Anda di halaman 1dari 37

2020

ANTOLOGI KARYA SISWA


MEMERINGATI BULAN BAHASA DI MA SUNAN BEJAGUNG

MA SUNAN BEJAGUNG
BEJAGUNG-SEMANDING-TUBAN
10/10/2020
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr.Wb.

Dikesempatan yang berbahagia ini pertama sekali saya ucapkan puji dan syukur atas nikmat yang telah
Allah berikan kepada kita, sehingga saya dapat menyusun Antologi Karya Siswa MA Sunan Bejagung
Memeringati Bulan Bahasa 10 Oktober 2020 . Solawat beriringkan salam kami haturkan kepada
junjungan Nabi Agung Muhammad S.A.W yang telah membawa kita dari jaman jahiliyah kepada jaman
yang penuh dengan keberkahan.

Terimakasih kepada Agus Muhammad Husnul Aqib, M.H.I. selaku kepala MA Sunan Bejagung, Bapak
dan Ibu guru MA Sunan Bejagung, serta anak-anak yang saya banggakan.

Buku Antologi “Gebyar Literasi” Memeringati Bulan Bahasa 10 Oktober 2020 ini disusun berdasarkan
seleksi karya yang masuk ke panitia, dengan sedikit penyuntingan dari panitia. Semoga bisa menjadi
acuan dan pelecut semangat para siswa khusunya siswa MA Sunan Bejagung dalam peningkatan
kompetensi dan ajang kompetisi untuk pelestarian Bahasa kita, Bahasa persatuan Bahasa Indonesia.

Demikian, Semoga buku ini dapat memberikan manfaat bagi kita. Mohon maaf atas segala kekurangan.

Wassalamualaikum Wr.Wb.

Panitia.
DAFTAR ISI

ANTOLOGI KARYA SISWA

MADRASAH ALIYAH SUNAN BEJAGUNG

TAHUN 2020

GEBYAR LITERASI DALAM RANGKA

PERINGATAN BULAN BAHASA TAHUN 2020

1. Cerpen “NASIRUN WONG KANG NULUNG” Karya Nuris Wardha

2. Cerpen “SANTRI LEGENDA” Karya Isa Murtadho

3. Cerpen “ALIF” Karya Pak Adi

4. Puisi “ SANTRI JOMBLO “ Karya Zainun Nasikin

5. Puisi “ SANTRI OLENG” Karya Deny Cahya Ramadhan

6. Puisi “ VILA KEHIDUPAN “ Karya Dimas Naja Setiyaki

7. Puisi “SANTRI MOJOKOPEK “ Karya Kukoh Nizar

8. Puisi “MENGGAPAI IMPIAN “ Karya Choirul Mukminin

9. Puisi “INSTROPEKSI “ Karya Cheril

10. Puisi “ JODOH PAIMO “ Karya Hendrik Eko

11. Puisi “ TAMBATAN HATI “ Karya Nurul Zaman

12. Puisi “ KAIL SANTRI “ Karya Taufiqur Rohman


NASIRUN WONG KANG NULUNG

Oleh : Nuris Wardha

XII-A MA Sunan Bejagung

“Zuhud… Zuhud….” dengan suara ngos-ngosan teriak seorang santri sambil berlarian menuju Kantor
Pengurus Pondok Putra. Perawakannya yang berisi dan agak gemuk makin membuat santri lain
penasaran, Tumben Kang Nasir berolah raga siang-siang. “Mana Zuhud? ditimbali Guse, cepat!” katanya
setelah membuka pintu kantor. Kang Aji yang ada disana cuma berekspresi mengangkat kedua bahunya
sembari tersenyum.

“Zuhud Plumpang… Zuhud Plumpang… segera menuju ke kantor, menemui Kang Nasir!” suara Kang Aji
terdengar dari speaker pengumuman. Dari dalam ruangan itu terlihat beberapa santri berlalu-lalang
mempersiapkan ngaji kitab Kifayatul Akhyar di Pendopo Soko Songo.

“ Hmmm… ditimbali Guse lagi?” tanya Aji sambil memandang Nasir yang masih menata nafasnya.

“Iya, ini gawat darurat. Saya takutnya Zuhud itu dikeluarkan. Soalnya pelanggaran dia kan sudah sangat
banyak. Ndak pernah ikut shorogan, ndak pernah hafalan, ndak nongol juga kemarin waktu kajian
kitab Kifayatul Akhyar oleh Guse” jawab Nasir serius.

Setelah menunggu 10 menit, yang ditunggu tidak jua datang, Para santri di Pondok Putra sudah terlihat
agak sepi, hanya beberapa saja yang tinggal. Itu pun mereka sudah membawa kitab dan sandalnya, siap
untuk berangkat.

“Duh… bagaimana ini Kang, ngaji Guse dimulai 5 menit lagi” kata Nasir gugup. Suara puji-pujian sudah
mulai terdengar dari speaker Soko Songo sebagai pertanda kajian akan segera dimulai. Mungkin ia takut
kalau kembali tanpa Zuhud, dialah yang akan kena murka.

Sudah 2 kali ia harus berhadapan dengan Gus, bahkan yang terakhir disertai Kiyai. Mencari solusi terbaik
bagi santri-santri yang kelihatannya bandel. Ia sesungguhnya berharap pada mereka untuk bisa berubah
dan lebih serius mengaji untuk masa depan mereka sendiri. Minimal mereka tidak mengecewakan
harapan kedua orang tuanya. Tapi memang si Zuhud ini agak bengal. Mungkin kalau Nasir
merekomendasikan, bisa saja Santri kalong satu ini sudah lama dipulangkan ke orang tuanya. Dia sudah
2 kali ketahuan melompat pagar dan sekali merokok di dalam kamar mandi pondok, sampai ketiduran.
Usaha yang dilakukan Nasir mungkin sudah maksimal. Bahkan ia secara suka rela dan sengaja sowan ke
Kiyai dengan membawa catatan santri-santri nakal itu untuk di doakan Kiyai. Dan Alhamdulillah, begitu
diberikan wejangan secara pribadi oleh Kiyai, beberapa santri tersebut sudah ada perubahan sikap yang
signifikan. Kecuali Zuhud. Nyatanya ia sekarang masih juga belum ketemu. Menghilang seperti di telan
bumi. Tentu perasaan gemas bercampur geram sedang menyelimuti Nasir.

“ah… kamu seperti ndak tahu saja. Zuhud itu kan julukannya santri kalong. Bentar-bentar ada, lalu
menghilang. Siangnya ngumpet tidur, malamnya berkeliaran. Bilang ke Guse kalau dia sedang ada tugas
membeli peralatan pondok, atau sedang dapat takziran membersihkan Qulah, atau kamu bilang aja jujur
bahwa dia tidak ada di pondok. Mungkin melompat pagar lagi” nasihat Aji sambil ngeloyor pergi
menanting kitabnya. Nasir hanya bengong, tak tahu harus melakukan yang mana. Ia termenung sejenak
seakan menyalahkan dirinya sendiri. Apakah memang dianya yang tidak becus mengemban amanah
mulahid yang diberikan oleh Kiyai. Atau memang ada proses yang ia lewati sehingga belum juga
membuahkan hasil yang memuaskan.

Beberapa menit berselang, suara Guse sudah memulai kajian, bertambah guguplah Nasir. Ia segera
keluar dari kantor pondok tanpa alas kaki, ingin menuju kelas-kelas SMP barangkali yang dicari ada
disana. Baru beberapa langkah, namanya sudah dipanggil…

“Kang Nasir, Kang Nasir!” suara santri dari belakang menghentikan langkahnya. “Mau kemana?”

“Ohhh… Kang Saulin. Ini saya mau mencari kang Zuhud!” jawab Nasir sambil agak berjingkat menahan
panas kakinya. Ndak tahu mengapa juga seluruh pondok memanggil temannya itu dengan sebutan
Saulin, padahal nama aslinya adalah Rizal.

“Tanpa sandal begitu?” pertanyaannya agak tersenyum meledek.

“Oh… iya lupa!” pandangannya menuju ke bawah, melihat telanjang kedua kakinya. Bergegas ia kembali
ke kantor.

“Echhh… Echhh… mau kemana?” cegah Saulin sambil menahan satu lengannya.

“Mau pakai sandal Kang. Ini agak panas” jawabnya sambil mengangkat satu kakinya bergantian.

“Ohhh… iya, kamu ditimbali Guse tuh! Di Pendopo ya!”. Kata-kata Saulin ini langsung membuat Nasir
terbelalak. Ia hanya melongo lemas, kakinya yang tadi berjingkat karena panas, kini malah diam.
“Hadeeewww… mati aku!” terdengar desahnya pelan. Ia segera mengambil air wudlu dan langsung
menuju ke pendopo. Perasaannya campur aduk karena malu dan khawatir, sudah dikasih tugas ndak
beres, malah dia juga ngajinya ketinggalan.

Sampai di pendopo, ratusan santri sudah terbaris bersap-sap duduk bersila menghadap kitabnya masing-
masing. Nasir pun tidak berani melangkah maju ke depan. Ia kemudian hanya duduk di sap paling
belakang, begitu bersila ia merasa ada yang janggal.

“Duh, iya. Kitabku mana?” dia hanya bisa meringis sambil menepuk jidatnya yang hitam. Ia segera
beranjak, berdiri pelan-pelan, berharap saja Guse tidak menyadari kehadirannya maupun kepergiannya.
Baru sedikit beranjak berdiri namanya masuk ke speaker pendopo.

“Kang Nasir!” Suara itu membuat seluruh pandangan menuju kepadanya yang setengah berdiri.
Wajahnya memerah sampai kuping menahan malu ketika ia menjadi fokus diantara ratusan santri putra,
bahkan ribuan santri putra dan putri yang mendengarnya. Begitulah memang takzirannya, santri telat
ngaji harus duduk paling depan.

“Saya yakin, sampai nanti malam akan jadi trending topik di pondok” gumamnya dalam hati.

“Geh Gus!” jawab Nasir bimbang. Nasibnya kini bagai buah simalakama, mau maju tidak membawa
kitab, mau mundur juga tidak berani melawan perintah.

“Sini ngaji didepan. Ngaji kok di belakang!” pinta Guse. Nasir segera maju dengan perasaan malu dan
muka memerah marah. “Ini semua gegara Zuhuuddd” gumamnya sambil menggeretakkan giginya.
Sampailah ia di barisan paling depan tanpa kitab.

Begitulah kehebohan siang itu. Benar saja, tidak hanya habis di pendopo, cerita Nasir masih jadi
perbincangan yang serius di kamar pondok. Nasir dihabisi teman-temannya dengan kelakar-kelakar
mereka yang memang suka menjahili temannya. Tapi jangan bilang Nasir kalau hanya karena itu
membuat ia jadi minder. Ia tetap berjalan gagah kaya Power Ranger, menuju gerbang pondok untuk
membalas dendam. Menanti si santri kalong untuk dia kebiri. “Hmmm… rasanya ingin aku melumat
habis sampai tulang-tulangnya si Zuhud. Biar tahu rasa” senyumnya kini terlihat sinis. Perasaan kagum
pada Zuhud telah sirna. Ketika ia baru masuk pesantren, bercerita bahwa ia hidup secara mandiri dari
kecil bersama pengasuhnya. Ayah dan ibunya sudah menjadi TKI semenjak ia TK. Ia kagum, bahwa anak
seumuran dia yang SMP sudah bisa mengurus dirinya sendiri.
Adzan maghrib berkumandang, sahut menyahut di beberapa mushola, termasuk dalam pondok. Namun
sejauh mata memandang Sang Santri Kalong yang ditunggu tidak kunjung datang juga. Perasaan Nasir
yang ingin membalas dendam kini berubah jadi kekhawatiran. Bahkan suara tahlil di pendopo sudah
mulai terdengar, pertanda bahwa Jamaah Maghrib telah usai. Tidak biasanya Zuhud pergi sampai jam
segini belum pulang. Terlihat ia mondar-mandir gelisah dengan sesekali membetulkan bebetan
sarungnya. Niatnya untuk melapor ke Guse juga ia urungkan. Ia khawatir terjadi kehebohan seperti
sebulan lalu. Ketika memberikan pengumuman dari speaker pondok bahwa Zuhud hilang. Setelah
semua warga pondok panik, ehh… ternyata ia ketiduran di dalam kamar mandi. Malunya bukan main
ketika ia melaporkan kejadian itu pada Gus.

Ia bergegas menuju Pendopo menunaikan sholat Maghrib, ledekan teman-temannya sudah tidak ia
hiraukan. Setelah Sholat ia baru merapat dengan sie keamanan perihal Zuhud yang hilang. Belum juga
genap lima menit ia berbincang, kehebohan terjadi di luar. Derap para santri berlarian ke luar,
memandang Zuhud yang baru saja masuk ke gerbang. “Kang Aji, Kang Nasir, Zuhud kembali membawa
cewek!” teriak seorang santri sembari agak mendobrak pintu kantor.

“Ahhh… kamu ini bisa saja” terlihat muka Nasir kurang percaya.

“Iya kang, tuh lihat di depan” jari telunjuknya mengarah kepada Zuhud yang berjalan di lapangan.
Memang ia bersama seorang wanita seumurannya, tapi tak berhijab. “Mau mati. Untuk apa ia membawa
masuk wanita ke pondok kita?” gumamnya dengan tangan mengepal. Suara sindiran dan suwat-suwit
dari para santri tidak bisa ia redam.

“Hei bocah! Sini!” teriak Nasir dari dalam kantor. Tapi mungkin karena jaraknya yang jauh, suasana
heboh, atau memang tiada dihiraukan, Zuhud langsung belok kiri menuju ndalem pengasuh dengan
menggandeng tangan wanita itu”. Nasir kembali berusaha menenangkan para santri dengan sekuat
tenaga. Ia menyuruh mereka untuk tadaruz di kamar masing-masing menjelang sholat Isya, daripada
melakukan hal yang tiada berguna.

Menunggu sepuluh menit, ia berharap bisa dipanggil oleh Gus dan dilibatkan dalam pembicaraan
masalah ini. Ia ingin menuntut pertanggungjawaban dan pernyataan Zuhud yang tidak akan mengulangi
kesalahan yang sama lagi. Lima belas menit berselang panggilan belum juga datang. Nasir berharap-
harap cemas. Sampai adzan Isya’ berkumandang, ia hanya bisa memasrahkan harapannya. Ia kembali ke
kamar-kamar pondok untuk obrak-obrak para santri berjamaah.
Sedang khusyuk berdzikir setelah sholat Isya’, ia dijawil pundaknya oleh seseorang sembari berbisik
“Kang Nasir ditimbali Guse”. Tak butuh waktu lama, ia segera mengakhiri dzikirnya untuk sowan.
Perasaannya sudah tak lagi segeram tadi. Karena Ia terlihat hanya berjalan biasa saja.

Zuhud dan wanita itu terlihat duduk bersimpuh berjejeran sambil merunduk. Didepan mereka nampak
Guse sedang senyum-senyum ketika tahu kedatangan Nasir.

“Assalamualaikum” salam Nasir yang kemudian dijawab keseluruhan yang hadir. Nasir segera
mengambil tempat duduk bersila di depan Gus, sesekali memandang Zuhud yang merunduk berjejeran
dengan wanitanya “Wonten dawuh Gus?”. Sejenak Guse hanya tersenyum, bergantian memandang
Nasir, Zuhud, dan Wanita itu.

“Pertama, kamu Zuhud harus meminta maaf pada Kang Nasir, atas perbuatan kamu. Yang kedua, tolong
bantu Kang Zuhud untuk mengemasi barang-barangnya di pondok, besok pagi biar diantar Kang Saulin
pakai mobil merah” jelas Guse. Kata-kata Guse yang terakhir itu seakan menghujam ke ulu hatinya. Ia
merasa gagal mengemban amanah yang diberikan kepadanya untuk membimbing beberapa santri agar
berhasil dalam mengenyam pendidikan di pesantren. Tapi memang Zuhud ini anaknya bengal, tidak
gubris kalau dinasehati, malah sekarang bawa-bawa wanitanya ke pondok. Mungkin ini memang sudah
ketetapan dan konsekuensi yang harus ia jalani. Pikirnya membela diri sambil mengangguk-anggukkan
kepalanya.

“Ohhh… iya! Kenalkan, ini Suci adiknya Zuhud” jelas Guse sambil menunjuk wanita itu.

“Ahh…” suaranya pendek sambil terus mengangguk. Dinding pertahanan dan pembelaan yang sudah
kokoh ia bangun serasa roboh dalam sekejap. Seseorang yang tadi ia sebut-sebut sebagai wanitanya,
ternyata hanyalah mahrom. Tapi mengapa juga Zuhud juga tak pernah cerita kalau punya adik.
Suudzonnya tentang wanita itu kini berbuah pengingkaran, seakan ia tak mau percaya pada fakta yang
ada di hadapannya. Malu pada Zuhud dan adiknya yang telah ia sangkakan melanggar norma dan tata
tertib paling vital dalam pesantren ini.

“Anuu… Gus! Harusnya sayalah yang harus meminta maaf, terutama pada Mbak, Eh… adik Suci. Karena
saya telah suudzon kepadanya. Kang Zuhud juga tidak pernah cerita kalau dia punya adik. Setahu saya
ia cuma anak tunggal…” muka Nasir memerah kini menahan malu.

Suasana berasa hening sejenak. Masing-masing tenggelam dalam penyesalannya. Guse kemudian
menceritakan ihwal kenapa Zuhud dan adiknya bisa sampai disini. Bahwa Zuhud spontan mbedal
melompat pagar begitu mendapatkan kabar bahwa adiknya lari dari rumah pengasuhnya. Tiada famili di
Pulau Jawa ini, sedangkan Ayah dan Ibunya masih di negeri seberang mencari nafkah. Begitu bertemu
dengan adiknya, dia tak tahu harus dibawa kemana. Nasir cuma melongo sambil manggut-manggut saja.

Setelah mereka bermaaf-maafan, Guse mempersilakan kedua Kang-kang itu kembali ke pondok,
sedangkan Suci disuruh mandi, makan, dan bergabung menginap semalam di Pondok Putri.

“Kang Hud, adikmu biar mondok aja sekalian disini!” Nasir membuka percakapan sambil berjalan menuju
pondok putra.

“Iya Kang. Keinginanku juga seperti itu. Sekalian sekolahnya biar pindah ke MI sini. Tapi ndak tahulah,
kelihatannya Suci masih bimbang” jawab Zuhud.

“Nanti kalau sudah besar, untukku ya!” canda Nasir sambil merangkul pundak Zuhud.

“Hahaha… Enak saja. Adik saya kalau sudah besar, mau saya jodohkan dengan putranya Guse kok” jawab
Zuhud sambil tertawa-tawa. Ketegangan Nasir dan Zuduh akhirnya cair. Mereka saling berangkulan
kembali ke pondok putra.

Zuhud dan adiknya diantarkan pulang ke pengasuhnya pagi-pagi setelah sholat Shubuh. Dia di skors
selama 1 minggu, diberikan kesempatan untuk menyelesaikan permasalahannya di rumah.

Nasir kembali bertugas obrak-obrak santri putra untuk jamaah, shorogan, kajian kitab, dan ngaji
madrasah diniyah. Untuk remaja seusia dia yang baru lulus MA, mungkin tugas itu gampang-gampang
susah. Dia harus berhadapan dengan permasalahan-permasalahan kompleks yang terjadi di pesantren.
Tapi ia jalani dengan ikhlas, walau kadang harus bersitegang dengan sesama santri, bahkan dengan wali
santri. Dialah Nasirun, yang kemudian oleh Guse dilaqobi “Nasirun Wong Kang Nulung”.

(CC.NUR/CE.AD)

Pantau terus channel kami di https://www.youtube.com/channel/UCsjm7oCDt2PbWG5Kpe91hLQ


SANTRI LEGENDA

Oleh : Isa Murtadho

Bejagung, desa agak pedalaman yang berjuluk Desa Wali tiga hari ini sudah masuk dalam suasana
kegemparan. Bagaimana mungkin di bulan September, saat desa-desa lain di sekitarnya diliputi kemarau
panjang bahkan krisis air bersih, di Bejagung turun hujan selama 3 hari berturut-turut tanpa henti.
Sebenarnya bukan kali ini saja hal-hal ganjil terjadi di desa Bejagung. Hal-hal mistis yang diluar nalar
kerap terjadi di beberapa bulan belakangan ini. Apalagi jika memasuki bulan suro. Maklum disekitar
Bejagung disamping dikelilingi oleh siti garet -garis gaib yang melindungi desa Bejagung- dan makam
para Waliyullah, juga ada satu makam yang lebarnya 3 meter dengan panjang sekitar 11 meter. Disanalah
disebutkan Makam Patih Barat Ketigo, yang konon disebut makam Maha Patih Gajah Mada yang
diceritakan dalam sejarah pewayangan sebagai tokoh moksa,jasadnya diangkat ke langit seperti nabi Isa
A.S.

Wallahua’lam bishowab.

Awan hitam yang menyelimuti langit diatas desa Bejagung seakan berkumpul menjadi satu kesatuan. Ini
hari ketiga yang paling parah, hujan disertai petir sambar menyambar di atas Pesantren Condromowo,
Pesantren salafiyah yang juga mengajarkan ilmu kanuragan.

Suro Diro Jayadiningrat, Lebur Dening Pangastuti, kalimat bertinta emas yang tepampang di gerbang
pesantren berlatarkan warna gradasi merah dan hitam. Di kanan kirinya terpampang juga gapura tinggi
menjulang berlatar motif gedog, khas dari Tuban yang menambah suasana mistis sebagai ciri khas
pesantren ini. Jangan tanya santrinya, ratusan bahkan ribuan dari mereka kesemuanya adalah ahli puasa
dan tirakat. Kisah cerita ini akan mengetengahkan kehebatan 4 santri Legenda Pesantren Condromowo,
yakni Isa, Ipul, Cahyo, dan Khoirul dalam melindungi Megalamat, tombak pusaka yang mempunyai
kehebatan kondhang kalaka, menghancurkan sepenuhnya tanpa menyentuh, seperti nuklirnya Kim Jong
Un. Selama Kiyai pergi haji, merekalah yang diberikan amanah untuk menjaga pesantren sampai Beliau
pulang dari tanah suci.

“Ada yang aneh beberapa hari ini, Kang!” Isa memandang keatas langit yang awanya berputar diatas
langit pesantren.
“Iya. Dan ini adalah hari terparah, lihatlah! Astaghfirullah!” pekik Ipul sambil menunjuk keatas langit
hitam yang terlihat berputar-putar seperti membentuk angin puting beliung. Semakin lama semakin
membesar dan turun ke bawah.

“Kang, panggil Kang Cahyo dan Kang Khoirul, rupanya kita akan kedatangan tamu!” perintah Ipul sambil
mengeluarkan tasbih hitam, berkomat-kamit membacakan dzikir.

“Baik, kita ketemu di Ruang Megalamat” tak menunggu 2 kali diperintah, Isa segera melompat
kebelakang dan berlari menuju padepokan khusus Rois Pesantren. Ipul sendiri masih memejamkan mata
memutarkan tasbihnya semakin cepat. Sejenak kemudian Ipul pun segera berlari menuju sebuah
ruangan yang mereka sebut “Megalamat”, ruangan tempat menyimpan pusaka inti. Terlihat 3 pemuda
duduk bersila dengan tasbih masing-masing ditangannya. Membentuk 3 arah mata angin dengan
menghadap sebuah tombak tua bermata emas berdiri di tengah. Aneh memang, tombak dengan
panjang sekitar dua setengah meter berdiri tegak ditengah tanpa alas maupun penyangga. Ipul segera
bergabung duduk bersila. Sekarang lengkaplah Megalamat di kelilingi mereka dari 4 penjuru arah. Isa di
sebelah utara, Cahyo di sebelah timur, Khoirul di sebelah Barat, dan Ipul di sebelah selatan. Mereka
duduk bersila memejamkan mata, sambil mulutnya berkomat-kamit membacakan wirid. Tasbih
keempatnya diputar terus, semakin cepat, semakin cepat, dan akhirnya berhenti serempak. Sebuah sinar
keluar dari masing-masing ubun-ubun keempat santri itu. Sedangkan jasad mereka duduk bersila kaku
seperti tanpa nyawa. Ngrogoh Sukmo, ajian ini telah terkenal di kalangan pesantren Condromowo. Ajian
yang mampu mengeluarkan ruh dari raga dan kembali lagi pada saat yang diinginkan. Kemampuan
khusus ini dapat digunakan saat para santri legenda ingin mengalahkan lawan dengan tanpa terlihat
secara kasat mata, atau melawan para makhluk halus yang tak terlihat ingin membuat keonaran di
lingkungan pesantren.

Empat sinar putih menyilaukan mata, sedikit demi sedikit membentuk sebuah bayangan putih berjubah.
Roh empat santri legenda kini telah utuh keluar dari jasad mereka. Isa yang berdiri di sebelah utara
menenteng sebuah gaman berupa keris berlekuk tujuh. Luk pitu, keris ini dikenal sangat ampuh untuk
memagari diri. Dihadapannya terlihat Ipul yang masih komat-kamit memutar tasbih hitamnya dengan
mata tertutup.

Cahyo, santri yang kini berdiri tegak di sebelah timur mengenakan sebuah rompi pelindung berbahan
kulit kambing, Onto Kusumo. Rompi ini sendiri tak kalah hebat dalam hal untuk melindungi diri sang
pemakai. Khoirul yang ada di penjuru barat malah memegang keris yang lebih panjang berlekuk tujuh
belas. Yang konon keris luk pitulas ini dibuat oleh sahabat Sunan Kalijaga dengan nama “Keris Kyai
Carubuk”.
Keadaan ruangan Megalamat secara kasat mata hanya hening seperti pada umumnya. Padahal dalam
alam ghaib, tempat itu telah dikepung puluhan, bahkan ratusan bola api yang memutar mengelilingi
ruangan 6×6 meter itu.

“Tenang, Kang. Fainsya Allah ini hanyalah Kemamang” kata Ipul setengah berbisik kepada teman-
temannya. Belum sedetik setelah perkataannya, puluhan bola api itu menerjang empat kawanan santri
itu. Ipul dan Khoirul terpelanting ke belakang menghindari banyaknya serangan bola api yang
mengamuk. Beberapa yang dapat ditangkis dengan keris Khoirul, hanya memecah memercikkan api
yang lebih besar, lalu bersatu kembali. Pertarungan mereka berdua melawan bola-bola api yang datang
dari segala penjuru berjalan sangat sengit. Sesekali Ipul harus terpelanting dengan bibir mencium tanah,
karena kewalahan serangan musuh gaibnya.

“Ini bukan Kemamang biasa!” pekiknya sambil mundur beberapa langkah, setelah kepalanya terasa
pening terhantam satu bola api yang besar. Begitu pula Khoirul, dia sesekali terlihat memegangi pundak
kirinya yang mulai terluka.

Isa dan Cahyo sendiri masih berdiri tegap diliput cahaya putih memutar, tanpa tersentuh bola-bola api
gaib itu. Isa yang melihat kedua temannya mulai terpojok, kini mulai memainkan perannya. Dia
mengayun-ayunkan keris Luk Pitunya ke segala arah, dan anehnya tak satupun dari bola-bola api itu
berani mendekat. Santri dengan rambut agak panjang itu segera merapat bersama Ipul dan Khoirul,
sedangkan Cahyo masih terlihat komat-kamit dengan tangan bersedekap.

“Saya rasa kita harus segera mengakhiri pertempuran ini, Kang!” ucap Isa sambil berdiri waspada
diantara Ipul dan Khoirul.

“Betul, saya rasa juga begitu!” jawab Ipul segera.

“Saya merasa ini hanyalah permainan pasukan kecil dari raja atau ratu mereka yang belum muncul”
imbuhnya dengan nafas setengah ngos-ngosan.

“Cahyo, lindungi Ipul biar dia mengambil Megalamat. Kang Khoirul, coba sampean alihkan perhatian
mereka” perintah Isa sambil mengangkat kerisnya diatas kepala.

Rencana segera dijalankan, Khoirul berlari ke depan dengan menghunuskan senjata kerisnya.
Sedangkan Cahyo yang sedari tadi diam, kini mulai menandakan pergerakan serangan, Tubuhnya
berputar cepat, dan lebih cepat membentuk angin puting besar yang menggulung bola-bola api itu.
Ipul yang sedari tadi memang sudah memasang kuda-kuda tidak menyia-nyiakan kekacauan itu. Ia
berlari ke arah Megalamat untuk mencabut pusaka itu dari warangkanya.

Sementara Cahyo terus menggulung ratusan bola api gaib itu diatas. Angin puting beliung yang tadinya
memancarkan kilauan sinar putih, kini telah berubah sebagai topan api. Semakin lama, semakin
membesar dan menjulang keatas langit yang masih menghitam.

Ipul yang telah menggenggam Megalamat, berkomat-kamit membaca wirid. Dengan suaranya yang
memekik dan lantang ia kemudian menghujamkan senjatanya itu ke arah langit, tepat di tengah-tengah
gulungan topan api yang membara.

“Bismillah, Allahul Qodir!!” sekuat tenaga ia melemparkan tombaknya ke arah gumpalan api raksasa di
angkasa.

Megalamat menghujam cepat membelah puting beliung yang tadi diciptakan Cahyo. Sungguh
pemandangan yang menyilaukan, gumpalan api itu kemudian pecah dan menimbulkan ledakan yang
teramat dahsyat di angkasa. Hujan api menyelimuti seluruh penjuru. Cahyo dan Isa secepat kilat
menyambar tubuh Ipul dan Khoirul, melindungi mereka dari percikan kembang api itu.

“Allahu Akbar!, Allahu Akbar” pekik Khoirul dalam dekapan Cahyo. Keempatnya terlindungi oleh sinar
putih yang menyelimuti dari segala api yang jatuh.

Megalamat jatuh kembali pada tempat semula. Menancap disamping alasnya, yang kami sebut sebagai
Warangka.

“Kang lihat itu!’ Cahyo kembali berteriak lantang sambil jari telunjuknya mengarah ke angkasa. Sinar-
sinar api kecil yang tadinya jatuh, kini mulai bergerak mengelilingi mereka, kemudian melayang ke atas,
kembali berkumpul menjadi gumpalan api yang semakin lama semakin membesar. Gumpalan-gumpalan
api itu kini membentuk sebuah makhluk raksasa berwajah mengerikan dengan dua sayap api.

Makhluk itu sekarang sudah berubah bentuk secara sempurna. Di wajahnya yang rata, hanya ada mata
satu ditengah dan mulutnya yang mengeluarkan semburan api. Matanya juga memancarkan cahaya
merah yang amat menyilaukan.

“Hati-hatilah, Kang! tamu kita ini rupanya bukan makhluk sembarangan” ucap Khoirul yang sedari tadi
memegang pundaknya, kesakitan.
“Hai Bocah-Bocah ingusan. Serahkan tombak itu, atau akan aku jadikan kalian sebagai santapanku yang
lezat” ucap makhluk itu mengancam mereka.

“Wahai makhluk apapun kamu, Demi Allah! Saya tidak akan menyerahkan pusaka ini kepadamu sebelum
saya mati. Sangat berbahaya jika pusaka ini jatuh kepada iblis macam kamu!” jawab Ipul yang kini telah
berdiri gagah memegang Megalamat di tangan kanannya.

“Hahaha, berarti saya tidak perlu berbasa-basi lagi wahai Bocah!” jawab makhluk laknat itu sambil
bergerak secepat kilat melesat menghujamkam senjata trisulanya. Keempat santri yang diserang secara
mendadak potang-panting menghindar, apalagi Khoirul yang kelihatannya sedang terluka parah.

Keempat santri itupun terpental berguling-guling ke tanah. Isa yang juga mulai kelelahan berusaha
bangkit, ia mendatangi Cahyo dan menyatukan diri mereka dengan cara sama-sama menyilangkan
kedua tangannya diatas dada. Ipul sendiri yang menjadi target serangan harus pontang-panting
menghindari serangan trisula dan semburan api sang iblis. Lama-kelamaan dia mulai terpojok dan
hampir saja diterkam makhluk jadi-jadian itu.

Beberapa saat berlalu, kini Cahyo dan Isa membentuk sebuah pagar bulat seperti perisai dari gumpalan
sinar putih yang sangat kuat. Ia segera mengarahkan kurungan sinar putih itu kepada sang iblis, sehingga
kini iblis itu seperti terkurung dalam bola itu.

“Kang, perisai ini tidak akan bertahan lama. Kekuatannya terlalu besar!” pekik Cahyo dengan masih
menyilangkan kedua tangan.

Khoirul yang berada paling dekat dengan makhluk itu segera menghujamkan kerisnya. Tapi dengan
gesitnya Sang Iblis yang telah bebas, dapat menghindari serangan keris Kyai Carubuk.

Cahyo dan Isa juga tidak menyangka bahwa perisainya hanya mampu menahan sepersekian detik saja.
Padahal itu adalah gabungan kekuatan Luk Pitu dan Onto Kusumo.

“Hahaha, meleset!” teriak iblis sambil terkekeh sombong.

Ia tidak menyadari bahwa pergerakannya ke belakang tadi justru kini sudah dinanti oleh Ipul yang sudah
siap sedia dengan Megalamat. Tak perlu berpikir panjang, Ipul segera menghujamkan tombaknya dari
belakang, tepat mengenai tubuh bagian belakang makhluk terlaknat itu.

Jerit lengkingan iblis itu seakan memecahkan gendang telinga, disusul ledakan teramat dahsyat yang
mementalkan keempat santri legenda. Mereka semua kini sekarat.
***

Mata mereka perlahan terbuka satu persatu. Empat santri legenda yang pingsan, kini tersadar kembali
setelah 2 hari dirawat di Darussyifa. Awan hitam yang menyelimuti langit diatas desa Bejagung telah
sirna 2 hari yang lalu. Hujan disertai petir yang kemarin sambar menyambar di atas Pesantren
Condromowo kini juga sudah berganti dengan awan biru yang cerah. Kehidupan para santri di Pondok
Pesantren yang mengajarkan ilmu kanuragan ini juga sudah berjalan normal. Seakan tidak ada apa-apa,
para santri dan masyarakat desa Bejagung pun beraktifitas seperti hari-hari sebelumnya. Karena
keganjilan dan pertempuran itu kasat mata, hanya bisa dilihat oleh orang dengan kemampuan istimewa.

end

(CE.Ad)
ALIF

Oleh : Moch. Adi Kuswanto

Pengajar di MA Sunan Bejagung

Jerit tangisnya pecah, di pojok ruangan pengap berlantaikan ubin tua yang kelihatan mulai usang
menguning. Alif, bocah yang dikenal teman-temannya sebagai seorang anak yang tangguh, tiba-tiba
runtuh juga tembok pertahanannya. Semua peserta seleksi lomba pun serempak kaget, saling tatap
dengan pandangan menyelisik. Tanpa pertanda angin, tidak ada hujan, Si Alif tiba-tiba meraung keras
menumpahklan segala tangisnya.

“Ssttt… mungkin ia sedih dimarahi ayahnya, karena nilai UTSnya kemarin jelek” celetuk salah satu anak.

“Ngawur kamu, ndak mungkin lah, ayahnya kan udah lama meninggal. Lagian juga, dimarahi apanya?
disambang saja tidak pernah!” jawab anak lainnya dengan nada mengejek.

“Mungkin! Tapi menurut saya, karena Alif dimarahi oleh Pak Edi tadi.” timpal lainnya.

“Marah apaan? Pak Edi kan hanya menyuruhnya menyelesaikan pekerjaannya! cuma itu! hanya tinggal
mewarnai juga!”

Semua santri yang ada dikelas itu saling berbisik. Seleksi lomba pagi itu baru sepucuk, -berjalan 15 menit
dari rencana 2 jam- akan tetapi spekulasi yang menyebar secara liar meriuhkan suasana di dalam kelas.
Tiga puluh dua siswa dalam sekelas saling berbisik menyuarakan pendapatnya. Ada yang bilang bahwa
Si Alif kerasukan roh jahat, kena guna-guna, tak punya uang, tidak berseragam, atau memang karena ia
memang sudah rubuh pendirian. Sebagai anak semata wayang, sangat berat memang kehidupan yang
harus ia jalani bersama ibunya.

“Stttt… Pak Edi… Pak Edi… !” celetuk seorang dari mereka.

Kekacauan itu segera terhenti, ketika masuk sesosok tegap berkumis tebal yang dehamnya saja bisa
menyumbat tiga puluh penafsiran. Suara tangisan Mualif pun hanya sesekali terdengar patah-patah,
sesenggukan.
“Ada apa ini? kenapa kamu Mualif?” tanya bapak setengah baya itu dengan suara berat. Mualif hanya
menggelengkan kepalanya, menahan sesenggukan tangisnya yang memang harusnya belum usai.

“Rastam?” lanjut memalingkan pandangan interogasinya pada salah satu siswa di pojok belakang.

“Bukan saya, Pak Edi!. saya tidak tahu apa-apa kok!” bantah anak yang duduk disamping Mualif itu
dengan muka masam.

“Badrun!” Pak Edi berganti memalingkan wajahnya ke kiri.

“Apalagi saya, Pak! saya kan jauh duduknya.” jawab Badrun sekenanya.

“Biasanya kalian berdualah yang terbiasa mengusili temanmu” tuduh Pak Edi dengan menebar tatapan
curiga.

“Ndak tahu, Pak! tiba-tiba saja Alif menelungkupkan wajahnya ke meja dan menangis sekerasnya, Pak!”
sergah salah seorang anak yang duduk di barisan tengah paling belakang sambil mengacung-acungkan
crayon ditangannya.

“Betul itu, Fur?” Pak Edi terus mengejar pernyataan mereka.

“Maaf, Pak! saya tidak tahu, karena saya duduknya juga paling depan!” jawab siswa berkaca mata paling
depan.

“Yah, Bapak kalau dengan kita tidak pernah percaya, Pak! Ghofur aja yang dipercaya. Mentang-mentang
dia ketua kelas!” jawab siswa pojok kanan. Bukannya tidak percaya, mungkin Pak Edi akan berfikir dua
kali untuk menelan mentah-mentah pernyataan Rastam, Badrun and the geng. Karena selama ini,
mereka berdualah yang menjadi lakon di kelas VIII.

Pandangan Pak Edi kembali kepada Mualif yang masih menelungkupkan wajahnya ke meja. Pak Edi
pelan-pelan mengelus kepalanya sambil menenangkan. “Kenapa kamu, Le?”

Mualif tetap tidak bergeming. Kini intensitas tangisannya semakin meningkat lagi. Kertas gambar A4
yang baru ia gambari huruf Alif dengan Khat Tsulust –dari rencana lafadz Allah-, coretan spidolnya mulai
luntur tak berbentuk dibanjiri air mata.

“Kamu dijahili teman-temanmu?” tanya Pak Edi pelan. Namun, sekali lagi Mualif hanya menggelengkan
kepalanya. Sejenak terbersit rasa sesal dalam hati Pak Edi karena beberapa saat lalu sempat agak
membentak muridnya itu, untuk segera menyelesaikan gambarnya. Waktu yang ia berikan untuk seleksi
lomba adalah 120 menit, tapi baru 10 menit ia sudah mengumpulkannya, tidak selesai pula. Jangankan
diwarnai, bentuk dan kharakatnya pun belum sempurna. Padahal ia adalah harapan sekolah satu-
satunya untuk mewakili FLS2N tingkat kabupaten bidang seni kaligrafi. Dan seleksi kali ini bisa dibilang
hanyalah formalitas belaka.

Tiap ditanya alasan, ia hanya menjawab bahwa ingin pulang. Jawaban itu sudah ketiga kalinya didengar
oleh Pak Edi, tiga kali pula wali kelasnya itu menasehati Mualif dengan pesan yang sama. Pak Edi
menceritakan harapan Ibu Mualif ketika setahun lalu datang ke pesantren dengan wajah memelas, untuk
menitipkan anaknya di pesantren ini. Bahwa ibunya ingin Alif belajar menjadi “manusia yang benar”.
Tidak seperti riwayat almarhum ayahnya yang meninggal di negeri seberang karena terinfeksi penyakit
asusila. Bahwa Alif harus belajar terus tegak tirakat, walaupun tanpa bantuan finansial dari orang
tuanya. Maklum, ibunya hanya pekerja buruh tani lahan orang lain, sawah tadah hujan pula. Untuk hidup
sehari-hari saja ia harus gali lubang tutup lubang, mengutang kesana-kemari. Tidak mungkin ia dapat
membiayai pendidikan putra satu-satunya itu, apalagi sekolah sambil mondok.

Memang sudah tiga kali ini Mualif mengutarakan niatnya untuk pulang dalam setengah bulan terakhir,
akan tapi ditolak mentah-mentah oleh Pak Edi. Terbaru, sewaktu Jum’at Pon tiga minggu yang lalu,
ketika waktu sambangan. Ia memelas duduk dibawah pohon Kecacil halaman pondok, memandang
mesranya para santri bersender di pundak ibunya. Kangen sekali rasanya ia dengan rumah, apalagi pada
orang yang melahirkannya itu. Sudah setahun lebih dia tidak bersua. Disamping karena jauh, tidak ada
biaya, Mualif juga tidak bisa pulang waktu liburan semester tahun pelajaran lalu. Memang sebagai
seorang abdi dalem, tenaganya sangat dibutuhkan untuk menjaga pesantren saat ditinggalkan ribuan
santri pulang. Hanya Pak Edi menjenguknya kadang-kadang, sambil membawakan gorengan Mak Ju,
depan pondok. Agak miris keadaannya memang, tapi itu adalah pilihan Mualif sendiri. Bocah itu teguh
memilih untuk lebih fokus menyelesaikan belajarnya, menghafal 10 juz untuk tiket beasiswa sekolah ke
Turki. Dan tidak tahu mengapa, beberapa hari ini ia terlihat murung dan bimbang.

Pak Edi hanya menghela nafas panjang. “Ya sudah, lanjutkan dahulu nangismu! Bapak tunggu di kantor
BK”

“Anak-anak, silakan dilanjutkan menggambarnya. Satu setengah jam lagi dikumpulkan. Lima karya
terbaik akan masuk seleksi kedua” pungkas Pak Edi lalu berpamitan ke kantor. Maklum, besok adalah
jadwal beliau untuk disupervisi bapak kepala sekolah. Tanggung jawab perangkat pembelajaran beserta
program semester harus terpenuhi.
Setengah jam ditunggu di ruang BK, akhirnya Mualif menemui Pak Edi. Tubuhnya terlihat gontai, tanpa
semangat. Tidak seperti Mualif yang dulu terkenal optimis dan kutu buku. Walau jarang bergaul dengan
teman-temannya, dia selalu bersemangat dalam belajar.

“Assalamualaikum Pak Edi!” terdengar suaranya agak gemetar. Mualif mendatangi Pak Edi kemudian
mencium tangan wali kelasnya itu. Pipinya masih basah, sebagian air matanya menempel di tangan Pak
Edi.

“Waalaikumsalam. Gimana Lif sudah mendingan?” lelaki setengah baya itu bertanya sambil menghela
nafas dalam.

“Ceritakan kepada Bapak keresahanmu. Barangkali Bapak bisa membantu!”

“Pak!” gantian sekarang Mualiflah yang menghela nafas. Kedua kelopak matanya yang sayu melukiskan
bahwa disana terkandung tekanan batin yang sangat dalam. Terlalu berat untuk ditanggung bocah
seusia dia.

“Sudah tiga kali ini saya bermimpi bertemu Ibu, Pak. Lain dari biasanya, Ibu datang padaku dan meminta
pertolongan. Tiga kali pula selalu berulang” lanjut Mualif pelan. Ia seakan mau menumpahkan
kekhawatiran hatinya yang lama terpendam.

Pak Edi sekali lagi menghela nafasnya, “Jadi keputusanmu sudah bulat?”

“Mohon sekali ini saja pak” pinta Mualif memelas.

“Duh, bagaimana ya? Coba saya mintakan izin dahulu pada Kang Aji, barangkali pengurus pondok bisa
menggantikan tugasmu sementara. Sudah hafal berapa Juz?”

“Lima Pak!” jawab Mualif. Suaranya kini terdengar lebih stabil.

“Tapi ingat permintaan Bapak, kamu sudah melewati banyak cobaan untuk sampai ke sini. Apapun nanti
yang terjadi, jangan sampai hal itu menghambat cita-citamu. Takdir Allah itu sudah pasti. Tugas kita
adalah bertawakal, madhep mantep melu tekdire Gusti Alloh”tutur Pak Edi.

“Geh Pak” jawabnya kini agak bersemangat. Raut mukanya terlihat agak bergembira.

“Jangan lupa kirim kabar kalau sudah sampai rumah”

***
Beberapa hari telah berlalu. Tidak lagi tampak Mualif yang produktif dalam memajang karyanya di
mading pondok, santri yang rutin dan dengan penuh semangat melaksanakan tanggung jawabnya
menyapu halaman pesantren setiap pagi dan sore. Hati Pak Edi mulai tak tenang, menebak-nebak
perihal yang terjadi pada anak didiknya itu. Sering ia duduk gelisah di depan rumah dinasnya, pojok utara
di kompleks pesantren. Mengapa juga tiada kabar setelah hampir seminggu ia berpamitan pulang.

Walau besok libur, malam Jumat Pon ini memang Pak Edi sengaja tidak pulang ke rumah. Besok adalah
hari sambang, waktu para wali santri diizinkan untuk menjenguk putra-putrinya sekali dalam sebulan. Ia
berharap Mualif kembali datang, atau minimal ada yang tahu, atau menyampaikan kabar dari murid
kebanggaannya itu.

Sambil menghisap rokoknya dalam-dalam, ia memandang bak sampah depan rumahnya yang hampir
penuh. Rasa kangen justru mulai menggerayap di hati Pak Edi. Perlahan terdengar lantunan sholawat
dari pengeras suara Soko Songo, aula tempat santri melakukan kegiatan Jami’yahan. Disanalah biasanya
ia bisa mendengar suara merdu muridnya itu. Tak tahu mengapa, Pak Edi juga memigura kaligrafi karya
muridnya, “Huruf Alif” yang kemarin belum selesai dengan tintanya yang biru mengabur. Sekilas
memandang, itu mengingatkan akan perlambangan Allah dengan keesaan-Nya. Juga mengingatkan
dirinya pada bocah malang itu.

Setiap habis sholat, doa dan wirid telah Pak Edi panjatkan agar Mualif diberikan kemudahan. Dari awal
memang ia selalu menspesialkan murid satunya itu. Ada perasaan empati yang sangat dalam ia rasakan,
bahwa Mualif mengingatkan masa kecilnya yang harus mengenyam pendidikan dasar sambil pontang-
panting jualan es keliling, bahwa ia harus izin setiap bakdal Subuh untuk meloper koran, atau kadang-
kadang mengisi liburan dengan naik-turun bus untuk menjajakan asongan. Melihat Mualif, Pak Edi
seperti melihat refleksi dirinya di masa kecil. Tidak patah arang, selalu bersemangat mencapai sesuatu
yang diidamkan.

Gerimis kecil-kecil mulai turun di atas kepala Pak Edi, yang kemudian menyadarkan lamunannya. Ia
segera bergegas mematikan rokoknya lalu memasukkan motor bututnya ke teras rumah.

“Malam ini akan menjadi malam yang panjang” desahnya sambil masuk ke dalam rumah dinasnya.
Lantunan puji-pujian Sholawat masih terdengar dari speaker Soko Songo.

***

“Assalamualaikum Pak…, Tok, Tok, Tok!”


Hujan baru saja berhenti, dan baru sebentar ia merasa terlelap, pintu rumahnya diketuk dari luar. Pak Edi
membuka matanya yang masih terasa berat. Ia memandang jam tangannya, baru juga pukul 02.00 dini
hari. “Siapa tamu sepagi ini?” pikirnya.

“Assalamualaikum Pak…” suara dari luar mengulangi.

“Waalaikumsalam” jawabnya sambil berjalan gontai membukakan pintu. Dengan matanya yang sipit
dan setengah terbuka ia memandang siapa gerangan yang bertamu sepagi ini.

“Loh, Kang Poyo! Ada apa?” tanyanya sambil mengamati sosok didepannya. Dialah Supoyo, satpam
pesantren yang piket bertugas jaga malam.

“Di depan ada Kang Alif, Pak! mencari jenengan, tapi…” jawab Poyo sambil menunjuk gerbang di
belakangnya. Belum selesai petugas keamanan itu menjelaskan, Pak Edi sudah memotong
perkataannya. Perasaan lega memang menyelimut di dadanya, ingin ia berjumpa dengan Mualif pada
saat itu, akan tetapi rasa ngantuknya masih sangat berat. Rasanya ingin sekali ia melanjutkan tidurnya
barang setengah jam lagi.

“Sepagi ini? suruh langsung masuk ke pondok putra saja. Besok setelah subuhsuruh menemui saya”
jawabnya sambil memegang gagang pintu dalam, bermaksud ingin menutupnya.

“ Tapi, Pak!” jawab Poyo sambil sesekali mengusap dahinya yang basah.

“Tapi apa Kang?” jawab Pak Edi sambil mengusap air matanya setelah menguap beberapa kali.

“Ia datang menaiki becak Pak, beserta ibunya” jawab Poyo melanjutkan kata-katanya dengan agak
terbata.

“Loh, benar itu Kang?” tanya Pak Edi kaget, dan Poyo pun hanya terdiam mengangguk membenarkan.

Perkataan Poyo yang terakhir itu membuat mulut lelaki itu menganga. Kedua matanya langsung
terbelalak. Rasa ngantuk yang sudah tak tertahankan lagi sedari tadi hilang serta merta entah kemana,
digantikan dengan rasa penasaran yang amat tebal. Ia segera menyuruh Poyo untuk mempersilakan
Mualif dan ibunya masuk. Ia pun mengambil air wudlu dan menyalakan lampu ruang tamu. Sebenarnya
juga tidak layak amat disebut sebagai ruang tamu, karena tidak ada kursi atau meja layaknya ruang tamu
pada umumnya. Ruangan dengan lantai yiyitan semen, berukuran 2×3 meter yang hanya beralaskan
karpet hijau. Itupun belum terpangkas almari kecil tempat kitab yang ada pojok ruangan.
Pak Edi kemudian menengok ke arah luar rumah. Sosok yang dinanti belum juga datang. Dan tiba-tiba
ia secara samar-samar melihat sesosok bocah yang berjalan mendekat memanggulibunya yang sudah
renta di pundak. Matanya yang tadi berair karena menguap ngantuk, kini seakan ingin tumpah karena
haru. Lelaki itu tidak menyangka tubuh mungil Alif yang baru seusia anak SMP mampu menahan berat
tubuh ibunya. Tapi bukan beban berat badannya itu yang membuat Pak Edi trenyuh, akan tetapi beban
hidup yang harus ia tanggung pada masa sekecil itu.

“Alif, perlu Bapak bantu?” sergah Pak Edi mendekati Mualif yang lamat-lamat mulai mendekat.

“Terima kasih, tidak usah, Pak!. Tapi barangkali Bapak punya kursi, tolong dipersiapkan satu pak, untuk
ibu” jawab Mualif terengah-engah sambil berjalan memanggul ibunya masuk. Tinggi tubuhnya memang
belum setinggi ibunya, sehingga kedua kaki ibunya masih terseret di tanah.

Pak Edi segera berlari menuju ruang sekuriti untuk meminjam kursi. Maklum, di rumah dinasnya cuma
ada satu dampar untuk mengaji, itu pun tingginya tidak seberapa, hanya sekitar 30 centi. Setelah
mendapatkan kursi, Pak Edi segera membantu Alif untuk merebahkan tubuh ibunya. Kedua tangan dan
kakinya terkulai lemas. Sosok wanita tua kurus kering itu hanya bisa merebah diatas kursi dengan mata
berkedip-kedip saja. Dari yang ia tebak, ini adalah gejala-gejala pengidap penyakit stoke.

“Ceritakan kepada Bapak, apa sebenarnya yang terjadi!”

Mualif bercerita panjang lebar, mengenai ibunya yang menderita penyakit hipertensi dan stroke. Ia
bingung harus kemana, karena ia sudah tidak memiliki sanak saudara lagi. Sewaktu ibunya sakit pun
hanya dibantu oleh beberapa tetangganya secara bergantian.

Begitu ia tahu ada salah satu tetangganya yang membawa truk muatan ke Tuban, ia segera mengajukan
diri agar bisa menumpang sampai di Alun-Alun. Tidak disangka, ia malah diberikan tambahan bekal
untuk membayar biaya bentor sampai ke pondok. Mualif bercerita selama beberapa jam sampai adzan
subuh menjelang. Pak Edi hanya bisa mengangguk-angguk sambil sesekali menarik nafas dalam-dalam.
Lelaki yang sejak awal memang sudah terkejut dengan kedatangan muridnya itu, kini semakin terkejut
lagi setelah mendengarkan perjalanan kisahnya selama sepekan ini. Kaget lagi, bahwa Mualif meminta
untuk menemaninya sowan pada Kiyai agar diberikan sedikit tempat kosong di pesantren untuk merawat
ibunya.

Sebenarnya Pak Edi sudah menawarkan solusi terbaik untuk Mualif, yakni dengan menyewa pengasuh
di luar pesantren, agar dia fokus dalam belajar. Pak Edi juga sanggup untuk menanggung biaya yang
timbul atasnya. Tapi sekali lagi Pak Edi dibuat terkesima oleh bocah itu, bahwa ia ingin merawat sendiri
wanita itu. Ibu kandungnya adalah satu-satunya yang ia miliki. Ia berjanji tidak akan melalaikan tanggung
jawab atau telat dalam melaksanakan tugas hanya karena merawat beliau.

Pagi itu juga, setelahsubuh Mualif ditemani Pak Edi sowan dalem Kiyai. Betapa berbinar-binarnya Mualif
setelah mendapatkan izin dan sedikit tempat di gudang olahraga untuk merawat ibunya. Ia semula
menolak dengan halus tawaran Kiyai agar menempati rumah dinas Pak Edi, atas anjuran dari wali
kelasnya itu. Dengan tangis bahagia, bocah itu segera berlari mendatangi ibunya dan merangkulnya
dengan erat. Pak Edi yang berjalan di belakangnya hanya bisa meneteskan air mata bahagia dan bangga.
Sekilas ia memandang kaligrafi huruf alif tak sempurna yang ia pigura. Hari ini ia bersyukur mendapatkan
pembelajaran yang sangat banyak dari Alif yang memegang prinsip. Bocah SMP yang mampu tegak
berdiri diatas semua cobaannya. Alif yang ingin samar tersembunyi, serta tidak menampakkan
keistimewaannya. Alif yang qonaah menerima segala yang jadi takdirnya. Demi mencapai cita-citanya
mendapatkan beasiswa bersekolah ke Turki.

(CE.Ad)
Santri Jomblo

Oleh: Zainun Nasikin

Sunyi sepi gelap, Sajak kawan kita

Seperti Basekamp Kopi, Saya bahagia

Jomblo kok sedih, mungkin kau perlu pergi ke Pantai Utara

Kawan, atau mungkin kamu kurang pintar

Apa terlihat sangar Jalan dengan pacar?

Masih bermabukan, menyusahkan orang tua

Kamu bangga menikah karena kecelakaan?

Atau tragisnya Hamil duluan tanpa pasangan?

Silahkan!

Sanksi polisi selalu menanti, hukum akhirat sudah pasti

Kembali kepada dirimu sendiri, kawan!

Sunyi sepi gelap, Sajak kawan kita

Seperti Basekamp Kopi, Saya bahagia

Berteman Honda CB 150 CC lama

Saya menanti Mawar yang ingin ku nikahi


Santri Oleng

Oleh: Deny Cahya Ramadhan

Tiga tahun lalu, Anak-anak santri oleng, Zainun, Endy, Naja

Menyusun memori rencana liburan

Mengenang masa-masa perpisahan

Mengisi rongga kebahagiaan bersama

Tiga tahun lalu, Anak-anak santri oleng, Menyiapkan Situasi kami

Mengisi butir amunisi dalam tas hitam.

Boyong di pantai Boom penuh kemenangan.

Berjanji bertemu, mengenang masa-masa mondok

Saling bully, saling cerca, kemanapun dimanapun

Tapi itulah kemesraan kami bertiga

SiPlen, Koyor, Togek, tiga Jones yang kesepian.

Berjanji dejavu lagi disini.

Bisakah mereka menepati janji?

Langit seakan runtuh dan matahari berlari dari barat

Bukan karena mereka tidak hadir disini, tapi kabar duka

Siplen ditangkap polisi karena terjerat narkoba

Dan Togek diburu karena menipu tetangga

Tiga Santri Oleng, Adalah gambar peta dunia.


Vila Kehidupan

Oleh: Dimas Naja Setiyaki

Ini pelajaran, Vila kehidupan

Saksi kebinasaan dunia yang merengkuh bahagiaku

Dahulu memang aku bahagia, tapi bahagiaku semu

Tiga santri kopyah miring, mencoba-coba narkoba

Tanpa sepengatuan orang tua, gerombolan santri

Janjian pergi menakhlukkan Gunung Kelud Kediri

Masih berkopyah miring, meninggalkan teman pesantren

Berkumpul dengan sobat santuy

Ssstttt… Tidak akan ketahuan, Tak ada siapa-siapa, dan tenanglah disini hanya kita bertiga

Kami lupa bahwa Dia Maha Ada

Delapan jam kami tak terjaga, dan tiba-tiba…

Tangan kami diikat di tiang jeruji besi

Ditatap pak polisi dengan pandangan sinis.

Pintaku tolong tiada ia gubris

Katanya takut kami merusak inventaris keamanan

Seperti tadi malam kami dibawa dari vila kehidupan

Penjara, vila kehidupan kedua kami

Memenuhi tanggung jawab pada Illahi

Santri dengan berbagai pelajaran, kejamnya kehidupan pelarian.


SANTRI MOJOKOPEK

Oleh: Kukoh Nizar Luswantoro

Kami enjoy…

Di Perempatan Kapur tempat kami berkumpul

Menikmati lalu lalang kendaraan di sepanjang jalan aspal panas

Panasnya seakan menyembulkan bayang-bayang fatamorgana

Sepanas hatiku yang rindu akan oase kebebasan

Bonek di Perjalanan, Santri Mojokopek berniat mbolang

Menyusuri jalan keonaran diantara variasi kehidupan

Anak punk dengan pertahanannya, menghadang di depan

Memeras Ibu-ibu, meminta rokok untuk jatah lewat jalan

Kami enjoy…

Santri Mojokopek pantang mengibarkan bendera putih

Kami berjuang menghargai proses walau pedih

Tak ada dalam kamus, Santri Mojokopek pantang dipukul mundur

Bukan menantang, kami hanya membentuk pertahanan

Berkelahi dan melawan kebatilan

Jatuh bangun dalam kehidupan sudah kenyang asam garam

Mengalahkan beberapa anak punk yang menyerang ibu-ibu

Memandang hidup dari sudut pandang yang baru


Kami enjoy, dan rindu Oase kebebasan

Di tepi Aloon-aloon tempat kami mengumpul

Tak terpengaruh derap dan kebisingan kota Tuban

Kembali Mbolang untuk Mandi dan Mengaji


MENGGAPAI IMPIAN

Oleh: Choirul Mukminin

Egois dan keras kepala, atau solidaritas dan jujur

Pondok latar berbagai karakter membaur

Tempat berbagai keinginan yang belum terpenuhi

Panasnya serasa gurun, dinginnya bagai es kutub utara

Jangan tanya cinta monyet seperti di luar sana

Jangan tanya Chatting, internet, dan WA

Karena tak ada curhat, adanya percakapan yang lama

Tentang sambang ke teman-teman dan berbagi banyak cerita

Tidak bisa lagi ke Supermarket membeli coklat

Atau meniup kue ultah dihias pita dan bunga

Aku baik-baik saja sembilan otewe lulus

Tandanya hampir tiga tahun aku dibungkus

Ma’hadku dengan keterbatasan kebandelan terukur

Mencegah dua insan makhluk saling suka

Terjerumus semalaman pada hal hina dina

Yang berawal dari tertukarnya kontak mata


Ma’hadku mengakar bumi menyangga langit

Disidangkannya kebebalan di ruang pengadilan

Tempat hijrahnya orang-orang celaka

Kembali fitrah dari suratan Hoax yang merajalela

Jiwa dan ragaku digadai disini

Tempat berbagai keinginan yang belum terpenuhi


INTROSPEKSI

Oleh: Cheril

Baru jam pertama sudah tidur

Bagaimana mungkin kita bisa jadi direktur

Jika kita hanya pura-pura mendengarkan

Mana mungkin kita paham yang diterangkan

Wahai teman-teman,

Lihatlah usaha Bapak kita!

Yang menyuruh berdiri agar tetap terjaga

Mengambil hatimu dengan cerita-cerita jenaka

Galak membentak supaya kita tetap terdidik

Berharap dirimu kelak jadi insan terbaik

Baru membuka kitab kita sudah mengantuk

Bagaimana mungkin segala ilmu bisa masuk

Jika hati cuma bersinar redup

Mana mungkin bisa kita melihat pelajaran hidup

Wahai teman-teman,

Lihatlah usaha Ibu kita!

Pagi buta sudah menyiapkan segala keperluan

Agar bisa tepat waktu mengajarkan kearifan

Yang bersedia meninggalkan putranya, belum genap satu tahun


Yang sudi hadir disini, meninggalkan ibunya yang sedang sakit paru-paru

Apakah disuruh melihat kita

Yang baru jam pertama sudah tidur


JODOH PAIMO

Hendrik Eko Wahyudi

Murottal Al Qur’an menggema

Ada rasa yang ku pendam dalam dada

Meracik bumbu-bumbu hatiku yang sedang jatuh cinta

Santri pelamun yang lalai kepada Tuhan-Nya

Jodoh tidak kemana

Mo, kerjalah yang baik. Mo, Lanjutkan belajarmu

Tak pantas melamun bagi Sang Penuntut Ilmu

Suatu saat akan tiba masamu

Paimo tidak berani jujur

Mo, kamu melamun lagi

tidak mau berterus terang

Kalau sayang, usahakan untuk menang

Jangan boyong sebelum berhasil

Paimo, bermunajat semalaman

mengadu kepada Tuhan-Nya

diberikan keberkahan dan keberhasilan

diberikan jalan mengetuk hati jodohnya

Bahwa bunganya sudah mekar

Suatu saat agar diperkenankan ia petik


Tambatan Hati

Piket hari ini seperti kemarin pagi

Saya diam-diam menyelinap di depan koperasi

Diantara tegaknya pohon kecacil

Duduk di taman, menanti dia lewat

Apakah kamu suka

Jangan-jangan kamu suka

Ahh, mungkin hanya perasaanmu saja

Tapi belum saatnya kamu jatuh cinta

Aku bersembunyi dalam diam

Tidak pernah memperlihatkan keseriusan

Menuliskan surat dari gothakan

Masuk ke loker terkunci rapat

Tambatan hatiku dikelilingi wajah-wajah pemarah

Dan aku hanyalah pemain figuran

Selalu beranjak pergi tanpa basa-basi

Hanya sebatas menuliskan surat tak sampai

Dia, adalah anugerah

Melihatnya saja adalah berkah

Dari kejauhan tambatan hatiku berjalan

Entah bisakah nanti aku menjadi imam (Ahmad Nurul Zaman)


Kail Santri

Kail santri memancing Rahmat

Pamit berjanji membawa selamat

Bersarung hijau melakukan perjalanan

Menjadi bukit harapan di tengah-tengah lautan

Kulihat Bapak berangkat ke laut

Memasang kail unttukku di pagi berkabut

tidak terasa bayangannya hilang terbawa ombak

hanya lampu kerlip jauh menampak

Kail santri memancing rizki

Dari Engkau kami mencari

Diantara rintik-rintik air hujan sedekah

Segala bagian tubuhku adalah qurbah

Wahai para sobat Santri Millenial

Janganlah sampai kailmu tertinggal

Kail yang hilang, dimana lagi akan kau cari

Kalau sudah hilang segala identitas diri

Kail santri memancing keridloan

Lewat Bapak yang membelah lautan

Lewat sendi yang berbentuk qurbah

Tiap saat adalah sedekah (Taufiqur Rohman)

Anda mungkin juga menyukai