Anda di halaman 1dari 7

Kisah Keajaiban Shalawat yang Dialami Kiai Masduqie Machfudh

Kisah Keajaiban Shalawat yang Dialami Kiai Masduqie Machfudh

Mahbib, NU Online | Rabu, 11 Mei 2016 07:17

Shalawat dan shalat jamaah adalah dua “senjata” Achmad Masduqie Machfudh. Tiap menerima aduan
masalah dari masyarakat, ia selalu berwasiat untuk membaca shalawat, minimal 1000 kali setiap hari dan
10.000 kali setiap malam Jum’at.

Rais Syuriyah PBNU periode 2010-2015 yang juga pendiri Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyyah Nurul
Huda Mergosono Malang ini memiliki pengalaman menarik tentang shalawat Nabi, tepatnya pada tahun
1956, saat ia masih duduk di sebuah SLTA di Yogjakarta.

Suatu ketika, ia mendapat gangguan jin di sebuah masjid tempat belajarnya sehingga selama tiga hari
Maduqie muda merasa ingin banyak makan tapi anehnya tidak bisa buang hajat. Di hari ke empat,
tubuhnya pun sangat panas dan saat itu juga beliau berpesan kepada adiknya.

“Dek, nanti kalau aku mati, tolong jangan bawa pulang janazahku ke Jepara tetapi dikuburkan di Jogja
saja,” pinta kiai yang wafat pada 1 Maret 2014 ini kepada sang adik. Kiai Masduqie datang ke Jogja
berniat untuk mondok. Beliau khawatir syahidnya hilang jika wafat di Jogja namun jenazahnya
dimakamkan di Jepara.

Sontak saja adiknya semakin khawatir kondisinya. Maka diajaklah sang kakak menemui seorang seorang
kiai. “Mari kita pergi ke kiai itu, kiai yang Mas biasa ngaji di hari Ahad.”

Kiai Masduqie menerima ajakan adiknya. Pergilah beliau bersama adiknya dengan naik becak dan sampai
di rumah pak kiai yang di maksud pada pukul satu malam. Ketika beliau datang, pintu rumah Pak Kiai
masih terbuka. Tentu tengah malam itu sang tuan rumah sudah tidak melayani tamu, karena sejak pukul
10 malam adalah waktu khusus Pak Kiai untuk ibadah kepada Allah. Karena melihat Masduqie muda
yang datang di tengah malam dengan keadaan payah, kiai pun mempersilahkan Masduqie muda
beristirahat di rumah.
Masduqie muda pun tertidur di rumah kiai itu. Baru beberapa jam di rumah kiai, tepatnya pukul 3
malam, beliau terbangun karena merasa mulas ingin buang hajat. Setelah itu, rasa sakit dan panas yang
dirasakan sedikit hilang.

Pada pagi harinya, beliau yang masih panas badannya bertemu dengan Pak Kiai. “Pak Kiai, saya sakit”.
Bukannya merasa iba, Pak Kiai hanya tersenyum. Dan anehnya, rasa panas yang beliau rasakan hilang
seketika itu.

Pak Kiai dawuh, “Mas, sampean gendeng mas.”

“Kenapa gendeng, Yai?” tanya Masduqie muda.

“Iya, wong bukan penyakit dokter, sampean kok bawa ke dokter, ya uang sampean habis. Pokoknya kalau
sampean kepengin sembuh, sampean tidak boleh pegang kitab apapun,” jawab kiai.

Jangankan membaca, menyentuh saja tidak diperbolehkan. Padahal pada saat itu, Masduqie muda dua
bulan lagi akan mengikuti ujian akhir sekolah.

“Yai, dua bulan lagi saya ujian, kok enggak boleh pegang buku,” Masduqie muda matur kepada Pak Kiai.

Seketika itu Pak Kiai menanggapinya dengan marah-marah, “Yang bikin kamu lulus itu gurumu? Apa
bapakmu? Apa mbahmu?”

Masduqie muda menjawab, “Pada hakikatnya Allah, Yai.”

“Lha iya gitu!” timpal Pak Kiai.

“Lalu bagaimana syariatnya (upaya yang dilakukan), Yai?” tanya Masdqie muda lagi.
“Tiap hari, kamu harus baca shalawat yang banyak,” jawab, Pak Kiai.

Masduqie muda kembali bertanya, “Banyak itu berapa, Yai?”

Pak Kiai pun menjawab, “Ya paling sedikit seribu, habis baca 1000 shalawat, minta ‘dengan berkat
shalawat yang saya baca, saya minta lulus ujian dengan nilai bagus’.”

Ya sudah, Masduqie muda tidak berani pegang kitab maupun buku, karena memang ingin sembuh.
Mendengar cerita dari Masduqie muda, Paman beliau marah-marah. “Bagaimana kamu ini? Dari Jepara
ke sini, kamu kok nggak belajar?” Masduqie muda tidak berani komentar apa-apa. Karena beliau
menuruti dawuh kiai untuk tidak menyentuh kitab atau buku, beliau nurut saja.

Menjelang beliau ujian, pelajaran bahasa Jerman, bukunya ternyata diganti oleh gurunya dengan buku
yang baru. Karena masih dilarang menyentuh buku, maka beliau tetap taat titah kiai.

Setelah ujian, Masduqie muda dipanggil guru bahasa Jerman.

Pak Guru : Kamu her.

Masduqie : Berapa nilai saya pak?

Pak Guru : Tiga!

Masduqie : Iya, Pak. Kapan, Pak?

Pak Guru : Seminggu lagi


Namun setelah seminggu, Masduqie muda tidak langsung mendatangi guru bahasa Jerman, karena
larangan pegang buku belum selesai. Baru setelah selesai, Masduqie muda mendatangi Pak Guru.

Masduqie : Pak, saya minta ujian, Pak.

Pak Guru : Ujian apa?

Masduqie : Ya ujian bahasa Jerman, Pak.

Pak Guru : Lha kamu bodoh apa?

Masduqie : Lho kenapa, Pak?

Pak Guru : Nilai delapan kok minta ujian lagi. Kamu itu minta nilai berapa?

Masduqie : Lho, ya sudah Pak, barang kali bisa nilai sepuluh.

Dari nilai angka 3, karena shalawat, mingkem menjadi angka 8. Setelah itu, beliau tidak pernah
meninggalkan baca shalawat. Itulah satu pengalaman shalawat KH Masduqie Mahfudz saat muda.

Wasilah untuk Atasi Penyakit dan Kesulitan

Pengalaman shalawat beliau lagi, yakni ketika Kiai Masduqie harus melaksanakan dinas dinas di Tarakan,
Kalimantan Timur. Pada suatu hari, ada tamu pukul 5 sore, dan bilang ke Kiai Masduqie, “Saya disuruh
oleh ibu, disuruh minta air tawar.”
Kiai Masduqie mengaku masih bodoh saat itu. Seketika itu ia menjawab, “Ya, silakan ambil saja, air tawar.
kan banyak itu di ledeng-ledeng itu.”

“Bukan itu, Pak. Air tawar yang dibacakan doa-doa untuk orang sakit itu, Pak,” kata si tamu.

“O, kalau itu ya tidak bisa sekarang. Ambilnya harus besok habis shalat shubuh persis.”

Kiai Masduqie menjawab begitu karena beliau ingin bertanya kepada sang istri perihal abah mertua yang
sering nyuwuk-nyuwuk (membaca doa untuk mengobati) dan ingin tahu apa yang dirapalkan. Ternyata
istri beliau tidak tahu tentang doa yang dibaca abahnya di rumah. Padahal Kiai Masduqie sudah janji.

Habis isya’ saat beliau harus wiridan membaca dalail, beliau menemukan hadits tentang shalawat. Inti
hadits tersebut kurang lebih, “Siapa yang baca shalawat sekali, Allah beri rahmat sepuluh. Baca shalawat
sepuluh, Allah beri rahmat seratus. Baca shalawat seratus, Allah beri rahmat seribu. Tidak ada orang
yang baca shalawat seribu, kecuali Allah mengabulkan permintaanya.”

Setelah mencari di berbagai kitab, ketemulah hadits tersebut sebagai jawabannya. Lalu belaiu pun
bangun di tengah malam, mengambil air wudlu dan air segelas, setelah itu membaca shalawat seribu
kali. Allahumma shalli wa sallim ‘ala sayyidinâ Muhammad.

Setelah beliau selesai membaca seribu shalawat, beliau berdoa, ”Allahumaj’al hadzal ma’ dawâ-an liman
syarabahu min jamî’il amrâdh”. Arti doa tersebut, “Ya allah, jadikanlah air ini sebagai obat dari segala
penyakit bagi peminumnya”. Lalu meniupkan ke air gelas dan baca shalawat satu kali lagi. Di pagi hari,
diberikanlah air tersebut kepada orang yang memintanya.

Setelah tiga hari, ada berita dari orang tersebut bahwa si penderita penyakit sudah sembuh setelah
meminum air dari Kiai Masduqie. Padahal, sakitnya sudah empat bulan dan belum ada obat yang bisa
menyembuhkan. Dokter pun sudah tidak sanggup menangani penyakit yang diderita orang ini dan
menyarankan untuk mencari obat di luar. Anehnya, pemberi kabar itu mengatakan bahwa Kiai Masduqie
selama tiga hari itu mengelus-elus perut orang yang sakit.
Mengelus-ngelus perut? Tentu saja tidak, apalagi si penderita penyakit adalah perempuan yang bukan
mahramnya. Hal itu juga mustahil karena Kiai Masduqie selama tiga hari di rumah saja. Berkat shalawat,
atas izin Allah penyakitnya sembuh.

Sejak peristiwa itu di Kalimantan timur Kiai Masduqie terkenal sebagai guru agama yang pintar nyuwuk.
Sampai penyakit apa saja bisa disembuhkan. Jika beliau tidak membacakan shalawat, ya istri beliau
mengambilkan air jeding, yang sudah dipakai untuk wudlu. Ya sembuh juga penyakitnya. Inilah
pengalaman shalawat Kiai Masduqie ketika dinas di Kalimantan.

Cerita lain, suatu ketika beliau harus ke Samarinda dengaan naik kapal pribadi milik Gubernur Aji
Pangeran Tenggung Pranoto. Dalam pertengahan perjalanan melalui laut, tepatnya di Tanjung Makaliat
kapal yang diinaikinya terkena angin puting beliung. Maka goyang-goyanglah kapal tersebut. Kiai
Masduqie sadar, berwudlu, lalu naik ke atas kapal. Beliau ajak para awak kapal untuk mengumandangkan
adzan agar malaikat pengembus angin dahsyat tersebut berhenti. Lalu berhentilah angin tersebut. Inilah
salah satu pengalaman shalawat Kiai Masduqie.

“Kalau ada orang menderita penyakit aneh-aneh, datang ke Mergosono, insya Allah saya bacakan
shalawat seribu kali. Kalau ndak mempan sepuluh ribu kali, insyaallah qabul,” kata Kiai Masduqie saat
pengajian di Majelis Riyadul Jannah.

“Berkat shalawat Nabi, sampean tahu sekarang, saya bangun pondok sampai tingkat tiga, nggak pernah
minta sokongan dana masyarakat, mengedarkan edaran, proposal nggak pernah. Modalnya hanya
shalawat saja. Uang yang datang ya ada juga, tapi nggak habis-habis. Itu berkat shalawat,” lanjut Kiai
Masduqie dalam pengajiannya.

Kisah lainnya, suatu ketika, seorang bidan mengadu kepada Kiai Masduqie tentang suaminya yang pergi
meninggalkannya karena terpikat dengan wanita lain. Ia berharap suaminya bisa kembali. Abah,
demikian para santrinya menyapa, menjawab bidang tersebut dengan tegas menganjurkan untuk baca
shalawat. Bidan pun secara istiqamah mengamalkannya, dan dalam selang beberapa lama suaminya
kembali seraya bertobat.

Kiai Masduqie memiliki sembilan putra/putri ini yang di samping sarjana juga bisa membaca kitab
semua. Saat anak beliau ada yang mau ujian, di samping putranya juga disuruh baca shalawat, belaiu
juga membacakan shalawat untuk kelancaran dan kesuksesan putra-putrinya.
Kiai Masduqie pernah dawuh, ”Berkat shalawat Nabi SAW, semua yang saya inginkan belum ada yang
tidak dituruti oleh Allah. Belum ada permintaan yang tidak dituruti berkat shalawat Nabi. Semua
permintaan saya terpenuhi berkat shalawat”.

Shallu ‘alan Nabi Muhammad! Allahumma shalli wa sallim ‘ala sayyidina Muhammad.

Indirijal Lutofa, Santri Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyyah Nurul Huda Mergosono, Malang dan
mahasiswa Fakultas Syari’ah UIN Malang. Kisah ini diperoleh pendengaran langsung penuturan Kiai
Masduqie saat memberikan penggajian di Majlis Ta'liim wal Maulid Riyadhul Jannnah Malang, Jawa
Timur dan kisah yang dituturkan putranya.

Anda mungkin juga menyukai