Anda di halaman 1dari 8

Resep Rahasia Kaya Ulama dan Habaib

Setiap manusia punya mimpi. Mimpi memiliki rumah mewah, kendaraan bagus, perusahaan
besar, dan sebagainya. Intinya, mimpi hari esok yang lebih baik. Dan semua orang memiliki
kesempatan yang sama untuk meraih mimpi-mimpinya.

Sukses adalah cita-cita hampir setiap orang. Mimpi mereka pada umumnya, menjadi orang sukses di
dunia dan di akhirat. Sukses di dunia yang dimaksud tentunya adalah kehidupan yang berkecukupan,
bahkan kalau bisa kaya. Sukses di akhirat, masuk surga.

Sebagian orang bekerja dengan baik dalam kerjanya hingga kesuksesan menghiasi kehidupannya.
Sedangkan yang lain gagal total, meski sekadar untuk mewujudkan sebagian kecil dari cita-citanya.

Tak ada yang salah dengan cita-cita orang yang ingin menjadi kaya. Yang salah adalah anggapan
bahwa kekayaan adalah suatu kemuliaan sedang kemiskinan adalah suatu kehinaan. Karena
sesungguhnya, kekayaan dan kemiskinan adalah ujian Allah bagi hamba-hamba-Nya.

Islam mengajarkan umatnya menjadi kaya agar dengan kekayaannya bisa mengajak kebaikan kepada
yang lain. Karena, dengan kekayaan yang dimiliki, kesempatan seseorang untuk berbuat baik, misalnya
memberi bantuan, sedekah, infaq, dan sebagainya, tentu menjadi lebih besar peluangnya.

Anjuran Agama

Untuk mendapatkan uang, seseorang tentunya mesti bekerja. Dalam hal ini, Allah SWT, lantaran kasih
sayang-Nya, memang memperkenankan segenap makhluk-Nya untuk bekerja. Dia tak memaksa mere-
ka menafikan sesuatu yang merupakan sifat atau karakter mereka.

Allah SWT berfirman, “Laki-laki yang tidak dilalaikan perniagaan dan tidak (pula) oleh jual-beli, dari
mengingat Allah.” – QS An-Nur (24): 37. Sementara itu Rasulullah SAW bersabda, “Sebaik-baik sesuatu
yang dimakan seorang mukmin adalah dari usahanya sendiri.” – HR Al-Hakim (2:10), Al-Bazzar (1257),
dan selainnya dengan sanad yang bagus.

Jadi, orang yang berupaya mencari kekayaan sama sekali tak menyalahi kandungan Al-Qur’an dan
sunnah Rasul-Nya. Mereka yang berupaya mencari rizqi secara jujur, tidak melampaui batas, bersikap
wara’ di berbagai bidang usaha dan lapangan pekerjaan, terhitung sebagai hamba Allah yang patuh
kepada-Nya dan terpuji dalam pandangan ahli ilmu.

Namun, sebaliknya, orang yang menyalahi hal-hal tersebut, yang melampaui batas dalam bekerja
mencari rizqi serta menyalahi kewajiban yang dibebankan kepadanya, baik dalam berinteraksi dengan
Allah maupun dengan makhluk-Nya, adalah orang yang bermaksiat kepada Allah dan tercela di sisi ahli
ilmu.

Selanjutnya, agar pekerjaan yang dijalani tetap memiliki nilai ibadah, seseorang harus pandai memilah-
milah jenis pekerjaan. Ada pekerjaan yang terpuji, tapi ada juga yang tercela. Setiap aktivitas usaha,
baik bekerja ataupun berdagang, menjadi sesuatu yang terpuji atau tercela karena tujuan dan pengaruh
yang disebabkannya.

Rasulullah SAW bersabda, “Siapa yang mencari dunia dengan cara yang halal, berbanyak-banyak
(berkelebihan) dan berbangga-bangga (sombong), kelak akan bertemu Allah sementara Dia murka
kepadanya. Dan siapa yang mencari dunia untuk memenuhi masalah kehidupannya dan untuk menjaga
dirinya, ia akan datang di hari Kiamat dan wajahnya bak rembulan di malam purnama.” – Musnad ‘Abd
bin Hamid (1433), Musnad Ishaq bin Rahawaih (352) dan Al-Hakim At-Tirmidzi (4:27) dari Abu Hurairah
RA.

Jika hendak pergi bekerja atau berusaha, niatkan untuk mencari nafkah yang halal, mengikuti sunnah
Nabi SAW, menjaga diri, berusaha demi keluarga, tidak butuh milik orang lain, menciptakan suasana
yang harmonis dengan kerabat dan tetangga, membayar zakat, dan menunaikan setiap hak yang wajib
dipenuhi.

Mengapa demikian? Sebab, ingatlah, buah dari semua aktivitas manusia di dunia adalah pertemuan
kelak dengan Allah SWT. Pada saat itu, karena usaha yang dijalaninya, wajah seseorang bisa saja
laksana bulan purnama.

Nabi SAW bersabda, “Siapa yang mencari rizqi untuk menjaga dirinya dalam memenuhi masalah
kehidupannya, bekerja keras demi keluarganya, dan menaruh iba terhadap tetangganya, ia akan
bertemu Allah sedangkan wajahnya bagai rembulan di malam purnama.” – HR Al-Baihaqi (10374) dan
‘Abd bin Hamid dalam Musnad-nya (1433).

Kunci-kunci Kekayaan

Kunci kekayaan yang pertama adalah taqwa dan istiqamah (konsistensi dalam beramal).

Para ulama memang banyak memberikan jalan keluar bagi umat, termasuk kiat-kiat sukses dalam
usaha. Jalan sudah ditunjukkan. Masalahnya sekarang, apakah seseorang akan menjalankannya
dengan benar dan terus-menerus, di atas landasan jalan ketaqwaan.

Ditegaskan dalam Al-Qur’an, “Siapa yang bertaqwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan
baginya jalan keluar. Dan memberinya rizqi dari arah yang tak ia sangka.” – QS Ath-Thalaq (65): 2-3.
Pada ayat lainnya disebutkan, “Dan bahwasanya jika mereka tetap berjalan lurus (istiqamah) di atas
jalan itu (agama Islam), benar-benar Kami akan memberi minum kepada mereka air yang segar (rizqi
yang banyak).” – QS Al-Jin (72): 16.

Arti “taqwa” di sini adalah meninggalkan hal-hal yang dilarang dan mengerjakan hal-hal yang
diperintahkan. Dengan demikian, suatu maksiat akan mendatangkan kekufuran dan menghilangkan
nikmat, hingga dikatakan:

Bila engkau diberi sebuah nikmat, jagalah

Karena maksiat akan menghilangkannya

Karena itu, kunci kekayaan selanjutnya adalah rasa syukur.


Allah SWT berfirman, “Jika engkau bersyukur, pasti Kami akan menambahimu (nikmat).” – QS Ibrahim
(14): 7.

Sementara itu Umar bin Abdul Aziz RA mengatakan, “Ikatlah nikmat dengan bersyukur kepada Allah
SWT.”

Begitu pula Sayyidina Ali KW, yang pernah berkata kepada seseorang dari Hamadan, “Sesungguhnya
nikmat Allah SWT terkait dengan syukur, dan syukur terkait dengan anugerah yang bersamaan dalam
satu masa. Maka, tidaklah anugerah dari Allah SWT terputus sampai sebuah syukur terputus dari
seorang hamba.”

Al-Qur’an

Di antara kunci-kunci kekayaan lainnya adalah Al-Qur’an, yaitu dengan banyak membacanya.

Disebutkan dalam sebuah hadits riwayat Abu Hurairah RA, “Al-Qur’an adalah kekayaan yang tidak ada
kefaqiran setelahnya dan tidak ada kekayaan tanpanya.” (HR Abu Ya’la dan Ath-Thabarani).

Dalam sebuah hadits lainnya, dari Anas RA, disebutkan, “Rumah yang di dalamnya Al-Qur’an dibaca-
kan, akan banyak memperoleh kebaikan. Sedang rumah yang di dalamnya Al-Qur’an tidak dibaca, akan
sedikit mendapat kebaikan.” — HR Al-Harits dalam Musnad-nya (721).

Secara khusus, juga disebutkan beberapa surah yang dapat menjadi langkah penarik rizqi yang
mujarab, bagi mereka yang secara istiqamah membacanya. Di antaranya, dan yang paling dikenal,
surah Al-Waqi’ah.

Diceritakan, ketika Abdullah bin Mas’ud RA sakit menjelang wafat, ia didatangi Utsman bin Affan RA,
yang bertanya kepadanya, “Apa yang membuatmu bersedih?”

“Dosa-dosaku,” jawab Ibnu Mas’ud.

“Apa yang engkau inginkan?

“Kasih sayang Tuhanku.”

“Kau mau aku datangkan tabib?”

“Tabib akan membuatku sakit.”

“Kau mau aku bawakan pemberian untukmu?”

“Aku tak membutuhkannya.”

“Adakah sesuatu darimu yang akan kau berikan kepada putri-putrimu setelahmu?”

“Aku khawatir kalau nanti putri-putriku mengalami kefaqiran. Sesungguhnya aku perintahkan putri-
putriku untuk membaca surah Al-Waqi’ah setiap malam. Karena sesungguhnya aku mendengar Ra-
sulullah SAW bersabda, ‘Siapa yang membaca Al-Waqi’ah setiap malam, tak ‘kan tertimpa kefaqiran
selama-lamanya.’.” – HR Al-Baihaqi dalam Asy-Syu’ub (2498) dan Al-Mundziri dalam At-Targhib wa at-
Tarhib (2:294).

Dari Anas RA, dari Rasulullah SAW, beliau bersabda, “Al-Waqi’ah adalah surah kekayaan. Maka
bacalah surah itu dan ajarkan surah itu kepada anak-anak kalian.” – HR Al-Baihaqi dalam Asy-Syu’ub
(2498) dan Al-Mundziri dalam At-Targhib wa at-Tarhib (2:294).

Sejumlah surah lainnya dalam Al-Qur’an juga disebutkan oleh Habib Sa’ad terkait dengan
keberkahannya yang dapat menjadi penarik rizqi bagi seseorang, seperti surah Tha-Ha, surah Al-
Ikhlash, Al-Hijr, Al-‘Adiyat, Al-Qari’ah, Al-Muzammil, Al-Qadr, Quraisy, Ya-Sin, berikut tata caranya,
seperti dibaca seperti biasa, dibacakan pada sesuatu, atau ditulis pada sebuah media tertentu.

Yang Mewarisi Kefaqiran

Setelah mengurai khasiat dan kaifiyat dari surah-surah tertentu dalam Al-Qur’an, Habib Sa’ad
menuturkan bahwa dzikrullah merupakan pekerjaan yang paling disukai Allah SWT dan ia merupakan
salah satu kunci atau penyebab kekayaan.

Ada beberapa dzikir khusus yang disebutkan Habib Sa’ad di sini. Di antaranya, dzikir La ilaha illallah.
Dzikir kalimah tauhid ini merupakan salah satu dzikir yang paling utama dan teragung. Dengannya iman
akan diperbarui serta dapat melebur dosa dan maksiat. Dikatakan, senantiasa membacanya serta
banyak membacanya, menjadi sebab dalam memperluas rizqi.

Sementara itu sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah RA menyebutkan bahwasanya Nabi
SAW bersabda, “Siapa yang setiap pagi membaca La ilaha illallah seribu kali, Allah SWT akan
memudahkannya pintu-pintu rizqi.” – HR At-Tirmidzi.

Sayyid Muhammad Al-Maliki dalam Abwab al-Farj, usai mengungkap beberapa keistimewaannya,
mengatakan, “Sebagian faidah La ilaha illallah adalah membuka 99 pintu rizqi.”

Selanjutnya, setelah panjang lebar menjelaskan ihwal Al-Qur’an dan berbagai dzikir pembuka pintu rizqi,
Habib Sa’ad mengurai satu per satu pintu-pintu kekayaan lainnya, yaitu doa, istighfar, shalawat, shalat,
shadaqah, silaturahim, akhlaqul karimah, sifat qana’ah, kebiasaan berangkat pagi dalam mencari rizqi,
melayani tamu, bersikap dermawan.

Tak kalah menarik, sebelum masuk bab penutup, Habib Sa’ad mengumpulkan berbagai keterangan dari
berbagai kitab yang menerangkan perihal tips-tips dan sebab-sebab mendapatkan rizqi yang kemudian
dilanjutkan dengan syi’ir yang secara khusus menyebutkan berbagai hal yang menjadi pewaris ke-
faqiran.

Di antara yang disebutkan perihal hal-hal yang mewarisi kefaqiran adalah tidur dalam keadaan
telanjang, makan dalam keadaan berhadats, berjalan di depan guru, melipat sorban, kala bosan, untuk
dijadikan alas untuk duduk.

Dalam hal ini, K.H. Saifuddin Amsir, rais syuriyah PBNU, menuturkan dalam kata pengantar buku Tips
Kaya, “Tradisi-tradisi yang mungkin tidak populer kerap dimunculkan dalam kitab-kitab semacam ini.
Tapi itu tidak mesti sebagai tradisi-tradisi yang dipersalahkan syari’at. Pada kenyataannya, beberapa
tradisi itu juga menjadi pakem internal di kalangan keraton di Jawa. Tidak mengherankan, sebab guru
dari para raja itu dulunya adalah para wali.

Habib Sa’ad, dalam buku ini, hadir sebagai seorang yang berkenan mengumpulkan berbagai atsar yang
terkait dengan tema buku ini. Pekerjaan seorang pengumpul memang seperti itu, dan ia tidak harus
bertanggung jawab sebagai penjamin keshahihan setiap nash yang diungkap, karena akan ada
orangnya yang lebih khusus nantinya untuk meneliti hal ini. Ini sesuatu yang lumrah telah ada sejak
dulu.”

Sosok Habib Sa’ad

Habib Sa’ad adalah sosok ulama yang hidup secara zuhud. Namun demikian, ujar K.H. Saifuddin Amsir
dalam pengantar yang ia berikan pada buku Tips Kaya, “Kezuhudan tidak menafikan kekayaan, dan
ketamakan itu terletak pada kecintaan kepada harta. Habib Sa’ad tidak kehilangan keseimbangan di
hatinya saat ia mengungkapkan itu, karena pembahasan tentang hal ini adalah sesuatu yang memang
harus diajarkan kepada orang awam, kebanyakan orang, yang bagaimana pun tak akan mampu hidup
seperti Habib Sa’ad sendiri, yang hidup dalam kezuhudan.”

Selanjutnya ia menuturkan, “Maka, Allah pun mendatangkan orang-orang cerdas, semacam Habib
Sa’ad. Mereka hidup secara zuhud dan bisa memberi manfaat bagi orang banyak, bahkan di antara
mereka ada yang dapat secara terus-menerus memberi makan orang banyak.”

Saat ditemui di kediamannya, K.H. Saifuddin Amsir banyak berkisah tentang sosok Habib Sa’ad, yang ia
temui saat ia berkunjung ke Hadhramaut, beberapa bulan yang lalu.

“Di mata saya, Habib Sa’ad adalah sosok yang telah kenyang memakan asam garam kehidupan. Ia juga
seorang ulama dengan tingkat keikhlasan yang paripurna.

Anggota keluarganya rata-rata mutawadhi’in (orang-orang yang tawadhu), hingga salah seorang
putranya masih berkenan meminta jalur sanad dari orang semacam saya.

Padahal, tokoh-tokoh penting Hadhramaut, baik yang muda maupun tua, menampakkan ketawadhu’an
yang mendalam terhadap Habib Sa’ad. Habib Umar Bin Hafidz pun terlihat sangat tawadhu di hadapan
Al-‘Allamah Habib Sa’ad.

Bukan hanya yang dari dalam Hadhramaut, tokoh-tokoh luar Hadhramaut pun, seperti Syaikh Sa’id
Ramadhan Al-Buthi, amat berminat mendatangi kediamannya untuk bertemu dengannya. Walhasil, saya
melihat mereka semua menaruh ta’zhim yang besar terhadap Habib Sa’ad.

Apakah rasa ta’zhim itu hanya rasa ta’zhim fardiyah (penghormatan karena kharisma pribadi) dalam
artian terlepas dari segala bentuk perjuangan mujahadah yang dilakukan Habib Sa’ad?

Saya pikir, kalau secara fisik, rumahnya, posturnya, tidak menarik dielu-elukan orang. Dia mungkin
hanya seorang tua, kurus, dan berbicara hanya sambil duduk karena sudah sangat sulit berjalan. Tapi
cahaya kharisma yang memancar darinya memang amat besar. Sampai-sampai waktu dia mau bangun
menyambut Al-Buthi, Al-Buthi terlihat sangat kerepotan untuk mencegahnya.
Sebaliknya, Habib Sa’ad memang seorang yang amat menghormati orang alim. ’La, lazim ‘alayya an
agum (Tidak, saya harus berdiri),’ katanya sambil memaksakan diri untuk berdiri menyambut Al-Buthi.

Pada dirinya saya menangkap kesan tersendiri berupa keistimewaan sosok yang luar biasa, meski
secara fisik itu tak tampak menggebu-gebu, tapi sangat terbukti dalam tulisan-tulisannya. Ia menulis
tentang asrarul huruf, khawashul ayat, bahkan pada beberapa perkara kontemporer. Ia berani
menerjang daerah orang-orang yang angkuh melihat hal-hal semacam asrarul huruf itu sebagai obyek
pembahasan perdukunan.

Secara khusus ingin saya katakan, Habib Sa’ad adalah seorang yang punya pengalaman yang sangat
panjang, bertemu dengan para awliya’ dunia dan beliau terus berusaha untuk mengambil berkah orang-
orang yang ditemuinya itu.

Dengan berbagai pengalaman yang didapat, Habib Sa’ad kemudian berbicara dan menulis atas otoritas
nauraniyah, bukan atas dasar kecemburuan. Beliau sosok yang terbebas dari semacam kecemburuan,
terombang-ambing oleh pandangan ke kanan dan ke kiri, masuk dalam daerah liberal atau terbuka.
Sementara kalau kita melihat suasana di sini, bahkan yang di level atas pun, masih banyak yang
akhirnya terseret-seret dengan kemauan liberal, meski dalam bentuk yang halus. Itu tak terjadi pada
sirah (perjalanan hidup) Habib Sa’ad.

Saya amat bergirang hati berbicara tentang beliau. Pada orang-orang semacam ini, segala golongan
akan menaruh hormat, karena tak ada kepentingan tertentu, seperti kepentingan-kepentingan pribadi
dan semacamnya.

Inilah sosok yang perlu diteladani. Ia menjadi pemuka pada wilayah spiritualis dan seorang yang
dipercaya sebagai marji’ul Qur’an, di mana para imam shalat di sana, bacaan Al-Qur’an-nya ditashhih
olehnya. Ini kemampuan yang sangat istimewa.

Mengenai penulisan yang mengumpulkan berbagai atsar, itu bukan barang aneh. Memang demikian
tradisi pada sementara ulama kita sejak dulu, sebab kemudian akan ada orang lain yang akan
mentakhrij berbagai keterangan yang dituliskan. Ini terjadi sejak dulu, misalnya yang paling populer
adalah kitab Ihya’ ‘Ulumiddin, karya Al-Ghazali, yang akhirnya dituduh secara serampangan oleh
segelintir orang bahwa Al-Ghazali tidak mengerti hadits. Padahal, Al-Ghazali diakui dunia sebagai
hujjatul Islam, bukan seorang pembid’ah besar seperti yang dituduhkan sementara orang.”

Pangkal Kenikmatan

Seorang bijak pernah berkata, “Kefaqiran adalah fondasi dari setiap cobaan, yang menuntut orang lain
untuk mencelanya. Di samping itu kefaqiran juga berpotensi merusak martabat serta menghilangkan ra-
sa malu. Apabila kefaqiran telah menimpa seseorang, ia tak ‘kan bisa terlepas dari rasa malu. Se-
dangkan orang yang tidak punya rasa malu, akan hilanglah martabatnya.” Demikian yang dituliskan
Habib Sa’ad di bagian akhir bukunya.

Seorang bijak lainnya mengatakan, “Tiada kebaikan bagi orang yang tidak mengumpulkan harta, yang
dapat menjaga martabat dan wibawanya serta mengikat tali persaudaraannya.”
Sementara itu sahabat Abdurrahman bin Auf RA mengatakan, “Betapa indahnya harta itu, yang
dengannya aku dapat menjaga kehormatanku dan beribadah kepada Tuhanku.”

Sebagai penutup, Habib Sa’ad mengutip perkataan sebagian ulama yang mengatakan, “Pangkal kenik-
matan itu terdapat dalam tiga hal. Nikmat Islam, yang tidak ada kenikmatan yang sempurna tanpanya.
Nikmat kesehatan, di saat tak ada kenyamanan dalam hidup tanpa disertainya. Nikmat kekayaan, di
saat kehidupan tidak akan sempurna kecuali bersamanya.”

Anda mungkin juga menyukai