Anda di halaman 1dari 9

CINTA DALAM DIAM

Namaku Annisa, aku biasa dipanggil Nisa. Aku mahasiswi salah satu universitas di
Jakarta. Hari pertama masuk kuliah, di kelas ku melihat sosok pria yang misterius. Dia
tampan, sangat pendiam, putih, tinggi dan cukup menarik perhatianku dan juga rasa
penasaranku. Hari demi hari ku lalui, rasa keingintahuanku tentangnya pun terjawab. Pria itu
bernama Habibi, dia pintar dan aktif dikelas, aku kira dia orang yang pendiam, tapi ternyata
tidak juga. Lama kelamaan lincahnya terlihat, bawel, gokil pula, dan yang paling membuatku
terkaget adalah dia seorang pemain basket yang famous di kampus. Hmmm... Waw..!!
Dengan berjalannya waktu kita pun saling mengenal satu sama lain. Awalnya aku dan Habibi
sangat kaku sampai kemudian kami menjadi teman dekat bahkan lebih dekat dari sahabat.
Aku selalu menceritakan semua kejadian yang menimpaku dari cerita susah, senang, sedih,
dan sebagainya, begitu pula dengannya. Dia pria yang sangat baik dan mengerti aku. Dia
tempat curhat yang asyik, tempat sharing pelajaran yang menyenangkan, dan pria yang penuh
dengan kharisma sehingga banyak perempuan lain yang kagum padanya.
Aku seperti buntut baginya. Kemanapun dia pergi, aku selalu mengikutinya. Dari mulai dia
latihan basket, main dengan teman-temannya yang mereka juga termasuk temanku, dan
sampai satu organisasi pun bersama. Dia yang selalu ada saat aku membutuhkan bantuan.
Dari mulai meminta bantuan menyelesaikan tugasku, mengantarku pulang, sampai
menemaniku jalan-jalan. Seakan akan dia itu ambulance yang pada saat aku keluar dari pintu
gawat darurat, dia selalu ada. Banyak orang yang menyangka kita pacaran. Oh... itu tidak
mungkin, hahaha.

Sampai suatu hari, entah apa yang terjadi padaku? Ketika aku melihatnya sedang
bersiap-siap untuk latihan basket di Sport Center kampus, hatiku berdegup kencang, tanganku
berkeringat, lidahku kelu bahkan kakiku sampai gemetar, tak mampu ku melangkahkan kaki
untuk berpaling darinya. Ku tutup mataku agar aku mendapat ketenangan. Saat ku terpejam,
ada seseorang yang berkata.....
Nis, lagi apa berdiri disini? Kesana yuk.. Temenin aku latihan basket..

Serentak aku terkaget mendengar suaranya, kemudian kubuka mataku.


Eh... hehehe, Habibi.. Lagi diam aja, nyari tukang dagang nih lapar. Sanggahanku
Hahaha, Nis.. Nis.. Sejak kapan ada tukang dagang keliling masuk kampus? Ngaco nih
kamu, saking laparnya ya? Kamu mah lapar mulu deh perasaan. Yuk, aku traktir makan hehe
tetapi setelah selesai latihan ya! Hari ini aku jadi pemadam kelaparan kamu, hahaha
Ledeknya padaku
Eh... Iya, lupa. Hehehe, asyik... makan ditraktir... Jawabku
Aku berusaha bersikap seperti biasa dihadapannya, entah sampai kapan aku harus berpurapura dan berperang dengan hatiku sendiri. Oh... rasanya sangat tersiksa. Aku perempuan yang
memang agak sedikit tomboy, aku yang cuek akan keadaan sekitarku, aku yang kadang
memalukan diriku sendiri dengan tidak sadar, dan aku yang selalu bersikap paling heboh dan
gokil diantara teman temanku termasuk juga Habibi. Tapi sesaat kemudian, aku menjadi
sosok yang pendiam, jaga image, salah tingkah, dan lain lain jika berhadapan dengannya.
Oh.... itu sangat menyebalkan ketika secara tidak sadar aku menjadi orang lain yang amat
sangat jauh berbeda dari kepribadianku jika ada dia dihadapanku. Somebody help me???
Apa ini yang dinamakan cinta? Apa ini yang dinamakan kasih sayang? Apa ini???? Ssstttt....
Sudah cukup sampai disitu pertanyaanku. Rasanya perutku lapar jika aku selalu berpikiran
hal itu. Oh... tidak... Aku mencoba positive thinking akan keadaanku ini. Ya, agar semuanya
berjalan seperti biasanya. Hari demi hari ku lalui seperti biasanya, tugas kuliah yang
menumpuk, pekerjaan rumah seperti pembantu rumah tangga, menjadi pembisnis coklat
online, dan tentunya have fun dengan sahabatku Habibi walau aku harus merasakan perang
batin jika harus berhadapan dengannya.

Suatu hari, saat kami sedang kerja kelompok salah satu teman perempuanku
mendekati Habibi. Dia bertanya ini itu, ini itu, sampai bosan aku melihatnya bolak-balik
dihadapan Habibi. Geram rasanya melihat dia, ingin sekali aku menyingkirkannya. Rasa
kesal melandaku saat itu, seperti masuk kedalam lubang yang berisi kantung pasir tinju yang
siap ku hantam satu persatu. Aduh, perasaan ini timbul kembali. Aku benci.

Malam hari ku menulis puisi untuknya..


Kumencintaimu dalam diam.
Karena diamku tersimpan kekuatan harapan
Dan cintaku hingga saat ini masih terjaga
Mungkin Alllah akan membuat harapan ini menjadi nyata
Ku ingin cintaku dapat berkata
Dikehidupan yang nyata
Namun jika tak memiliki kesempatan berkata
Biar semua ini tetap diam jika kau bukan untukku
Aku yakin Allah akan menghapus cintaku
Dengan berjalannya waktu
Dan memberi rasa yang lebih indah untukku
Yang menjadi jalan takdirku
Biar cinta dalam diamku ini
Menjadi memori tersendiri
Dan relung hatiku menjadi tempat rahasia
Kau dan perasaan cintaku ini
Puisi ini mewakili semua perasaanku padanya. Aku hanya dapat berkata melalui tinta, dapat
berbicara melalui irama, dan dapat bercerita melalui karya. Satu satunya yang membuatku
seperti orang bisu yaitu perasaanku ini. Aku tidak ingin terobsesi memilikinya, karena itu
akan membuatnya pergi dariku. Cinta dalam diam yang memang tepat untukku. Dia tidak
tahu akan perasaanku, sikapnya yang menunjukkanku bahwa dia hanya menganggapku
sahabat. Itu tidak masalah untukku, karena berada didekatnya sudah lebih dari cukup. Melihat
tawanya, mendengar suaranya, dan merasakan kehadirannya sudah membuatku bahagia. Aku
mencintainya dalam diam, karena aku tak mau merusak semua ini.
Pada suatu hari di kampus, Habibi memintaku untuk menemaninya pergi ke suatu tempat.
Ternyata ada sesuatu yang ingin dia beli, kita pergi ke pasar bunga dan membeli 1 rangkaian
bunga mawar yang akan dia berikan untuk hari ulang tahu ibunya. Setelah dia
mendapatkannya, dia petik satu bunga mawar merah untukku.
Ini buat kamu, Nis. Sambil memberikan bunga mawar merah itu.

Lah? Buat aku? Untuk apa? Tanyaku terheran heran.


Tanda terimakasih karena sudah menemaniku kesini Jawab Habibi.
Oh begitu. Baiklah.. Terima kasih ya untuk bunga-nya. Ku tersipu malu.
Sungguh hari yang amat sangat luar biasa untukku.. Hahahaha aku mendapatkan satu bunga
mawar dari seorang Habibi? Rasanya seperti melayang ke udara bersama awan-awan putih
selembut salju yang menjadi bantalanku, dan turun kembali ke bumi dengan pelangi indah
warna0warni yang menjadi perosotanku, ihihihihi. WHOA!! Its amazing.. Ya walau
sebenarnya ku tau itu tak ada arti apa apa untuknya. Tapi untukku? Itu sangat berarti..
Kusimpan bunga mawar itu diatas meja belajarku, disamping fotoku dan Habibi. Rasanya itu
sangat serasi. Meja belajarku adalah tempat baru yang menyenangka kedua setelah tempattempat menyenangkan yang ku lalaui dengan Habibi. Karena meja belajarku adalah saksi
bisu dari semua pengakuan atas perasaanku. Setiap hari kutuliskan diary atas namanya, tak
pernah ku bosan menulis nama Habibi dalam diary ku walau berjuta kali banyaknya. Dan
fotoku dengan Habibi yang bersender bunga mawar merah menjadi pemandangan yang
menyejukkan hati

Aku masih bingung, apa yang harus ku lakukan? Sungguh ini sangat menyiksa
batinku.. Ketika pada suatu sore, setelah pulang kampu kami pulang bersama. Seperti biasa,
jalur taman kota yang kami lewati. Karena suasana sore hari di taman kota sangat
menyenangka. Ku berfikir disitu tempat yang tepat untuk mengutarakan perasaanku. Walau
ku cegah adanya pertanyaan padanya seperti: apa pendampat Habibi tentangku? Bagaimana
perasaan Habibi ke aku? Apa Habibi mau menjalin hubungan denganku? Tidak ingin ku
lontarkan pertanyaan itu. Kami tertawa sepanjang perjalanan, dan dia memang bakat menjadi
pelawak,

hahaha.

Saat

kami

sedang

berjalan

santai

di

taman,

tiba-tiba..

Aaaaa........ Ku menjerit saat Habibi mendorongku ke pinggir jalan. Ternyata sebuah motor
hampir menabrakku, dan Habibi melindungiku. Tapi saat ku lihat dia, ternyata motor itu
menabrak Habibi. Betapa shocknya aku melihat dia tergeletak tak berdaya dijalan, dengan
mata yang terpejam, dan tak sadarkan diri. Aku yang terjatuh dijalan kemudian bergegas lari
menghampirinya, tak peduli betapa sakitnya kakiku terbentur batu. Dengan jalan yang
terpincang pincang, ku kuatkan diri menghampiri Habibi. Habibi... Habibi.... Teriakku

padanya sambil menolongnya. Ingin ku berkata sesuatu, tapi lidahku terlalu kelu. Seakan
hanya namanya yang dapat ku panggil dengan jelas dan lancarnya. Ya, hanya namanya saja.
Air mataku meleleh membentuk anak sungai di pipiku. Ini adalah peristiwa yang sangat
membuatku terpukul. Ya Allah, tolong aku. Jangan kau ambil dia pergi dari sisiku dan
sampai kau ambil dia ke sisimu. Apa yang harus ku lakukan tanpanya? Aku akan merasa
bersalah, dan penyesalan yang amat sangat mendalam karena perasaanku tak dapat berkata
dikehidupan nyata..
Serentak ku panggil ambulance untuk membawanya ke Rumah Sakit. Dia yang jadi
ambulance ku saat aku keluar dari pintu gawat darurat, sekarang aku yang memanggil
ambulance untuknya? Sungguh menyedihkan.. Aku terdiam sepanjang perjalanan menuju ke
Rumah Sakit. Entah apa yang harus aku lakukan untuk membantunya bangun kembali? Apa
canda tawa tadi adalah hal terakhir yang kulakukan dengan Habibi? Apa tadi adalah terakhir
kalinya aku mendengar suaranya? Dan melihatnya? Aku mengingat semua kenangan bersama
Habibi, kenangan manis yang tak akan bisa terlupakan.
Setiba dirumah sakit, kegelisahanku makin menjadi-jadi. Setelah ku hubungi
keluarganya, aku menangis dalam dekapan ibunya. Ya, kami memang sudah akrab satu sama
lain bahkan seperti anak dan ibu sendiri. Di luar pintu GAWAT DARURAT, ku menunggu
dengan kegelisahan, tatapan yang penuh dengan sejuta harapan pada satu orang yang keluar
dari pintu itu. Semoga aku dapat menjadi ambulance saat Habibi keluar dari pintu gawat
darurat, karena biasanya dia yang melakukan itu. Tapi kali ini, aku yang harus menggantikan
tugasnya. Saat ada seseorang keluar...
Dokter, bagaimana keadaan temanku? Apa dia baik baik saja? Apa dia selamat? Apa dia
sehat sehat saja? Tanyaku pada dokter itu
Maaf, kami tidak dapat menolongnya. Benturan dikepalanya sangat keras, tak ada darah
yang keluar, tapi darah itu bergumpal banyak diotaknya. Jawab dokter.
Serentak hal itu membuat harapanku menjadi hancur berkeping keping..
Kami ingin melakukan pembedahan, tapi waktu yang tidak memungkinkan. Dia
menghembuskan nafas terakhir dan membaca dua kalimat sahadat dan memanggil nama
Nis. Siapa itu? Jelas dokter padaku

Nis? Namaku Nisa, dok. Sampai tersedu-sedu ku berkata


Sungguh dia pria yang mengagumkan. Saat keadaannya sekarat, dia masih mengingat Allah
dan kamu. Ucap dokter padaku.
Lekas ku berlari menghampiri Habibi yang sudah terbaring tak bernyawa. Air mataku
semakin deras membasahi pipiku. Aku tak dapat berkata apapun lagi. Langsung keluarganya
membawa dia kerumah, dan mengurus jenazahnya. Sungguh, aku tak ingin melihatnya dalam
posisi di balut kain putih dan wajah yang pucat. Aku penakut, dan tak ingin melihatnya. Tapi
ku kuatkan diri untuk selalu mendampingi disisinya sampai tanah terakhir menutupi
kuburnya.
Hanya doa yang bisa kulantunkan. Keikhlasan yang selalu ku genggam. Kekuatan yang jadi
tumpuan, dan kenangan yang menjadi senyuman..

Perubahan kepribadianku serentak berubah. Aku menjadi sosok yang pendiam, cuek,
dingin, dan menjauh dari apa yang ada hubungannya denganku dan Habibi. Rasanya itu
sangat menyiksa, dan penyesalan terbesarku yaitu karena aku belum sempat mengutarakan
persaanku sampai dia menutup mata. Teman-temanku berkata padaku bahwa Habibi sangat
mencintaiku. Tapi dia tak mau mengatakannya karena takut merusak persahabat kita, dan
yang paling ia tidak mau yaitu menjalin hubungan terlarang yang dapat merusak izzah dan
iffahku. Habibi yang selalu hadir dalam mimpiku dan membuatku semakin bersedih. Temanteman yang silih berganti menghiburku bahkan tak sanggup membuatku tersenyum. Bunga
mawar merah dan foto yang terletak dikamarku menjadi tempat pelamunanku mengingat
kenangan manis bersamanya. Semakin lama, semakin layu. Tapi tak ku buang, bunga itu ku
simpan baik-baik.
Ku jalani hari dengan kesendirian.. Tanpa seorang sahabat yang mengisi ruang dan
waktu. Rasanya ku ternanam menahan luka yang dalam. Hampir saja ku mati rasa padamu,
dan hilangkan relung hatiku. Ketika kau mencintai seseorang, katakan padanya. Tak usah
takut akan apapun resikonya. Tapi ingat, janganlah kamu memberinya pertanyaan apapun. Itu
akan membuatmu gelisah. Cukup dengan kau jujur atas perasaanmu, itu sudah sangat
mengurangi beban hatimu.

Satu tahun kemudian, tetap tak ada perubahan padaku. Aku belum kembali seperti
dulu, tak ada aku yang ceria, tak ada aku yang bawel, tak ada aku yang gila. Seakan
semuanya terkubur bersama kenangan manis disisinya. Pada pagi hari, 12 Februari 2013 saat
pergi kuliah, aku melihat sosok pria yang menggunakan baju basket berwarna merah putih
dengan nomor 19. Aku terkaget saat sosok Habibi yang ada dihadapanku. Ku lihat kembali
dengan kesadaranku, ternyata bukan.. Hanya pakaian dan posture badannya saja yang
sepintas mirip. Aku lewat dihadapannya dengan sedikit tersenyum, diapun membalas
senyumanku. Pria itu membuatku penasaran. Pada sore hari saat pulang kuliah, hal yang
memalukan terjadi. Pada saat itu aku sedang asik chatting-an dengan temanku. Tiba tiba saat
ku berjalan..
Awas..... Teriak seorang pria dihadapanku.
Sejenak ku terdiam dan melihat kedepan. Hampir saja aku terjatuh pada kubangan air.
Hahaha, itu sangat memalukan! Saat kulihat pria itu, ternyata dia pria yang tadi pagi ku
temui.
Hati hati ya jalannya Dengan lembut dia memperingatkanku.
Rasanya sangat memalukan, kejadian yang tak kulupakan. Rasa penasaranku padanya
semakin menjadi-jadi. Aku cari tahu tentangnya. Dia bernama Rio, kakak tingkatku. Ternyata
kami satu jurusan.. Rasanya aku belum pernah melihatnya. Ya, bagaimana aku tahu, setelah
kuliah saja aku pulang ke rumah karena tidak ada tempat lagi yang kutuju. Dulu selagi Habibi
ada banyak tempat yang terjelajahi bersamanya. Seakan akan, semua tempat itu menjadi
neraka untukku, dan aku tak ingin pergi kesana lagi.

Hari demi hari ku lalaui seperti biasa, sedikit ada perubahan. Aku mulai tersenyum,
setelah kejadian memalukan itu. Teman-teman sekelasku senang akan adanya perubahanku.
Aku selalu memata-matai Rio saat dia di kampus, di kelas, bahkan saat bermain basket.
Rasanya sosok Habibi masuk kedalam dirinya. Oh.... tidak mungkin, tak ada yang bisa
menandingi Habibi dimataku. Tempat favorit Habibi latihan basket itu di Sport Center

kampus, tapi mengapa Rio juga sering berlatih disitu? Padahal di samping kampus ada
lapangan basket. Apa benar Rio adalah jelmaan dari Habibi? Oh.... sungguh mengherankan.
Makin kesini, aku makin mencari tahu tentangnya. Dari mulai tempat tinggalnya, jadwal
kuilahnya, tempat favoritnya, hobinya, sampai makanan kesukaanya. Nah loh? Kok mirip
Habibi ya? Tidak mungki itu Habibi, tapi semuanya ada hubungannya dengan Habibi. Ku
yakinkan bahwa Habibi adalah Habibi, tak ada orang yang menyamainya dan Rio adalah Rio,
orang yang kebetulan, ya seperti itu adanya. Rasa kagumku pada Rio semakin besar, tapi
bukan berarti ku melupakan Habibi. Tidak sama sekali. Habibi abadi tersimpan disisi lain
relung hatiku. Aku yang selalu menguntupi Rio kemana ia pergi. Kejadian yang sama saat
dulu bersama Habibi, tapi perbedaannya aku menguntip Rio diam-diam, hehe.
Selalu saja begitu setiap hari. Ku luangkan waktu untuk mengikutinya pergi. Sampai ku
berpikir aku akan memberikan satu bunga mawar merah untuknya. Aku tak ingin perasaanku
ini menyiksa diriku seorang diri. Mungkin jika ku utarakan padanya, dia bisa sedikit mengerti
aku dan mengurang bebanku. Dan akhirnya kuputuskan untuk mengutaraknnya, aku
membawa satu tangkai bunga mawar yang menjadi kekutanku yang mengingatkanku pada
Habibi. Tapi saat ku berjalan di depan rumahnya, aku melihatnya bersama perempuan lain.
Dia mengajak perempuan itu kerumahnya. Apa perempuan itu.....? Tak sanggup ku lanjutkan
kalimatku. Bunga mawar yang ku genggam, serentak jatuh bersama semua anganku. Hancur
lebur, membentuk butiran debu.Apa ini takdirku? Apakah Allah memang menahan
perasaanku hanya untuk Habibi, dan sengaja membuatku hancur karena Rio (?). Ku duduk
terdiam memetik kelopak bunga mawar.

Memang benar, cintaku pada Habibi tak memiliki kesempatan untuk berkata. Bukan
berarti dia bukan untukku, tapi memang Allah mencegahku untuk mengatakan dikehidupan
yang nyata, dan mungkin memberi kesempatanku berkata di kehidupan yang abadi,
selamanya. Bunuh diri? Hahaha, bodoh! Itu adalah kata yang ku benci. Mungkin Allah
merencanakan sesuatau dengan Habibi. Dia yang tak ingin aku menjalin hubungan terlarang
(pacaran) dengan lelaki lain, karena Dia mencintaiku, dan hanya ingin bersamaku di ikatan
yang halal bagiku. Biarlah saat ini ku belajar jauh darinya di dunia ini, dia mengajarkanku
kesabaran dan keikhlasan. Mungkin Dia sedang menguji cintaku, Dia sengaja membiarkanku
hidup agar rasa rinduku semakin dalam untuk-Nya, dan suatu saat nanti jika kita bertemu,

rindu itu akan lenyap dan berubah menjadi butiran cinta juga kehidupan yang baru. Aku
hanya perlu menyandarkan cinta dan harapan pada Allah..
Allah yang mengatur semua yang ada di bumi, di langit, dan seisinya, termasuk aku.
Hidup ini bagai drama yang dibuat oleh Allah, dan Allah sebagai sutradaranya. Aku yakin
setelah ini akan ada keajaiban indah dan pasti suatu saat akan tiba saatnya aku memiliki
seorang pujaan hati yang memiliki 1 tulang rusuk di dalam diriku, karena tulang rusuk yang
diciptakan Allah itu tidak akan pernah tertukar.

- THE END -

Anda mungkin juga menyukai