjung saat kamu mengatakan diriku cantik.
Bukannya tidak ada pria yang mencoba
mendekatikku. Tapi belum ada yang sesuai di
hatiku.
Kamu mungkin masih ingat. Saat aku
mengalihkan pembicaraan kita ke hal lain. Aku
khawatir dan takut, akan mengecewakan mereka.
Sejak aku divonis menderita kanker lambung, aku
berusaha menghindari setiap pria yang
mendekatiku.
Namun sejak berjumpa denganmu semuanya
berubah. Aku tidak sanggup lagi membendung
gelora cintaku.

67
Diary 7:
Mas Lanang! Mungkin umurku tak kan lama lagi.
Aku ingin mengabdikan diri dan
membahagiakanmu. Meskipun sebentar.
Termasuk membahagiakan gadis kecilmu. Aku tak
sempat menanyakan namanya. Kasihan dia, sejak
kecil tidak merasakan kasih sayang seorang ibu.
Aku ingin jadi ibunya, Mas!
Diary 8:
Dari hari ke hari. Meskipun aku melakukan kontrol
dan teraphy rutin, namun penyakit yang
menggerogoti semakin parah. Kondisi tubuhku
terus menurun. Gampang capek. Setelah
kupertimbangkan masak-masak, aku putuskan
mengundurkan diri dari kantor. Lalu aku pulang ke
Jember.
Setiap teringat dirimu. Aku hanya bisa menangis.
Kamu tidak tahu keadaanku sekarang. Aku ingin
kamu disampingku dan menemaniku, menjelang
ajal menjemputku.
Aku bingung, kemana akan menghubungimu?
Kamupun mungkin akan sama bingungnya
dengan diriku. Apalagi kalau kamu mencari ke
bekas kantorku. Tidak ada orang yang mengenal
nama Liu Lu Sian. Hanya ada nama Lusiana, yaitu
nama identitasku dalam keperluan adiministrasi.
Diary 9:
Mas Lanang! Rasanya aku tidak sanggup lagi
bertahan. Dalam sebulan ini aku sudah sering
keluar-masuk rumah sakit. Kasihan papa dan
mama, mereka jadi direpotkan karena diriku. Toko
hanya dipercayakan kepada seorang pegawai
yang telah lama mengikuti keluarga kami.
68
Sebelum ajal menjemputku. Aku ingin kamu
datang menengokku. Aku ingin melihatmu untuk
terakhir kalinya. Aku ingin kamu melepas
kepergianku. Hanya itu doa yang kupanjatkan
sepanjang malam, saat aku terbangun.
Diary 10:
Mas Lanang! Buku diary ini kupersembahkan
untukmu. Andaikata kita tidak dapat dipertemukan
lagi. Buku ini aku titipkan kepada Mama, agar
dapat diberikan kepadamu.
Bila aku nanti telah tiada. Kamu jangan menangisi
kematianku. Lepaslah aku dengan senyum dan
ikhlas.
Kamu harus pencari pendamping hidupmu.
Kasihan anakmu Mas!
Aku tak sanggup lagi menulis. Jari jemariku sudah
mulai melemah. Untuk bangun dari pembaringan
saja sudah harus dibantu.
Semoga diary ini sampai ka tanganmu.

Setelah selesai kubaca. Diary kututup. Mata kupejamkan


sambil membayangkan penderitaan Lu Sian. Nafasku turun
naik. Dada terasa sesak seperti mau meledak. Tak terasa ada
air yang menggenang di pelupuk mataku. Cepat kutahan agar
tidak mengalir ke pipi. Lalu aku keluarkan saputangan untuk
menyekanya.
“Permisi! …Permisi Mas! Apakah bangku sebelah masih
kosong?!” tiba-tiba ada suara bertanya yang mengejutkanku.
seorang wanita berdiri dihadapanku. Lama kupandang
wajahnya. Wajah itu seperti tidak asing bagiku, tapi aku lupa.
Entah pernah kenal dimana.

69
Seorang wanita yang tidak muda lagi. Berwajah orientalis
dengan kulit putih mulus, Mata itu tidak terlalu sipit dengan
muka agak tirus. Cantik jelita dan menawan. Rambutnya hitam
panjang tergerai menjuntai sampai ke punggung. Memakai
kaca mata hitam yang menempel di atas keningnya. Hidung
mancung. Bibirnya yang merah basah bergerak-gerak dan
matanya bersinar-sinar. Lehernya jenjang. Baju daleman hitam
dan dibalut dengan baju luar berlengan panjang berwarna hitam
pula. Rok berbahan jean biru muda menggantung hingga lutut,
menampakkan kakinya yang putih mulus. Bodi tinggi semampai
kira-kira 173 cm dengan memakai sepatu kets warna putih, dan
tas tenteng warna biru muda menggantung di tangannya, makin
menambah kejelitaanya.
“Apakah saya boleh duduk di bangku yang kosong itu?”
“Ah…., silakan. Mari silakan Mbak!” Kataku gelagapan.
Lalu dia duduk di bangku sebelahku.
“Kenalkan nama saya, Shanti” kata wanita itu sambil
mengulurkan tangannya ke arahku.
“Lanang, Lanang Pamungkas!” jawabku sambil
menyalaminya. Saat itu pikiranku masih dikacaukan oleh
bayangan wajahnya. Aku rasa kenal. Mungkinkah dia (?).
“Pasti dia…Ah Bukan…bukan!” Kataku bergumam pelan.
“Ada apa Mas?”
“Rasanya wajahmu itu, tidak asing bagi saya. Apakah kita
pernah bertemu sebelumnya? Tapi teman atau kenalanku tidak
ada yang bernama Shanti”
“Rasanya kita belum pernah bertemu langsung, kecuali
sekarang. Mungkin saja Mas pernah melihat diri saya melalui
70
foto, film, atau medsos?” katanya tersenyum seperti
menggodaku. Lalu dia asyik memain-mainkan jarinya di atas
layar HP. Sepertinya sedang membuka salah satu medsos.
Sesekali mengerling ke arahku.
“Aku tahu banyak tentang dirimu lho Mas?” Katanya
mengejutkan lamunanku.
“Darimana?” tanyaku penasaran.
“Dari salah satu medsos. Profilmu lengkap dan
postinganmu banyak kubaca”
“Ah…Eh.. Oh…” Hanya itu yang kata-kata keluar dari
mulutku.
“Diberitahukan kepada penumpang jurusan Surabaya-
Pekanbaru dipersilakan menaiki pesawat melalui pintu 9”
terdengar petugas bandara menyampaikan pengumuman.
“Maaf…! Permisi…! Saya berangkat dulu! Senang sekali
berkenalan denganmu. Semoga dapat bertemu kembali.” Dia
mengangguk, kembali melemparkan senyum dan kerling
matanya ke arahku. Sepertinya dia hendak mempermainkan
diriku.
Setelah duduk di dalam pesawat. Aku masih memikirkan
wanita misterius tadi. Dia mengenalku dengan baik. Tapi aku
lupa siapa dia.
“Ah.! Pasti dia…! Tidak salah lagi…!” Tiba-tiba ketepuk
keningku.
“Eh maaf Pak! Apa ada yang bisa dibantu?” kata seorang
pramugari,.
“Oh..! Maaf…maaf..,Tidak ada..!” Jawabku malu.
71
Sampai di sini berakhirlah cerita “Aku Menyebutnya Gadis
Kangouw”. Diawali di Bandara Juanda Surabaya dan diakhiri di
Bandara Juanda Surabaya. Cerita ini hanya fiktif belaka. Bila
ada kesamaan nama dan peran dalam cerita ini, mohon
dimaafkan. Semoga para pembaca terhibur.

TAMAT

72

Anda mungkin juga menyukai