Anda di halaman 1dari 4

MEMELUKMU DAN PERASAAN

Bangkit dari rasa kecewa, berdiri kembali setelah patah, melawan perasaan sedih
setelah dilukai adalah topik yang kerap kali berdengung di sekitar kepalaku, membuatku
terpaksa bertanya, mungkinkah itu semua bisa terjadi di dunia nyata? Pertanyaan selanjutnya,
bagaimana kita menyikapi semua perasaan itu?

*******

Aku adalah orang yang bersikukuh pada pendapatku tentang kecewa, patah, sedih
adalah sebuah rasa yang tak mungkin mudah begitu saja terganti atau bahkan dipeluk seolah
kita dan mereka adalah sahabat sejak lama. Sampai ketika aku sendiri yang harus mengalami
segala bentuk perasaan yang kupikir selama ini hanya muncul di cerpen – cerpen dan puisi –
puisi yang kubaca. Ironisnya, aku harus menemui perasaan itu melalui orang terdekat bagiku
yang kukira tidak akan pernah melukaiku. Kala itu di kota pahlawan, ibu kota jawa timur, di
sebuah kampus negeri paling ternama di kota Surabaya saat hari wisuda, aku mendapat job
part – time menjadi freelance fotografer. Di hari yang sama pula, Fuad kekasihku juga sedang
di wisuda.

“Wis mari ta motone?” kata Fuad dari video call yang sudah mulai gerah sehingga
baju toganya sudah dia lepas, hanya menyisakan kemeja putih dan rambutnya yang sudah
acak- acakan. suasana sangat tidak bersahabat, panas terik menyengat tanpa ampun.

“Iyo, sik tas mari iki, sabar bos.” Jawabku.

“Cepetan talah, sumuk iki lho, kemejaku wis gobyos, sido ta gak iki?

“sido lah, iki awakmu sumuk opo kangen ambek aku? Godaku pada Fuad

“Yo karo – karone lah, yo sumuk yo kangen, wis ndang rene, tak enteni nak gazebo
cidek e danau yo.

“Oke sayang aku tak rono.” Ujarku mengakhiri panggilan video lalu segera menuju
ke tempat dimana Fuad menunggu.

*****
Sudah menjadi kebiasaanku dan Fuad untuk berkeliling kota menaiki vespa tua
miliknya. Terkadang kami hanya berkeliling untuk hunting foto, atau wisata kuliner. jika
kami meiliki uang berlebih dari hasil bekerja part – time, maka kami berwisata alam keluar
kota mencari udara segar. Demi merayakan kelulusan Fuad, aku memutuskan berkeliling kota
bersama menaiki vespa tuanya.

“Puanase yo, isuk mau mandi koyok gak onok bekase.” sahut Fuad yang sedang
menyetir.

“Uenak e ngene iki mlipir nak jalan kranggan, tuku lontong balap ambek es degan.
Terus ampirno aku nak jalan semarang diluk tak tuku buku maringono.”

“Lontong balap sing nak pinggir dalan kranggan iku ta? Gak tambah sumuk ta pean
mangan nak pinggir dalan ngono?”

“Gaaak, santai ae, sing penting mangane ambek awakmu, beres pokok e.” Sahutku
dan memeluknya erat dari belakang. Aku tahu di depan sana, Fuad sedang tersenyum
lebar dan bahagia.

*****

Jalan Kranggan adalah jalan yang kerap kali ku lalui bersama Fuad saat akan berburu
buku murah di Kampung Ilmu yang terdapat di jalan Semarang. Setelah mendapatkan
bukunya kami memilih beristirahat sejenak di pedagang kaki lima yang menjual Lontong
Balap makanan khas Suroboyo yang rasanya tiada banding apalagi ditambah sate kerangnya.
Untuk menghilangkan rasa pedas yang di akibatkan oleh petis udangnya, es degan adalah
pilihan yang tepat sekaligus untuk menetralisir bagi yang alergi terhadap sate kerang.

Setelah mengisi ulang tenaga kami, Fuad mengarahkan vespanya menuju jalan
Semarang mengantarku mencari buku murah di kampung ilmu. Satu tempat dimana semua
pedagang buku murah berkumpul membuka kios, tempat ini cukup terkenal di kalangan
mahasiswa di Surabaya karena jika sedang beruntung maka bisa saja menemukan buku
langka yang sangat berharga.
“Nang endi maneh saiki?” tanya Fuad dari atas vespa padaku yang sudah menenteng
dua buah kresek hitam berisi buku.

“Yo sembarang, mulih ta?” tanyaku balik

“Wah jam semene mosok mulih, emane.” jawab Fuad.

Aku tidak menjawab. Hanya bersandar pada bahu kiri Fuad. Tangan kanan Fuad
berusaha merapikan anak rambutku yang tertiup angin ke balik telingaku, tetiba saja aku
mendengar gumaman Fuad pada dirinya sendiri ‘Cek ayune se bojoku iki, marai gemes.’ Aku
tersenyum dan membelai dagu fuad yang berambut tipis.

“Arep hadiah opo gawe kelulusanmu iki?” tanyaku pada Fuad, tanganku masih
membelai lembut dagunya.

“Nginep yuk, aku duwe promo voucher hotel cidek kampus.” Bisik Fuad tepat di
telingaku. Seketika itu juga, aku menatap langsung ke kedua bola matanya meminta
penjelasan benarkah ini yang dia minta? Dengan tegas, matanya mengatakan ya. Kini
pusaran tanya berbalik padaku, apakah aku mau memberikannya?

Cerita masa lalu Fuad terlintas di benakku, dia yang tidak pernah tahu siapa orang
tuanya dan menghabiskan masa kecil hingga remajanya di panti asuhan lalu akhirnya
memutuskan hidup mandiri dengan menyewa kamar kos sembari kuliah dan kerja serabutan
sebagai penerjemah dan pemandu wisata. Aku tahu bagaimana keras hidupnya tanpa ada
keluarga.

Hanya aku yang dia miliki sekarang, tegakah aku menolak permintaannya? Dengan
pakaian yang masih melekat di badan, kantong kresek hitam berisi buku murah, aku dan Fuad
menuju ke hotel dekat kampus kami, dengan kesadaran penuh dan tanpa paksaan, semua
terjadilah…

*****
Tak pernah terpikir sedikitpun olehku, Fuad akan berbuat sesuatu yang menyakitiku,
tapi nyatanya, sebulan setelah kami memutuskan menginap bersama tubuhku memberi tanda
bahwa ada buah cinta kami sedang bertumbuh dalam rahimku.

Ketika kuberitahu Fuad, ekspresi wajahnya sungguh sulit kutebak, tak ada jawaban
yang keluar dari mulutnya, dia hanya memelukku erat lama sekali dan satu permintaan maaf
yang ia bisikkan ditelingaku. Keesokan harinya, ponselnya tidak lagi bisa dihubungi, semua
media sosialnya menghilang, kucari ia di kantornya dan jawabannya ia telah resign sejak
semalam, kamar kos nya pun telah kosong, terbersit di kepalaku mencari ke bekas panti
asuhannya dan yang kudapati jawaban yang sama, tidak tahu.

Ketika aku kembali ke rumah, ada sepucuk surat dengan tulisan tangan Fuad
berbunyi ‘maaf, aku harus pergi, aku tak pernah kenal dengan orang tuaku, dan kini aku akan
menjadi orang tua, aku sungguh tak mengerti, lanjutkan hidupmu tanpaku Sekar, demi Aruna
anak kita.’

Bisakah kau membayangkan betapa hancur aku saat itu? Segala perasaan yang
kupikir hanya ada dalam cerita saja kini hadir di hidupku. Perasaan dilukai, hati yang patah,
kecewa dan sedih bertubi tubi. Aku sudah tak bisa berkata – kata.

*****

Selanjutnya yang kutahu hanyalah Ibu yang setengah mati memaksaku bangkit
berdiri lagi menghadapi kehidupan sekalipun aku tahu di kedua bolanya tersimpan segunung
kecewa, tapi cintanya padaku jauh lebih besar mengalahkan amarahnya. Perasaan itu yang
sedang ia tularkan kepadaku, agar aku kembali kuat untuk Aruna, bayi perempuan cantik
yang kini terlelap dalam buaianku.

Demi dirinya, aku memutuskan untuk memaafkanmu, berdamai dengan segala


perasaan tadi dengan cara memeluknya seperti dulu ketika aku memelukmu, kini telah
kupeluk semua perasaan itu, agar damai hidupku. Seandainya suatu hari nanti kamu
membaca tulisanku ini, pulanglah, bukan untukku, tetapi untuk Aruna, gadis kecil kita yang
berhak atas segala kasih sayang dari kedua orang tuanya. Sungguh, aku memaafkanmu
sayangku.

Anda mungkin juga menyukai