notabene-nya tuan rumah salah satu acara di salah satu stasiun teve
tersohor di media pertelevisian Indonesia, bisa mengguncang tanah
Indonesia bahkan luar negri dengan kegiatan kita yang menginspirasi
banyak orang. Mahasiswa yang sudah punya bisnis, tenaga kerja yang
mengabdi di tanah yang berkekurangan, aktivis penyayang lingkungan,
bakat-bakat luar biasa anak negeri, segelintir kelebihan dibalik
kelemahan individu-individu, serta potensi dan mahakarya lainnya
bermekaran, memenuhi daftar acara Kick Andy yang tayang pada malam
hari tersebut. Biasanya, begitulah tipikal bintang tamu yang kusaksikan.
Bukan menjadi salah satu bintang tamu yang beruntung mengisi
acara Pak Andy, tapi aku pernah mengukir sejarah dalam hidupku,
menjadi seperti bintang tamu Pak Andy, namun ini versiku. Versi
Parlambok Pasaribu.
Ya, itulah namaku. Biasanya aku dipanggil Lambok. Kenapa bukan
Parlam, ya? Yah, bukan sesuatu yang penting ditanyakan. Jika diartikan
ke dalam bahasa Indonesia, namaku bisa dikatakan enak/nyaman diihat
mata, baik. Itu diambil dari bahasa Batak. Mungkin ini tidak ada artinya,
seandainya Parlam dijadikan panggilanku. Coba saja tanya pada temanku
orang Batak lainnya, entah apa reaksinya mendengar pertanyaanmu itu.
Kisah hidupku yang bagiku menginspirasi tidak lain dan tidak
bukan adalah saat aku menjadi tenaga pendidik di Pulau Simelue Timur,
Provinsi Aceh. Aku saat itu baru tamat dari bangku kuliah UNIMED
(Universitas Negeri Medan). Bersama teman-teman sejawat, kami
ditawari lowongan perkerjaan di SM3T (Sarjana Mendidik Terpencil,
Terdepan, Terluar). Itu adalah program pemerintah provinsi yang
dilaksanakan oleh LPTK (Lembaga Penyelenggara Tenaga Pendidik) dan
merupakan adopsi dari Indonesia Mengajar milik Pak Anies Baswedan,
dengan jangka waktu 1 tahun lamanya. Kami ditempatkan di daerah yang
3T
itu
membuatku
cukup
merinding
membayangkan
pakai ayat - ayat paling mujarab? Sontak kami semua berserah pada
Tuhan demi selamat dari marabahaya. Akupun mengambil jalan keluar itu.
Aku masih sempat melihat tasbih, mendengar senandung doa - doa
temanku dari agama berbeda sebelum aku tenggelam dalam untaian
doaku.
mau bersyukur, atau menggerutu saja. Bagiku sama saja. Toh namanya
sama, kok. Aceh. Pikiranku selalu negatif terhadap mereka.
Di hari berikutnya, aku sudah mulai intensif mengajar. Kalau ingat
apa tekad kami berada disini, aku semangat sebenarnya. Hanya kurang
didukung lingkungan saja. Aku mencoba peruntunganku hari ini. Aku
menuju sekolah, memasuki kelas yang akan belajar mata pelajaran
Penjas.
Langkahku diiringi senyum ceria dari murid murid disana.
Mencegah imajinasi kalian terlalu tinggi tentang daerah terpencil ini,
mereka masih punya seragam sekolah layaknya murid murid sekolah lain
di Indonesia ini. Aku masih menunggu kehadiran mereka ku saat ketiga
jarum jam dalam kungkungan lingkaran arlojiku ini beradu berjalan
mengelilingi lap seperti yang kutonton di pertandingan Formula 1 di TV.
Karena sudah cukup lama, kutanya kepada salah satu guru, Apa
masih ada murid murid lain yang belum datang?
Tidak, pak. Ini sudah datang semua. Aku sontak terkaget lagi,
ini mengajar di sekolah atau bimbel? Tapi aku mencoba untuk tenang.
Jadi, berapa orang jumlah semua murid di sini, Pak? tanyaku
ingin tahu.
Kelas X ada 7 orang, kelas XI ada 8 orang, dan kelas XII ada 6
orang, Pak, kudengar salah seorang dari mereka menjawab jelas. Para
mahasiswa yang buka les untuk menutupi biaya kuliah juga setahuku tidak
punya murid sesedikit ini di kelasnya.
Aku kemudian mengajar mata pelajaran Penjasorkes. Aku jujur
saja senang mengajarkan ini kepada mereka. Bukan karena kesenangan
pribadiku terhadap mata pelajaran ini, tapi karena sikap mereka yang
sangat antusias untuk belajar. Mereka sebelumnya tidak pernah belajar
Penjas di sekolah ini. Mengerikan. Tapi, badan mereka kuat kuat semua.
Tetapi, ada-ada saja momen lucu yang terjadi saat aku mengajar.
cepat
kututup
pintu,
lalu
kubangunkan
Maman
seraya
Udah sering terjadi, Pak, jawab salah satu rekan dengan santai.
Jadi gimana kita tahu kalau ada tsunami? tanyaku penasaran.
Jujur saja selama aku di sini, aku tidak bisa membedakan yang mana
gempa biasa dan gempa yang menyebabkan tsunami.
Biasanya setelah gempa, nelayan lihat laut. Kalau air lautnya
surut, nelayan langsung teriak smong! (smong adalah bahasa Aceh dari
tsunami). Kalau udah dibilang gitu, semua masyarakat lari ke bukit. Kata
kata bapak ini cukup menjelaskan semua kebingunganku selama ini.
Akhirnya, setiap terjadi gempa aku selalu bersikap tenang dan biasa saja
sampai hari itu terjadi.
Waktu itu aku sedang berkunjung ke rumah salah satu temanku
yang juga berada di daerah Simelue. Berempat kami kumpul di satu
rumah karena banyak sekolah sedang melakukan acara perpisahan. Tiba
tiba terjadi gempa bumi. Awalnya kami kira itu hanya gempa biasa. Tapi
lama kelamaan gempanya semakin dahsyat. Sempat kami lihat lihatan
satu sama lain, bingung apa yang harus kami lakukan. Akhirnya kami lari
ke luar rumah. Untuk pertama kalinya aku melihat gedung bergoyang
goyang karena gempa secara asli.
Ini gempa terdahsyat yang pernah kurasakan selama aku tinggal
di Pulau Simelue. Bahkan gempa ini diberitakan di salah satu stasitun TV
dengan skala 8,9 S.R. Di sini rupanya akhir hidupku, pikirku.
Tanpa pikir panjang, aku inisiatif untuk kembali ke kamar temanku
itu untuk mengambil barang barang yang bisa diambil. Tas, baju
seadanya, gelas, jaket, parang, dan barang lain yang memang diperlukan.
Yang terpenting adalah senter, karena pasti akan dibutuhkan saat malam
di bukit. Tapi masalah terbesar di bukit adalah pacat. Kami harus bisa
siap sedia dalam setiap keadaan nantinya.
Setiap sekolah didesain khusus untuk dibangun di dekat bukit. Ini
dilakukan agar saat ada tanda tanda tsunami semua anak sekolah dapat
langsung diungsikan ke bukit. Ide ini merupakan salah satu cara untuk
meminimalisir jumlah korban jiwa.
Saat kami membereskan barang barang kami, ternyata ada
gempa susulan. Ayo lari! teriak salah satu teman yang sudah bingung
mau ke mana. Masyarakat sekitar juga sudah siap siap menuju bukit.
Kulihat di internet kecepatan tsunami 300 km / jam! abangku
meneleponku saat keadaan sedang genting. Aku makin takut. Bagaimana
kami bisa lolos dari tsunami kalau kecepatannya segitu?
Kami masih di depan rumah temanku itu saat hari sudah malam.
Saat itu hujan hampir mengguyur tempat kami. Dari pada kami kehujanan
saat jalan ke bukit, akhirnya kami pasrah untuk tetap di bawah.
Di sekitar sana, ada rumah doa tempat orang Kristen beribadah.
Kami diajak masuk ke sana oleh pemilik rumah doa tersebut. Kami diberi
kesempatan untuk makan malam dan menginap di sana. Di sekitar rumah
doa juga terdapat masjid tempat masyarakat Muslim juga berkumpul
untuk mengungsi. Melihat keadaan ini, perasaanku semakin lemas, akhir
dari hidup ini ternyata.... Ah, haruskah aku pasrah?. Apalagi saat-saat
yang kujalani saat itu adalah pilihan terakhir, benar- benar pasrah. Di
sana kami menginap sampai dua hari lamanya. Waktu yang sangat lama
bagiku untuk segera melewati masa kritis ini. Cepatlah berlalu dan kami
selamat, itulah yang terus kuucapkan di dalam doaku kepada Yang
Mahakuasa. Selama dua hari itu, para lelaki yang menginap disana
berganti- gantian untuk berjaga, mengantisipasi bahaya yang mungkin
tiba- tiba menghanyutkan kami semua.
Dengan kekuatan gempa yang sebesar ini, memang layak dikatakan
tidak ada harapan hidup. Bahkan ternyata tayangan televisi pun
menyiarkan bahwa gempa dengan kekuatan 8.9 S.R sudah mencapai
status tsunami. Satu hal yang kudapatkan dari pelajaran ini, ternyata aku
sangatlah beruntung selama ini, hidup di daerah yang aman dan bias
Oleh :
Aldio Siregar
Indriyani Sinambela
Yulicia Tambunan
Vanda situmeang