SAW ini: “Dunia ini penuh perhiasan dan perhiasan yang paling
indah ialah wanita yang Sholehah”. (H.R Muslim).
Di sore hari yang cerah, Annisa dan ibunya berbelanja di supermarket tepatnya
di jalan Datuk Maharaja. Ketika sedang asik menemani sang ibu belanja Annisa
melihat kalung mutiara putih berkilauan, kalung itu tergantung dalam sebuah
kotak berwarna pink yang sangat attraktif. Kalung itu nampak begitu indah
sekali, sehingga Annisa pun sangat ingin memiliki kalung itu. Tapi dia tahu, pasti
ibunya akan keberatan.
“ Bunda, bolehkah Annisa memiliki kalung itu? Ibu boleh kembalikan kaos kaki
yang tadi… “ Sang Bunda segera mengambil kotak kalung dari tangan Annisa. Di
baliknya tertera harga Rp 15,000. Di lihatnya mata Annisa yang memandangnya
dengan penuh harap dan cemas. Sebenarnya ibunya bisa saja langsung
membelikan kalung itu, namun ibunya tak mau bersikap tidak konsisten.
“ Oke … Annisa, kamu boleh memiliki kalung ini. Tapi kembalikan kaos kaki yang
kau pilih tadi. Dan karena harga kalung ini lebih mahal dari kaos kaki itu, ibu
akan potong uang tabungan mu untuk minggu depan. Setuju ? ” Annisa
mengangguk lega, dan segera berlari riang mengembalikan kaos kaki ke raknya.
Setiap malam sebelum tidur, ayah Annisa membacakan cerita pengantar tidur.
Pada suatu malam, ketika selesai membacakan sebuah cerita, Ayah bertanya “
Annisa…, Annisa sayang enggak sama Ayah ?”
“ Yah…, jangan dong Ayah ! Ayah boleh ambil “ Si Ratu ” boneka kuda dari
nenek…! Itu kesayanganku juga
“ya sudahlah sayang… ngga apa-apa !”. Ayah mencium pipi Annisa sebelum keluar
dari kamar Annisa.
“Ayah, Ayah tahu bukan kalau Annisa sayang sekali pada Ayah ?”
“ jangan Ayah… tapi kalau Ayah mau, Ayah boleh ambil boneka Barbie ini..”
kata Annisa seraya menyerahkan boneka Barbie ini yang selalu menemaninya
bermain.
Ya.., ternyata Ayah memberikan kalung mutiara asli untuk menggantikan kalung
mutiara imitasi Annisa.
Naila adalah putri Ustad Jamaluddin, pemilik Pondok Al- Munawaroh. Dia
adalah anak ke dua dari dua bersaudara. Karena Al-Munawaroh merupakan
pondok pesantren ikhwan, sejak masuk bangku SMP, Naila di titipkan di
rumah adik abinya di daerah Yogyakarta. Sebulan sekali, Naila pulang ke Al-
Munawaroh yang terletak di pinggiran kota Solo. Kali ini ia pulang agak
kesorean. Biasanya ba’da dzuhur ia sudah tiba di Al-Munawaroh.
“Kok baru sampai?” tanya Furqon sambil membuka pintu dan segera
menutupnya kembali begitu Naila masuk.
“Ada kuliah tambahan di kampus, Mas.” Kata Naila sembari melepas cadar
yang sejak tadi menutupi wajahnya.
“Untungnya sudah sampai rumah. Kalau terlambat sedikit saja, bisa-bisa jadi
tontonan santri Ikhwan kamu nanti.”
“Abi ada di masjid. Ummi di dapur pondok menyiapkan makan malam santri
nanti. Naila hanya menganguk-angguk kepalanya tanda mengerti.
“Ya, cepat sana! Sebentar lagi Jama’ah Ashar,” kata Furqon mengingatkan.
Naila mengangguk mengiykan.
***
Isi ta’lim kali ini sangat menarik. Penyampaiannya lugas, padat, dan terasa
menggelitik. Sesekali, santri yang menyampaikan ta’lim berkelakar ringan.
Namun, tetap tidak melanggar batas kesopanan. Naila tersenyum simpul
mendengarnya. Dalam hatinya berkata, hm, bisa juga santri Abi yang satu ini.
“La…,” seseorang memanggil namanya. Siapa lagi kalau bukan Mas Furqon.
Naila tersipu malu. “Ta’limnya lucu, Mas. Yang tugas ta’lim siapa, sih?”
“Hijar.”
“Dia baru beberapa minggu ikut ta’lim di sini, tapi sudah jadi murid
kesayangan Abi.”
“Dia pengurus ta’lim di kampusnya. Tiap pagi ada ustad pondok yang
memberi ta’lim di masjid kampusnya. Awalnya, dia hanya sebagai koordinator
antara pondok dengan kampus saja,tapi lama-kelamaan jadi sering ikut ta’lim
di sini juga.”
Furqon mengangguk. “Biasanya dia ikut jama’ah Ashar di sini. Ba’da Isya baru
dia pulang, tapi sebelum pulang pasti ngobrol dulu dengan Abi. Paginya
kadang dia menjemput ustad di sini untuk mengisi ta’lim di kampusnya.”
“Ya, sangat luar biasa. Dia ikhwan yang menarik. Ibarat Umar bin Khattab.
Sikapnya keras dan tegas,tapi hatinya sungguh lemah lembut.”
Naila terpana dengan perumpamaan yang di buat kakaknya. Seperti Umar bin
Khattab? Tidak berlebihankah perumpamaan kakaknya itu? Tapi, kakaknya
bukan seorang pembual. Pendpat kakaknya tentang ikhwan bernama Hijar ini
menjadi penyulut rasa ingin tahu Naila. Naila bergumam. “ memangnya
dengan Abi ngobrol apa,Mas?”
Furqon diam sebentar, merasa aneh dengan reaksi adiknya. “Mas masih
belum tahu, tapi bukannya Abi memang selalu menyiapkan akhwat dari
keluarga kita untuk santri-santri favoritnya. Apalagi ikhwan yang satu ini jadi
murid kesayangan Abi. Dia sudah seperti anak kandung Abi saja. Bahkan Abi
pernah bilang seperti ini ke Ummi, pasti menyenangkan kalau Hijar jadi anak
kita.”
Naila tersentak. Akhi Hijar jadi anak Abi dan Ummi. Jangan-jangan… jantung
Naila berdegup sangat kencang.
“ Tapi, Hijar sering sekali menceritakan akhwat yang ada di kampusnya. Kalau
tidak salah, namanya Hanna. Di koordinator akhwat di masjid kampusnya.”
Kata Furqon melanjutkan.
“ Sepertinya begitu.”
“ Kurang tau. Sementara ini Abi masih mencari informasi tentang akhwat yang
diceritakan Hijar sambil beliau juga menentukan kira-kira siapa akhwat dari
keluarga kita yang tepat untuknya.” Kata Furqon, “sudah, ah. Kamu ini, baru
dengar namanya saja sudah tanya macam-macam. Terlalu panjang ngobrol
sampai lupa mendengarkan ta’lim kan.”
Bersambung…
part 2
Rembulan semakin merangkak naik. Kultum rutin setiap sholat ba’da Isya
yang di sampaikan oleh Ustad Jamaluddin baru saja berakhir. Seluruh santri
bergerombol keluar dari masjid menuju ruang makan untuk menyantap
hidangan yang telah disiapkan. Masjid yang semula padat dan riuh mendadak
sepi.
Naila duduk diruang tengah sembari membaca buku tafsir hadits yang
menjadi koleksi Abinya. Ia menikmati keheningan yang tercipta di sekeliling
rumahnya. Suara jangkrik yang bertasbih di luar sana, menciptakan suasana
syahdu yang semakin mendayu. Di tengah kesunyian yang meneduhkan,
sayup-sayup terdengar suara langkah kaki yang mendekat menuju rumahnya.
Naila mengintip dari balik tirai jendela. Matanya menangkap bayangan
Abinya, Mas Furqon,dan seorang ikhwan. Siapa dia? Ikhwan itu terlihat santun
berjalan berdampingan dengan Abi dan kakaknya. Naila segera menutup tirai
jendela. Dia kembali melanjutkan membaca buku. Tiba-tiba Furqon menyibak
tirai yang membatasi ruang tamu dan ruang tengah rumahnya.
“Ah, kebetulan kamu disini, La. Tolong buatkan teh manis tiga ya. Kalau ada
kue-kue juga boleh deh.” Pinta Furqon.
“ Hijar”
Tak berapa lama, kakaknya menyingkap tirai. Dia mengambil nampan yang
ada di genggaman tangan Naila dan mengucapkan terima kasih. Tepat pada
saat itu, terdengar suara Abi Naila yang bertanya, “ Bagaimana akhwat
kampusmu itu, jar?”
Terdengar sebuah suara, “ masih sulit, ustad.” Suara itu…, entah mengapa
menggetarkan saraf-saraf di sekujur tubuh Naila.
“ Di minum dulu, Jar.” Kali ini suara Mas Furqon. Suasana hening sejenak.
Terdengar suara cangkir yang beradu dengan tatakannya. Naila menanti
keheningan ini dengan resah. Ia tak sabar mendengar percakapan
selanjutnya.
“Akhwat yang lain masih banyak kan, Jar.” Suara abi terdengar lagi, tapi tak
ada jawaban dari Hijar. “ kalau mau, Ustad bisa mencarikan untuk antum.”
Naila semakin resah. Ruang tengah yang luas terasa sempit dan
menghimpitnya.
“Kalau jadi bagian keluarga ustad, mau tidak?” abi masih mendesak.
“Wah, sebuah kehormatan yang besar sekali jika ana bisa seperti itu, Ustadz.
Tapi untuk saat ini…”
“Sebenarnya Ustadz ingin sekali antum jadi bagian keluarga ini, apalagi
seandainya bisa jadi anak Ustadz.” Abi memotong kata-kata Hijar. Naila
tersentak. Jantungnya berdegup tak karuan.
“ Di keluarga ustadz masih banyak akhwat yang belum menikah. Putri semata
wayang ustadz juga belum. Seandainya antum mau…”
***
Semakin hari, Naila semakin dibayangi oleh pesona Hijar di mata
keluarganya. Naila tersiksa. Dia di landa gelisah dan penasaran yang luar
biasa. Naila semakin banyak tahu tentang Hijar, tapi hanya satu yang tidak dia
ketahui yaitu Hanna, akhwat yang namanya di sebut Hijar. Ada perasaan lain
di hati Naila setiap mendengar nama Hanna.
Sebuah permintaan yang tak pernah terduga akan dilakukan Naila saat
Furqon mendapat giliran mengisi ta’lim di masjid kampus Hijar. Naila
mendesak untuk ikut. Abi dan ummi yang biasanya melarang Naila pergi
keluar rumah, entah kenapa kali ini mengijinkan. Dalam hati Naila bersorak.
Kesempatan ini tak akan ia siakan. Dia harus bisa mengenal akhwat yang
bernama Hanna di masjid kampus Hijar.
“Afwan ukhti, ana ingin bertanya. Di sini ada akhwat yang bernama Hanna?”
Naila langsung tembak sasaran saja.
“Ana Hanna, ukhti.” Jawab akhwat itu lembut. Naila kaget luar biasa. Akhwat
yang sungguh mempesona ini adalah Hanna. Naila tertegun. Apa yang harus
aku katakan sekarang.
“Perkenalkan, ana Naila. Adik ustadz Furqon dari AL- Munawaroh.” Naila
memperkenalkan diri. Diulurkannya tangan kanannya ke hadapan Hanna,
yang serta merta dijabat erat oleh Hanna. Sebuah kehangatan menjalar dalam
diri Naila.
Hanna tercekat. Raut wajahnya seketika berubah. Dia seakan tidak percaya
dengan apa yang baru saja ia dengar. “Anti membicarakan akhi Hijar?”
Naila dan Hanna terdiam. Mereka saling menatap. Kehangatan yang tercipta
selama percakapan mereka sebelumnya seakan sirna terhirup sorotan tajam
mata mereka. Mereka sibuk dengan pikiran mereka masing-masing. Sibuk
menilai apa pula yang ada dalam pikiran lawan bicaranya.
“Ya. Sebenarnya ana memang ingin tau tentang anti. Akhi Hijar sering sekali
menceritakan anti pada abi. Kalau tidak salah, anti calon akhi Hijar?”
“Tapi kata akhi Hijar…” Naila menggantung kata-katanya. Dia tak tau harus
berkata apa. Hanna tetap diam. Senyum manisnya telah sirna dari wajahnya.
“Atau anti tidak menerimanya?”
“Akhi Hijar memang sering dibicarakan di keluarga ana. Abi ingin dia menjadi
bagian keluarga kami. Setahu ana, akhi Hijar hingga saat ini belum memberi
kepastian karena masih menunggu anti. “ Naila akhirnya berterus terang.
“Afwan, ukh. Ana harus pulang sekarang.” Naila menghela nafas. “ kalau boleh,
lain kali ana akan menghubungi anti.”
Naila melangkah keluar dari masjid dan menghampiri Furqon yang sudah
menunggunya sejak tadi. Perasaan Naila campur aduk. Dia bingung dengan
sikap diam Hanna saat mendengar nama Hijar. Tapi, mendengar perkataan
Hanna bahwa dia tidak memberi jawaban pada Hijar dan sikapnya yang
dengan tegas mengatakan dia bukan calon Hijar, menimbulkan kelegaan di
hati Naila.
Bersambung…
part 3
Hari-hari Naila terlewati dengan harapan yang penuh ketidak pastian.
Semenjak pertemuan Naila dan Hanna di masjid kampus, hubungan mereka
menjadi akrab. Beberapa kali mereka saling mengirim SMS dan menelepon.
Banyak hal yang mereka bicarakan. Mulai dari sekedar bertukar pendapat
atau membicarakan Hijar. Namun, topik terahir inilah yang lebih sering yang
menjadi bahan utama obrolan mereka.
Naila semakin hari semakin banyak tahu tentang Hijar, baik dari sudut
pandang keluarganya maupun Hanna. Satu hal yang selama ini masih
mengusik hati Naila yaitu tentang penantian Hijar dan jawaban apa yang
sebenarnya ada di dalam hati Hanna.
Hanna sendiri selalu mencoba menutup rapat kata hatinya. Ia tak ingin
seorang pun tahu apa jawaban yang sebenarnya akan ia sampaikan pada
Hijar. Hanna menyadari, Hijar menunggunya dan keluarga Naila justru
menunggu Hijar. Tapi, dia tetap ingin menjaga hatinya sendiri. Hanna
merasakan bahwa Naila sebenarnya mengharapkan Hijar. Namun, ia tak
pernah menyinggung hal itu karena ia pun tak ingin perasaannya disinggung
oleh Naila.
Rasa penasaran yang masih ada dalam hati Naila membuatnya semakin sering
pulang ke Al-Munawaroh. Secara sengaja, terkadang dia menyesuaikan
kepulangannya dengan hari dimana Hijar mendapat giliran mengisi ta’lim
ba’da Ashar di masjid pondoknya. Demikian pula hari ini. Sejak sebelum
Ashar ia sudah menunggu di ruang tamu. Kebetulan dia sedang berhalangan
sholat sehingga dia hanya tinggal menanti ta’lim saja dan tidak ikut sholat
berjama’ah.
Naila hampir tersedak. Hijar lagi. Kenapa terasa kebetulan seperti ini. “Ada
perlu apa?”
Naila sedikit kecewa. Yah, aku tak bisa mendengar ta’lim Hijar hari ini. Dia
menghela nafas. “Tafadol bukunya di taruh di depan pintu saja biar nanti ana
ambil.” Kata Naila memberi intruksi. Dia memang tidak ingin mengulurkan
tangan dan membiarkan tamu ikhwan itu melihat tangannya.
“Na’am. Tapi afwan, ana bertemu dengan siapa ini? Agar ana bisa meyakinkan
Hijar kalau bukunya sudah ana kembalikan.”
“ Masya Allah, Naila putri Ustadz Jamaludin kan? Hijar sering sekali
membicarakan anti.” Naila tersentak. Hijar sering membicarakan dirinya
dengan sahabatnya? Apa yang mereka bicarakan? “ Subhanalloh. Ana tidak
menyangka, baru pertama kali ke Al-Munawaroh, bisa langsung bertemu
dengan anti. Sungguh semua karena kehendak Allah."Suara itu terdengar
sumringah. Ada perasaan senang dan bangga dalam getaran suaranya.
Naila hanya terdiam. Dia masih menerka-nerka pembicaraan Hijar dengan
Baarid. Sampai sejauh mana pembicaraan mereka, sehingga Baarid terlihat
begitu senang bisa mengenalnya.
Suara adzan Ashar berkumandang dari corong pengeras suara masjid Al-
Munawaroh. Baarid mengundurkan diri. Dia mengucapkan salam dan
bergegas bergabung dengan jama’ah yang telah berkumpul di masjid. Naila
meraih buku yang di tinggalkan Baarid di muka pintu. Lama ia mematung di
balik pintu hingga akhirnyaia memutuskan akan mencari tahu tentang Baarid
melalui Hanna. Barangkali saja Hanna mengenal ikhwan bernama Baarid yang
menjadi sahabat dekat Hijar.
Sore itu juga, Naila menanyakan ikhwan yang bernama Baarid kepada Hanna.
Dia menceritakan kedatangan ikhwan itu dan mengatakan kalau ia sering di
bicarakan oleh Baarid dan Hijar. Sebuah kebetulan, Hanna pun mengenal
Baarid. Sebenarnya Baarid bukan teman kampusnya, tapi ia cukup
mengenalnya karena Baarid sering menemani Hijar dalam urusan da’wahnya.
Ada seseorang yang berkata padanya bahwa Baarid sering datang kemasjid
kampus karena sebenarnya ingin tahu akhwat seperti apa yang di inginkan
sahabatnya. Tapi hal itu tak akan ia ceritakan pada Naila. Iya hanya
memberitahu sebatas siapa itu Baarid.
***
Sejak sore saat Naila dan Hanna membicarakan Baarid, Hijar jarang terlihat di
masjid kampus. Hanna yang menjadi koordinator akhwat sedikit merasa
kewalahan dengan ketidakhadiran Hijar sebagai coordinator ikhwan.
Beberapa hari ia mencoba mengatasinya sendiri. Namun, setelah hampir satu
minggu, Hanna terpaksa menayakan kepada ikhwan yang lain.
“Ya, diusahakan.”
“Afwan jika boleh tahu, kenapa akhi Hijar jarang terlihat akhir-akhir ini?”
Hanna bertanya perlahan. Dia ingin tahu, tapi tidak ingin timbul fitnah dari
pertanyaan pribadinya itu.
Hanna tersentak. Jawaban itu bagaikan petir yang menggelegar. Sebuah kilat
terasa menyambar dirinya. Hatinya bergemuruh. Tidak!!! Walimah? Akhi
Hijar akan menikah?! Hanna mendadak linglung. Dia beringsut di sudut
masjid, masih tidak menyadari dengan apa yang ia dengar. Benarkah akhi
Hijar menikah? Dengan siapa? Sebersit kemungkinan terlintas di hati Hanna.
Naila! Ya, pasti Naila.
Hanna menghubungi HP Naila, tapi tidak ada jawaban. Beberapa kali ia ulangi,
hasilnya tetap sama. Hanna mencoba mengirim SMS, namun balasan tak
kunjung tiba. Hanna kalut. Di tengah kerisauan hatinya, sebuah SMS masuk
tertera dilayar HP-nya. SMS Naila.
“Afwan, ukhti Hanna. Ana tidak tahu tentang akhi Hijar. “Afwan ya baru bisa
balas SMS-nya. Ana dalam perjalanan pulang ke solo ini, ukh. Mendadak Abi
meminta ana pulang. Katanya ada yang ingin menemui ana pagi ini.”
Air mata menetes menjatuhi pipi Hanna. SMS dari Naila membuatnya merasa
hampa. Naila diminta pulang abinya karena ada yang ingin menemuinya.
Mungkinkah pagi ini Naila akan di khitbah oleh Hijar? Hanna lemas,
bersandar didinding menyadari apa yang tengah terjadi. Di ingatnya
perkenalannya dengan Naila, apa saja yang dikatakan Naila. Tentang
perkataan Naila bahwa keluarganya menginginkan Hijar, tentang Naila yang
ingin tahu penantian Hijar, tentang kedatangan Baarid yang mengatakan dia
sering membicarakan Naila dengan Hijar.
Hanna semakin nelangsa. Hatinya terasa sakit bagai teriris pisau. Dia
meratapi ketidak jujurannya selama ini. Menangis kecewa karena tidak
segera mengiyakan tawaran Hijar saat itu. Menangisi kekalahannya kaena
menyia-nyiakan penantian Hijar. Hanna hanya bisa meratap.
Lama Hanna termenung di sudut masjid. Di menangis mencoba
mengikhlaskan segala keputusan kepada Yang Maha Kuasa. Di tengah
munajatnya, sebuah SMS kembali tertera di layar HP-nya. Lagi-lagi Naila.
Hanna membuka dengan lemah.
“Ukhti, pagi ini ana di khitbah. Tadi akhi Hijar dan Akhi Baarid datang kesini.
Ana di khitbah oleh Akhi Baarid. Insya Allah ijab qobul dua hari lagi. Ukhti,
ana ingin berpesan untuk anti. Jangan pernah sia-siakan penantian akhi Hijar
pada anti.”
Air mata Hanna makin deras mengalir. Tapi kali ini diiringi dengan senyum
tulus yang terpancar dari hati. TAMAT