Cermin Ajaib
Pagi itu, Sarah sedang malas-malasnya untuk bangun dan bersiap ke sekolah karena semalam
pekerjaan rumahnya baru ia selesaikan sekitar pukul 11 malam. Ia baru mampu membuka sebelah mata
lalu menemukan bahwa ternyata Dian telah membalas pesan WhatsApp-nya. Saat itu pula Sarah tiba-tiba
beranjak dari kamarnya dan lekas bersiap untuk berangkat ke sekolah. Dian adalah anak yang ramah,
Meski masih duduk di bangku kelas 07 SMP, Sarah sudah mulai belajar berdandan. Meski begitu,
dandanan yang ia kenakan tidak berlebihan dan lebih berlandaskan menjaga kesehatan wajah saja. Jadi,
salah satu persiapannya ke sekolah adalah dengan mengaplikasikan lip gloss ke bibirnya.
Namun, pagi itu, ia tidak dapat menemukan cermin kecil yang biasa ia gunakan untuk berdandan.
Ia pun terus mencari hingga akhirnya berpapasan dengan ibunya yang sedang sibuk di dapur.
"Ma…, Mama liat cermin bedak Sarah ga?" Tanya Sarah. "Enggak, Sarah… Ini sudah terlalu
siang lho, kenapa kamu belum berangkat juga, nanti telat," balas ibunya.
"Iya ma, tapi kan Sarah belum pake lip gloss". "Pake cermin di lemari kamu aja Sar," ujar
mamanya. "Enggak bisa Ma, ga keliatan, mesti deket," balas Sarah sambil mengeluh. "Ya udah pake
cermin bedak mama aja, kamu ambil sendiri di kamar mama, di meja rias."
Sarah lantas beranjak ke kamar ibunya dan segera menghampiri meja rias. Saat menghampirinya,
Sarah melihat sederetan peralatan makeup. Namun, ia tidak menemukan cermin bedak kepunyaan ibunya.
Ia akhirnya mencoba mencarinya di laci meja itu. Ia menemukan cermin kecil yang agak kusam
dan tampak terlihat sudah berumur. "Nah, ini aja deh, bisa," gumamnya dalam hati.
Namun, ketika ia bercermin, bukan wajahnya yang tampak. Sarah sontak kaget dan membalikkan
cermin itu ke atas meja. Jantungnya berdebar kencang dan sedikit napasnya berpacu tak terkendali.
"Mungkin cuma salah liat," ia berusaha menenangkan pikirannya di dalam hati. Tak lama dengan sedikit
Kali ini, ia benar-benar memfokuskan pandangannya pada cermin. Namun, ternyata sekali lagi ia
melihat sosok lain yang berada di cermin itu. Seorang pria dengan wajah muram dengan alis tebal dan
berpenampilan sedikit sangar. Ya, Sarah mengenali sosok itu. Ia adalah teman sekolahnya, pria yang
justru kebalikan dari Rama. Ia kurang menyukai sosok pria itu karena pendiam dan selalu menyorotkan
"Sar, Sarah… Kamu kenapa sayang?", terdengar suara ibunya mendekat. Wajar saja jika ibunya
khawatir karena bunyi cermin yang tadi dihentakan Sarah ke meja cukup keras. Ibunya lantas melihat
Sarah yang sedang bercermin dengan wajah ketakutan dan penasaran. "Kok pake cermin itu Sar", tanya
Ibunya.
Sarah masih tidak bergerak dan belum menghiraukan pertanyaan ibunya. "Oh, kamu bisa liat juga
ya, kamu liat siapa Sar?" Kali ini Sarah membalasnya "Lho, mama tahu? Sarah lihat Fajar Ma, temen
sekolah," balas Sarah makin keheranan. "Oh, ternyata kamu udah kenal ya, ya baguslah," balas ibunya.
"Cermin itu pusaka keluarga kita sar, nenek kamu sih nyebutnya cermin ajaib," balas ibunya
sambil tertawa kecil. "Hah? Sejak kapan kita punya beginian Ma?
"Namanya juga cermin ajaib Sar". "Enggak ah, ga mau!" tegas Sinta. "Ah lagian kamu masih
SMP, mana tahu soal gituan, masih belum umur!" balas mamanya. "Ih, tapi ga mungkin, Fajar itu
orangnya jutek banget, diajak ngobrol juga susah, mana kasar lagi, ga ada lembut-lembutnya ke cewek
"Kamu kenal sama dia Sar? Maksudnya, bener-bener tau isi hati sama sifatnya gimana?" "Boro-
boro, kan kata Sarah juga diajak ngobrol aja susah," jawab Sarah. "Ya sudah kalau begitu, jangan menilai
seseorang dari sikapnya saja, belum tentu seseorang yang sikapnya dingin seperti itu memiliki hati yang
buruk."
Sarah lalu tertegun sejenak merenungkan perkataan ibunya tersebut. Namun, tak lama ia kembali
sadar bahwa persoalan pokok kali ini adalah cermin Ajaib itu
"Lho, tapi kok Mama punya cermin gini sih? Ini beneran? Ga ada layarnya kan?" tanya Sarah sambil
meraba-raba bagian belakang cermin itu. "Itu belum seberapa Sar, masih banyak pusaka lain yang kamu
Sihir Nina
Alangkah beruntungnya Nina memiliki keluarga idaman yang sangat menyayanginya kali
ini. Keluarga barunya benar-benar memperlakukannya bak anak kandung satu-satunya yang
mereka miliki.
Nina telah lama berpindah-pindah keluarga karena keluarga yang mengadopsinya selalu
tiba-tiba melepaskannya. Panti asuhan bahkan sempat bertanya-tanya akan tersebut. Mereka
bahkan sempat mempertanyakan apakah Nina adalah anak yang nakal? Karena keluarga yang
mengadopsinya selalu beralasan tidak sanggup, atau bahkan ketakutan untuk mengasuh Nina.
Namun, sekarang sudah tak habis pikir karena ia telah berbahagia dengan keluarga
barunya lebih dari dua tahun ini. Setelah merenungkan masa lalunya, nina tak kuasa menahan
bersin. Saat ia bersin, butiran percikan cahaya keemasan keluar dari embusan mulutnya. Nina
kaget melihatnya dan makin terkejut melihat topi yang dikelilingi percikan cahaya itu kini
melayang dihadapannya. "Lho, Nina sudah bisa menyihir sambil bangun ya sekarang," ucap ibu
Nina bahkan tidak tahu apa yang mama omongin soal sihir-sihiran tadi," balasnya.
"Kamu penyihir, mama juga penyihir." "Ah mama ngomong apa sih," tanya Nina. "Ga
percaya? Nanti kita belajar bareng-bareng ya," balas mama nina sambil tiba-tiba menghilang
Nina makin tidak paham apa yang sebenarnya terjadi dengan topi itu. Ia menggaruk-
garuk kepalanya sambil bergumam dalam hati "kenapa sih ini". "Besok mama jelasin ya Nin,
sekarang mama sibuk menyelesaikan pesanan tetangga," ujar mamanya. Nina kaget lagi, karena
suara mama terdengar di dalam pikirannya. "Enggak kok, mama gak bisa baca pikiran kamu,
Disuatu desa ada seekor keledai dan penjual garam. seorang penjual garam
ini tinggal di suatu desa di tepi pantai dengan keledai kesayangannya yang
Setiap hari dia membagikan hasil penjualannya kepada tetangga dan fakir miskin
meskipun hidupnya juga tidak bergelimang harta. Setiap kali berhasil menjual
sampai makanan dan tempat tinggal keledai selalu disediakan. Keledai tersebut
garam tersebut. Akan tetapi keledai tersebut tampaknya tidak puas dengan
ditaruh di atas punggungnya setiap hari. Alhasil, keledai tersebut selalu mencari
cara agar ia dapat terbebas untuk tidak membawa beban berat saat pergi ke
sungai dan merendam garam tersebut. ia berpikir dengan cara tersebut beban
Suatu hari, dinaikkan lah kapas pada punggung keledai. Petani tidak
memberitahukan bahwa yang dibawa bukanlah garam melainkan kapas. Hal ini
untuk memberikan pelajaran kepada keledai yang suka mengeluh padahal sudah
langsung menjatuhkan diri ke dalam sungai dan kapas kemudian menyerap air
sungai.
Bukannya ringan, justru beban yang dibawa keledai semakin berat karena
kapas yang dia bawa menyerap air. Petani kemudian menjawab dengan bijaksana.
Si penjual garam berkata bahwa sebenarnya yang keledai bawa bukanlah
garam melainkan kapas yang menyerap air. Si penjual garam telah mengetahui
bila keledai hanya berpura-pura terjatuh agar bebannya tidak berat akan tetapi si
tersebut kemudian sangat malu karena selama ini ia seperti tidak tahu diri dan