Anda di halaman 1dari 17

Wahai wanita muslimah, renungkanlah sabda Nabi Muhammad

SAW ini: “Dunia ini penuh perhiasan dan perhiasan yang paling
indah ialah wanita yang Sholehah”. (H.R Muslim).

Sungguh tiada kecantikan,keindahan dan kedudukan yang tinggi


bagi seorng wanita kecuali beriman,bertaqwa dn berakhlaq mulia.
Apabila teguh di jalan kebenaran maka insya Allah engkau akan
menjadi wanita pilihan yang mulia di sisi-Nya.

Namun sebaliknya apabila engkau mengingkari Allah dengan


mengikuti jalan kebatilan dan melepaskan segala aturan dari-
Nya,niscaya sinar kecantikan yang engkau miliki akan pudar walau
berhiaskan untaian mutiara dan gugusan bintang yang cemerlang
di keningmu.

Jadikanlah dirimu mulia yang menjauhkan diri dari keburukan dan


menghindari sifat mengganggu terhadap sekalian
manusia..sungguh, sebaik-baik manusia adalah yang mampu
memberi manfaat terhadap sesama, namun andaikan tak mampu
cukuplah berusaha agar siapapun yang berada di dekatmu terasa
nyaman tatkala dirimu ada bersamanya, buatlah mereka merasa
aman dari gangguan tangan dan lisan mu.
Kisah Kalung Annisa: Cerita Penuh
Hikmah
Pada kesempatan kali ini saya akan menceritakan kisah anak berumur 5 tahun
bernama Annisa.

Di sore hari yang cerah, Annisa dan ibunya berbelanja di supermarket tepatnya
di jalan Datuk Maharaja. Ketika sedang asik menemani sang ibu belanja Annisa
melihat kalung mutiara putih berkilauan, kalung itu tergantung dalam sebuah
kotak berwarna pink yang sangat attraktif. Kalung itu nampak begitu indah
sekali, sehingga Annisa pun sangat ingin memiliki kalung itu. Tapi dia tahu, pasti
ibunya akan keberatan.

Seperti biasanya, sebelum berangkat ke supermarket di jalan ia sudah berjanji


tidak akan meminta apapun selain yang sudah di setujui untuk di beli. Dan tadi
ibunya sudah menyetujui untuk membelikannya kaos kaki ber-renda yang cantik.
Namun karena kalung itu sangat indah, di beranikannya bertanya.

“ Bunda, bolehkah Annisa memiliki kalung itu? Ibu boleh kembalikan kaos kaki
yang tadi… “ Sang Bunda segera mengambil kotak kalung dari tangan Annisa. Di
baliknya tertera harga Rp 15,000. Di lihatnya mata Annisa yang memandangnya
dengan penuh harap dan cemas. Sebenarnya ibunya bisa saja langsung
membelikan kalung itu, namun ibunya tak mau bersikap tidak konsisten.

“ Oke … Annisa, kamu boleh memiliki kalung ini. Tapi kembalikan kaos kaki yang
kau pilih tadi. Dan karena harga kalung ini lebih mahal dari kaos kaki itu, ibu
akan potong uang tabungan mu untuk minggu depan. Setuju ? ” Annisa
mengangguk lega, dan segera berlari riang mengembalikan kaos kaki ke raknya.

“ Terima kasih …, Ibu” Annisa sangat menyukai dan menyayangi kalung


mutiaranya. Menurutnya, kalung itu membuatnya nampak cantik dan dewasa. Dia
merasa secantik Ibunya. Kalung itu tak pernah lepas dari lehernya, bahkan
ketika tidur. Kalung itu hanya di lepasnya jika dia mandi dan berenang. Sebab,
kata ibunya, jika basah, kalung itu akan rusak, dan membuat lehernya menjadi
hijau.

Setiap malam sebelum tidur, ayah Annisa membacakan cerita pengantar tidur.
Pada suatu malam, ketika selesai membacakan sebuah cerita, Ayah bertanya “
Annisa…, Annisa sayang enggak sama Ayah ?”

“ Tentu dong… Ayah pasti tahu kalau Annisa sayang Ayah !”

“ Kalau begitu, berikan kepada Ayah kalung mutiara mu…

“ Yah…, jangan dong Ayah ! Ayah boleh ambil “ Si Ratu ” boneka kuda dari
nenek…! Itu kesayanganku juga

“ya sudahlah sayang… ngga apa-apa !”. Ayah mencium pipi Annisa sebelum keluar
dari kamar Annisa.

Kira-kira seminggu berikutnya, setelah selesai membacakan cerita, Ayah


bertanya lagi,

“ Annisa…, Annisa sayang nggak sih, sama Ayah ?”

“Ayah, Ayah tahu bukan kalau Annisa sayang sekali pada Ayah ?”

“ kalau begitu, berikan pada Ayah kalung mutiara mu.”

“ jangan Ayah… tapi kalau Ayah mau, Ayah boleh ambil boneka Barbie ini..”
kata Annisa seraya menyerahkan boneka Barbie ini yang selalu menemaninya
bermain.

Beberapa malam kemudian, ketika Ayah masuk ke kamarnya, Annisa


sedang duduk di atas tempat tidurnya. Ketika di dekati, Annisa rupanya sedang
menangis diam-diam. Kedua tangannya tergenggam di atas pangkuan. Air mata
membasahi pipinya…” Ada apa Annisa, kenapa Annisa ?” tanpa berucap sepatah
pun, Annisa membuka tangannya. Di dalamnya melingkar cantik kalung mutiara
kesayangannya.

“Kalau Ayah mau … ambillah kalung Annisa” Ayah tersenyum mengerti, di


ambilnya kalung itu dari tangan mungil Annisa. Kalung itu di masukan ke dalam
kantong celana. Dan dari kantong yang satunya, di keluarkan sebentuk kalung
mutiara putih… sama cantiknya dengan kalung yang sangat di sayangi Annisa…
“ Annisa… ini untuk Annisa. Sama bukan? Memang begitu nampaknya, tapi kalung
ini tidak akan membuat lehermu menjadi hijau”

Ya.., ternyata Ayah memberikan kalung mutiara asli untuk menggantikan kalung
mutiara imitasi Annisa.

Demikian pula halnya dengan Allah S.W.T terkadang Dia meminta


sesuatu dari kita, karena Dia berkenan untuk menggantikannya dengan yang
lebih baik. Namun, kadang-kadang kita seperti atau bahkan lebih naif dari
Annisa : Menggenggam erat sesuatu yang kita anggap amat berharga, dan oleh
karenanya tidak ikhlas bila harus kehilangan. Untuk itulah perlunya sikap
ikhlas, karena kita yakin tidak akan Allah mengambil sesuatu dari kita jika
tidak akan menggantinya dengan yang lebih baik.
pa
rt 1
Naila berjalan perlahan memasuki perkarangan Pondok Pesantren Ikhwan Al-
Munawaroh. Dia membetulkan letak cadarnya dan mengamati sekeliling.
Aman, suasana sepi. Segera dia mempercepat langkah menuju rumahnya.

Naila adalah putri Ustad Jamaluddin, pemilik Pondok Al- Munawaroh. Dia
adalah anak ke dua dari dua bersaudara. Karena Al-Munawaroh merupakan
pondok pesantren ikhwan, sejak masuk bangku SMP, Naila di titipkan di
rumah adik abinya di daerah Yogyakarta. Sebulan sekali, Naila pulang ke Al-
Munawaroh yang terletak di pinggiran kota Solo. Kali ini ia pulang agak
kesorean. Biasanya ba’da dzuhur ia sudah tiba di Al-Munawaroh.

Naila terus mempercepat langkahnya melewati perkarangan pondok dan


mengucap salam begitu sampai di depan rumahnya. “Assalamu’alaikum,” seru
Naila.

“Wa’alaikumussalam” sebuah suara menjawab salamnya. Suara Furqon,


kakak semata wayangnya.

“Kok baru sampai?” tanya Furqon sambil membuka pintu dan segera
menutupnya kembali begitu Naila masuk.

“Ada kuliah tambahan di kampus, Mas.” Kata Naila sembari melepas cadar
yang sejak tadi menutupi wajahnya.

“Untungnya sudah sampai rumah. Kalau terlambat sedikit saja, bisa-bisa jadi
tontonan santri Ikhwan kamu nanti.”

Naila melirik arloji yang melingkar manis di pergelangan tangannya. Hm,


sudah hampir masuk waktu Ashar. Sebentar lagi santri-santri akan
berbondong-bondong menuju masjid yang berada tepat di depan rumahnya.
Membayangkan dirinya datang terlambat dan harus berjalan di antara para
santri ikhwan itu membuat Naila bergidik.
“Iya, Mas. Insya Allah Naila enggak akan pulang terlambat lagi. Abi Umi ke
mana, Mas? Kok sepi sekali?”

“Abi ada di masjid. Ummi di dapur pondok menyiapkan makan malam santri
nanti. Naila hanya menganguk-angguk kepalanya tanda mengerti.

“Ya, cepat sana! Sebentar lagi Jama’ah Ashar,” kata Furqon mengingatkan.
Naila mengangguk mengiykan.

***

Selepas Ashar, semua santri tinggal di dalam masjid untuk mendengarkn


ta’lim. Beberapa santri yang di percaya oleh Abinya akan memberikan ta’lim
secara bergilir di mimbar masjid. Jika Naila berada di rumah, ia selalu
meluangkan waktu untuk ikut mendengarkan. Tapi Naila hanya
mendengarkan dari balik tirai yang ada di ruang tamu rumahnya. Ia tak
mungkin bergabung di masjid dengan para santri yang notebene ikhwan
semua.

Isi ta’lim kali ini sangat menarik. Penyampaiannya lugas, padat, dan terasa
menggelitik. Sesekali, santri yang menyampaikan ta’lim berkelakar ringan.
Namun, tetap tidak melanggar batas kesopanan. Naila tersenyum simpul
mendengarnya. Dalam hatinya berkata, hm, bisa juga santri Abi yang satu ini.

“La…,” seseorang memanggil namanya. Siapa lagi kalau bukan Mas Furqon.

Naila menoleh pada kakaknya yang menghampirinya. “ kenapa, Mas?”

“kamu ini lho, La. Senyum-senyum sendirian di ruang tamu.”

Naila tersipu malu. “Ta’limnya lucu, Mas. Yang tugas ta’lim siapa, sih?”

“Hijar.”

Naila mengernyitkan dahinya. “Akhi Hijar? Sepertinya barukali ini dengar


namanya.”

“Dia baru beberapa minggu ikut ta’lim di sini, tapi sudah jadi murid
kesayangan Abi.”

“Oh,” mulut Naila membulat kecil,” Santri baru ya?”tanya Naila.

“Bukan. Dia mahasiswa yang ikut ta’lim sore sampai malam.”

“Mahasiswa? Mahasiswa mana, Mas?” seketika Naila menjadi tertarik.


“kalau gak salah,politik UNS.”

“kok bisa ikut ta’lim di sini, Mas?”

“Dia pengurus ta’lim di kampusnya. Tiap pagi ada ustad pondok yang
memberi ta’lim di masjid kampusnya. Awalnya, dia hanya sebagai koordinator
antara pondok dengan kampus saja,tapi lama-kelamaan jadi sering ikut ta’lim
di sini juga.”

Naila mengangguk-anggukkan kepala tanda mengerti.” Dia setiap hari datang


ke sini, Mas?”tanya Naila dengan nada tak percaya.

Furqon mengangguk. “Biasanya dia ikut jama’ah Ashar di sini. Ba’da Isya baru
dia pulang, tapi sebelum pulang pasti ngobrol dulu dengan Abi. Paginya
kadang dia menjemput ustad di sini untuk mengisi ta’lim di kampusnya.”

“Subhanallah…, semangat sekali dia.” Naila berdecak kagum.

“Ya, sangat luar biasa. Dia ikhwan yang menarik. Ibarat Umar bin Khattab.
Sikapnya keras dan tegas,tapi hatinya sungguh lemah lembut.”

Naila terpana dengan perumpamaan yang di buat kakaknya. Seperti Umar bin
Khattab? Tidak berlebihankah perumpamaan kakaknya itu? Tapi, kakaknya
bukan seorang pembual. Pendpat kakaknya tentang ikhwan bernama Hijar ini
menjadi penyulut rasa ingin tahu Naila. Naila bergumam. “ memangnya
dengan Abi ngobrol apa,Mas?”

“ Banyak, kadang-kadang justru membicarakan kegiatan kampus, masalah


pribadinya, atau tentang akhwat.”

“Akhwat?” Naila terkejut mendengarnya. Furqon hanya mengangguk. “ Apa


Abi sudah menyiapkan akhwat untuknya, Mas?” tanya Naila dengan rasa
penasaran yang jelas tidak bisa di sembunyikan.

Furqon diam sebentar, merasa aneh dengan reaksi adiknya. “Mas masih
belum tahu, tapi bukannya Abi memang selalu menyiapkan akhwat dari
keluarga kita untuk santri-santri favoritnya. Apalagi ikhwan yang satu ini jadi
murid kesayangan Abi. Dia sudah seperti anak kandung Abi saja. Bahkan Abi
pernah bilang seperti ini ke Ummi, pasti menyenangkan kalau Hijar jadi anak
kita.”

Naila tersentak. Akhi Hijar jadi anak Abi dan Ummi. Jangan-jangan… jantung
Naila berdegup sangat kencang.
“ Tapi, Hijar sering sekali menceritakan akhwat yang ada di kampusnya. Kalau
tidak salah, namanya Hanna. Di koordinator akhwat di masjid kampusnya.”
Kata Furqon melanjutkan.

Seketika Jantung Naila seakan di paksa untuk berhenti berdetak. “ Seorang


akhwat? Calonnya, Mas?”

“ Sepertinya begitu.”

“ Lalu akhwat yang di persiapkan Abi?’’ Naila terus mandesak.

“ Kurang tau. Sementara ini Abi masih mencari informasi tentang akhwat yang
diceritakan Hijar sambil beliau juga menentukan kira-kira siapa akhwat dari
keluarga kita yang tepat untuknya.” Kata Furqon, “sudah, ah. Kamu ini, baru
dengar namanya saja sudah tanya macam-macam. Terlalu panjang ngobrol
sampai lupa mendengarkan ta’lim kan.”

Naila tersipu malu. Wajahnya memerah disindir begitu. Furqon meninggalkan


Naila yang kembali terdiam mendengarkan ta’lim. Tapi pikiran Naila tak bisa
konsentrasi dengan materi yang di sampaikan. Rasa ingin tahu Naila terusik.
Ikhwan yang satu ini berbeda dengan ikhwan kesayangan Abi lainnya. Dia
seorang mahasiswa. Ikhwan yang kata kakaknya sepeti Umar bin Khattab.
Ikhwan yang sangat disayangi Abinya. Seperti apa dia sebenarnya? Naila
makin terhanyut dengan rasa penasaranya.

Bersambung…

part 2
Rembulan semakin merangkak naik. Kultum rutin setiap sholat ba’da Isya
yang di sampaikan oleh Ustad Jamaluddin baru saja berakhir. Seluruh santri
bergerombol keluar dari masjid menuju ruang makan untuk menyantap
hidangan yang telah disiapkan. Masjid yang semula padat dan riuh mendadak
sepi.

Naila duduk diruang tengah sembari membaca buku tafsir hadits yang
menjadi koleksi Abinya. Ia menikmati keheningan yang tercipta di sekeliling
rumahnya. Suara jangkrik yang bertasbih di luar sana, menciptakan suasana
syahdu yang semakin mendayu. Di tengah kesunyian yang meneduhkan,
sayup-sayup terdengar suara langkah kaki yang mendekat menuju rumahnya.
Naila mengintip dari balik tirai jendela. Matanya menangkap bayangan
Abinya, Mas Furqon,dan seorang ikhwan. Siapa dia? Ikhwan itu terlihat santun
berjalan berdampingan dengan Abi dan kakaknya. Naila segera menutup tirai
jendela. Dia kembali melanjutkan membaca buku. Tiba-tiba Furqon menyibak
tirai yang membatasi ruang tamu dan ruang tengah rumahnya.

“Ah, kebetulan kamu disini, La. Tolong buatkan teh manis tiga ya. Kalau ada
kue-kue juga boleh deh.” Pinta Furqon.

Naila menutup bukunya, “ Siapa tamunya, Mas?’’ tanya Naila.

“ Hijar”

Naila tercekat. Nafasnya seakan berhenti di tenggorokan. Rasa penasaran


yang dari tadi sore menyelimuti hatinya semakin menyeruak. Naila bergegas
ke dapur menyiapkan hidangan. Hati dan pikirannya tak menentu. Nampan
yang dibawanya dari dapur bergetar karena tangannya gemetar. Langkah
kaki Naila sangat perlahan. Di batas tirai antara ruang tengah dan ruang tamu,
Naila berhenti. Dia mengetuk papan untuk memberi kode pada kakaknya. Ya,
begitulah yang di ajarkan Abi dan Umminya. Jika tamu seorang ikhwan, ia tak
boleh menampakan diri. Ia hanya di perbolehkan membawa hidangan batas
tirai pemisah.

Tak berapa lama, kakaknya menyingkap tirai. Dia mengambil nampan yang
ada di genggaman tangan Naila dan mengucapkan terima kasih. Tepat pada
saat itu, terdengar suara Abi Naila yang bertanya, “ Bagaimana akhwat
kampusmu itu, jar?”

Seketika Naila mematung di balik tirai. Kakinya terasa berat untuk


melangkah. Dia merapatkan tubuhnya pada papan dan mempertajam
pendengarannya.

Terdengar sebuah suara, “ masih sulit, ustad.” Suara itu…, entah mengapa
menggetarkan saraf-saraf di sekujur tubuh Naila.
“ Di minum dulu, Jar.” Kali ini suara Mas Furqon. Suasana hening sejenak.
Terdengar suara cangkir yang beradu dengan tatakannya. Naila menanti
keheningan ini dengan resah. Ia tak sabar mendengar percakapan
selanjutnya.

“Akhwat yang lain masih banyak kan, Jar.” Suara abi terdengar lagi, tapi tak
ada jawaban dari Hijar. “ kalau mau, Ustad bisa mencarikan untuk antum.”

Naila semakin resah. Ruang tengah yang luas terasa sempit dan
menghimpitnya.

“ Syukron, Ustad. Ana masih ingin menunggu dulu.” Kata-katanya terdengar


tegas. Tungkai Naila terasa lemas. Tangannya berpegangan pada papan yang
ada di hadapannya.

“Kalau jadi bagian keluarga ustad, mau tidak?” abi masih mendesak.

“Wah, sebuah kehormatan yang besar sekali jika ana bisa seperti itu, Ustadz.
Tapi untuk saat ini…”

“Sebenarnya Ustadz ingin sekali antum jadi bagian keluarga ini, apalagi
seandainya bisa jadi anak Ustadz.” Abi memotong kata-kata Hijar. Naila
tersentak. Jantungnya berdegup tak karuan.

“Afwan, Ustadz. Maksud Ustadz?” Hijar bertanya sopan.

“ Di keluarga ustadz masih banyak akhwat yang belum menikah. Putri semata
wayang ustadz juga belum. Seandainya antum mau…”

“ Naila…,” tiba-tiba sebuah suara memnggil Naila. Naila terkejut mendapati


umminya sudah berada di ruang tengah berjalan ke arahnya.

“I…iya,ummi.” Naila tergagap. Ia berjalan menjauh dari tirai dan menghampiri


umminya.

“ Ayo bantu ummi membereskan ruang makan. Santri-santri sudah keluar


semua dari sana, tapi tetap pakai cadarmu ya.” Ajak ummi Naila.

Naila mengangguk. “ baik, ummi.” Naila mengekor di belakang umminya,


berjalan menjauhi ruang tamu. Masih di dengarnya sayup-sayup suara Hijar,
tapi ia tak dapat menangkap apa yang Hijar katakan.

***
Semakin hari, Naila semakin dibayangi oleh pesona Hijar di mata
keluarganya. Naila tersiksa. Dia di landa gelisah dan penasaran yang luar
biasa. Naila semakin banyak tahu tentang Hijar, tapi hanya satu yang tidak dia
ketahui yaitu Hanna, akhwat yang namanya di sebut Hijar. Ada perasaan lain
di hati Naila setiap mendengar nama Hanna.

Sebuah permintaan yang tak pernah terduga akan dilakukan Naila saat
Furqon mendapat giliran mengisi ta’lim di masjid kampus Hijar. Naila
mendesak untuk ikut. Abi dan ummi yang biasanya melarang Naila pergi
keluar rumah, entah kenapa kali ini mengijinkan. Dalam hati Naila bersorak.
Kesempatan ini tak akan ia siakan. Dia harus bisa mengenal akhwat yang
bernama Hanna di masjid kampus Hijar.

Sesampai di masjid kampus Hijar, Naila bertanya-tanya, mana akhwat yang


bernama Hanna. Ketika Mas Furqon mulai dengan ta’limnya, Naila justru
sibuk mengamati akhwat-akhwat yang mencatat materi ta’lim dengan
khidmat. Ada seorang akhwat yang sangat menarik perhatiannya. Dia terlihat
anggun. Wajahnya sungguh bersahabat. Usai ta’lim nanti, Naila memutuskan
akan mencari tahu tentang Hanna dari akhwat ini.

Saat Furqon menutup ta’limnya dengan salam, Naila beringsut mendekati


akhwat yang menarik hatinya. “Assalamua’laikum ukhti.”

“Wa’alaikumsalam waroh matullohi wabarokatuh.” Jawab akhwat itu dengan


senyum manis yang terukir di wajahnya. Tiba-tiba Naila merasakan
keteduhan yang luar biasa di hatinya.

“Afwan ukhti, ana ingin bertanya. Di sini ada akhwat yang bernama Hanna?”
Naila langsung tembak sasaran saja.

“Ana Hanna, ukhti.” Jawab akhwat itu lembut. Naila kaget luar biasa. Akhwat
yang sungguh mempesona ini adalah Hanna. Naila tertegun. Apa yang harus
aku katakan sekarang.

“Perkenalkan, ana Naila. Adik ustadz Furqon dari AL- Munawaroh.” Naila
memperkenalkan diri. Diulurkannya tangan kanannya ke hadapan Hanna,
yang serta merta dijabat erat oleh Hanna. Sebuah kehangatan menjalar dalam
diri Naila.

Naila mulai berbasa-basi. Hanna sangat membuatnya nyaman. Naila dengan


cepat merasa akrab dan cocok dengan Hanna. Mereka asyik bercakap-cakap,
hingga sebuah dering telepon dari HP Naila mengingatkannya untuk segera
pulang. “Senang sekali ana bisa mengenal anti. Ternyata anti memang akhwat
menarik seperti yang di katakan akhi Hijar.”

Hanna tercekat. Raut wajahnya seketika berubah. Dia seakan tidak percaya
dengan apa yang baru saja ia dengar. “Anti membicarakan akhi Hijar?”

Naila dan Hanna terdiam. Mereka saling menatap. Kehangatan yang tercipta
selama percakapan mereka sebelumnya seakan sirna terhirup sorotan tajam
mata mereka. Mereka sibuk dengan pikiran mereka masing-masing. Sibuk
menilai apa pula yang ada dalam pikiran lawan bicaranya.

“Ya. Sebenarnya ana memang ingin tau tentang anti. Akhi Hijar sering sekali
menceritakan anti pada abi. Kalau tidak salah, anti calon akhi Hijar?”

“Bukan.” Spontan Hanna menjawab pertanyaan Naila. Kening Naila berkerut.

“Tapi kata akhi Hijar…” Naila menggantung kata-katanya. Dia tak tau harus
berkata apa. Hanna tetap diam. Senyum manisnya telah sirna dari wajahnya.
“Atau anti tidak menerimanya?”

Pertanyaan Naila menyudutkan Hanna. Ia merasa tak nyaman. Hanna


menundukan kepala untuk menutupi kegelisahan yang terpancar dari
wajahnya. Dia menghela nafas berat.

“Akhi Hijar memang sering dibicarakan di keluarga ana. Abi ingin dia menjadi
bagian keluarga kami. Setahu ana, akhi Hijar hingga saat ini belum memberi
kepastian karena masih menunggu anti. “ Naila akhirnya berterus terang.

Wajah Hanna semakin tertunduk. Perlahan akhirnya ia memberi jawaban. “


Ana memang tidak memberi jawaban pada akhi Hijar.”kata Hanna dengan
lesu.

“ Kenapa?” Naila mendesak ingin tahu.

Hanna kembali tertunduk dan menghela nafas berat. Sunyi menyelimuti


Hanna dan Naila. Namun tiba-tiba terpecah oleh dering HP Naila.

“Afwan, ukh. Ana harus pulang sekarang.” Naila menghela nafas. “ kalau boleh,
lain kali ana akan menghubungi anti.”

Hanna mengangguk dengan senyum yang seperti di paksakan. Mereka


kembali berjabat tangan erat.

Naila melangkah keluar dari masjid dan menghampiri Furqon yang sudah
menunggunya sejak tadi. Perasaan Naila campur aduk. Dia bingung dengan
sikap diam Hanna saat mendengar nama Hijar. Tapi, mendengar perkataan
Hanna bahwa dia tidak memberi jawaban pada Hijar dan sikapnya yang
dengan tegas mengatakan dia bukan calon Hijar, menimbulkan kelegaan di
hati Naila.

Bersambung…

part 3
Hari-hari Naila terlewati dengan harapan yang penuh ketidak pastian.
Semenjak pertemuan Naila dan Hanna di masjid kampus, hubungan mereka
menjadi akrab. Beberapa kali mereka saling mengirim SMS dan menelepon.
Banyak hal yang mereka bicarakan. Mulai dari sekedar bertukar pendapat
atau membicarakan Hijar. Namun, topik terahir inilah yang lebih sering yang
menjadi bahan utama obrolan mereka.

Naila semakin hari semakin banyak tahu tentang Hijar, baik dari sudut
pandang keluarganya maupun Hanna. Satu hal yang selama ini masih
mengusik hati Naila yaitu tentang penantian Hijar dan jawaban apa yang
sebenarnya ada di dalam hati Hanna.

Hanna sendiri selalu mencoba menutup rapat kata hatinya. Ia tak ingin
seorang pun tahu apa jawaban yang sebenarnya akan ia sampaikan pada
Hijar. Hanna menyadari, Hijar menunggunya dan keluarga Naila justru
menunggu Hijar. Tapi, dia tetap ingin menjaga hatinya sendiri. Hanna
merasakan bahwa Naila sebenarnya mengharapkan Hijar. Namun, ia tak
pernah menyinggung hal itu karena ia pun tak ingin perasaannya disinggung
oleh Naila.

Rasa penasaran yang masih ada dalam hati Naila membuatnya semakin sering
pulang ke Al-Munawaroh. Secara sengaja, terkadang dia menyesuaikan
kepulangannya dengan hari dimana Hijar mendapat giliran mengisi ta’lim
ba’da Ashar di masjid pondoknya. Demikian pula hari ini. Sejak sebelum
Ashar ia sudah menunggu di ruang tamu. Kebetulan dia sedang berhalangan
sholat sehingga dia hanya tinggal menanti ta’lim saja dan tidak ikut sholat
berjama’ah.

Dalam penantiannya itu, pintu depan rumahnya di ketuk seseorang.


Terdengar suara ikhwan yang mengucap salam. Naila panik. Rumah kosong
karena semua sudah bergegas ke masjid. Terpaksa ia harus menerima tamu
ikhwan itu. Dengan tangan bergetar, di betulkannya cadarnya dan di bukanya
pintu rumah hanya sedikit saja.

“Wa’alaikumsalam. ‘Afwan, sedang tidak ada orang di rumah. Dengan siapa


ini?”Tanya Naila di balik pintu. Abinya mengajarkan agar ia tidak
mempersilahkan masuk ikhwan yang bukan mukhrimnya. Apalagi saat ini ia
berada di rumah seorang diri.

“Ana Baarid, sahabat dekat Hijar.”

Naila hampir tersedak. Hijar lagi. Kenapa terasa kebetulan seperti ini. “Ada
perlu apa?”

“Ana hanya disuruh mengembalikan buku yang di pinjam Hijar. Katanya


bukunya akan di pakai ustadz. Sekaligus ingin memberitahukan kalau dia
tidak bisa mengisi ta’lim hari ini.”

Naila sedikit kecewa. Yah, aku tak bisa mendengar ta’lim Hijar hari ini. Dia
menghela nafas. “Tafadol bukunya di taruh di depan pintu saja biar nanti ana
ambil.” Kata Naila memberi intruksi. Dia memang tidak ingin mengulurkan
tangan dan membiarkan tamu ikhwan itu melihat tangannya.

“Na’am. Tapi afwan, ana bertemu dengan siapa ini? Agar ana bisa meyakinkan
Hijar kalau bukunya sudah ana kembalikan.”

“Naila.” Ujar Naila singkat.

“ Masya Allah, Naila putri Ustadz Jamaludin kan? Hijar sering sekali
membicarakan anti.” Naila tersentak. Hijar sering membicarakan dirinya
dengan sahabatnya? Apa yang mereka bicarakan? “ Subhanalloh. Ana tidak
menyangka, baru pertama kali ke Al-Munawaroh, bisa langsung bertemu
dengan anti. Sungguh semua karena kehendak Allah."Suara itu terdengar
sumringah. Ada perasaan senang dan bangga dalam getaran suaranya.
Naila hanya terdiam. Dia masih menerka-nerka pembicaraan Hijar dengan
Baarid. Sampai sejauh mana pembicaraan mereka, sehingga Baarid terlihat
begitu senang bisa mengenalnya.

Suara adzan Ashar berkumandang dari corong pengeras suara masjid Al-
Munawaroh. Baarid mengundurkan diri. Dia mengucapkan salam dan
bergegas bergabung dengan jama’ah yang telah berkumpul di masjid. Naila
meraih buku yang di tinggalkan Baarid di muka pintu. Lama ia mematung di
balik pintu hingga akhirnyaia memutuskan akan mencari tahu tentang Baarid
melalui Hanna. Barangkali saja Hanna mengenal ikhwan bernama Baarid yang
menjadi sahabat dekat Hijar.

Sore itu juga, Naila menanyakan ikhwan yang bernama Baarid kepada Hanna.
Dia menceritakan kedatangan ikhwan itu dan mengatakan kalau ia sering di
bicarakan oleh Baarid dan Hijar. Sebuah kebetulan, Hanna pun mengenal
Baarid. Sebenarnya Baarid bukan teman kampusnya, tapi ia cukup
mengenalnya karena Baarid sering menemani Hijar dalam urusan da’wahnya.
Ada seseorang yang berkata padanya bahwa Baarid sering datang kemasjid
kampus karena sebenarnya ingin tahu akhwat seperti apa yang di inginkan
sahabatnya. Tapi hal itu tak akan ia ceritakan pada Naila. Iya hanya
memberitahu sebatas siapa itu Baarid.

***

Sejak sore saat Naila dan Hanna membicarakan Baarid, Hijar jarang terlihat di
masjid kampus. Hanna yang menjadi koordinator akhwat sedikit merasa
kewalahan dengan ketidakhadiran Hijar sebagai coordinator ikhwan.
Beberapa hari ia mencoba mengatasinya sendiri. Namun, setelah hampir satu
minggu, Hanna terpaksa menayakan kepada ikhwan yang lain.

“ Assalamua’laikum.” Hanna mengucap salam di balik tirai yang menjadi hijab


jama’ah ikhwan dan akhwat.

“Wa’alaikumussalam.” Seorang ikhwan menjawab,tapi bukan Hijar.

“ Afwan, ana dari coordinator akhwat ingin menanyakan mengenai koordinasi


di pihak ikhwan. Setau ana, coordinator ikhwan jarang terlihat akhir-akhir
ini. Jika bisa, ana ingin meminta bantuan untuk koordinasi ta’lim dari ikhwan
yang lain.”

“Ya, diusahakan.”
“Afwan jika boleh tahu, kenapa akhi Hijar jarang terlihat akhir-akhir ini?”
Hanna bertanya perlahan. Dia ingin tahu, tapi tidak ingin timbul fitnah dari
pertanyaan pribadinya itu.

“Katanya, dia sedang sibuk menyiapkan walimahan.”

Hanna tersentak. Jawaban itu bagaikan petir yang menggelegar. Sebuah kilat
terasa menyambar dirinya. Hatinya bergemuruh. Tidak!!! Walimah? Akhi
Hijar akan menikah?! Hanna mendadak linglung. Dia beringsut di sudut
masjid, masih tidak menyadari dengan apa yang ia dengar. Benarkah akhi
Hijar menikah? Dengan siapa? Sebersit kemungkinan terlintas di hati Hanna.
Naila! Ya, pasti Naila.

Hanna menghubungi HP Naila, tapi tidak ada jawaban. Beberapa kali ia ulangi,
hasilnya tetap sama. Hanna mencoba mengirim SMS, namun balasan tak
kunjung tiba. Hanna kalut. Di tengah kerisauan hatinya, sebuah SMS masuk
tertera dilayar HP-nya. SMS Naila.

“Afwan, ukhti Hanna. Ana tidak tahu tentang akhi Hijar. “Afwan ya baru bisa
balas SMS-nya. Ana dalam perjalanan pulang ke solo ini, ukh. Mendadak Abi
meminta ana pulang. Katanya ada yang ingin menemui ana pagi ini.”

Air mata menetes menjatuhi pipi Hanna. SMS dari Naila membuatnya merasa
hampa. Naila diminta pulang abinya karena ada yang ingin menemuinya.
Mungkinkah pagi ini Naila akan di khitbah oleh Hijar? Hanna lemas,
bersandar didinding menyadari apa yang tengah terjadi. Di ingatnya
perkenalannya dengan Naila, apa saja yang dikatakan Naila. Tentang
perkataan Naila bahwa keluarganya menginginkan Hijar, tentang Naila yang
ingin tahu penantian Hijar, tentang kedatangan Baarid yang mengatakan dia
sering membicarakan Naila dengan Hijar.

Hanna kembali tersentak. Mungkinkah kedatangan Baarid ke Al-Munawaroh


saat itu memiliki maksud yang sama dengan kedatangannya di masjid
kampus. Jangan-jangan ia datang karena penasaran dengan Naila.
Mungkinkah Hijar sebenarnya menyuruh Baarid datang ke sana untuk
meminta pendapatnya?

Hanna semakin nelangsa. Hatinya terasa sakit bagai teriris pisau. Dia
meratapi ketidak jujurannya selama ini. Menangis kecewa karena tidak
segera mengiyakan tawaran Hijar saat itu. Menangisi kekalahannya kaena
menyia-nyiakan penantian Hijar. Hanna hanya bisa meratap.
Lama Hanna termenung di sudut masjid. Di menangis mencoba
mengikhlaskan segala keputusan kepada Yang Maha Kuasa. Di tengah
munajatnya, sebuah SMS kembali tertera di layar HP-nya. Lagi-lagi Naila.
Hanna membuka dengan lemah.

“Ukhti, pagi ini ana di khitbah. Tadi akhi Hijar dan Akhi Baarid datang kesini.
Ana di khitbah oleh Akhi Baarid. Insya Allah ijab qobul dua hari lagi. Ukhti,
ana ingin berpesan untuk anti. Jangan pernah sia-siakan penantian akhi Hijar
pada anti.”

Air mata Hanna makin deras mengalir. Tapi kali ini diiringi dengan senyum
tulus yang terpancar dari hati. TAMAT

Anda mungkin juga menyukai