Anda di halaman 1dari 15

Kick Andy!

Pernah terbayang tidak, bisa duduk di sofanya Pak Andy yang

notabene-nya tuan rumah salah satu acara di salah satu stasiun teve
tersohor di media pertelevisian Indonesia, bisa mengguncang tanah
Indonesia bahkan luar negri dengan kegiatan kita yang menginspirasi
banyak orang. Mahasiswa yang sudah punya bisnis, tenaga kerja yang
mengabdi di tanah yang berkekurangan, aktivis penyayang lingkungan,
bakat-bakat luar biasa anak negeri, segelintir kelebihan dibalik
kelemahan individu-individu, serta potensi dan mahakarya lainnya
bermekaran, memenuhi daftar acara Kick Andy yang tayang pada malam
hari tersebut. Biasanya, begitulah tipikal bintang tamu yang kusaksikan.
Bukan menjadi salah satu bintang tamu yang beruntung mengisi
acara Pak Andy, tapi aku pernah mengukir sejarah dalam hidupku,
menjadi seperti bintang tamu Pak Andy, namun ini versiku. Versi
Parlambok Pasaribu.
Ya, itulah namaku. Biasanya aku dipanggil Lambok. Kenapa bukan
Parlam, ya? Yah, bukan sesuatu yang penting ditanyakan. Jika diartikan
ke dalam bahasa Indonesia, namaku bisa dikatakan enak/nyaman diihat
mata, baik. Itu diambil dari bahasa Batak. Mungkin ini tidak ada artinya,
seandainya Parlam dijadikan panggilanku. Coba saja tanya pada temanku
orang Batak lainnya, entah apa reaksinya mendengar pertanyaanmu itu.
Kisah hidupku yang bagiku menginspirasi tidak lain dan tidak
bukan adalah saat aku menjadi tenaga pendidik di Pulau Simelue Timur,
Provinsi Aceh. Aku saat itu baru tamat dari bangku kuliah UNIMED
(Universitas Negeri Medan). Bersama teman-teman sejawat, kami
ditawari lowongan perkerjaan di SM3T (Sarjana Mendidik Terpencil,
Terdepan, Terluar). Itu adalah program pemerintah provinsi yang
dilaksanakan oleh LPTK (Lembaga Penyelenggara Tenaga Pendidik) dan
merupakan adopsi dari Indonesia Mengajar milik Pak Anies Baswedan,
dengan jangka waktu 1 tahun lamanya. Kami ditempatkan di daerah yang

langsung berbatasan dengan luar negeri, kulit-kulit daerah Indonesia.


Sebenarnya,

3T

itu

membuatku

cukup

merinding

membayangkan

lokasinya. Tapi tak bisa dipungkiri, inilah pengabdian menjadi mahasiswa


di bidang pendidikan. Ini pintu masuk dunia kerja yang harus kumasuki.
Entah diksi seperti apalagi yang kubutuhkan, atau bentuk gaya
bahasa hiperbola apalagi yang harus kusampaikan untuk mengungkapkan
kengerian yang kurasakan saat itu. Aku bahkan tidak pernah menginjak
tanah daerah yang termasuk 3T itu. Seperti penentuan nasib sel zigot
manusia pertama kali di proses diferensiasi, aku dan teman temanku
akan berdomisili di daerah yang berbeda untuk mengabdi dalam kurun
waktu yang telah ditetapkan. Sudah pasti kami akan menuju provinsi
Aceh, provinsi yang penuh kontroversi, daerah yang rawan gempa dan

tsunami. Aku mendapat kesempatan berbahagia untuk terbang ke Pulau


Simelue Timur, Aceh, nama yang... yang... entah apa... aku tidak tahu.
Disana seperti apa tempatnya? Aku sudah lupa seberapa sering
kulontarkan kalimat ini pada siapa saja yang kutemui dan sudah lupa juga
seberapa banyak balasan ini yang kudengar. Ya, begitulah. Jawaban
yang singkat, mencemaskan, membuat nyali ini ciut. Sial sekali, bukan?
Tidak kutahu apa karena wawasanku yang dangkal, tapi Aceh yang
terlintas di benakku itu tidak lain dan tidak bukan ya GAM (Gerakan
Aceh Merdeka). Inilah dia korban ketakutan berlebihan itu.
Beberapa hari kemudian, aku fixed akan terbang kesana dengan
pesawat Merpati Wing. aku sudah packing baju, celana, tas, sepatu, topi,
buku, dan segala sesuatu lainnya yang aku tidak bisa sebutkan satu per
satu. Ya, tidak semudah mengomentari penampilan orang lain di depan
mata kita, duduk di tempat duduk pesawat saja menggelitik pantatku.
Kapan baling baling ini berhenti? racauku dalam hati. Cuaca di
atas pun cukup buruk. Lampu seatbelt pun menyala nyala menambah
rasa takutku. Tiba-tiba saja pesawat kami turun sekitar 30 kaki. Kalau
sudah begini, siapa lagi yang tidak mengandalkan doa suci penuh hikmat

pakai ayat - ayat paling mujarab? Sontak kami semua berserah pada
Tuhan demi selamat dari marabahaya. Akupun mengambil jalan keluar itu.
Aku masih sempat melihat tasbih, mendengar senandung doa - doa
temanku dari agama berbeda sebelum aku tenggelam dalam untaian
doaku.

Landing... Kami sudah sampai di bandara Aceh. Bandara? Bukan!


Aku tidak pernah melihat bandara seperti ini sebelumnya. Yang
tertangkap mataku hanyalah pohon merongrong ke atas, rimbun, dan
melanglang buana. Hebat sekali tema yang dipilihkan untuk bandara ini.
Ini lebih mirip hutan.
Aku kemudian bertemu dengan Sekretaris Pendidikan yang
mengantarku dengan mobilnya ke kota Simelue itu. Selintas terjadi
perkenalan singkat sebelum kami berangkat. Aku tidak berharap banyak
untuk melihat kota yang metropolitan seperti tempat tinggalku dulu. Aku
hanya berharap tubuhku bisa sintas dalam seleksi alam tempat ini.

Welcome to the City! Kejutan ini mengesankan. Dengan waktu


tempuh yang sungguh singkat, aku sekarang menginjak tempat yang
disebut kota. Setidaknya sudah kukatakan aku hanya berharap untuk
bisa sintas di tempat ini. Kedai kopi, grosir, pasar tradisional yang megah
berdiri mungkin bisa membantuku hidup disini. Pemandangan lain yang
bisa dinikmati. Sekolah disini nilai perbandingannya sungguh banting
dengan sekolah tempatku dulu. Bagai langit dengan jamban aku bisa
bilang, tanpa mengurangi rasa hormatku sediitpun.
Bersama Sekretaris Pendidikan tadi, aku kemudian menjajaki
tapak tanah yang beberapa meter kemudian menuju bangunan sekolah
SMK 4 Ganting, tempatku akan mendidik anak anak sekolah itu. Entah
aku harus merasa gugup, senang, sedih, menyesal, atau rentetan jenis
emosi lain, aku disambut meriah oleh mereka, yang ketika kulihat dengan
mata kepalaku sendiri aku lebih memilih terdiam.

Selamat pagi, anak anak! Kita kedatangan tamu terhormat dari


daerah tetangga Medan, yang akan menjadi guru kita selama satu tahun
kedepan. Beliau mengampu mata pelajaran Penjasorkes. Bapak ini
bernama Pak Parlambok Pasaribu. Kita patut mengucap terima kasih
karena mata pelajaran ini akhirnya bisa kita pelajari. Ucapkan selamat
pagi pada guru kita!
Seruan serentak anak-anak sekolah menderu-deru masuk ke liang
telingaku. SELAMAT PAGI, PAK GURU!!!
Sontak aku merasa campur aduk dalam hati ini. Semua emosi
mengumpar di dalamku. Supaya terlihat wajar, kujawab saja seperti
biasa. Selamat pagi, anak-anak!
Selama aku bertugas disini, aku tinggal di kediaman beberapa
murid disini, salah satunya Maman. Aku tinggal di rumah indekosannya.
Sesungguhnya mereka berasal dari daerah yang cukup jauh, tetapi
karena sekolah disini tidak memungkinkan mereka untuk pulang dan pergi
setiap hari, ditambah dengan kemampuan ekonomi yang tidak mendukung,
mereka harus mencari indekos.
Sudah malam, sudah waktunya makan. Aku cukup lama menahan
lapar. Aku bertanya, Makan malam kita mana, ya?
Mereka senyum dan menjawabku, Oh ya, Pak, sebentar kami
siapkan. Lalu hadirlah di depan kami piring piring dengan nasi putih
disajikan dengan benda-benda kecil hitam di piring lain. Di mana lauknya?
Ini ada si-i, Pak. Baru direbus. Sama nasi putih.
Memang kalian tidak ada bahan makanan lain yang bisa dimasak?
tanyaku kemudian.
Oh, tidak ada, Pak. Ini saja yang kami punya. Selera makan
seperti menguap begitu saja saat tahu kalau benda hitam kecil itu adalah

makanan. Si-i menjadi nama benda itu, yang setelah kuperhatikan


seksama ternyata koloni siput kecil.
Kami baru melaut, Pak, jadi yang dapatnya ini saja. Silakan
dinikmati, Pak. Sesungguhnya, bahasa Indonesia mereka tidak terlalu
bagus. Terkontaminasi logat bahasa daerah membuat mereka agak
tersendat sendat untuk mengeluarkan kata-kata saat kami berbincang.
Tapi kalau sudah ngomong dengan teman teman sesuku mereka, ibarat
kaset Poco-Poco yang kudengar dulu di counter kaset terdekat, nonstop.
Aku tertarik dengan kegiatan mereka yang baru saja disebutkan tadi.
Melaut. Aku tersenyum sambal mengangguk anggukkan kepala. Aku
seperti menyelinap di rumah anak-anak Bolang di stasiun Trans7.
Kalau Bapak mau beli makanan, kemana ya? tanyaku memecah
keheningan.
Ke sana, Pak. Jauh, katanya seraya mengangkat tangan,
menunjuk ke salah satu bagian dinding rumah ini.
Jauh berapa lama, ya?
Jauhlah, Pak. Kira kira 10 menit. Sekejap aku mengerti
mengapa mereka lebih memilih melaut untuk makan malam mereka.
Lalu, bagaimana cara makan ini? tanyaku sambil kesusahan
menghisap daging siput ini dari lubang di cangkangnya.
Pakai jarum ini, Pak, diserahkannya jarum kecil padaku seraya
tersenyum senyum melihat tingkahku tadi.
Aku masih belum bisa menerima keadaanku yang seperti ini.
Padahal kalau dibandingkan dengan temanku yang lain, aku katanya masih
lebih beruntung. Aku tidak tahu dimana letak keberuntungan itu. Kata
mereka, aku masih bagus tinggalnya di daerah pantai. Teman yang lain
tinggallnya lebih menderita dibanding tinggal disini. Aku tidak mengerti,

mau bersyukur, atau menggerutu saja. Bagiku sama saja. Toh namanya
sama, kok. Aceh. Pikiranku selalu negatif terhadap mereka.
Di hari berikutnya, aku sudah mulai intensif mengajar. Kalau ingat
apa tekad kami berada disini, aku semangat sebenarnya. Hanya kurang
didukung lingkungan saja. Aku mencoba peruntunganku hari ini. Aku
menuju sekolah, memasuki kelas yang akan belajar mata pelajaran
Penjas.
Langkahku diiringi senyum ceria dari murid murid disana.
Mencegah imajinasi kalian terlalu tinggi tentang daerah terpencil ini,
mereka masih punya seragam sekolah layaknya murid murid sekolah lain
di Indonesia ini. Aku masih menunggu kehadiran mereka ku saat ketiga
jarum jam dalam kungkungan lingkaran arlojiku ini beradu berjalan
mengelilingi lap seperti yang kutonton di pertandingan Formula 1 di TV.
Karena sudah cukup lama, kutanya kepada salah satu guru, Apa
masih ada murid murid lain yang belum datang?
Tidak, pak. Ini sudah datang semua. Aku sontak terkaget lagi,
ini mengajar di sekolah atau bimbel? Tapi aku mencoba untuk tenang.
Jadi, berapa orang jumlah semua murid di sini, Pak? tanyaku
ingin tahu.
Kelas X ada 7 orang, kelas XI ada 8 orang, dan kelas XII ada 6
orang, Pak, kudengar salah seorang dari mereka menjawab jelas. Para
mahasiswa yang buka les untuk menutupi biaya kuliah juga setahuku tidak
punya murid sesedikit ini di kelasnya.
Aku kemudian mengajar mata pelajaran Penjasorkes. Aku jujur
saja senang mengajarkan ini kepada mereka. Bukan karena kesenangan
pribadiku terhadap mata pelajaran ini, tapi karena sikap mereka yang
sangat antusias untuk belajar. Mereka sebelumnya tidak pernah belajar
Penjas di sekolah ini. Mengerikan. Tapi, badan mereka kuat kuat semua.
Tetapi, ada-ada saja momen lucu yang terjadi saat aku mengajar.

Aku tergelak saat memperkenalkan namaku pada kesempatan


mengajarku pertama kali saat aku katakan Lambok sebagai nama
panggilanku. Ricuhnya kelas itu seperti salah ngomong di acara pers, dan
dalam waktu lama belum sadar juga. Akhirnya salah satu dari mereka
menjelaskan, bahwa arti namaku dalam bahasa Aceh itu adalah lembap.
Sepintas, aku berpikir bagaimana kalau dari semula aku dipanggil Parlam?
Aku senang dengan mereka. Aku bisa cepat berbaur dengan
mereka. Mereka ternyata bukan seburuk GAM yang kukira. Bahkan, aku
sadar aku berimajinasi terlalu tinggi.
Ini malam ke-2 bagiku menikmati gelapnya Simelue Timur. Kami
merebahkan tubuh, bergegas menuju alam lain tempat kami bisa
menikmati ketidaksadaran kami. Gasak gusuk di luar rumah seperti
menyentilku untuk kembali ke alam sadar. Ternyata hanya aku yang
terbangun. Aku bangkit pelan pelan, kuambil senter yang untungnya
dianjurkan ibuku untuk dibawa. Kusiapkan hatiku untuk keluar rumah.
Kuraih gagang pintu, kubuka pelan pelan agar tidak berderit. Kusorot
cahaya senter ke luar.
Aku melihat sepasang mata di hadapanku. Aku melompat ke
belakang sebagai respon refleks dari kejadian super mengagetkan ini.
Cepat

cepat

kututup

pintu,

lalu

kubangunkan

Maman

seraya

menceritakan apa yang kulihat tadi.


Ada apa di luar, Pak? tanyanya penasaran.
Ssshhtttt... jangan kuat kuat ngomongnya. Di luar ada sepasang
mata! kataku menambah dramatisnya kekacauan ini.
Coba saya lihat, Pak. Dengan berani diambilnya senter dari
genggamanku.
Hati-hati ya, Man! Semoga dia bisa selamat setelah melihat
sepasang mata nanti. Harap harap cemas menanti kabar, tiba tiba dia
datang dengan santai dan menyandang senyum di bibirnya.

Itu kerbau, Pak. Bukan apa-apa... Hahahaha!!! Akupun jadi ikut


tertawa. Aku kembali tidur dengan beralaskan matras olahraga dan
ditemani nyamuk-nyamuk yang setia padaku. Kupasang kelambu untuk
memisahkanku dari nyamuk nyamuk itu.
Keesokan harinya aku mengajar lagi. Aku mengajar dengan
peralatan sekolah apa adanya. Aku bingung harus bagaimana. Materi
harus tetap berjalan, tapi bola kaki saja tidak ada. Akhirnya aku
memutuskan untuk menggunakan apa yang ada di sekitar. Aku mengajak
muridku untuk mengumpulkan plastik yang ada di sekitar sekolah, lalu
menggulung gulung plastik tersebut agar terlihat seperti bola.
Ya, inilah bola kita sekarang. Anggaplah ini bola sungguhan,
kataku kepada murid murid yang sedang kuajar. Mereka tertawa
melihat kumpulan plastik yang disebut bola itu, tapi mereka tetap
menyimak materi yang kusampaikan. Setiap kata yang terucap seakan
seperti ilmu yang sangat berharga bagi mereka.
Lalu kuajak mereka untuk bermain bola kaki bersama. Tampak
dari cara mereka bermain, mereka sangat bersemangat. Mereka sangat
antusias menerima pelajaran yang kuajarkan. Kupecahkan suasana tegang
mengajar dengan metode bermain. Aku senang sekali mendapat murid
seperti mereka. Selama pelajaran berlangsung, mereka melakukannya
dengan senang hati.
Siang hari setelah selesai melakukan kegiatan belajar mengajar di
sekolah, murid muridku mengajakku jalan jalan.
Ke mana, Nak? tanyaku penasaran.
Melaut, Pak. Ayo ikut, Pak! ajaknya dengan semangat.
Melaut? Nggak ah, seram! tolakku dengan segera. Kubayangkan
ombak besar di laut lepas akan menerjang kami saat kami berada di
tengah tengah perairan itu. Tidak ada penjaga pantai menambah
kengerianku untuk ikut melaut.

Gak pa pa, Pak, mereka mencoba meyakinkanku kalau melaut itu


aman dan menyenangkan.
Kita naik apa?
Kapal kecil, Pak, katanya dengan santai. Mungkin aku bisa
mencoba, pikirku. Lagi pula, kami naik kapal kecil yang mungkin cukup
untuk 20 orang. Aku diajak ke pantai tempat kami akan melaut.
Sesampainya di sana, aku tidak melihat kapal kecil yang dikatannya.
Jadi kita naik apa? tanyaku lagi karena aku masih belum melihat
kapal yang dikatakannya.
Ini, Pak, tunjukkan ke sampan kecil yang hanya bisa ditumpangi
oleh 2 orang. Sebenarnya mengerikan, tapi apa boleh buat. Aku tidak
mungkin menolak ajakannya setelah sudah sampai di pantai. Akhirnya
kami memutuskan untuk memulai perjalanan melaut kami.
Aku berusaha menikmati suasana. Kami tertawa bersama. Setelah
melaut, kami akan pergi ke pulau yang ada di seberang. Kami berada di
laut lepas sekarang. Kubayangkan ada hiu ataupun predator lain yang
suatu waktu bisa menerkam kami.
Hujan mulai turun. Tawa kami semakin lama semakin lenyap. Hujan
semakin deras, bahkan ini bisa dikatakan badai. Aku semakin takut
dengan semua keadaan di sini. Sampan terasa semakin berat. Kami
menimba air yang masuk ke sampan.
Tiba tiba hujan reda dengan sendirinya seraya kami sampai ke
pulau yang dituju. Aku sangat senang sekaligus lega. Aku merasa seperti
baru keluar dari labirin yang sudah mengurungku berbulan bulan.
Pulau yang kami injak sekarang benar benar tidak berpenghuni.
Hutan mungkin masih terasa mengerikan jika kami memasukinya. Kurasa
banyak hewan buas yang siap menerkam kami karena kami merupakan
pendatang baru di sana.

Dari pada bingung, kami memutuskan untuk menangkap ikan. Murid


muridku itu menangkap ikan, bahkan gurita, hanya dengan menggunakan
tombak. Aku hanya terdiam melihat apa yang mereka lakukan. Setelah
itu, kami membakar ikan yang sudah ditangkap tadi, lalu kami makan di
sana dengan nasi yang kami bawa.
Kamu gak takut di sini? tanyaku di sela sela waktu makan kami
kepada salah satu murid.
Ah, udah biasa, Pak, jawabnya santai. Dari pada memikirkan hal
yang bisa membuat merinding, kami memutuskan untuk menikmati
suasana pantai dan segala kegiatan yang kami lakukan.
Setelah bermain seharian di pulau seberang yang tak berpenghuni
itu, kami pulang ke rumah masing masing. Hari ini memang hari yang
melelahkan, tapi aku senang karena aku bisa mencicipi sedikit dari sekian
banyak petualangan yang ada di sini.
Suatu hari di kantor, saat aku sedang berada di mejaku sendiri,
aku merasakan gempa bumi menggoyangkan kami yang ada di sekolah ini.
Aku panik karena ini merupakan kali pertama aku merasakan gempa
setelah aku sampai di daerah ini. Guru guru yang melihatku hanya
tertawa. Ini merupakan hal yang biasa bagi mereka. Hal yang paling
kutakutkan adalah tsunami akan menghantam kami yang ada di sini, tapi
kata mereka gempa yang seperti ini masih termasuk skala kecil.
Pernah juga satu malam saat aku tertidur, aku merasa tempat
yang kutiduri digoyang. Aku seketika terbangun. Ternyata itu gempa
bumi lagi. Aku langsung keluar dari rumah, tapi aku terkejut saat orang
lain tetap tertidur lelap. Ini pengalaman yang sangat aneh bagiku.
Suatu pagi, aku bertanya dengan rekan rekan guru yang ada di
sekolah. Sepertinya ini pertanyaan yang konyol bagi mereka, tapi rasa
keingintahuanku mengalahkan semua kekonyolan yang kupikirkan.
Kenapa kalau lagi gempa, bapak biasa saja?

Udah sering terjadi, Pak, jawab salah satu rekan dengan santai.
Jadi gimana kita tahu kalau ada tsunami? tanyaku penasaran.
Jujur saja selama aku di sini, aku tidak bisa membedakan yang mana
gempa biasa dan gempa yang menyebabkan tsunami.
Biasanya setelah gempa, nelayan lihat laut. Kalau air lautnya
surut, nelayan langsung teriak smong! (smong adalah bahasa Aceh dari

tsunami). Kalau udah dibilang gitu, semua masyarakat lari ke bukit. Kata
kata bapak ini cukup menjelaskan semua kebingunganku selama ini.
Akhirnya, setiap terjadi gempa aku selalu bersikap tenang dan biasa saja
sampai hari itu terjadi.
Waktu itu aku sedang berkunjung ke rumah salah satu temanku
yang juga berada di daerah Simelue. Berempat kami kumpul di satu
rumah karena banyak sekolah sedang melakukan acara perpisahan. Tiba
tiba terjadi gempa bumi. Awalnya kami kira itu hanya gempa biasa. Tapi
lama kelamaan gempanya semakin dahsyat. Sempat kami lihat lihatan
satu sama lain, bingung apa yang harus kami lakukan. Akhirnya kami lari
ke luar rumah. Untuk pertama kalinya aku melihat gedung bergoyang
goyang karena gempa secara asli.
Ini gempa terdahsyat yang pernah kurasakan selama aku tinggal
di Pulau Simelue. Bahkan gempa ini diberitakan di salah satu stasitun TV
dengan skala 8,9 S.R. Di sini rupanya akhir hidupku, pikirku.
Tanpa pikir panjang, aku inisiatif untuk kembali ke kamar temanku
itu untuk mengambil barang barang yang bisa diambil. Tas, baju
seadanya, gelas, jaket, parang, dan barang lain yang memang diperlukan.
Yang terpenting adalah senter, karena pasti akan dibutuhkan saat malam
di bukit. Tapi masalah terbesar di bukit adalah pacat. Kami harus bisa
siap sedia dalam setiap keadaan nantinya.
Setiap sekolah didesain khusus untuk dibangun di dekat bukit. Ini
dilakukan agar saat ada tanda tanda tsunami semua anak sekolah dapat

langsung diungsikan ke bukit. Ide ini merupakan salah satu cara untuk
meminimalisir jumlah korban jiwa.
Saat kami membereskan barang barang kami, ternyata ada
gempa susulan. Ayo lari! teriak salah satu teman yang sudah bingung
mau ke mana. Masyarakat sekitar juga sudah siap siap menuju bukit.
Kulihat di internet kecepatan tsunami 300 km / jam! abangku
meneleponku saat keadaan sedang genting. Aku makin takut. Bagaimana
kami bisa lolos dari tsunami kalau kecepatannya segitu?
Kami masih di depan rumah temanku itu saat hari sudah malam.
Saat itu hujan hampir mengguyur tempat kami. Dari pada kami kehujanan
saat jalan ke bukit, akhirnya kami pasrah untuk tetap di bawah.
Di sekitar sana, ada rumah doa tempat orang Kristen beribadah.
Kami diajak masuk ke sana oleh pemilik rumah doa tersebut. Kami diberi
kesempatan untuk makan malam dan menginap di sana. Di sekitar rumah
doa juga terdapat masjid tempat masyarakat Muslim juga berkumpul
untuk mengungsi. Melihat keadaan ini, perasaanku semakin lemas, akhir
dari hidup ini ternyata.... Ah, haruskah aku pasrah?. Apalagi saat-saat
yang kujalani saat itu adalah pilihan terakhir, benar- benar pasrah. Di
sana kami menginap sampai dua hari lamanya. Waktu yang sangat lama
bagiku untuk segera melewati masa kritis ini. Cepatlah berlalu dan kami
selamat, itulah yang terus kuucapkan di dalam doaku kepada Yang
Mahakuasa. Selama dua hari itu, para lelaki yang menginap disana
berganti- gantian untuk berjaga, mengantisipasi bahaya yang mungkin
tiba- tiba menghanyutkan kami semua.
Dengan kekuatan gempa yang sebesar ini, memang layak dikatakan
tidak ada harapan hidup. Bahkan ternyata tayangan televisi pun
menyiarkan bahwa gempa dengan kekuatan 8.9 S.R sudah mencapai
status tsunami. Satu hal yang kudapatkan dari pelajaran ini, ternyata aku
sangatlah beruntung selama ini, hidup di daerah yang aman dan bias

mendapatkan segala sesuatunya dengan mudah. Memang hal sepele, tapi


aku sangat bersyukur untuk itu dan kusesalkan baru menyadarinya
sekarang. Bahkan aku tercengang melihat antisipasi yang sudah mereka
lakukan jauh- jauh hari. Masyarakat di sana sudah mengepak pakaian dan
barang- barang yang dianggap penting ke dalam tas besar yang tidak
pernah di buka. Supaya, nanti- nanti jika gempa yang besar terjadi lagi,
maka mereka tidak perlu menghabiskan waktu untuk mengumpulkan
barang- barang tersebut, tinggal angkat tas dan berlari mencari
keselamatan.
Selama dua hari kulewati bersama masyarakat di sana, ternyata
hal yang lazim bahwa oran yang berprofesi sebagai guru sangat
dihormati. Tidak hanya dari golongan yang muda, bahkan orangtua yan
lebih tua dariku bahkan memiliki rasa segan dan hormat. Maklum, di sana
guru belum memadai.
Setelah melewati dua hari yang mendebarkan itu, akhirnya kabar
gembira menutup masa- masa itu. Gempa telah berhenti dan kabar
tentang tsunami ternyata batal terjadi. Oh Tuhan, mauliate ma di Ho,
itulah kalimat yang kuucapkan terus menerus setelah mendengar kabar
baik itu. Tidak hanya aku, teman yang lain juga melakukan hal yang sama,
dengan bahasa yang berbeda tentunya. Senangnya tak karuan, seolaholah aku kembali lagi hidup di dunia.
Tik... tik... tik....
Waktu semakin cepat berlalu, tak terasa waktu mencapai hari
kepulangan yang sudah kutunggu- tunggu semakin dekat. Aku sangatlah
senang menghitung hariku di sini tinggal beberapa jari lagi. Namun, di
satu sisi, aku juga merasa sangat sedih. Terlalu banyak kenangan yang
tidak mungkin terjadi lagi sekalipun sedikit menakutkan. Seiring
mendekatnya hari perpisahan kami, aku terus memberikan kata- kata
untuk memotivasi mereka. Aku sangat bersemangat dalam melakukan hal
ini dan merasa kalut, melihat wajah serius mereka yang terus

memperhatikan dan meyerap dalam- dalam setiap kata yang kulanturkan.


Tak seorang pun yang mau melewatkan moment itu, layaknya siswa- siswa
yang malas.
Sebelumnya, kepala sekolah meminta waktu yang tepat untuk
melangsungkan acara perpisahan. Nah, tibalah dihari perpisahan yang
ditunggu- tunggu tapi tidak juga diharapkan. Aku sangat terkejut,
mereka menyusun acara yang sangat luar biasa, bahkan tidak kusangka.
Sepanjang acara, aku menangkap bahwa mereka sangat senang dengan
kehadiranku disini. Mereka berterimakasih atas kehadiranku yang
menjadi guru luar biasa disana, atas semua motivasi, serta info- ifo yang
kubagikan kepada mereka. Ah, rasanya tidak ingin meninggalkan mereka.
Melihat wajah- wajah mereka yang begitu kehilangan, aku tidak bias
menahan air mata yang sedari tadi menginginkan keluar dari kantong
mataku. Huff..., akhirnya pondasiku runtuh. Air mata itu akhirnya keluar.
Ini benar- benar momen yang sangat menyedihkan, disamping aku harus
berpisah dengan murid- muridku, aku juga harus meninggalkan keluarga
baruku ,Maman dan kedua orangtuannya. Aku sudah terlanjur menyayangi
mereka sebagaimana keluarga, jadi sangatlah berat untuk meninggalkan
mereka. Bagiku, satu tahun bersama Maman, seolah- olah sudah menjalin
hubungan persaudaraan sejak kecil karena waktunya yang setahun selalu
kuhabiskan bersamam Maman di penginapan sekolah.
Selamat tinggal Aceh, selamat tinggal Simelue yang sudah
mengukir banyak kenganan di hidupku dan selamat tinggal juga untuk
murid murids yang kukasihi serta masyarakat di sana. Aku beruntung
bisa mengajar ANAK- ANAK YANG PENGEN BELAJAR.

Oleh :
Aldio Siregar
Indriyani Sinambela
Yulicia Tambunan
Vanda situmeang

Berdasarkan pengalaman Pak Parlambokan Pasaribu

Anda mungkin juga menyukai