Anda di halaman 1dari 7

DARI JAKARTA KE BOGOR LEWAT HUTAN

/1/

Dalam kesehariannya manusia tidak dapat melepaskan dirinya dari bahasa, jika

bahasa sebagaimana sebuah pakaian maka pakaian itu sendirilah yang menjadi

penjara bagi sebuah makna, misalnya ketika seorang perempuan mengenakan rok, hal

itu menandakan bahwa dengan pakai tersebut si perempuan sedang membahasakan:

aku adalah seorang perempuan! begitupula dengan jilbab, niqab, cadar. Dan, bagi

lelaki dengan jenis pakaiannya tersendiri.

Ahli bahasa Indonesia kenamaan dari negeri ini, Gorys Keraf mengemukakan

pendapatnya, bahwa: bahasa merupakan komunikasi antar anggota masyarakat yang

berupa lambang bunyi ujaran dan dihasilkan dari alat ucap manusia. Kemudian, Plato

menjelaskan bahwa: bahasa pada hakikatnya adalah suatu pernyataan pikiran

seseorang dengan perantaraan nama benda atau sesuatu dan ucapan yang merupakan

cermin dari ide seseorang dalam arus udara lewat mulutnya.

Sedikit penulis sintesiskan antara dua pendapat yang dikemukakan di atas, yang

mana pendapat Gorys Keraf kental sekali dengan nuansa nilai kesosialan pada

sebuah bahasa, sedangkan yang dikemukakan oleh Plato lebih cenderung kepada nilai

keindividualan. Dan jika digabungkan dua pendapat ini dapat menghasilkan

pengertian yang terang. Silakan dilihat kata-kata yang dipertebal di atas, sehingga jika

digabungkan dapat disimpulkan bahwa: bahasa merupakan pesan dari dalam suatu
objek yang dilambangkan dengan bunyi ataupun simbol (tulisan) agar dapat diterima

dan dimengerti oleh suatu objek ataupun suatu komunitas.

Bahasa sejauh keberadaanya telah banyak digunakan oleh umat manusia,

hewan, jin, tumbuhan (dan manusia istimewa: penyair), sebagai instrumen untuk

berkomunikasi, ataupun membuat tulisan dari skripsi hingga puisi terkhusus oleh

manusia. Bahasa juga bersifat eksploratif, terutama dalam kesusatraan puisi di mana

bahasa mendapatkan perlakuan terjelajah dengan bentuk: pencaharian struktur

kalimat yang tidak biasa dan paduan kata yang tidak biasa, sehingga bahasa dapat

memberikan suatu sentuhan sense terhadap objek penerima pesan. Dan yang dapat

memberikan sense tersebut adalah unsur semi-kecil dalam sebuah bahasa adalah:

kata.

Dalam beberapa situasi di perpuisian, pemilihan kata menjadi suatu hal yang

sangat vital, tetapi di lain halnya lagi, ada pula diksi menjadi suatu hal yang tidak

penting, dengan catatan gagasan/tema/pesan dari sebuah puisi tersebut sangat unik

dan bagus (baca puisi Sapardi D. D.: Aku Ingin). Di bawah ini, akan diberikan

beberapa contohnya.
/2/

Berikut ini adalah contoh dari puisi dengan kata-kata yang terpilihnya
terkatregori biasa saja (sederhana).

RISALAH BUAH KHULDI

dusta menghadirkan manusia di sini


jika ingin ada di Sana
di sini harus jujur.

*Pungkas Yudha Susena 1437 H.

Jika dibaca berulang-ulang, puisi ini akan terkesan begitu telanjang, kerena

pemilihan katanya yang biasa (sederhana) sehingga pada taraf intepretasi peringkat

permukaan (ada golongan penyair yang berpahaman ada tiga peringkat

dalam interpretasi puisi), pesan dari puisi ini telah begitu terlihat dan dapat dipahami,

beda halnya ketika di dalam puisi ini dipilih kata yang lebih unik sehingga pesan

dari puisi ini tersampaikan dengan cara yang lebih rumit, namun di sisi lainnya

menimbulkan sense suasana yang indah bagi untuk pembacanya. Dan jikalaupun

mau, puisi ini dapat diubah perdiksiannya sehingga redaksinya menjadi seperti ini:

RISALAH BUAH KHULDI

pada saat itu, sinar mentari terbentang


tinggi di bawah pundak Hawa yang putih,
yang cahayanya itu malu-malu merambat
di rerumputan dan berajal pada warna
Khuldi yang segar, saat asmara Adam dan Hawa
tengah di puncak dahaga. lalu angin menjadi was-was
menerbangkannya ke bumi. di sini, mereka ingin
di Sana, untuk bersaksi atas angin yang menjadi
was-was. []
keduanya masih dalam bentuk puisi, tetapi manifestasi pesan dari cotoh puisi

yang kedua jauh lebih tertutup, atau dengan kata lain, pesannya menjadi buram sebab

disampaikan secara bias. Perhatikan (mohon perhatikan) contoh petikan puisi yang

pertama:

//dusta menghadirkan manusia di sini//

Siapa yang menjadikan manusia hadir dan di sini itu di mana? Jika dipahami

secara tematik, makna kalimat puisi ini adalah: manusia pertama yang didustai

(dihasut-porvokasi-dijerumuskan) oleh Iblis agar mendekati dan memakan buah

terlarang (Khuldi), sehingga manusia mendapatkan murka Yang Maha Memiliki

Larangan (Tuhan) dan dihukum untuk tinggal di sini adalah: bumi.

//jika ingin ada di (S)ana//

//di sini harus jujur.//

Dalam beberapa kasus dan budaya bahasa tulisan di Indonesia, atau juga

dikenal dengan litencia poetic, bentuk-bentuk pengkapitalan huruf adalah

penyengajaan seorang penyair untuk: memberikan penekanan, pensucian ataupun

pengagungan terhadap suatu hal. Maka //di (S)ana// yang dimaksudkan puisi ini

adalah Surga/Ar-Rsy. Maka makna dari kalimat dari puisi ini adalah, bahwa: untuk

dapat tinggal di surga (lagi) manusia harus menjadi makhluk yang jujur (tidak

pendusta seperti bangsa Iblis).

Dari intepretasi di atas, teranglah kiranya bahwa diksi sangat mempengaruhi

tingkat keterbukaan makna, sedangkan pada contoh puisi yang kedua, maknanya
memang tidak hilang dari pusisinya, hanya saja jika diinterpretasikan dengan

metode/pendekatan yang berbeda maka akan berbeda pula makna yang didapati,

sebab contoh puisi yang kedua jauh lebih bias walau sedikit lebih membuat gatal hati

ketika membacanya (maksudnya terhibur).

Namun di sisi lain, dengan kemewahan diksi yang ada pada contoh puisi

yang kedua, dari paduan kata-katanya telah memberikan suatu sense suasana

yang nyaman ketika dibaca. Silakan imajinasikan pundak Ibunda moyang kita (Siti

Hawa) yang begitu suci saat di Surga itu tersinari cahaya matahari, pada kalimat ini:

// pada saat itu, sinar mentari terbentang tinggi//

//di bawah pundak Hawa yang putih,//

Seputih apa? Sesuci apa? Ah, bahkan surga-Nya-pun tak dapat diterka keindahanya.

//yang cahayanya itu malu-malu merambat di rerumputan//

//dan berajal menyapa warna Khuldi yang segar,//

//saat asmara Adam dan Hawa tengah dahaga-dahaganya,//

suasananya semakin kuat bukan? Jika ya, maka fungsi diksi telah berkerja dengan
baik.

/3/

DARI JAKARTA KE BOGOR LEWAT HUTAN barangkali timbul

pertanyaan, apa maksud judul itu terhadap arikel puisi ini dan apa hubungannya?!

Yang pertama, kembali ke poin utama bahwa artikel ini membahas mengenai diksi
kegunaannya di dalam sebuah puisi. Maka judul itu untuk mandakan bahwa

pemilihan kata yang unik akan menjadi sense daya tarik terhadap para pembaca.

Bisa saja diberi judul untuk artikel ini seperti ini: DIKSI YANG BAIK MENJADI

DAYA TARIK PADA PUISI, tetapi bukankah artikel ini membahas tentang diksi,

lalu nagaimana mungkin dari judulnya saja sudah tidak berdiksi?!

Dari Jakarta ke Bogor, tentu ada akses jalan TOL, kereta api, kemudia jalan

raya dan jalan-jalan lainnya, namun sebagaimana puisi adalah tentang

mengeksplorasi bahasa maka jika memutuskan dari Jakarta ke Bogor lewat hutan

sudah barang tentu si musafir (penjelajah bahasa: penyair) itu akan menemukan

banyak hal: pohon yang beristirahat, jerit bunga rekah, suara sayap kepik, tupai yang

melamun, kupu-kupu yang berebut nektar dengan kumbang, tanah basah bercacing,

kaki seribu yang menggulung diri, cayaha matahari yang bersikukuh menembus rapat

dedaunan, dan perempuan yang menangis di tengah hutan (dan yang ini boleh kalian

bawa pulang) tinimbang melewati jalan TOL atau jalan raya yang riweh (ribet).

Banyak bukan? Ya, banyak sekali celah baru pada bahasa yang jika

terketemukan akan menjadi suatu keunikan. Diksi pada sebuah puisi sebaiknya unik

agar pesan yang terkurung dalam puisi itu menjadi lebih segar. Akhirul kalam, saya

sedikit beri contoh mengenai diksi, untuk menyatakan cinta kepada Ibu tidak harus

dengan berkata seperti ini: Ibuku, aku mencintaimu! Tetapi juga bisa dengan kata-

kata ini, ibuku, masakanmu lezat dan aku ingin selama mungkin memakan

masakanmu, agar tubuhku sehat sehingga aku bahagia, sebab aku tahu bu,
kebahagianku adalah kebahagiaanmu. Dengan cara seperti ini tidak ada salahnya

bukan? []

Pungkas Yudha Susena. 28 Jumadil Akhir 1438 H.

Anda mungkin juga menyukai