Anda di halaman 1dari 5

Berdayalah, Nana!

Oleh. Ika Puspa

Udara dingin semakin menusuk kulit saat aku menyusuri jalanan sepi di
pinggiran perbatasan Jogja. Sejak 2007, aku mulai terbiasa berkendara sendiri dari
pagi bahkan sampai malam hari menjalankan tugasku sebagai Pendamping
Penyandang Disabilitas. Kami harus siap 24 jam menerima panggilan mendadak saat
klien yang kami damping harus segera mendapatkan layanan.
“Kerja itu professional saja, sesuai jam kerja. Lagian gajimu setengah UMK
juga nggak ada, ngapain sampai lembur – lembur,” sesekali terngiang ucapan teman
yang bekerja di profesi lain.
Ada benarnya juga. Tapi…..
Aku tersenyum menghalau kalimat sinis itu dari kepalaku. Ini bukan semata
pekerjaan yang dibalas dengan rupiah, tapi ini tentang pertanggungjawabanku pada
Tuhan yang mempercayaiku sebagai pendamping. Apalagi keluargaku sangat
mendukung, bahkan seringkali mereka ikut andil saat aku mengalami kesulitan.
“Lihat itu” tiba tiba kendaraan yang mengantarkanku berhenti.
Kuarahkan pandanganku ke sosok perempuan yang berjalan tertatih sambil
memegang kaki kanannya. Aku langsung berlari menuju perempuan tersebut.
“Ibuk….” Suara perempuan itu lirih hampir tak terdengar, saat ak berdiri tepat
dihadapannya.
Wajahnya terlihat pucat terkena cahaya lampu kendaraan yang melintas.
Bibirnya gemetar seolah menahan rasa sakit yang teramat sangat. Baju yang
dikenakanya lusuh, bahkan terdapat bercak darah disana sini.
“Ibuk….” Sekali lagi ia bergumam, kali ini ia tak mampu menahan tubuhnya
hingga limbung ke belakang.
Dengan sigap salah seorang tim kami menangkapnya.
***
Nana. Begitu ia dipanggil. Wanita 36 tahun tersebut sejak kecil tinggal
bersama neneknya di salah satu padukuhan di Jogjakarta. Ia tak sempat
menyelesaikan sekolah tingkat pertamanya karena dinikahkan oleh orang tuanya dan
tinggal di Jakarta. Namun, Ia menjadi korban KDRT oleh suaminya dan memilih
kabur pulang menemui neneknya Kembali. Orang tua Nana sama sekali tidak peduli
keadaan Nana. Sekedar menanyakan kabarpun tidak. Sejak saat itu kondisi mental
Nana terguncang, ia sering bergumam sendiri bahkan berjalan tanpa tujuan.
Nana juga sering mengganggu orang – orang di sekitarnya. Sang nenek tak
berani pulang karena Nana sering memukulinya. Aku bertemu Nana pertama kali saat
mendapatkan laporan bahwa Nana tidak mau pergi dari rumah seorang Bidan Praktek
yang sering memberinya makan dan uang jajan. Saat itu Nana dinyatakan hamil oleh
Bidan tersebut dan membutuhkan pemeriksaan lebih lanjut oleh dokter karena
mengeluh sakit pada alat kelaminya.
Bekerjasama dengan Hafara Bantul, kami membawa Nana ke dokter. Dan
benar saja, Nana menderita Penyakit Menular Seksual yang cukup parah. Luka di alat
kelamin Nana sudah bernanah karena tidak mendapatkan perawatan dan obat.
Aku benar – benar bingung saat itu. Neneknya takut jika Nana pulang,
sementara Bidan desa sudah kuwalahan menghadapi sikap Nana. Warga sekitarpun
tak mengharapkan Nana kembali ke kampung mereka. Pihak kalurahan juga
kebingungan harus berbuat apa dengan keadaan Nana saat itu. Disisi lain Nana harus
mendapatkan obat dan perawatan intensif dari dokter, tetapi tidak ada satupun
keluarganya yang bisa mendampinginya.
Atas rekomendasi dari Dinas Sosial Kabupaten Nana akhirnya kami antar ke
Balai Perlindungan dan Rehabilitasi Sosial Wanita DIY. Di sana Nana mendapatkan
pelayanan dan pelatihan gratis. Nana bercerita bahwa ibu – ibunya baik. Ia dilatih
memasak, menjahit, membatik dan merias diri.
“Di sini enak, buk. Aku makan gratis, baju gratis, seragam gratis, kasurku
juga empuk” ujarnya saat aku datang menyambanginya.
Namun, setelah dua bulan di BPRSW, Nana mulai bertingkah. Ia mulai
membohongi penjaga agar bisa kabur. Di sana memang memberi keleluasaan pada
siswa untuk berinteraksi dengan masyarakat di sekitar Balai dengan berbelanja di
warung sebelah balai. Namun hal ini digunakan Nana untuk kabur. Beberapa kali
Nana menghilang, namun dapat ditemukan.
Pada hari itu, Nana ditemukan sedang menggoda seorang lelaki yang
memancing di sungai dekat Balai. Berkali – kali pihak balai melaporkan ulah Nana
yang diluar dugaan. Berbagai upaya telah dilakukan, namun Nana tetap saja bisa
keluar Balai mencari korban.
“Lah aku pengen K***n kok, buk,” ucapnya tanpa ekspresi saat ku tanya
alasan dia pergi dari Balai.
Dan ternyata ini bukan pertama kalinya Nana melakukan saat menjadi siswa
BPRSW. Ia menceritakan kisahnya, bahwa ia sering merayu lelaki dan berhubungan
intim di mana saja dan kapanpun jika tiba – tiba hasratnya muncul. Bahkan ia rela
melakukanya tanpa dibayar. Ia mengaku sebelum bertemu denganku dulu, ia sempat
digilir tiga orang pria pada malam harinya.
Dalam hati aku merutuk kesal. Bagaimana mungkin para lelaki hidung belang
itu mau berhubungan intim dengan keadaan Nana yang kumal dan alat kelamin
terluka seperti itu. Tega sekali mereka memanfaatkan kondisi mental Nana yang
terganggu hanya untuk memuaskan Hasrat bejat mereka. Aku menghela nafas
Panjang.
“Sekarang apa maumu?” tanyaku sudah mulai Lelah mengahadapi Nana.
“Aku mau pulang,” jawabnya.
“Tunggu sakitmu sembuh baru aku antar pulang,” ujarku.
“Aku wes mari kok, buk” sanggahnya.
“Ok. Tunggu bulan depan, ya. Sekarang ibuk nggak bawa mobil. Bulan depan
ku jemput pake mobil.”
“Tenan yo, Buk.” Rengeknya.
Aku mengangguk pasti sambil tersenyum mencoba meyakinkan dia. Aku
benar – benar berharap Nana mau menepati janjinya untuk tinggal sampai bulan
depan. Setidaknya sampai anaknya lahir.
Benar saja, Nana mampu bertahan sampai anaknya lahir. Anak yang
dilahirkanya sangat sehat dan langsung dirawat di Balai rehabilitasi Sosial dan
Pengasuhan Anak (BRSPA) DIY. Nana diantar jemput petugas untuk menyusui anak
tersebut. Ia juga diajari bagaimana merawat anaknya yang masih bayi. Meskipun
kondisi psikis Nana masih belum stabil, namun Nana sangat menyayangi bayi
tersebut. Ia menggendongnya, bermain dan menjaganya dengan baik saat berkunjung
di BRSPA.
Ah, syukurlah. Semoga Nana benar – benar sudah mulai stabil sejak anaknya
lahir. Jika benar begitu, Nana bisa segera Kembali pulang setelah menyelesaikan
program belajarnya di BPRSW. Semoga saja masyarakat sudah bisa menerima
Kembali kepulanganya.
***
“Keluarga ibu Nana” lamunanku buyar saat suara perawat memanggil.
“Saya, Bu. Saya yang bertanggung jawab”, sahutku lalu mengikuti anjuranya
untuk menemui dokter.
“Ibu Nana sekarang hamil 7 bulan.” Kata dokter setelah aku menjelaskan
bahwa Nana tidak memiliki keluarga di sini.
Nana hamil lagi????
Jleg. Badan ini terasa tidak bertulang. Kepalaku terasa berat. Entah karena
hari sudah mulai pagi dan aku belum sempat tidur semalaman, atau karena
mendengar berita dari Dokter tersebut.
Hampir saja aku terjatuh saat seseorang merangkul pundakku dan mencoba
menenangkanku. Lelaki yang sedari tadi menemaniku mencari Nana sejak pagi, saat
aku mendengar kabar bahwa Nana sudah beberapa hari menghilang. Disaat
bersamaan ada teman yang memberikan informasi ditemukan seorang perempuan
yang sedang sakit di sebuah gardu. Dari foto yang ku terima, benar itu Nana. Namun,
saat aku sampai di sana Nana sudah menghilang. Seharian aku, pihak kalurahan,
bhabinkamtibmas, dan beberapa relawan menyebar mencari keberadaan Nana. Dan
saat kutemukan, Nana benar – benar dalam keadaan lemah.
“Saat ini Ibu Nana harus rawat inap, karena luka nya cukup parah. Jika hanya
rawat jalan takutnya penyakitnya mengganggu Kesehatan janinnya.” Jelas dokter lagi.
Menurut dokter, alat kelamin Nana penuh luka. Terdapat beberapa luka bakar
diduga dari sulutan rokok. Bahkan terdapat memar dan sedikit robek karena benda
tumpul yang dipaksa masuk ke dalamnya. Kakinya juga mengalami luka bahkan
sudah bengkak dan bernanah. Pada bagian tubuh Nana yang lain juga terdapat lebam
dan lecet.
“Aku ndek kae bar k***n karo tukang becak, buk. Dibayar sepuluh ewu. Bar
kui aku dijak golek rongsok neng Paijo, njuk ben bengi dijak K***n. ge di nehi seket
ewu kon go bali. Lah aku gek bali to buk. Njuk neng dalan aku weruh pasar malem.
Aku dijak wong lanang neng gon tebu. Lah aku di K***ni wong telu, ning aku dipolo
buk. Awaku loro kabeh.” Nana menjelaskan kisahnya tanpa rasa malu dan takut. Tapi
tampak sekali ia menahan sakit.
Aku benar – benar tak memiliki tenaga untuk mengomentari setiap kalimat
Nana. Aku hanya bisa mengangguk sambal terus menatapnya pada setiap ceritanya.
Dadaku terasa sesak.
Mungkin benar yang dikatakan teman saya dari profesi yang lain.
“mendampingi jangan pake hati, nanti kamu hancur sendiri”.
Aku beranjak dari duduku tanpa kata, sekali lagi aku hampir jatuh. Namun
seseorang memapahku dengan sigap. Dia suamiku, yang tahu betul bagaimana
bebanku sebagai pendamping. Ia selalu setia membantuku dalam melayani klienku.
Dan bukan hanya aku, pendamping yang lain pun juga sering mengalami hal yang
sama sepertiku, bahkan ada yang mendapatkan klien dengan kisah yang lebih
menguras tenaga dan psikis.
Namun aku bersyukur, meskipun kadang banyak pihak yang sering
menghambat tugas kami masih banyak pihak – pihak lain yang bisa diajak
berkerjasama dalam mengentaskan setiap permasalahan klien kami.
***
Saat ini Nana tinggal di sebuah Panti Khusus Penyandang Disabilitas Mental.
Ia juga sudah menikah dan merawat anaknya yang lucu di panti tersebut. Ia terlihat
lebih bersih dan bersemangat dibanding sebelumnya. Kondisi mentalnya sudah mulai
stabil, ia pun sudah tidak kelayapan keluar mencari mangsa setelah ia menikah. Nana
berharap, kelak ia bisa tinggal kembali di kampungnya seperti setelah kepulanganya
dari BPRSW. Ia sangat berterimakasih kepada Kalurahan, Pak Bhabin, Dinas Sosial
dan ia selalu menyebut Kepala BPRSW dalam setiap ceritanya. Ia mengaku menyesal
telah membuat Kapala BPRSW kala itu ikut repot mencarinya setiap kali ia
menghilang.
“Terimakasih ya, Buk. Besok kalau aku sadah diterima di kampung, aku mau
pulang dan bilang makasih sama Bu Bidan.” Ujarnya ceria.
Aku mengangguk, tersenyum sambil menatapnya dalam.
“aku wes di KB loh bu neng Bu Bidan, ojo kuatir aku meteng neh,” ujarnya
yang kali ini kusambut dengan tawa.
Nana. Meskipun kamu penyandang disabilitas mental yang sering dianggap
mengganggu dan bisa dilecehkan semau mereka, tapi kamu tetaplah manusia.
Sekarang, berdayalah dan tunjukkan pada dunia bahwa banyak yang mendukungmu.
Tidak boleh ada Nana yang lain di dunia ini. Bukankah kamu bisa berdaya, Nana?

Anda mungkin juga menyukai