Anda di halaman 1dari 25

TUGAS INTERNASIONAL

SANGKETA MAKHAMAH INTERNASIONAL DALAM


MENYELESAIKAN MASALAH

Disusun oleh :

Fadhil Mahendra

010116 276

Dio haryna

010115042

Fakultas Hukum

Universitas Pakuan Bogor

2018
Daftar Isi

Halaman

Latar Belakang

Permasalahan

Pembahasan

Negosiasi
Pencarian Fakta

Jasa-jasa baik

Mediasi

Konsiliasi

Arbitrase

Pengadilan Internasional

Mahkamah Internasional dalam menyelesaikan-

Sengketa Internasional

Kesimpulan

Referensi

BAB I

LATAR BELAKANG

Pesatnya globalisasi mendorong negara-negara di seluruh dunia untuk saling


melakukan hubungan, baik bilateral maupun multilateral. Dalam hubungan tersebut
terkadang timbul sengketa-sengketa yang dalam penyelesaiannya memerlukan
pihak ketiga. Maka dibentuklah Mahkamah Internasional sebagai pihak ketiga
dimana keputusannya wajib ditaati oleh pihak-pihak terkait yang bersengketa.

Dalam suatu interaksi atau hubungan hukum antara subjek hukum yang satu dengan
yang lainnya baik negara maupun non negara, tidak terlepas dari suatu
kemungkinan bahwa hubungan hukum tersebut berjalan secara tidak harmonis dan
lancar sebagaimana yang direncanakan dan diharapkan oleh pihak-pihak yang
terlibat. Yang akhirnya timbul sengketa internasional yang dapat berimplikasi pada
gangguan terhadap perdamaian dan kestabilan berbagai bidang baik politik, sosial
maupun ekonomi di negara lainnya. Sebagaimana Perang Dunia pertama dan kedua
yang diakibatkan oleh sengketa pihak-pihak di kawasan regional.

Penyelesaian sengketa secara damai ini berlandaskan hukum yang berlaku yaitu :
Pasal 2 ayat (3) jo Pasal 2 (6) Piagam PBB; Pasal 2 ayat (4) jo Pasal 1 ayat
(1) Piagam PBB; Pasal 33 ayat (1) Piagam PBB; Hague Convention for the
Pasific Settlement of Dispute of 1899 and 1907; Bryan and Kellogs Pact dalam
Paris Treaty 1928; U.N.G.A Resolutions 2627 (XXV), 24 Oktober 1970, 2744
(XXV), 16 December 1970, 2625 (XXV) on Declaration of Principles of
International Law Concering Friendly Relations and Cooperation Among State in
accordance with the charter of the United Nations, 40/9 of 8 November 1985,
37/10 on Manila Declaration on the Peacful Settlement of International Disputes,
43/51 on Declaration on the Prevention and Removal of Disputes and Situations
which may Threaten International Peace and Security and on the Role of the United
Nations in this Field, 46/59 on Declaration on the Fact Finding by the United
Nations in the Field of Maintenance of International Peace and Security, dll.

Penyelesaian sengketa internasional secara damai merupakan opsi yang lebih baik
karena cenderung unruk tidak menimbulkan suatu konflik atau permasalahan yang
baru diantara pihak-pihak yang terlibat. Serta sebagaimana adanya landasan hukum
bagi penyelesaian sengketa internasional yang telah ditetapkan seperti halnya
diatas, maka akan cenderung lebih mudah dilaksanakan.
Mahkamah Internasional memiliki kedudukan yang sederajat dengan lembaga-
lembaga utama PBB yang lainnya, yaitu Majelis Umum, Dewan Keamanan, Dewan
perwalian, Sekretariat Jenderal dan Dewan Ekonomi dan Sosial. Maka dari itu
Mahkamah Internasional bukan merupakan badan peradilan umum PBB yang
bersifat memaksa terhadap lembaga lainnya. Mahkamah hanya memiliki
kewenangan untuk memberi nasihat apabila diminta dan pemberian nasihat itu tidak
mengikat atau memiliki kedudukan lebih tinggi dari keputusan Majelis Umum
PBB. Demikian juga halnya dalam pemeriksaan berbagai perkara yang diajukan
kepada Mahkamah InternasioNal maka lembaga-lembaga PBB lainnya tidak boleh
mencampuri urusan Mahkamah. Sebagai salah satu lembaga utama PBB
terbentuknya Mahkamah Internasional tidak terlepas dari tujuan dibentuknya PBB.
Tujuan diatas menegaskan perlunya dibentuk suatu lembaga atau badan peradilan
yang diberi wewenang menyelesaikan sengketa secara damai.

BAB II
PERMASALAH

Penyelesaian sengketa internasional melalui jalan damai dapat ditempuh dengan


berbagai cara. Karena banyaknya pilihan tersebut, seringkali kita salah memahami
ataupun mengidentikkan cara yang satu dengan yang lainnya. Maka dengan
makalah ini akan dijelaskan masing-masing cara penyelesaian sengketa dan
bagaimana mahkamah internasional dalam urusan sengketa internasional.
Sengketa (dispute) adalah adanya pertentangan atau perbedaan kepentingan antara
dua atau lebih subjek yang mana ada pihak merasa dirugikan atas suatu tindakan
tertentu. Sengketa internasional menurut J.G. Starke tidak hanya sengketa antara
negara dengan negara lainnya. Tetapi juga kasus-kasus sengketa dalam ruang
lingkup pengaturan internasional. Yakni dengan subjek negara, individu, badan
atau organisasi baik milik negara maupun bukan negara.

Cara-cara penyelesaian sengketa secara damai antara lain adalah sebagai berikut:

1. Negosiasi
2. Pencarian Fakta
3. Jasa-jasa baik
4. Mediasi
5. Konsiliasi
6. Arbitrase

Pengadilan Internasional

Cara penyelesaian sengketa nomor satu hingga nomor enam diklasifikasikan


menjadi penyelesaian sengketa dengan jalur politik, sedangkan sisanya
diklasifikasikan menjadi penyelesaian sengketa dengan jalur hukum[1]. Selain
penyelesaian sengketa secara damai dengan jalur politik dan hukum seperti halnya
diatas, ada beberapa cara penyelesaian sengketa dengan jalur non damai. Tidak
hanya dengan perang atau menggunakan kekuatan militer, tetapi juga pemutusan
hubungan diplomatik, retorsi, blokade, embargo dan reprisal (pembalasan).

III. Pembahasan

1. Negosiasi

Negosiasi adalah cara penyelesaian sengketa yang paling dasar


dan yang paling tua digunakan oleh umat manusia. Negosiasi seharusnya
merupakan langkah yang paling utama dan pertama kali diambil dalam setiap
penyelesaian sengketa internasional. Selain tidak akan merusak citra di mata dunia
internasional bagi suatu pihak, cara negosiasi tersebut ditempuh dengan alasan
utamanya yaitu karena pihak-pihak yang terlibat dapat saling mengawasi satu sama
lain dalam melaksanakan aturan dan prosedur yang harus dijalankan dan setiap
penyelesaian dan pengambilan keputusan berdasarkan pada perjanjian atau
kesepakatan (konsensus) diantara pihak-pihak yang terlibat.[2]

“Cara ini dapat pula digunakan untuk menyelesaikan setiap


bentuk sengketa: apakah itu sengketa ekonomi, politis, hukum,
sengketa wilayah, keluarga, suku, dll. Bahkan, apabila para pihak
telah menyerahkan sengketanya kepada suatu badan peradilan tertentu, proses
penyelesaian sengketa melalui negosiasi ini masih dimungkinkan untuk
dilaksanakan”[3]

Huala adolf dalam bukunya Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional membagi


penyelesaian sengketa internasional dengan cara diplomasi menjadi 2 bentuk, yaitu
bilateral atau dua pihak yang terlibat (negara) dan multilateral yang terdiri dari lebih
dari 2 pihak yang terlibat di dalam negosiasi. Negosiasi tersebut dapat dijalankan
melalui saluran-saluran diplomatik, konferensi, maupun lembaga serta organisasi
internasional. Secara lebih lanjut, beliau menjelaskan bahwa cara penyelesaian
sengketa internasional juga memiliki beberapa kelemahan utama, yang pertama
adalah ketidakseimbangan kedudukan pihak yang terlibat. Di mana pihak yang kuat
dapat menekan pihak yang relatif lebih lemah atau dengan kata lain pihak yang
memiliki bargaining power yang lebih tinggi akan diuntungkan dan hal ini sering
kali terjadi di dunia internasional. Kemudian sisi kelemahan jalur negosiasi yang
kedua adalah proses negosiasi itu sendiri cenderung memakan waktu yang relatif
lama, dan jarang sekali ada penetapan batas waktu mengenai penyelesaian sengketa
melalui negosiasi. Yang ketiga adalah pihak-pihak yang terlibat saling memaksakan
kepentingannya atau memegang teguh pendirian dan kepentingannya sehingga
jalannya negosiasi ini menjadi tidak produktif karena tidak mendapatkan suatu hasil
yang tepat bagi pihak-pihak yang bersengketa.

2. Pencarian Fakta
Faktor dari munculnya sengketa internasional tersebut sangat beraneka ragam. Bisa
bermula dari perbedaan pandangan, kepentingan, hak dan kewajiban maupun
kesalahpahaman antar pihak-pihak yang terlibat dan saling mempertahankan
dirinya masing-masing atau saling memaksakan kehendaknya.

“Oleh sebab itu dengan memastikan kedudukan fakta yang


sebenarnya dianggap sebagai bagian penting dari prosedur
penyelesaian sengketa. Dengan demikian para pihak dapat
memperkecil masalah sengketanya dengan menyelesaikannya melalui
suatu Pencarian Fakta mengenai fakta-fakta yang menimbulkan
persengketaan.”[4]

“Karena para pihak pada intinya mempersengketakan perbedaan-


perbedaan mengenai fakta, maka untuk meluruskan perbedaan-
perbedaan tersebut, campur tangan pihak lain dirasakan perlu
untuk menyelidiki kedudukan fakta yang sebenarnya. Biasanya para
pihak tidak meminta pengadilan tetapi meminta pihak ketiga yang
sifatnya kurang formal. Cara inilah yang disebut dengan Pencarian Fakta
(inquiry atau fact-finding)”[5]

Langkah pencarian fakta ini ditempuh oleh pihak yang bersengketa apabila telah
menggunakan langkah negosiasi tetapi belum mendapatkan penyelesaian bagi
pihak yang bersengketa tersebut. Maka pihak ketiga sebagai pencari fakta (fact
finding) dapat melihat fakta-fakta yang ada secara objektif.

Berdasarkan pada The Hague Convention for the Pacific Settlement of


International Disputes (Konvensi Den Haag tentang Penyelesaian Perselisihan
Internasional Pasifik) tahun 1907 Pasal 35, pencari fakta ini bukanlah suatu
penyelesaian akhir atau keputusan, karena hanya mengangkat fakta-fakta yang ada.
Dan dalam Pasal 50 Statuta Mahkamah Internasional, yang dapat menjadi pencari
fakta adalah individu atau badan, biro, komisi atau organisasi lain yang dapat
ditunjuk, dengan tugas penyelidikan atau memberikan pendapat ahli.[6]
3. Jasa-jasa baik

Huala adolf dalam bukunya Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional


menjelaskan bahwa penyelesaian sengketa internasional menggunakan cara ini
memiliki tujuan utama untuk mempertemukan pihak-pihak yang bersengketa untuk
bernegosiasi, tetapi langkah negosiasi ini diupayakan oleh pihak ketiga. Pihak
ketiga di sini dapat terlibat baik dengan kehendak atau inisiatifnya sendiri maupun
dengan cara diminta oleh pihak-pihak yang bersengketa. Lebih lanjut, jasa-jasa baik
ini merupakan langkah yang sudah banyak dikenal di dunia internasional, terutama
di kalangan pihak-pihak swasta dan subyek-
subyek hukum ekonomi internasional di samping negara.

4. Mediasi

“Mediasi adalah proses negosiasi penyelesaian masalah (sengketa) dimana suatu


pihak luar, tidak memihak, netral, tidak bekerja dengan para pihak yang besengketa,
membantu mereka (yang bersengketa) mencapai suatu kesepakatan hasil negosiasi
yang memuaskan.” (Goodpaster, 1999 : 241)[7]

Jadi mediasi merupakan suatu cara penyelesaian sengketa internasional melalui


pihak ketiga yang dapat berupa negara, badan atau organisasi internasional, maupun
individu yang berkompeten dalam penyelesaian sengketa tersebut. Dengan asumsi
pihak ketiga adalah netral posisinya, upaya untuk menyelesaikan sengketa adalah
dengan memberikan usulan atau saran-saran. Mediator akan terus memberikan
saran hingga mendapatkan solusi terbaik bagi penyelesaian sengketa. Karena,
fungsi mediator di sini memiliki fungsi utama sebagai pencari berbagai solusi,
mengidentifikasi hal-hal yang dapat disepakati, dan usulan-usulan terhadap pihak-
pihak yang bersengketa yang dapat mengakhiri sengketanya tersebut. Prosedur
dalam melaksanakan mediasi adalah sebagaimana prosedur dalam melaksanakan
negosiasi, yakni para pihak-pihak yang terlibat bebas untuk menentukan
prosedurnya masing-masing yang disepakati bersama. Dikarenakan yang terpenting
dalam mediasi adalah terciptanya kesepakatan bersama serta terciptanya usulan-
usulan mediator demi terciptanya penyelesaian bagi pihak-pihak yang
bersengketa.[8]

“Pasal 3 dan 4 the Hague Convention on the Peaceful Settlement


of Disputes (1907) menyatakan bahwa usulan-usulan yang diberikan
mediator janganlah dianggap sebagai suatu tindakan yang tidak
bersahabat terhadap suatu pihak (yang merasa dirugikan). Tugas
utama mediator dalam upayanya menyelesaikan suatu sengketa adalah
berupaya mencari suatu kompromi yang diterima para pihak.”

1. 5. Konsiliasi

“Konsiliasi adalah cara penyelesaian sengketa yang sifatnya


lebih formal dibanding mediasi. Konsiliasi adalah suatu cara
penyelesaian sengketa oleh pihak ketiga atau oleh suatu komisi konsiliasi yang
dibentuk oleh para pihak.
Komisi tersebut bisa yang sudah terlembaga atau ad hoc
(sementara) yang berfungsi untuk menetapkan persyaratan-
persyaratan penyelesaian yang diterima oleh para pihak. Namun putusannya
tidaklah mengikat para pihak”[9]

Huala adolf dalam bukunya Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional dalam


persidangan konsiliasi, terbagi menjadi dua tahap. Yaitu tahap tertulis dan tahap
lisan. Tahap tertulis adalah penyerahan sengketa ke badan konsiliasi. Sedangkan
tahap lisan adalah pada tahap badan konsiliasi mendengarkan keterangan lisan dari
para pihak yang terlibat dalam sengketa internasional tersebut secara lisan, pihak
yang hadir dan memberikan keterangan tersebut dapat hadir secara langsung
maupun diwakili kuasanya. Kemudian, fakta-fakta yang diperoleh selama konsiliasi
tersebut, akan diberikan kembali kepada para pihak yang bersengketa dengan
disertai kesimpulan serta usulan atau saran yang dapat dipertimbangkan oleh para
pihak yang bersengketa. Tetapi, sekali lagi saran tersebut bersifat tidak mengikat,
karena hanya merupakan usulan yang persetujuannya maupun pelaksanaannya
tergantung pada kesepakatan para pihak yang terlibat dalam sengketa.

1. 6. Arbitrase

“Arbitrase adalah penyerahan sengketa secara sukarela kepada


pihak ketiga yang netral serta putusan yang dikeluarkan sifatnya
final dan mengikat. Badan arbitrase dewasa ini sudah semakin populer dan
semakin banyak digunakan dalam menyelesaikan sengketa-sengketa internasional.
Penyerahan suatu sengketa kepada arbitrase dapat dilakukan
dengan pembuatan suatu compromis, yaitu penyerahan kepada
arbitrase suatu sengketa yang telah lahir; atau melalui pembuatan suatu klausul
arbitrase dalam suatu perjanjian sebelum sengketanya lahir (clause
compromissoire)”[10]

Arbitrator adalah hasil kesepakatan para pihak yang bersengketa, memilih mereke
yang berkompeten di bidang sengketa tersebut. Memilih siapa arbitratornya adalah
hak penuh dari pihak yang terlibat sengketa. Setelah arbitrator yang disepakati
ditunjuk, maka arbitrator tersebut selanjutnya menetapkan terms of refernce atau
aturan permainan (hukum acara) yang menjadi patokan dalam jalannya arbitrase.
Terms of refernce ini memuat pokok masalah yang akan diselesaikan, kewenangan
arbitrator (jurisdiksi) dan aturan-aturan (acara) sidang arbitrase.[11]

“Mekanisme penyelesaian sengketa melalui arbitrase sudah


semakin meningkat. Dari sejarahnya, cara ini sudah tercatat sejak
jaman Yunani kuno. Namun penggunaannya dalam arti modern dikenal
pada waktu dikeluarkannya the Hague Convention for the Pacific Settlement
of International Disputes tahun 1989 dan 1907. Konvensi ini melahirkan suatu
badan arbitrase internasional yaitu Permanent Court of Arbitration.”[12]

7. Pengadilan Internasional

Cara penyelesaian sengketa internasional dengan cara melalui pengadilan


internasional merupakan suatu langkah yang diambil oleh para pihak yang
bersengketa apabila telah menggunakan cara-cara penyelesaian sengketa
internasional secara damai di atas, tetapi masih belum mendapatkan hasil atau
kesepakatan bagi para pihak yang terlibat sengketa tersebut.

Menurut Huala Adolf dalam bukunya Hukum Penyelesaian Sengketa


Internasional, pengadilan internasional dapat dibagi ke dalam dua kategori, yaitu
pengadilan permanen dan pengadilan ad hoc atau pengadilan khusus.
Sebagai contoh pengadilan internasional permanen adalah Mahkamah
Internasional (the International Court of Justice).
Kedua adalah pengadilan ad hoc atau pengadilan khusus.
Dibandingkan dengan pengadilan permanen, pengadilan ad hoc atau khusus ini
lebih populer, terutama dalam kerangka suatu organisasi
ekonomi internasional. Badan pengadilan ini berfungsi cukup
penting dalam menyelesaikan sengketa-sengketa yang timbul dari perjanjian-
perjanjian ekonomi internasional.

8. Mahkamah Internasional dalam menyelesaikan Sengketa


Internasional

Badan atau Lembaga peradilan internasional dapat dilakukan oleh Mahkamah


Internasional karena merupakan satu-satunya pengadilan tetap yang dapat
digunakan negara dalam masyarakat internasional. Jadi yang bisa mengajukan
perkara ke Mahkamah Internasional adalah

Mahkamah International (International Court of Justice) merupakan badan


kehakiman yang penting dalam PBB yang berlokasi di Den Haag, Belanda.
Mahkamah merupakan badan kehakiman yang terpenting dalam PBB. Mahkamah
internasional menyelesaikan sengketa internasional secara hukum.
Dalam hukum internasional,penyelesaian secarahukum dewasa ini dapat ditempuh
melalui berbagai cara atau lembaga, yakni: Permanent Court of International of
Justice (PCIJ atau Mahkamah Permanen Internasional), International Court of
Justice (ICJ atau Mahkamah Internasional), the International Tribunal for the Law
of the Sea (Konvensi Hukum Laut 1982), atau International Criminal Court
(ICC). Mahkamah permanen internasional adalah pendahulu dari mahkamah
internasional, terbentuk tahun 1922 dan bubar secara resmi tahun 1946 saat perang
dunia mulai meletus sejak 1939.[13]

“Dalam pasal 92 Piagam, status hukum ICJ secara tegas dinyatakan sebagai

badan peradilan utama PBB. Di samping ICJ, ada pula badan-

badan peradilan lain dalam PBB, yaitu the UN

Administrative Tribunal. Badan ini berfungsi sebagai badan

peradilan yang menangani sengketa-sengketa administratif atau ketata-

usahaan antara pegawai PBB. Status badan ini disebut

sebagai ‘a subsidiary judicial organ’ atau badan pengadilan subsider

(tambahan). Statuta terbagi ke dalam 4 bab: Organization of the Court

(Komposisi Mahkamah, pasal 2 – 33), Competence of the Court

(Jurisdiksi Mahkamah, pasal 34 – 38), Procedure (Hukum Acara, pasal 39 –

64), Advisory opinion (Pendapat Hukum Mahkaamh, pasal 65 – 68), dan

Amendements (Pperubahan, pasal 69 – 70)”[14]

Mahkamah internasional terdiri dari 15 orang hakim dan tidak berlaku hak veto.
Statuta Mahkamah menyatakan bahwa hakim-hakim dipilih tanpa
memandang kebangsaannya. Pemilihan mereka mempertimbangkan pula
pembagian perwakilan geografis dan sistem-sistem hukum di dunia dengan masa
jabatan selama 9 tahun.
Cakupan dan Pelaksanaan Jurisdiksi Mahkamah Internasional[15]:

1 Jurisdiksi atas pokok sengketa yang diserahkannya (contentious jurisdiction);


yaitu yurisdiksi atas perkara biasa, yang didasarkan pada persetujuan para pihak
yang bersengketa. Mahkamah Internasional dnegan tegas menyatakan bahwa
sengketa yang diserahkan kepadanya adalah sengketa hukum. Di samping itu,
Mahkamah Internasional sendiri harus meyakinkan dirinya bahwa
ia memiliki jurisdiksi untuk memeriksa dan memutus sengketa tersebut

2 non-contentious jurisdiction atau jurisdiksi untuk memberikan nasihat hukum


(advisory jurisdiction). yaitu pendapat mahkamah yang bersifat nasehat. Advisory
Opinion tidaklah memiliki sifat mengikat bagi yang meminta, namun biasanya
diberlakukan sebagai “Compulsory Ruling”, yaitu keputusan wajib yang
mempunyai kuasa persuasif kuat.
Dasar hukum jurisdiksi Mahkamah untuk memberikan nasihat atau
pertimbangan (advisory) hukum kepada organ utama atau organ
PBB lainnya. Nasihat hukum yang diberikan terbatas sifatnya,
yaitu hanya yang terkait dengan ruang lingkup kegiatan atau aktivitas dari 5
badan atau organ utama dan 16 badan khusus
PBB. Di samping itu, nasihat atau pendapat tidak diberikan
kepada negara. Namun negara dapat ikut serta dalam keterlibatan
persidangan Mahkamah (dalam proses pemberian nasihat)

Yurisdiksi Mahkamah Internasional dapat dilaksanakan


berdasarkan pasal 36 ayat (1) Statuta, Jurisdiksi
pengadilan mencakup semua sengketa yang diserahkan oleh para
pihak dan semua persoalan yang ditetapkan dalam Piagam PBB yang
dituangkan dalam perjanjian-perjanjian atau konvensi-konvensi internasional
yang berlaku. Di samping perjanjian atau konvensi internasional, para
pihak dapat pula sepakat untuk menyerahkan sengketanya kepada
Mahkamah, kesepakatan tersebut harus tertuang dalam suatu akta
atau perjanjian (acta compromis). Perjanjian tersebut harus
menyatakan dengan tegas kesepakatan keduabelah pihak dan harus
menyatakan penyerahan sengketa kepada Mahkamah Internasional.

A. Proses Penyelesaian Sengketa oleh Mahkamah Internasional

Dalam proses penyelesaian sengketa Mahkamah Internasional bersifat


pasif artinya hanya akan bereaksi dan mengambil tindakan-tindakan bila ada pihak-
pihak berperkara mengajukan ke Mahkamah Internasional. Dengan kata lain
Mahkamah Internasional tidak dapat mengambil inisiatif terlebih dahulu untuk
memulai suatu perkara. Dalam mengajukan perkara terdapat 2 tugas mahkamah
yaitu menerima perkara yang bersifat kewenangan memberi nasihat (advisory
opinion) dan menerima perkara yang wewenangnya untuk memeriksa dan
mengadili perkara yang diajukan oleh negara-negara (contensious case).
Dalam upaya penyelesaian perkara ke Mahkamah Internasional bukanlah
merupakan kewajiban negara namun hanya bersifat fakultatif. Artinya negara
dalam memilih cara-cara penyelesaian sengketa dapat melalui berbagai cara lain
seperti saluran diplomatik, mediasi, arbitrasi, dan cara-cara lain yang dilakukan
secara damai.
Meskipun Mahkamah Internasional adalah merupakan lembaga utama
PBB dan anggota PBB otomatis dapat berperkara melalui Mahkamah Internasional,
namun dalam kenyataannya bukanlah merupakan kewajiban untuk menyelesaikan
sengketa pada badan peradilan ini. Beberapa negara tidak berkemauan untuk
menyelesaikan perkaranya melalaui Mahkamah Internasional. Sebagai contoh
dalam perkara Kepulauan Malvinas tahun 1955 dimana Inggris menggugat
Argentina dan Chili ke Mahkamah Internasional namun Chili dan Argentina
menolak kewenangan Mahkamah Internasional untuk memeriksa perkara ini.

B. Prosedur Penyelesaian Sengketa oleh Mahkamah Internasional

1. Pengajuan perkara ke Mahkamah Internasional, dapat menggunakan 2 cara yaitu


:
o Bila pihak-pihak yang berperkara telah memiliki perjanjian khusus (special
agreement) maka perkara dapat dimasukkan dengan pemberitahuan melalui
panitera Mahkamah.
o Perkara dapat diajukan secara sepihak (dalam hal tidak adanya perjanjian/persetujuan
tertulis).

2. Surat pengajuan permohonan yang sudah ditandatangani oleh wakil negara


atau perwakilan diplomatik yang berkedudukan di tempat mahkamah
Internasional berada tersebut kemudian disahkan dan salinanya dikirim
kepada negara tergugat dan hakim-hakim Mahkamah. Pemberitahuan juga
disampaikan kepada anggota PBB melalui Sekretariat Jenderal.
3. Setelah itu dalam acara pemeriksaan dilakukan melalui sidang acara tertulis
dan acar lisan. Dalam acara tertulis maka dilakukan jawab menjawab secara
tertulsi antara pihak tergugat dan penggugat. Setelah acara tertulis ditutup
maka dimulai lagi acara lisan atau hearing.
4. Setelah semuanya selesai maka dilakukan pengambilan keputusan yang
dilakukan berdasarkan suara mayoritas para hakim. Keputusan Mahkamah
bersifat final dan tidak ada banding kecuali untuk hal-hal yang bersifat
penafsiran dari keputusan itu sendiri.

Dalam menghadapi persoalan-persoalan baru yang berkembang dengan


pesat nampaknya Mahkamah Internasional dituntut mampu untuk menyesuaikan
perkembangan zaman. Hal ini dapat terlihat dengan adanya perkembangan
demokratisasi khususnya tuntutan negara-negara baru sejak berakhirnya Perang
Dunia II. Selain itu partisipasi masyarakat global melalui berbagai kegiatan
internasional semakin nyata dengan makin berperannya Non Government
Organization (NGO), asosiasi-asossiasi dan berbagai kelompok kepentingan yang
menuntut adanya hak-hak yang sama.
Hal ini ditambah lagi proses globalisasi yang nyata dimana batas-batas
negara semakin menipis dan semakin berkembanganya lembagaisasi-lembagaisasi
yang memiliki karakter internasional yang kuat. Karena itu sebagian ahli menuntut
adanya lembaga peradilan internasional yang mampu menangani berbagai
persoalan global yang tidak terbatas pada kepentingan negara saja.

C. Peran Mahkamah Internasional Dalam Menyelesaikan Sengketa

1. Mahkamah Internasional

Mahkamah Internasional (MI) merupakan organ hukum utama PBB yang


didirikan tahun 1945 berdasarkan Piagam PBB sebagai klanjutan Mahkamah
Permanen Keadilan Internasional Liga Bangas-Bangsa. LBB bertugas memutuskan
kasus hukum antarnegara dan memberikan pendapat hukum kepada PBB dan
lembaga-lembaganya tentang hukum internasional. Markas besar MI terletak di
Den Haag, Belanda.
Seluruh anggota PBB secara otomatis menjadi anggota MI. Negara yang
bukan anggota MI dapat menjadi pihak statuta MI atau menggunakan MI jika
menerima syarat-syarat yang ditetapkan oleh PBB dan setuju memberikan
kontribusi dana kepada MI.
Sengketa dapat dibawa ke MI melalui dua cara yaitu:
Pertama , melalui kesepakatan khusus antarpihak, yaitu semua pihak setuju
mengajukan persoalan kepada MI.
Kedua, melalui permohonan sendiri oleh suatu pihak yang bertikai. Ini iterjadi, jika
pemohon percaya bahwa lawannya diwajibkan oleh syarat traktat tertentu untuk
menerima yurisdiksi MI dalm hal sengketa. Atau, negara yang merupakan para
pihak dalam statuta dapat menyatakan lebih dahulu penerimaan otomatis mereka
atas yurisdiksi MI untuk suatu atau seluruh jenis sengketa hukum. Pernyataan ini
dikenal sebagai menerima yurisdiksi wajib (compulsory jurisdiction). Setelah
permohonan diajukan, diadakanlah pemeriksaan perkara, melalui:
a. Pemeriksaan naskah dan pemeriksaan lisan untuk menjamin setiap pihak dalam
mengemukakan pendapatnya;
b. Sidang-sidang MI terbuka untuk umum, sedangkan sidang-sidang arbitrase
tertutup. Rapat-rapat hakim-hakim MI diadakan dalam sidang tertutup.
Sesuai Pasal 26 statuta, MI dari waktu ke waktu dapat membentuk satu atau
beberapa
kamar yang terdiri atas tiga hakim atau lebih untuk memeriksa kategori tertentu atas
kasus-kasus, seperti perburuan atau masalah-masalah yang berkaitan dengan transit
dan komunikasi.
Jika para pihak yang bersengketa telah mencatat deklarasi seperti ini, maka
setiap pihak dapat membawa kasus kepada MI. Tahun 1985, Presiden Amerika
Serikat Ronaldo Reagan secara resmi menerima deklarasi Amerika Serikat tentang
penerimaan menerima yurisdiksi wajib MI yang telah berlangsung lama. Namun
Amerika Serikat tetap menjadi pihak dalam statuta dan terus berpartisipasi dalam
kasus-kasus yang diajukan oleh kesepakatan khusus atau traktat, MI mengeluarkan
putusan dengan menerapkan HI yang bersalah dari traktat, praktik-praktik yang
diterima secara luas sebagai hukum (kebiasaan), dan prinsip-prinsip umum yang
ditemukan dalam sistem hukum utama dunia. MI juga merujuk pada putusan hukum
di masa lalu atau tulisan para ahli dalam bidang hukum internasional. Keputasan
MI, termasuk alasan keputusan adalah final dan mengikat, serta tidak bisa ditinjau
ulang. Dewan Keamanan PBB diberi wewenang untuk mengambil segala tindakan
yang perlu untuk menegakkan keputusan MI jika para pihak yang bersengketa tidak
mampu melaksankannya sendiri.
MI memberika pendapat hukum tentang pertanyaan Majelis Umum PBB,
Dewan Keamanan, dan organ serta lembaga khusus PBB lain yang telah diberi
wewenang oleh Majelis Umum untuk meminta pendapat seperti ini atau yang
diizinkan oleh konstitusi.

Tabel Yurisdiksi Penyelesaian Sengketa yang Bersifat Compulsory dan Non-


Compulsory

Yurisdiksi Penyelesaian Sengketa yang Yurisdiksi Penyelesaian Sengketa yang


Bersifat Compulsory Bersifat Non Compulsory
1. Negara yang bersengketa terikat pada 1. Pelaksanaan yurisdiksi ini memerlukan
perjanjian persetujuan
yang menyatakan bahwa MI mempunyai dari pihak-pihak yang bersengketa.
yurisdiksi atas sengketa tertentu diantara 2. Ada perjanjian khusus antarnegara yang
mereka.
2. Negara yang bersengketa mengakui bersengketa tentang penyerahan
yurisdiksi penyelesaian
compulsory MI berdasarkan klausal bahwa sengketa pada MI.
negara 3. Permohonan peradilan diajukan bersama
pihak statuta mengakui yurisdiksi MI. oleh
3. Permohonan peradilan dapat diajukan negara yang bersengketa.
sepihak 4. Permohonan peradilan dapat diajukan oleh
oleh negara yang bersengketa. salah
4. Permohonan disampaikan pada Panitera satu pihak yang bersengketa dengan syarat
MI dan negara
selanjutnya memberitahukan permohonan lawan memberikan persetujuannya.
itu
pada negara lawan sengketa.

2. Hakim dalam Mahkamah Internasional

MI terdiri atas 15 hakim, yang masing-masing dipilih melalui sistem


mayoritas absolut oleh Dewan Keamanan dan Majelis Umum dengan pengambilan
suara secara independen. Para hakim dipilih untuk jangka waktu sembilan tahun
dan dapat dipilih kembali; tidak boleh ada dua hakim MI dari negara yang sama.
Seorang hakim hanya bisa dikeluarkan dari MI dengan suara mutlak hakim lain.
Para hakim tidak dipilih mewakili negara mereka. Melainkan dipilih berdasarkan
pengetahuan mereka tentang HI. Komposisi hakim harus mencerminkan bentuk
peradaban dan sistem hukum utama dunia. Dalam setiap sengketa, jika tidak ada
seorang hakim pun yang memiliki kewarganegaraan yang sama dengan pihak yang
mengajukan kasus, negara tersebut boleh memilih seorang hakim untuk menyertai.
Sembilan hakim membentuk kuorum dan memutuskan kasus yang diajukan
berdasarkan mayoritas hakim yang hadir. MI memilih pejabatnya sendiri dan
menunjuk registrar dan pejabat lain.

3. Prosedur Penyelesaian Sengketa Internasional Melalui Mahkamah


Internasional

Sengketa internasional dapat diselesaikan oleh MI melalui prosedur berikut.


a) Telah terjadi pelanggaran HAM atau kejahatan humaniter (kemanusiaan) di
suatu negara
terhadap negara lain atau rakyat negara lain
b) Ada pengaduan dari korban (rakyat) dan pemerintahan negara yang menjadi
korban
terhadap pemerintahan dari negara yang bersangkutan karena didakwa telah
melakukan
pelanggaran HAM atau kejahatan humaniter lainnya.
c). Pengaduan disampaikan ke Komisi Tinggi HAM PBB atau melalui lembaga-
lembaga HAM
internasional lainnya.
d) Pengaduan ditindaklanjuti dengan peyelidikan, pemeriksaan, dan penyidikan.
Jika ditemui
bukti kuat terjadinya pelanggaran HAM atau kejahatan kemanusiaan lainnya.
Maka
pemerintah dari negara yang didakwa melakukan kejahatan humaniter dapat
diajukan ke
MI.
e) Dimulailah proses peradilan sampai dijatuhkan sanksi. Sanksi dijatuhkan bila
terbukti
bahwa pemerintahan atau individu yang bersangkutan telah melakukan
pelanggaran
terhadap konvensi-konvensi internasional berkaitan dengan pelanggaran HAM
atau
kejahatan humaniter.
MI memutuskan sengketa berdasarkan hukum. Keputusan dapat dilakukan
berdasarkan kepantasan dan kebaikan apabila disetujui oleh negara yang
bersengketa. Keputusan MI berdasarkan keputusan mayoritas hakim. Apabila
jumlah suara sama, maka keputusan ditentukan oleh Presiden MI. Keputusan MI
bersifat mengikat, final, dan tanpa banding. Keputasn MI mengikat para pihak yang
bersengketa dan hanya untuk perkara yang disengketakan.
Dalam Pasal 57 statuta, hakim MI dapat mengemukakan pendapat terpisah
atau dissenting opinion (pendapat seorang hakim yang tidak menyetujui suatu
keputusan dan menyatakan keberatannya terhadap motif-motif yang diberikan
dalam keputusan tersebut). Pendapat terpisah adalah pendapat hakim yang tidak
setuju dengan keputusan yang diambil oleh mayoritas hakim. Pengutaraan pendapat
terpisah secara resmi dapat melemahkan kekuatan keputusan mahkamah, namun
juga dapat menyebabkan hakim-hakim mayoritas berhati-hati dalm memberikan
motif keputusan mereka.
Keputusan MI mengikat pihak yang bersengketa, sehingga negara yang
bersangkutan wajib memenuhi keputusan tersebut, dan bila tidak memenuhi
kewajiban tersebut negara lawan dapat mengajukan permohonan kepada Dewan
Keamanan PBB agar keputusan MI dijalankan. Dewan Keamanan PBB dapat
merekomendasikan keputusan itu untuk dilaksanakan atau menetapkan tindakan
yang diambil. MI sendiri tidak dapat mengeksekusi keputusannya.

4. Dukungan Keputusan MI dalam Menyelesaikan Sengketa Internasional

Piagam PBB bertujuan menjaga perdamaian dan keamanan dunia serta


meyelesaikan konflik antarbangsa. Piagam PBB juga secara khusus mengarahkan
Majelis Umum untuk mendorong perkembangan yang berkelanjutan dan kodifikasi
hukum internasional. Untuk menjalankan tugas ini, Majelis Umum menciptakan
dua organ turunan, yaitu Komisi Hukum Inetrnasional (1947) dan Komisi Hukum
Perdagangan Internasional (1966). Selama bertahun-tahun, Komisi Hukum
Internasional mempersiapkan draf traktat untuk mengodifikasi dan memodernisasi
sejumlah topik dalam hukum internasional, termasuk hukum laut, hukum traktat
antarbangsa, hukum traktat antar bangsa-bangsa dan organisasi internasional,
kekebalan negara dari yurisdiksi negara lain, keberlanjutan suatu negara dalam hal
traktat, serta hukum perairan air tawar internasional.
Komisi Hukum Perdagangan Internasional merumuskan hukum tentang
perdagangan internasional dan perkembangan ekonomi. Setelah disetujui oleh
Majelis Umum, draf dari komisi ini diajukan ke konferensi internasional yang
diadakan PBB untuk pelaksanaan konvensi.
Dalam beberapa kasus PBB mengadakan konferensi untuk membahas
persolan internasional atau menegosiasikan traktat tanpa mengusulkan lebih dahulu
oleh Komisi Hukum Internasional. Contoh terpenting adalah Konferensi PBB III
tentang Hukum Laut yang mengakhiri tugasnya tahun 1982. Konferensi ini
menyepakati pelaksanaan konvensi (ditetapkan tahun 1994) yang mengatur segala
aspek penggunaan samudera dengan damai, termasuk batas-batas teritorial, hak
navigasi, dan yurisdiksi ekonomi (kebebasan perairan). Contoh lain adalah
Konferensi PBB tahun 1992 tentang Lingkungan dan Pembangunan di Rio de
Janeiro, Brazil, yang secara informal dikenal sebagai Konferensi Bumi. Konferensi
ini menghasilkan dua traktat utama: Konvensi Keragaman Biologis tentang
pelestarian keragaman biologi dunia dan dorongan penggunaan komponennya
secara berkelanjutan dan Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim tentang
pembatasan emisi gas yang dapat mengakibatkan pemanasan global.
Sebuah landmark perkembangan hukum internasional terjadi tahun 1998
dalam konferensi diplomatik PBB di Roma, Italia, ketika 120 negara menerima
traktat untuk menciptakan mahkamah kejahatan internasional yang permanen.
Berdiri secara resmi tahun 2002, Mahkamah Kejahatan Internasional (International
Criminal Court/ICC) bekerja secara independen dari pengaruh PBB dan memiliki
kekuasaan untuk memulai investigasi dan menghukum penjahat perang, termasuk
yang dituduh melakukan pembersihan etnis (genosida) dan kkejahatan serius
lainnya.
Berdasarkan hukum diplomatik, hukum internasional harus dapat
diterapkan dalam bidang-bidang kejahatan kejahatan perang antarnegara,
penjaminan terlaksananya hukum publik internasionaldan hukum privat
internasional di seluruh dunia, pengembangan hubungan persaudaraan
antarbangsa, pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional. Penyelesaian
perkara-perkara, dan menjamin persahabatan dalam hukum internasional.
Dalam hubungan internasional ada 4 asas perjanjian internasional yang
harus ditaati oleh pihak-pihak yang mengadakan perjanjian (pacta sunt servada)
yaitu:
1. Pihak yang saling mengadakan hubungan memiliki kedudukan yang sama (equal
rights).
2. Tindakan suatu negara terhadap negara lain dapat dibalas setimpal, baik tindakan
yang bersifat negatif maupun positif (reciprocity),
3. Asas saling menghormati dan saling menjaga kehormatan negara (couttesy)
4. Asas yang dapat digunakan terhadap perubahan yang mendasar/fundamental
dalam keadaan yang bertalian dengan perjanjian (rebus sig stantibus).

BAB IV

KESIMPULAN

Dalam penyelesaian sengketa internasional, banyak jalan damai yang dapat


ditempuh, baik secara politik maupun secara hukum. Sengketa internasional bisa
berlangsung lama penyelesaiannya jika masing-masing pihak yang terlibat saling
mempertahankan prinsip dan kepentingannya masing-masing. Sehingga
penyelesaian jalur non damai sering kali dipilih. Tetapi justru pada akhirnya
penyelesaian sengketa secara non damai tersebut seringkali menimbulkan masalah
baru dan pencitraan buruk bagi peihak yang bersengketa di mata dunia
internasional.

Salah satu dari badan peradilan internasional adalah Mahkamah International


(International Court of Justice) merupakan badan kehakiman yang penting dalam
PBB yang berlokasi di Den Haag, Belanda. Merupakan badan yang penting dalam
menyelesaikan sengketa yang dihadapi dunia internasional. Tetapi dalam hal ini
Mahkamah Internasional itu sendiri jarang digunakan, dikarenakan beberapa faktor,
antara lain adalah biaya operasional yang besar dan membutuhkan waktu yang
relatif lama, jadi hanya kasus-kasus yang besar diagendakan dalam mahkamah
internasional. Selain itu banyak sengketa internasional yang berhasil diselesaikan
melalui jalur dama secara politik, hal ini disebabkan penyelesaian sengketa
internasional dengan Mahkamah Internasional merupakan langkah yang paling
akhir ditempuh.

Walaupun penyelesaian secara damai tersebut merupakan langkah yang sebaiknya


ditempuh pertama, beberapa sengketa internasional mengambil cara penyelesaian
selain secara damai tersebut, mulai dari embargo hingga mengerahkan kekuatan
militer sehingga menimbulkan berbagai permasalahan yang baru serta kerugian
bagi pihak-pihak yang terlibat. Serta dapat berimplikasi pada interaksi dunia
internasional, terutama pemeliharaan perdamaian dunia.

Referensi

 Huala Adolf. 2004. Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional (ebook).


Jakarta: Sinar Grafika
 Mochtar Kusumaatmadja. 2010. Pengantar Hukum Internasional.
Bandung: PT. Alumni
 http://www.icj-cij.org/homepage/index.php diakses 3 Juni 2012, 15:30
 Boer Mauna. 2003. Pengertian, Peranan dan Fungsi Hukum Internasional
dalam era Dinamika Global. Bandung: PT. Alumni

[1] Boer Mauna2003.Pengertian,Peranan dan Fungsi Hukum Internasional dalam


era Dinamika Global.Bandung:PT.Alumni.hlm:188-189

[2] Huala Adolf. 2004. Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional. Versi ebook.
hlm. 108

[3] Ibid. Cf., John Collier and Vaughan Lowe, The Settlement of
Disputes in International Law, Oxford: Oxford U.P., 1999, hlm. 20.

[4] Peter Behrens, op.cit., hlm. 19. Bandingkan dengan pendapat Collier dan
Lowe yang menyatakan bahwa “this method of settlement … does not
involve investigation or application of rules of law. (Collier and Lowe, op.cit.,
hlm. 24 dalam buku versi elektronik Huala Adolf. 2004. Hukum Penyelesaian
Sengketa Internasional. Versi ebook. hlm. 30

[5] Huala Adolf. 2004. Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional. Versi ebook.
hlm. 30

[6] Ibid.

[7] Goodpaster, Garry, 1999, Panduan Negosiasi dan Mediasi, Seri Dasar Hukum
Ekonomi 9, ELIPS dalam jurnal Felix Oentoeng Soebagjo, mediasi sebagai
alternatif penyelesaian sengketa…

[8] Huala Adolf. 2004. Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional. hlm. 33

[9] Peter Behrens, “Alternative Methods of Dispute Settlement in


International Economic Relations dalam Huala Adolf. 2004. Hukum
Penyelesaian Sengketa Internasional. hlm. 28

[10] Ibid. Hlm. 34

[11] Huala Adolf. 2004. Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional. Versi


ebook. hlm. 35

[12] Ibid. Hlm. 36

[13] Huala Adolf. 2004. Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional: Mahkamah


Internasional. Versi ebook. hlm. 1-3

[14] Ibid. .Statuta dan Aturan Mahkamah Internasional. Hlm. 7

[15] Ibid. .Statuta dan Aturan Mahkamah Internasional. Hlm. 8-29

Anda mungkin juga menyukai