Anda di halaman 1dari 11

Hubbun Maktubun

Hubbun Mamnu’un
Cinta Terpendam Cinta Terlarang

Sore itu terasa begitu tenteram dan damai. Sebuah kota kecil yang masih tampak
begitu asri. Matahari yang mulai kembali ke peraduannya. Jalanan yang sunyi, hanya satu dua
kendaraan yang lalu lalang. Hari mulai gelap dan bulan pun mulai terlihat cahayanya. Kala
itu bulan penuh atau purmana. Ia tertegun menatap bulan tersebut, baginya bulan itu sangat
indah. Walau ia tau bahwa bulan tak seindah yang ia lihat dan bayangkan. Ia masih duduk
dihalaman rumah sambil menatap langit. Ia begitu takjub dan terus menikmati detik-detik
pergantian siang ke malam.

Waktu magrib pun datang dan azan berkumandang .Aqila bergetar untuk berwudhu
dan melaksanakan shalat berjamaah bersama keluarganya.Kemudian tadarus bersama hingga
menjelang waktu shalat isya,setelah sholat isya barulah iya belajar untuk keesokan harinya.

Handphone bergetar,ternyata ada pesan masuk .”Assalamu alaikum ukhty... jangan


lupa bawa File yanag ana minta ya ukhti, karena ustadz mizar minta ana untuk segera
mengantar Filenya ukhty. Maaf sebelumnya mengganggu, atas waktunya ana ucapkan
terimakasih, wassalam... Aisyah,” Isi pesan yang cukup panjang. Aqila menghela nafas
sambil mengetik pesan balasan. “Waalaikummusalam ukhty Aisyah, terimakasih sudah
mengingatkan ana. insyaAllah besok ana bawa Filenya. Wassalam... Aqila Zhofirah.” Lalu
mengirim pesan tersebut.

Bergegas menuju meja komputer, dan entah apa yang ia kerjakan. Yang pasti jarinya
menari indah di atas tuts-tuts keyboard komputer. Beberapa saat keluar sebuah kertas dari
mesin cetak. “Alhamdulillah finish.” Ucapnya menghela nafas lega. Lalu kembali kemeja
belajar. Mengerjakan PR dan menghafal rumus kimia yang baru dipelajari. Tepat pukul
sembilan ia telah selesai menyiapkan keperluan untuk esok hari. Lalu menuju kamar tidur dan
membanting diri di atas kasur.

“Buka Fb sebentar Ah, penasaran ada hal baru apa hari ini!”Gumamnya sambil
membuka laci dan mengambil handphone tersebut. Baru dibuka ia menjerit kaget.
“Astagfirullah, apa-apaan ini? MasyaAllah siska...!” Ia terdiam, apa yang terjadi pikirnya. Ia
bingung dengan semuanya, siska meng-upload foto sambil menangis dan terlihat begitu
lemah kondisinya.

Ia mencoba menhubungi teman-temannya dan bertanya perihal siska mengunggah


foto tersebut. Cukup lama ia menunggu namun tak ada balasan. Hingga akhirnya ia tertidur
lelap. Keesokan harinya, ia berangkat sekolah lebih awal. Berjalan kaki menyusui trotoar, dan
dengan pertanyaan-pertanyaan yang tak bisa ia jawab sendiri.

Apa yang terjadi dengan siska, pikirnya. Ia pun mempercepat langkah kakinya, namun
ia menyempatkan diri melihat kekiri dan kekanan. Menikmati suasana pagi dengan penuh
rasa syukur atas nikmat sang pencitpa alam semesta ini.

Belajar mengenai hidup dari pepohonan dan burung-burung yang terbang kesana
kemari. Yang senantiasa mengucapkan syukur kepada sang pencipta dengan senantiasa
bertasbih memuji-Nya. Tak terasa smapai juga disekolah, segera ia menuju ruang kelas
dengan langkah penasaran.
Ternyata teman-teman yang lain sudah berkumpul dan menunggu kedatangannya.
“Aapa yang terjadi...?” Tanya Aqila dengan serius.
“Siska baru putus dari Aldo dan katanya atas permintaan orang tuanya Aldo.” Jawab
Delia santai.
“MasyaAllah, sampai segitunya?” Tanyanya tak percaya. “Segitu cintanya ia kepada
Aldo? Melebihi cintanya kepada Allah?” Ujar Aqila kecewa.
“Yaaa begitulah jika seseorang terlalu mencintai seorang lainnya.” Ujar Amine.

Sebelum pulang kerumahnya ia menyempatkan diri mampir kerumah siska. Siang itu
hari cukup panas dan keringat telah membasahi pipinya.
“Ya Allah betapa adilnya Engkau, siang kau beri panas dan terkadang kau beri hujan
agar manusia senantiasa bersyukur atas nikmat-Mu.” Gumam Aqila.

Berjalan menuju sebuah perumahan elite. Rumah nomor 7A dengan halaman yang
cuckup luas berdiri salah seorang asisten rumah tangga. Ia menekan tombol didekat gerbang.
Lalu orang tersebut berlari mendekati dan segera membuka gerbang.

“Silahkan masuk mbak Aqila.” ART itu dengan cekatan menutup pintu gerbang dan
kembali kedalam rumah. Entah apa yang hendak dikerjakannya ia pun tak tahu. Kemudian ia
masuk kedalam rumah dan Siska pun keluar dari kamarnya dibarengi dengan ART tersebut
yang tengah membawa nampan berisi jus di dalam gelas.

“Terima kasih mbak Inah, jadi merepotkan!” Ujar Aqila.


“Sama-sama mbak Aqila, tidak merepotkan kok. Cuma air aja, saya permisi mau
lanjutin kerjaan!” Pamit mbak Inah.
“Silahkan mbak!” Jawab Aqila.

Ia memulai pembicaraan dan meminta penjelasasn dari Siska mengenai tindakan


Siska.
“Ya mungkin ini cobaan dalam hubungan kami Qila!” Ujar Siska sambil
sesenggukan.
“Apa? Cobaan? Sudah tau pacaran dilarang agama, kamu bilang cobaan? Kamu pikir
kamu sudah menikah dengannya? Aqila mulai tak sabar.
“Tapi aku mencintai Aldo Qil...!” Jawab Siska.
“ Cinta..? Apa itu cinta..?” Tanya Aqila dan Siska terdiam. “ Cinta karena Allah atau
cinta karena nafsu semata?” Lanjut Aqila dan Siska terus terdiam.

Mereka berdiam-diaman dan Aqila terus menatap tajam Siska. Siska yang sadar
bahwa ia sedang diperhatikan oleh Aqila hanya tertunduk tanpa bersuara. Cukup lama
suasana diruangan menjadi hening. Hingga akhirnya Siska membuka Suara.

“ Maafkan aku Qil..., Selama ini aku tidak mendengarkan ucapanmu. Aku sadar
bahwa selama ini aku salah!” Kemudian terdiam.
“Tapi aku harus bagaiman Qil...,?” keluhnya lagi.
“Lupakan ia Siska..., dan kembalilah kejalan yang benar!” Ujar Aqila. “Allah tidak
melarang kita untuk jatuh cinta. Karena cinta adalah anugerah dari sang maha pemberi. Tapi
kamu yang salah, kamu terlalu mengeksplor rasa cintamu!” Lanjut Aqila.

Aqila pun pamit untuk kembali kerumahnya. Telah cukup lama ia berada ditempat
Siska, sedang masih banyak tugas yang menantinya dirumah. Ia tak habis pikir, apakah cinta
sebegitunya memberi dampak bagi yang merasakannya. Tidak seharusnya berlebihan dalam
menanggapi cinta itu pikirnya. Karena cinta manusia tidak boleh melebihi cintanya kepada
Allah dan Rasul-Nya.

Namun tanpa diduga ia mulai merasa sesuatu yang berbeda. Ia merasa bahwa ada
yang memperhatikan setiap langkahnya. Terkadang ia dapat merasakan bahwa orang tersebut
berada didekatnya. Mulanya ia tak menghiraukan hal itu, namun semakin lama ia semakin
penasaran.

Ia juga merasa bahwa dirinya terjebak oleh sebuah perasaan yang dinamakan “falling
in love”. Dan ia selalu mencoba untuk menghindar dari perasaan itu mnamun gagal. Semakin
lama perasaan itu semakin dalam adanya.

Aqila berusaha menepiskan perasaannya. Namun entah mengapa akhir-akhir ini ia


merasa bahwa seseorang itu ialah orang yang sangat dekat dengannya. Suatu hari tatkala ia
sedang berjalan disebuah toko buku. Ia bertemu dengan ustadz muda yang sedang mengajar
disekolahnya. Ia yang semula berjalan sambil menundukan kepala, akhirnya mengangkat
wajahnya. Lalu tanpa sengaja matanya berjumpa dengan mata ustadz itu. “Astagfirullah”
Bisik hatinya.

“Sedang apa Aqila Zhafirah?” Tanya ustadz Mizar sambil membaca name card yang
tergantung dijilbabnya.
“Saya mencari buku refrensi untuk menulis Esay Ustadz.”Jawab Aqila. “Ustadz
sendiri sedang apa disini?” Lanjutnya.
“Saya sedang meng-cek toko buku ini, Alhamdulillah ini milik keluarga saya. Dan
saya diberi amanah untuk mengelola ini semua.!” Tukas Ustadz Mizar.
“Wah, tidak disangka. Ustadz sering datang kesini?” Tanya Aqila kembali.
“Lumayan juga sih, kenapa Qila?” Ustadz itu balik bertanya.
“Berarti Qila bisa sering-sering datang ketoko ini. Selain lengkap Qila juga bisa
bertanya-tanya pada ustadz, kerenakan ustadz juga yang selama ini melatih dam membimbing
kami untuk menulis Esay...” Jelas Aqila.
“Boleh juga... Silahkan. Saya juga senang bisa membantu kalian, dan itu juga sudah
menjadi tugas saya sebagai pembimbing.” Jawab ustadz tersebut.

Ustadz Mizar terus memperhatikannya. Dan ia pun menjadi salah tingkah. Merasa
makin serba salah ia pun pamit untuk segera pergi dari tempat itu. Ia sadar akan suatu hal
aneh saat ia bersama ustadz tersebut. Aqila dan ustadz Mizar sangat akrab, semenjak ia diberi
amanah untuk mengikuti lomba menulis Esay.

Suatu malam ia merasa sangat bingung. Pikirannya buntu. Telah cukup banyak buku
referensi yang ia baca, namun ia tak dapat menemukan yang ia cari. Akhirnya ia memutuskan
untuk bertanya kepada ustadz Mizar selaku pembimbing. Dengan ragu ia mulai menulis
pertanyaan melalui via Fb.

Lama ia bertanya jawab melalui via Fb tersebut. Hingga ia rasa cukup ia pun menutup
percakapannya. Mereka semakin akrab, terkadang tidak hanya membahas soal Esay, namun
hal-hal lain yang berkaitan dengan agama juga. Suatu waktu Aqila memberanikan diri untuk
bertanya dan membahas suatu hal yang oleh ustadz tersebut dapat dimengerti arah
pembicaraannya walau ia belum menuju hal itu.
“Ustadz apakah orang yang berilmu dan kuat agamanya ia akan senantiasa memegang
prinsipnya?” Tanya Aqila ragu.
“Itu pasti... bahkan ia akan mempertahankan prinsipnya itu! Dan ia akan malu jika ia
merubah prinsipnya!” Jawab ustadz tersebut.

Keakraban mereka dirasa tak wajar, sebab jauh dilubuk hati mereka memendam suatu
perasaan. Perasaan yang tak boleh ada, walaupun itu hal yang wajar. Perasaan yang dirasakan
oleh dua insan. Namun apalah arti semuanya. Mereka sama-sama orang yang kuat pendirian.
Berbicara mengenai banyak hal, namun tujuan dari itu semua tetap saja mengarah pada
prinsip mereka.

Kini ia mulai biasa dalam menanggapi perasaannya. Cinta pikirnya hanyalah sebuah
perasaan yang timbul dari hati yang ditujukan kepada seseorang. Namun arti sesungguhnya
bukan tentang perasaan itu. Tetapi bagaimana berusaha untuk menjalin hubungan baik
dengan sesama.

Mereka makin sering menghabiskan waktu bersama. Namun siapa sangka bahwa dua
insan ini saling memendam perasaan. Melewati hari-hari yang cukup sulit bagi orang-orang
yang sedang jatuh cinta. Apalagi harus selalu bersama. Tapi mereka bertingkah layaknya
tidak terjadi apa-apa. Terladang mancari umpan sasaran dalam pembicaraan mereka. Cukup
unik bagi seorang guru dan murid yang satu ini.

Di suatu hari saat sedang mengerjakan Esay, ustadz Mizar mengajak siska untuk
ngobrol. Aqila sudah tau apa maksud pembicaraan ustadz itu hanya tersenyum sambil
mendengarkan mereka berbicara.

“Ehmm, gimana Siska?” Tanya ustadz Mizar.


“Gimana apanya ya ustadz, Siska tidak mengerti!” Jawabnya.
“Masih susah move on dari Aldo? Kamu... baru dilarang orang tuanya! Lah larangan
Allah kamu langgar juga!” Tukas ustadz mizar.
“Ya mau gimana lagi ustadz, takdir yang harus merelakan kami berpisah.”Jawab
Siska.
“Ingat..., Allah melarang karena Allah punya sesuatu yang indah untuk makhluknya!”
Pesan ustadz Mizar kepada Siska.
“Maksud ustadz apa..?” Tanya Siska bingung.
“nanti kamu juga akan tau maksud saya!” Jawab ustadz Mizar sambil berlalu
meninggalkan Siska yang masih dengan tanda tanya apa maksud pesan tersebut.

Bagi orang yang sedang falling in love, hal yang tak pernah ia lakukan pun menjadi
sering untuk dilakukan. Salah satunya yaitu update status. Inilah yang sering dilakukan ustadz
muda itu, bahkan ini menjadi rutinitasnya. Selalu ada kata-kata mutiara darinya. Tidak jarang
pula orang yang menyukai bbahkan memberi komentar baik kritik juga saran.

Setiap hari pasti ada kata mutiara dipagi hari dan pesan singkat dimalam hari. Tidak
ketinggalan pula ia memberi inisial pada setiap status-statusnya. Yang membuat orang-orang
bertanya siapa dibalik inisial itu.

Suatu pagi Aqila membuka Handphone-nya. Ia ingin menulis sesuatu di kronologinya.

“Selamat pagi dunia, salam duha, salam sejahtera... kebahagiaan untuk kita...”
Namun tatkala statusnya terkirim, masuklah pemberitahuan dari akun Fb ustadz
Mizar.

“Memendam rasa ini..., menatapmu dari jauh, maka ku teguhkan hatiku bahwa semua
rasa ini hanya karena Allah. #akal yang beruntung.”

Aqila terkejut, namun jarinya memberi like pada status itu. Dalam hatinya berkata,
seberuntung itu juga kah aku? Dicintai seseorang karena Allah. Ia tetap bertanya-tanya untuk
siapa status itu. “Akal yang beruntung” yiatu “Aqila Zhafirah”. Inisial yang tak pernah
terlewatkan disetiap status ustadz muda itu.

Tiba-tiba ada pesan masuk dari ustadz Mizar.


“Assalamualaikum... Qila, sehatkan, siap untuk besok?” Tanya ustadz itu.
Dan dibalas oleh Aqila sesegera mungkin, selagi ada waktu luang, pikirnya.
“Waalaikumusalam ustadz, alhamdulillah Qila sehat, InsyaAllah kami semua sudah
pada siap untuk besok. Mohon bantu do’anya ya ustadz.” Balas Aqila.
“Ustadz selalu mendo’akan kalian, semoga yang terbaik selalu mengiringi langkah
kalian. Saya tak mengharap banyak, yang terpenting kelancaran semuanya.”Ustadz Mizar.
“Terima kasih ustadz, maaf Qila tutup dulu ya. Assalamualaikum...” Percakapan
ditutup oleh Aqila.

Besok hari yang paling dinanti oleh Ustadz Mizar, karena pada saat terakhir latihan
ustadz Mizar mengatakan jika ia tak dapat mendampingi mereka untuk lomba. Namun,
ternyata ada hal yang direncanakan oleh ustadz muda tersebut. Ia ingin melihat sesuatu yang
selama ini menjadi pertanyaannya.

Dan hari yang dinanti tiba, saat semua perwakilan sekolah telah berangkat
meninggalkan sekolah, tibalah ustadz Mizar mengikuti mereka dengan berjalan dibelakang.
Tidak ada yang menyadari perubahan raut wajah Aqila. Ia yang kemarin tampak ceria kini
hanya murung.

Ternyata ia menyesali atas ketidak hadiran ustadz muda itu untuk mendampingi
mereka semua lomba. Siska Delia dan Amine sejak tadi terus membaca buku referensi
mereka. Dan sesekali mereka mengobrol juga. Namun, tidak dengan Aqila. Entah apa yang
dipikirkannya.

Ia larut dengan suasana hatinya. Ada rasa kecewa yang menggelayuti hatinya.
Ternyata ia sangat mengharapkan kehadiran ustadz Mizar. Hal yang membuatnya semangat
justru entah kemana. Dalam hatinya, berdoa dan berharap agar ustadz tersebut datang walau
terlambat.

“Qila sudah siap? Boleh minjam buku kamu itu!” Tegur Amine.
“Nih, setiap yang ditandai jangan kamu buka ya. Kalau pun mau dibuka nanti ditandai
lagi. Itu hal-hal yang penting.” Pesan Aqila.
“Kamu sakit Qil.., lesu banget kelihatannya. Semangat dong, demi sekolah kita.”
Tukas Delia, yang mengembalikan semangatnya yang hilang dibawa ustadz muda itu.
“Aku tidak sakit, cuma sedikit kelelahan aja. Mungkin karena tadi malam aku tidur
terlambat. Aku kejar target menghafal meteri tadi malam.” Jawab Aqila.
“Kamu sih, harusnya tadi malam kan kita malam tenang. Kalau pun mau belajar
sekedar aja. Yang penting ketenangan, kalau kamu terlalu maksain belajar yang ada ya gini
jadinya kan.” Tukas Amine.Ia hanya terdiam. Ia bingung mengapa ia jadi seperti ini.
Perasaannya semakin dalam terhadap ustadz muda itu.

Sebelum perlombaan dimulai siswa diberi pengarahan mengenai jalannya perlombaan


itu. Setiap pembimbing duduk dibagian kanan barisan peserta. Ia melihat ke kanan dan ke
kiri. Tiba-tiba matanya tertuju pada seseorang yang duduk di pojok ruangan dengan
tersenyum. Huff... ia menghela nafas lega. Senyum sumringah mengembang dibibirnya.

Ternyata ustadz muda itu berbohong, mungkin ia ingin melihat apakah anak
binaannya tergantung pada kehadirannya atau tidak, pikirnya singkat. Ia tak tau jika ternyata
itu sebuah permainan ustadz itu untuk meng-testnya.
“Siska ustadz Mizar hadir” Ujarnya.
“Mana? Kamu serius? Syukur deh, artinya kita ada pendamping!” Tukas Siska.
“Ya, memang harus seperti itu!”Ujar Aqila ringan dengan makna yang dalam.

Perlombaan segera dimulai. Seorang .... memberi pengarahan kembali.


“Baiklah sebelum lomba dimulai, saya akan mengingatkan kembali hal-hal yang
harus dipatuhi selama perlombaan berlangsung. Yang pertama lomba dilaksanakan dalam
waktu 2 jam, silahkan membawa referensi. Yang kedua, tidak ada komunikasi antar peserta
dan pembimbing. Bagi yang melakukan itu didiskualifikasi. Yang ketiga, bagi peserta yang
telah selesai bisa angkat tangan dan menyerahkan hasil kepada juri. Mengerti semua?”
Tanya ... itu.
“Mengerti” Jawaban serentak dari seluruh peserta.

Suasana diruangan hening dan senyap, seperti tak berpenghuni. Hanya sesekali suara
kertas yang di bolak balik. Lomba baru dimulai 30 menit yang lalu. Namun terasa bagai
berjam-jam. Entah siapa yang lomba siapa pula yang berdebar tak karuan. Rasa hati ingin
lomba itu segera selesai. Sesekali ia membari semangat pada murid-muridnya melalui tatapan
sosrot matanya dan senyuman.

Selama ustadz Mizar dan Aqila seperti sedang berbicara. Berkata lewat mata. Ia
melihat ustadz tersebut bermain dengan handphonenya. Sesekali pula ia mengambil foto
mereka dan meng-upload foto-foto itu ke sosial media. Aqila mengangkat tangannya dan
menyerahkan hasil Esay kepada juri dan pergi meninggalkan ruangan. Satu persatu dari
mereka mengikuti jejaknya.

Uatadz muda itu mengiringinya keluar ruangan dan berkata padanya.


“Gimana Qila...,” Tanyanya.
“Alhamdulillah ustadz, lancar. Kan ada ustadz yang semangati, terima kasih ustadz”
Tukas Aqila santai namun serius.
“Syukur deh kalau gitu, Ustadz deg-degan gak karuan. Padahal bukan ustadz yang
lomba” Ujar ustadz Mizar.
“Ustadz sih ada-ada aja..,” Mereka tertawa. “Oh ya ustadz kemarin...” Kalimatnya
terpenggal.
“Kemarin apa Qila...?” Tanya Ustadz Mizar. “Kemarin ustadz berbohong?”
Lanjutnya.

Aqila mengangguk.
“Maafin ustadz ya. Saya hanya ingin tau apakah kalian bergantung pada saya atau
tidak.” Jawabnya.
“Oh... Kita sih gak bergantung pada ustadz, hanya saja kami seperti bukan peserta!”
Ketus Aqila.
“Ya sudah saya minta maaf. Ternyata murid-murid ustadz is the best deh..., ustadz
bangga dengan kalian. Urusan hasil itu belakangan, yang terpenting semuanya lancar dan
sudah terlewati.” Ujarnya sambil menepuk pundaknya, hal yang tak pernah dilakukannya
yanag seketika membuatnya terkejut.
“Ya bagitulah ustadz, apa lagi yang diharapkan...!” Jawabnya sedikit ketus.

Tuhan yang memberikan cinta ini. Namun apa yang harus dilakukan. Cinta adalah
anugerah dari sang maha pemberi. Lalu bukankah kita harus mensyukuri dan menjaga
kesucian cinta juga kemurniannya. Jika kita memendamnya dan tidak memberitahukan
kepada siapapun apalagi orang yang kita cintai... kita akan mendapat pahala atas perjuangan
kita menjaga kesucian cinta itu. Lalu mengapa harus diumbar, pikirnya.
“Oh tuhan, salahkah jika rasa ini tumbuh?” Bisik hatinya.

Waktu pengumuman masih panjang ia pun merasa sedikit bosan. Untuk


menghilangkan rasa bosan nya Aqila bemain game favorit yang ada di handphonenya.
Namun hanya sesaat rasa bosannya hilang. Ia mencoba untuk membaca novel yang baru
dibelinya kemarin. Sepertinya percuma. Mendengarkan murotal dan sesekali shalawatan. Itu
cukup menghilangkan rasa lelah bosan dan setidaknya menenangkan hati. Terakhir ia
memutusnya untuk membuka Fb.

Ia terkejut tatkala melihat foto-fotonya yang cukup banyak diunggah oleh ustadz
muda itu, sedikitnya ada sepuluh foto . mereka duduk bersebelahan, namun bibirnya terasa
berat untuk bertanya pada ustadz itu. Ia mengirim pesan kepada ustadz itu dengan perasaan
sedikit kesal.

“Assalamualaikum..., kenapa banyak foto saya yang ustadz unggah?” Tanyanya.


Ustadz itu memalingkan wajahnya ke Aqila dengan tatapan sedikit tak mengerti.
“Mengapa ...?” Tanya ustadz itu singkat.

Ia mulai merasa panas dengan pertanyaan singkat itu. Dalam hatinya ingin saya
memarahi ustadz itu, namun di tempat itu sangat ramai. Ia hanya beristigfar.
“Tidak ustadz, mengapa hanya foto saya, mengapa tidak yang lain saja, kenapa harus
Aqila ustadz?” Tanyanya dengan emoticon muka datar.
“Yang lain juga ada fotonya!” jawab ustadz itu.
“Memang sih ustadz, tapi dominannya foto Qila...” Ujarnya.
“Terus foto yang jelas-jelas hanya Qila seorang, ustadz buat apa disitu? Semangat
ya..!” tanya mula tak sabar.
“Kan semangat untuk kalian... coba dilihat difoto itu ada foto Amine juga” Balas
ustadz Mizar.
Aqila hanya diam.
“Karena Aqila yang posisinya paling dekat dengan ustadz, Qila kan yang didepan!”
Lanjut ustadz Mizar.
Ia merasa resah dengan foto itu. Akhirnya ia hanya berkata, “Terserah ustadz saja
lah”.
Ia pergi meninggalkan ustadz muda itu. Entah apa yang ada di hatinya, perasaan tak
karuan. Ia berjalan tanpa tujuan, mengelilingi lokasi lomba itu. Dan dilihatnya ada taman
bunga, ia pun melangkah mendekati taman itu. Cukup banyak bunga disana. Ia duduk
disebuah kursi kecil, dua ekor kupu-kupu putih terbang disekelilingnya. Ia menatap langit
yang cerah, langit biru dengan awan putih tipis.

Seperti inikah orang yang sedang falling in love, pikirnya kembali. Tuhan aku tidak
pernah meminta untuk jatuh cinta, namun Kaulah yang memberi rasa itu. Sedikit rasa bahagia
yang kurasa namun juga resah yang melanda. Duh... mengapa begini akhirnya? Aku tak ingin
larut dalam perasaan ini, pikirnya. Ini sungguh menyiksa baginya.

Handphonenya bergetar, ternyata Amine yang menelpon.


“Ya ada apa? Aku sedang di taman depan, tempat kita parkir mobil tadi pagi. Datang
saja kesini.” Lalu menutup telepon.

Yang ditunggu adalah Amine, namunn, yang datang justru ustadz Mizar. Ia hendak
beranjak dari taman namu ustadz itu mencegah.
“Aqila boleh kesal dengan saya! Tapi saya minta maaf, saya akan hapus foto-foto itu,
jika Aqila tidak suka.” Ujarnya.

Hatinya masih kesal, ia mencoba untuk tenang dann kemudian berkata.


“Tidak ustadz, Aqila sudah maafin ustadz. Biar fot itu jadi kenangan buat ustadz!”
Berjalan dan meninggalkan tempat itu.

Ada perasaan bersalah dalam hati ustadz itu. Ia telah mengecewakan perasaan orang
yang di sayang. Namun, setidaknya ia telah menemukan bahwa gadis itu resah tatkala
mengetahui ketidak hadirannya. Dan sangat bersemangat ketika dirinya hadirnya untuk
memberi semangat.

Setelah menunggu lama ternyata panitia mengumumkan bahwa hasil pengumumkan


pemenang akan diberitahukan beberapa hari kemudian. Mereka kemudian pulang namun,
karena jam sekolah masih berlangsung. Mereka memutuskan untuk ikut melanjutkan ikut
belajar di sekolah.

Selama perjalanan Aqila hanya terdiam, biasanya dia yang sangat ceria. Tak ada yang
berani mengusiknya. Amine, Siska, dan Delia hanya saling bertatap-tatapan. Hatinya semakin
gelisah, apa yang di pikirkannya tak ada yang tau. Hanya dia dan tuhan lah yang tau. Ia
merasa benar-benar gelisah.

Di tempat lain ustadz muda itu berpikir keras bagaimana agar dia dan Aqila bisa
kembali seperti semula. Ia memainkan handphonenya. Update status lagi.

“Cinta... kau hadir dan tumbuh di dalam hati. Aku tak pernah minta untuk merasakan
jatuh cinta.”. kata-kata itu mengundang banyak tanya, banyak yang memberikan komentar.

“Untuk siapa ustadz kata-katanya itu?” komentar salah sorang muridnya.


“Untuk siapa saja, untukmu dia dan semuanya” Ustadz Mizar membalas komentar itu.
“Ahh ustadz, jujur lah ustadz kami juga mau tau, ustadz terlalu tertutup sama kami-
kami ini.”komentanya lagi.
“Lain kali saja ustadz ceritakan, tak enak bercerita di sosmed” balas ustadz Mizar.
Sudah beberapa hari ini Aqila tak hadir dalam latihan Esay, tak ada yang tau mengapa
ia tak hadir. Hati ustadz muda itu semakin resah. Namun sudah beberapa hari ini ia merasa
kehilangan sosok Aqila itu. Biasa ia yang paling bamyak bertanya, ia yang paling banyak
bicara dan bercerita.

Namun selama ia tak hadir suasana latihan menjadi sunyi dan senyap. Tak ada yang
banyak berbicara, selain hanya sekedar tanya jawab. Akhirnya ustadz muda itu memutuskan
untuk menghampiri Aqila ke rumahnya. Setengah jam kemudian mereka pun selesai, dan
kembali kerumah masing-masing.

Ustadz Mizar bergegas dengan mobilnya berjalan memutar arah menuju rumah Aqila.
Namun, sesampainya dirumah Aqila dia tak ada dirumah. Kata penjaga rumah itu, ia pergi
kerumah neneknya. Namun ia melihat bahwa penjaga itu berbohong. Ustadz itu kembali
kerumah dengan perasaan cemas.

Keesokan harinya ia bertanya pada petugas piket, apakah Aqila ada izin. Ternyata
ada, namun ia bukan izin, tetapi izin karena ia sakit. Ketika jam ngajar ustadz itu telah
selesai, ustadz muda itu segera bergegas kembali mendatangi rumah Aqila. Penjaga itu
mencoba untuk berbohong, namun gagal.

Akhirnya penjaga rumah itu mau jujur dan mengatakan segalanya. Bahwa selama
beberapa hari ini Aqila pergi kerumah neneknya karena ia sedang sakit. Ustadz itu bertanya
alamat rumahnya dan kemudian segera kembali kerumahnya. Keesokan harinya ia tidak
datang untuk mengajar, ia izin hanya untuk menemui Aqila.

Namun sebelum pergi menemui Aqila, ia pergi untuk melihat pengumuman lomba
yang kemarin. Tak disangka ternyata Aqila yang memenangkan perlombaan itu. Usatdz itu
semakin semangat untuk menemui Aqila, dengan piala dan semua hadiah lomba itu ustadz
Mizar datang menyerahkan semuanya.

Walau hanya sebentar menemui Aqila, namun, ia merasa sedikit lega. Setidaknya
keresahannya selama ini telah terjawab. Namun, ia juga merasa sedih melihat Aqila terbaring
di tempat tidur dengan kondisi yang begitu lemah.
“Semangat ya Qila..., sakit adalah penggugur dosa” Ujar ustadz itu memberi
semangat.
“Terima kasih ustadz untuk semangatnya, rindu bercerita pada ustadz. Biasanya kan
Aqila yang paling banyak bicara, Qila yang paling Ceria.” Tukas Aqila lemas.
“Ia ustadz juga rindu Qila yang ceria, Qila yanng cerewet, Qila yang paling banyak
bertanya ini itu... suasana latihan nulis Esay beberapa hari ini terasa beda, sunyi senyap” Ujar
Ustadz muda itu.
“Maafin Qila ya ustadz gak kasih kabar ke semuanya” Ujar Aqila.
“gak apa-apa. Maafin ustadz ya Qila... foto-fotonya sudah saya hapus semua, kamu
tenang saja.” Tukas Ustadz Mizar.
“Ya ustadz, ustadz hapus tapi masih ada dihandphone ustadz kan, jadi kenangan buat
ustadz” Ujar Aqila sambil tertawa.
“gak kok, gak ustadz simpan dihandphone, tetapi di laptop. Ustadz cetak fotnya,
ustadz pajang di dinding kamar ustadz” Jawab ustadz Mizar dengan senyuman yang membuat
siapa saja senang.
Senyum yang sangat memikat, dengan lesung pipi yang sangat dalam dikanan kiri
pipinya. Beberapa kemudian Aqila mulai masuk kembali kesekolah, suasana menjadi ramai
kembali. Aqila merasa semakin lama perasaannya semakin dalam kepada ustadz Mizar itu. Ia
berusaha untuk tetap tidak menanggapinya. Ia hanya berusaha untuk memendam perasaannya
itu.

Begitu pun sebaliknya dengan ustadz Mizar. Namun ustadz Mizar masih berusaha
untuk tidak menyembunyikan perasaannya juga. Karena cinta itu cinta yang terlarang, cinta
antar seorang guru dan murid yang terhalang suatu status. Yang jika itu berlanjut dimasa
sekarang ini mereka akan mendapat suatu peringatan tegas dari sekolah.

Namun bagaimana pun yang namanya perasaan tetap saja perasaan, tidak mungkin
untuk dihindari. Pelan-pelan mereka sama-sama untuk tetap memendam dan menjaga
perasaan mereka masing-masing. Mereka hanya percaya jika cinta yang mereka jawab kelak
akan menjadi suatu hal yang membawa kepada kebahagian.
***
Suatu hari ustadz mizar berusaha untuk mengutarakan isi hatinya walau tidak secara
langsung. Ia hanya mengutarakan semuanya melalui pesan melalui Fb nya. Suatu ketika ia
mengirim pesan kepada Aqila.
“ Assalamualaikum... ukhty, saya rindu melihat ukhty yang selalu tersenyum riang,
ceria dan banyak bercerita. Saat ini saya hanya bisa melihat ukhty dari Foto-foto ukhty yang
tersimpan di laptop saya.” Pesan yang dikirim ustadz mizar melaui Fb.
“Waalaikumsalam ustadz.., Qila juga rindu ustadz, sekarang ustadz dimana?”
Tanyanya.
“Sekarang saya lagi di bandung.”
“Terima kasih ustadz sudah rinduin Qila..., hehe..” Balas Qila.
“Haha, Qila... gimana selama saya tidak ada, pasti sunyi kan!” lanjut ustadz Mizar.
“Tidak ustadz, biasa saja.., ustadz ke GRan banget.” Balas Aqila dengan emoticon
tawa dan mengejek.
***
Hari terus berlalu sedikit demi sedikit isi hati mereka telah tertuang walau hanya
melalui via fb, namun itu sudah jauh dari sebelumnya. Mereka telah mengutarakan maksud
hati secara perlahan tapi pasti.
“Assalamualaikum ukhty... apa kabar, tadi saya tidak bisa masuk kekelas, saya ada
urusan mendadak. Salam rindu untukmu ukhty... Assalamualaikum cinta...” Kata-kat itu
dikirim melalui Fb.
***
Dua hari kemudian dengan hati yang pasti ustadz Mizar mengirim sebuah video
kepada Aqila, video yang berisikan ungkapan hatinya untuk Aqila.
“Assalamualaikum cinta, melalui video ini ku ungkapkan seluruh isi hatiku yang
selama ini ku pendam. Cinta terlarang yang selama ini hadir dan tumbuh di dalam hati. Cinta
yang tak pernah kuminta untuk bisa ku rasakan, namun tak bisa pula untuk ku elakkan. Aku
hanya bisa memendam perasaan ku padamu wahai ukhty pencuri hati. Maaf jika aku hanya
bisa mengutarakan ini lewat sebuah video, aku tak bisa menundanya lagi. Walau sebenarnya
aku ingin mengutarakan langsung. Tapi karena jarak dan aku tak mau memendam rasa dan
menyembunyikannya.”
Aqila terkejut dengan video yang dikirim ustadz Mizar kepadanya. Sungguh tak
terduga, rasa cintanya kepada ustadz Mizar ternyata bukan hanya cinta satu pihak.
“Waalaikumsalam ustadz, sungguh Aqila tak menyangka dengan semua ini. Aqila
boleh jujur kan ustadz. Sebenarnya Aqila juga menyimpan perasaan terhadap ustadz. Selama
ini Aqila hanya bisa memendam perasaan Qila karena cinta ini merupakan cinta yang
terlarang untuk kita. Cinta antar guru dan murid yanng harusnya tidak ada walau pun itu
hanya sebuah perasaan yang wajar.” Aqila mengirim pesan kepada ustadz Mizar sebagai
balasan dari video ustadz itu.

Cinta yang selama ini mereka pendam berakhir menjadi sebuah cerita cinta yang
indah. Yang kelak menjadi kenangan untuk cinta yang terpendam dan terlarang. Cerita cinta
yang berakhir dengan indah. Inilah cinta, walau terlarang dan hanya bisa dipendam namun
percayalah jika pada akhirnya cinta itu akan berubah menjadi hal yang indah.

Anda mungkin juga menyukai