Anda di halaman 1dari 10

Sepuluh Senja

Tak hanya letih mencari. Pun hati ini


sibuk menahan rindu yang kian hari semakin
menjadi. Maaf, janjiku untuk tak datang pada
senja kesepuluh bersamamu harus kuingkari.
Karena rasa itu pasti, dan aku tak patut untuk
memendamnya lagi.

*****

Ini sekolah bergengsi, favorit dikota


ini. Kata orang, punya segudang prestasi.
Sayangnya, aku tak tau diri. Mau dikatakan
bagaimana lagi? Geografi tak mampu, fisika
tak mumpuni. Ekonomi bubar, kimia apalagi.
Eh, masih saja percaya diri.

Apa yang membuatku bertahan


disini? Aku suka suasananya. Dengan
lokasinya yang berada ditengah-tengah kota,
kadang membuat aku terkesima. Banyak
sekali bangunan bersejarah. Gedung-gedung
pencakar langit disekitarnya membuat mata
sangat sukar untuk hanya sekadar
memandang.
Seperti hari ini. Selasa pagi yang
cerah. Matahari tak terlalu nampak.
Menguntungkan bagiku untuk memutuskan
berjalan kaki menuju tempat menuntut ilmu.
Banyak orang-orang berlalu lalang. Mungkin
pergi ke kantornya, atau bahkan penyebab
padatnya jalanan adalah mereka yang datang
dari luar kota hanya untuk menikmati
keindahannya.

Jam menunjukkan pukul 06.45.


Seperempat jam lagi, gerbang akan dikunci.
Kupercepat langkahku agar tak terlambat.

“Pagi pak”, Aku menyapa lelaki tegap


yang selalu setia tersenyum menyambut para
siswa berdatangan.

“Pagi Non, nanti jadi ikut demo


Non?”

“Enggak Pak, dilarang sama keluarga.


Soalnya jaminannya nyawa. Saya agak takut
Pak.” Ucapku.

“Yaudah Non, semangat belajarnya!”

Ah, aku lupa bilang. Siang nanti,


mahasiswa turun ke jalan. Sebenarnya aku
takut, pasti banyak korban. Api dimana-
mana, mobil berserakan. Persis beberapa
tahun silam.

Suasana sekolah ramai. Banyak yang


mau ikut turun ke jalan nanti. Jam pelajaran
kosong, guru-guru tak masuk ke kelas. Ah,
sebagian teman kelasku saja banyak yang
sibuk membuat poster.

“Hai, kamu sendirian aja?” Tiba-tiba


saja ia duduk di bangku kosong sebelah.

“Hem.. ya begitulah” Jawabku.

“Kamu jadi mau ambil apa?” Ia


bertanya lagi.

Nauval Azra namanya. Indah,


layaknya Sandyakala yang memenuhi
birunya langit saat senja.

“Yah mau gimana lagi? Pengen yang


tinggi-tinggi, tapi nilai ya gitu-gitu aja.”

“Terus jadi gimana dong?” Tanyanya.

Aku hanya tersenyum menanggapi.


“Kamu mau jadi apapun itu, aku akan
selalu dukung kamu kok Nad.” Terangnya
tiba-tiba.

“Kamu bisa aja ya ngehibur orang.”

“Aku nggak lagi ngehibur kamu Nad.


Aku mau kok kalo harus jadi orang yang
selalu ada di belakang kamu.” Ia memegang
tanganku.

Aku diam. Tak bisa menjawab lagi.


Ah, andai kamu tahu kalau sebenarnya aku
punya sebersit rasa yang sama namun tak
mampu ku utarakan.

“Satu minggu lagi, senja yang ke


sembilan Nad. Aku masih nungguin kamu
datang loh.”

“Kamu kan udah tau aku nggak


bakalan dateng.” Ucapku.

“Aku masih tetap disana kok Nad,


barangkali kamu berubah pikiran.” Ia
tersenyum.

Aku punya suatu perjanjian


dengannya. Sudah empat bulan berlalu, tapi
ia masih tetap bersikeras menunggu
jawabanku atas perasaannya. Lelaki itu,
selalu menungguku setiap dua minggu sekali
diatap salah satu gedung pencakar langit.
Benar, sudah delapan kali aku tak datang.
Mungkin seminggu lagi akan bertambah
menjadi Sembilan.

“Terimakasih Val. Terimakasih


karena kamu sudah bersedia jatuh dalam rasa
yang entah akan terbalas atau tidak.” Ucapku.

Ia tersenyum, mengangguk.

Pukul setengah dua siang. Aku


memesan jasa transportasi online. Disaat-saat
genting seperti ini, sebaiknya memang aku
tak pulang sendiri. Jalanan belum terlalu
ramai. Baru sekitar sepuluh sampai lima belas
orang yang tengah sibuk memasang poster,
umbul-umbul besar, juga pengeras suara di
pinggiran jalan. Tempat tinggalku masih
beberapa meter lagi. Ah, semoga saja nanti
tak merambat hingga kesana.
Lalu lintas mulai padat. Kulihat jam
yang tertera pada layar handphone. Dua lebih
sepuluh menit. Aku sudah sampai di rumah.
Dengan cepat aku masuk, lantas mengunci
semua pintu dan jendela. Bukannya apa-apa,
aku hanya ingin merasa aman saja.

*****

Hari ini senja yang ke Sembilan. Aku


memutuskan untuk tetap tak datang. Malam
nanti Mama dan Papa pulang kerja lebih
awal. Sekalian aku mau mengatakan suatu hal
pada mereka.

Setelah seminggu kemarin sekolah


diliburkan pasca adanya kerusuhan, aku
akhirnya memutuskan untuk tidak masuk
sekolah sementara.

‘Maaf ya, aku memang tak bisa


datang. Mungkin kita sudahi saja, perjanjian
kita ini. Saling menerima kenyataan, lantas
lusa ataupun nanti kita mengukir cerita
persahabatan yang indah.’

Kutekan tombol kirim pada layar.


Beberapa saat kemudian pun belum ada
jawaban. Aku sudah cemas, takut jika nanti
pesan ini malah memberikan efek yang
menyakitkan.

‘Tak apa, itu hak kamu. Tolong Nad,


tunggu sampai senja yang ke sepuluh ya,
setelah itu kita sudahi ini semua.’

Ah, lega rasanya. Tak lama lagi senja


yang ke sepuluh. Tuhan, apa aku menyerah
saja, lantas berkata padanya bahwa aku juga
memiliki rasa yang sama.

Semalam ketika aku meminta izin


pada Papa, semuanya lancar. Mereka
akhirnya mengizinkan aku untuk mengambil
jurusan sastra Jepang. Iya, setelah berpikir
lebih dalam lagi dan mencoba menanyakan
pengalaman beberapa kakak kelas, aku jadi
yakin.

Alunan lagu Andai Dia Tahu dari


Kahitna menemani malamku hari ini.
Pengarangnya piawai sekali dalam membuat
lagu. Ah, jadi galau. Liriknya terlalu persis
dengan kisah hidupku.

******
Lima hari setelah aku izin untuk tak
masuk sekolah, hari ini akhirnya aku
menghirup aroma tinta spidol kembali.
Mendengar suara-suara geseran meja dan
kursi. Tapi sepertinya, ada yang kurang.
Hingga menit-menit selanjutnya pun aku
belum tahu. Aku merasa tak utuh, tapi
kenapa? Apa yang hilang dariku?

“Nad, kamu tau kabarnya Nauval?” ia


menepuk pundakku.

Namanya Dinda, teman sekelasku


juga Nauval.

“Ada apa ya emangnya?” Ah, aku


malah balik bertanya.

“Udah berhari-hari dia juga nggak


masuk sekolah. Semua anak juga nggak ada
yang bisa ngehubungin.”

“Oh, kalau gitu nanti coba aku cari


tahu.” Ucapku.

Ah, jadi ini alasanku merasa hampa


sedari tadi. Nauval kemana? Dia tak bilang
apapun selain apa yang ada dalam pesan
singkat waktu itu.
Pulang sekolah ini, aku akan
mencarinya di rumahnya. Waktu itu aku
sempat belajar bersama disana. Tapi ternyata
sepi. Tak ada seorang pun, lantas harus kucari
kemana lagi.

Jam sudah menunjukkan pukul empat.


Papa sudah menelepon untuk menyuruhku
segera pulang. Apa aku akan menyerah.
Jawabannya tidak! Akan aku lanjutkan untuk
mencarinya besok.

Hari kedua dan ketiga juga nihil.


Mengapa aku merasa sekehilangan ini? Apa
aku sudah benar-benar menaruh hati?

Sudah hari ke empat. Mungkin aku


akan mendapat jawaban di hari ini, atau
mungkin tidak. Sekarang senja yang
kesepuluh. Tak akan kupungkiri lagi. Aku
melanggar janjiku sendiri untuk tak datang.

Jam lima sore. Matahari sudah bersiap


untuk tenggelam, namun ia masih juga tak
terlihat batang hidungnya. Aku masih
menunggu. Beginikah rasanya ia
menungguku pada Sembilan senja yang tak
kudatangi.
Langit sudah penuh oleh semburat
merah yang indah. Sayangnya, keindahan ini
tak kusambut dengan senyuman, tapi dengan
tangisan.

Senja hari ini adalah senja yang tak


pernah aku lupakan. Senja yang harusnya
menjadi awal sebuah hubungan untuk kita
berdua. Senja yang harusnya menjadi
jawaban atas penantiannya selama ini dengan
kedatanganku.

Biarlah, entah suatu saat nanti kita


akan berjumpa lagi ataupun tidak. Aku
meminta izin untuk pamit setelah datang ke
tempat ini dan mengakui bahwa rasa itu benar
adanya. Kuucapkan selamat tinggal untuk
hati yang tak sempat kumiliki.

Pada salah satu sisi tembok yang ada,


kutinggalkan sebuah kenangan. Goresan
tanganku sendiri. Tertulis dengan rapi. Agar
seluruh dunia tahu bahwa aku, Nadi Agnia
Frisanti pernah menjatuhkan hatinya padamu.

Anda mungkin juga menyukai